MY CUTE ENEMY
“Yaa… palli!” teriak Sun Young
padaku. Hosh, hosh, hos, aku bernapas tidak karuan saat aku tiba di depannya.
“Kenapa kau bisa terlambat?!” tanyanya.
“Mianh…” ucapku terputus putus. “Di
jalan macet sekali…” lanjutku.
“Sudahlah, ini tiketmu. Ayo cepat pertandingan
sudah dimulai sepuluh menit yang lalu!” ucapnya menarik tanganku. “Wah… banner
yang kau bawa banyak sekali, mau jualan?” sindirnya saat melihat beberapa
gulungan banner yang kubawa.
“Ini pertandingan terakhir angkatan
kita, tahun depan kita sudah lulus jadi kita harus mati-matian mendukung wakil
kita!” belaku.
“Aro, aro, aro… kalau begitu berikan
satu untukku!” sahabatku itu langsung mencomot satu banner yang kubawa.
“Yaa, yaa, jangan yang itu! ini
saja!” aku buru-buru mengambil gulungan yang ada di tangannya dan menggantikan
dengan yang kupilihkan. Sun Young menyipitkan mata, tatapannya penuh
kecurigaan.
“Jangan bilang banner ini untuk
mendukungnya!” ancamnya.
“He… he… he… Tentu saja bukan!” aku
jadi kikuk, “Aku datang ke sini untuk mendukung sekolah kita, aku masih cinta
pada sekolah kita!” lanjutku. “Aish… kita sudah terlambat, tidak ada waktu
untuk mgobrol lagi. Palli!” aku buru-buru mengalihkan topik. Sahabatku yang
satu ini memang sangat sensitif pada hal yang bernama ‘kesetiaan’.
Aku dan Sun Young segera mengambil
tempat duduk sesuai yang tertera di tiket. Hari ini adalah babak final
Badminton Match antara Neul Paran High School, sekolahku dan Sinhwa High
School. Sun Young langsung membentangkan banner yang kuberikan padanya tadi, Neul
Paran Hwaiting! Begitulah tulisannya. Pertandingan akhir partai tunggal
putra kali ini mempertandingkan teman sekelasku Park Jung Il yang harus
berhadapan dengan Lee Yong Jae sebagai wakil dari Sinhwa.
Pertandingan berlangsung alot dan
menegangkan, bagaimana tidak… kedua finalis itu adalah atlet terbaik di kotaku.
Bahkan Lee Yong Jae telah menandatangani kontrak beasiswa atlet Badminton,
sebuah kontrak eksklusif yang ditawarkan pemerintah untuk calon-calon atlet
berbakat yang dinilai dapat dijadikan wakil Negara di kancah pertandingan
internasional.
“Jung Il-ssi hwaiting!” teriakan Sun
Young menggema berbaur dengan hysteria penonton yang memberikan dukungan untuk
jagoan mereka.
“Jung Il~a… kau pasti bisa!”
teriakku juga yang tak mau kalah dari Sun Young. Aku dan sahabatku itu tertawa
dan kompak meneriakkan yel-yel kebanggan kami.
Kuakui, badminton bukanlah olah raga
terpopuler di negaraku namun bukan berarti tidak punya tempat di hati para
penonton. Buktinya Jamsil Gymnasium sore ini penuh sesak oleh para supporter.
Supporter pun memegang peranan penting bagi kesuksesan atlet meraih kemenangan.
Bagaimana tidak, tanpa supporter, para atlet tentu tidak bersemangat dalam
bertanding. Dalam keadaan yang lelah bahkan terpuruk sekalipun, seorang atlet
dapat menjadi pemenang hanya karena support dari para pendukungnya.
Aku dan Sun Young berteriak heboh
setiap teman kami berhasil mencuri angka dari lawan, segala perkakas yang kami
bawa berbunyi riuh menambah semarak dukungan.
“Jung Il~a… berjuanglah!” teriakku
kencang. Lawannya, Lee Yong Jae menatapku dengan tatapan kesal, matanya
membulat menyiratkan ancaman.
“Wakakaka… kau ribut sekali,
lihatlah musuh kita marah!” Sun Young tertawa di sampingku. “Kau memecah
konsentrasinya!” lanjut sahabatku.
“Jung Il~ssi… berjuanglah!” Sun
Young menggantikanku berteriak, ugh… memangnya tidak boleh aku mendukung
temanku? Sun Young saja boleh berteriak, kenapa aku tidak?
Lee Yong Jae berhasil memenangkan
set pertama dengan perolehan angka tipis dari temanku. Hal ini membuat riuh
kubu pendukung Sinhwa.
“Teman-teman… jangan kecewa, masih
ada set kedua. Ayo tetap dukung Park Jung Il kita!” aku berseru di depan
murid-murid Neul Paran dan itu membuat kubu kami kembali bersorak memberi
dukungan. Sekali lagi Lee Yong Jae itu menatap kesal padaku namun kali ini aku
mencoba cuek, pura-pura saja tidak melihatnya.
Ternyata semangat Jung Il tidaklah
kendor berkat dukungan kami, dia berhasil menyelesaikan set ke dua dengan
kemenangan tipis atas lawannya. Jelas hal itu membuat kami heboh, aku dan Sun
Young berpelukan senang dan meneriakkan yel-yel kami sekali lagi. Di lapangan,
Jung Il hanya tersenyum melihat tingkah kocak kami. Lain lagi dengan lawannya,
huh… apa masalah orang itu, kami ‘kan tidak membuat pelanggaran. Apa salah kami
mendukung wakil dari sekolah kami?
Sayang pada set ketiga kami harus
mengakui ketangguhan tim lawan, ia menang dengan angka yang cukup jauh.
Kekecewaan jelas ada, aku dan yang lain tidak akan memungkirinya namun
bagaimanapun Jung Il telah berjuang. Ia telah mengeluarkan kemampuan terbaiknya
hanya saja tim lawan memang lebih hebat. Kubentangkan banner yang kubawa,
banner yang sempat dicomot Sun Young namun segera kuambil.
“Terima kasih Jung Il, kau telah
berjuang! Kau adalah pahlawan kami!” begitulah yang tertera pada bannerku. Kami
berteriak memberi dukungan pada teman kami itu, nomor kedua bukanlah angka yang
buruk, itu berarti kau hanya dikalahkan oleh satu orang. Jadi jangan pernah
malu bila kau menempati posisi ke dua.
©©©
Hari telah gelap saat aku dan Sun
Young selesai merapikan barang-barang kami. Ponselku bergetar, bulu kudukku
berdiri saat kulihat gambar penelponnya.
“Yeobuseo?” sapaku merinding,
“Kau di mana?” tanya si penelpon,
suaranya seram sekali.
“Aku masih di stadion memberesi
barang…” belum selesai aku bicara, Sun Young langsung merebut ponselku,
“Yong Jae-ssi… chukkae kau menang…”
seru sahabtku pada si penelpon.
“…”
“Nde… sebentar lagi kami selesai.
Kau menunggu di mana?”
“…”
“Baiklah, akan kusampaikan padanya.
Anyeong!” gadis itu segera menutup flip ponselku.
“Dia bilang apa? Kenapa kau langsung
merebut ponselku tadi?” aku mencubit pipi sahabatku itu.
“Aku tahu kau takut bicara dengannya
makanya aku membantumu! Dia menunggumu di luar! Pergilah, nanti dia semakin
kesal bila menunggu lama. Hari ini kau sudah cukup membuat dia bad mood jadi jangan ditambah lagi,”
“Lalu kau…”
“Aku bisa menyelesaikannya sendiri.
Lagi pula masih banyak hoobae yang
akan membantuku!” aku tersenyum dan segera memeluk sahabatku itu.
“Gomawo!” ucapku.
“Yak, lepaskan pelukanmu! Nanti
dilihat Jung Il, aku tidak mau dia salah paham dan menyangka aku lesbian..”
“Yak, dia tidak akan berpikiran
begitu, kau ini sensitif sekali. Ya sudah, aku pergi!”
“Uhm… hati-hati!” pesannya.
Sahabatku itu sudah lama menaksir Jung Il, saat ini dia sedang pendekatan
dengan atlet itu dan aku yang menjadi makcomblangnya.
Kuperbaiki dandananku, huf… aku
harus terlihat cuek biar tidak dapat ditindas olehnya. Kulihat seorang pemuda
yang menunggu sendiri di bawah lampu jalan sambil menenteng ransel raketnya.
“Wah… lihatlah juara tunggal putra
kita, dia sedang menunggu siapa?” ucapku manis saat aku menghampirinya.
Wajahnya masih cemberut namun tetap terlihat manis.
“Yaak… kau benar-benar cari
gara-gara!” ucapnya dengan nada yang kurang bersahabat.
“Mwo?” apa? Tanyaku pura-pura tidak
tahu.
“Kau…” dia kehabisan kata-kata. “Kau
berteriak mendukung Jung Il terlalu berlebihan. Kau mendukungnya dan melupakan
pacarmu sendiri!”
“Bukannya kau sudah ada pendukung,
anak-anak Sinhwa itu!”
“Tapi aku juga ingin mendengar kau
menyebut namaku, aku ingin kau berteriak mendukungku!”
“Bagaimana bisa aku berteriak
mendukung lawan, aku bisa disembelih teman-temanku!” ucapku membela diri. “Wah…
itu medalimu? Coba kulihat!” aku mencomot medali yang dipegangnya dan segera
berjalan. Kalau terus berdebat dengannya tentang masalah ini, sampai pagi pun
nanti tidak akan selesai. Dia mengikuti langkahku, tentu saja masih dalam
keadaan kesalnya.
“Yaak… kau tidak takut aku marah
padamu? Kalau aku marah, aku tidak akan menyapamu! Aku tidak akan menelpon, aku
tidak akan
menjemputmu, aku juga tidak akan mengajakmu kencan, apa kau sudah siap?” dia
mengancamku, huh… justru kau yang kelihatannya takut pada keadaanmu sekarang.
“Kalau begitu marahlah, kau berhak
untuk itu!” tantangku.
“Yaak… aku serius!”
“Aku juga serius. Kalau kau ingin
marah, silahkan! Aku mengerti bagaimana perasaanmu tapi aku bisa apa, kita
berada di kubu yang berlawanan! Aku akan sabar menunggu sampai marahmu reda dan
setelah itu kita kembali baik-baik saja!”
“Yaak… Jung Hye Na!” dia merajuk. “Kalau
aku marah, itu akan sangat lama! Bisa sampai berbulan-bulan!” dia menakutiku
namun malah terlihat sangat manis.
“Kalau begitu… akan kutunggu sampai
berbulan-bulan asal jangan kau putuskan cintamu!!” balasku. Cih… memangnya
seberapa lama kau bisa marah padaku?
“Hye Na… apa salahnya kau
mendukungku sekali saja dalam pertandinganku? Kau berteriak menyebut nama orang
lain sementara kau mengabaikanku. Bahkan kau membuat banner untuknya sementara
untukku tidak ada!”
“Jangan kira aku tidak menyebut
namamu berarti aku tidak mendukungmu! Jangan kira aku membuat banner untuk
orang lain karena aku tidak peduli padamu! Apa kau tidak bisa membaca apa yang
tertera pada banner-ku tadi?”
“Jelas-jelas banner-mu bertuliskan Terima kasih Jung Il, kau telah berjuang!
Kau adalah pahlawan kami! Apa itu? kau pikir aku tidak kecewa?”
“Apa kau tidak mengerti? Apa kau
tidak dapat menangkap makna yang tersirat dalam tulisan itu? Aku menulis itu
untuk memberikan semangat pada Jung Il yang kalah, aku mempersiapkan banner itu
untuk membesarkan hatinya agar dia tidak kecewa pada kekalahannya,”
“Lalu…?”
“Itu berarti aku sudah tahu kau akan
menang! Aku sudah yakin kau akan mengalahkan dia, aku tahu kau lebih hebat
darinya!”
“…” Yong Jae bengong.
“Hal seperti ini saja kau tidak
paham? Yong Jae bodoh! Kali ini aku yang akan marah padamu! Kalau aku marah,
itu akan sangat lama! Bisa sampai berbulan-bulan!” ucapku kesal dan bergegas
meninggalkannya.
“Yaa..ya… benarkah? Benarkah kau
yakin aku akan menang? Benarkah menurutmu aku lebih hebat dari Jung Il?” dia
menarik tanganku.
“Jangan bicara padaku, aku sedang
marah!” balasku. Dia malah tertawa dan langsung menarikku ke dalam pelukannya.
“Gomawo… kupikir kau benar-benar
tidak peduli padaku!” ucapnya.
“Lepaskan!” aku mendorongnya, “Kau
bau keringat!” ucapku sambil mengucek-ucek hidungku. Tak berapa lama aku
tertawa geli, ckkk..ckk… benar-benar seperti anak kecil, bukan hanya kau, aku
juga kenak-kanakan. Dia membelai rambutku,
“Saranghae…” bisiknya. Perlahan
wajahnya mendekat ke wajahku, jantungku berdebar kencang seketika. Aku sudah
dapat menerka apa yang akan dia lakukan, aku pun memejamkan mataku. Beberapa
saat tidak terjadi apa-apa, segera kubuka mataku. “Bisa tidak kau jinjit?
Pinggangku sakit bila terlalu menunduk!” ucapnya. Errr…
“Ya sudah kalau kau tidak bisa!
Salah sendiri kau punya pacar yang lebih pendek darimu!” ucapku kesal dan
segera melanjutkan jalanku. Cih… cari saja pacar yang sejajar denganmu, cari
pacar yang tingginya 180 sepertimu supaya kau tidak kesulitan menciumnya. Aku
mana bisa, aku butuh heels 20 cm untuk dapat sejajar denganmu. Greb… aku kaget,
kurasakan tubuhku terangkat. Yong Jae ternyata menggendongku,
“Nah… kalau begini sudah bisa ‘kan?”
ucapnya. Kini aku lebih tinggi darinya, dia tersenyum dan benar-benar terlihat cute. Segera kukecup bibir mungilnya, I really, really love you my cute enemy.