Tuesday 5 August 2014

FF One Shot - My Cute Enemy


MY CUTE ENEMY

            “Yaa… palli!” teriak Sun Young padaku. Hosh, hosh, hos, aku bernapas tidak karuan saat aku tiba di depannya. “Kenapa kau bisa terlambat?!” tanyanya.
            “Mianh…” ucapku terputus putus. “Di jalan macet sekali…” lanjutku.
            “Sudahlah, ini tiketmu. Ayo cepat pertandingan sudah dimulai sepuluh menit yang lalu!” ucapnya menarik tanganku. “Wah… banner yang kau bawa banyak sekali, mau jualan?” sindirnya saat melihat beberapa gulungan banner yang kubawa.
            “Ini pertandingan terakhir angkatan kita, tahun depan kita sudah lulus jadi kita harus mati-matian mendukung wakil kita!” belaku.
            “Aro, aro, aro… kalau begitu berikan satu untukku!” sahabatku itu langsung mencomot satu banner yang kubawa.
            “Yaa, yaa, jangan yang itu! ini saja!” aku buru-buru mengambil gulungan yang ada di tangannya dan menggantikan dengan yang kupilihkan. Sun Young menyipitkan mata, tatapannya penuh kecurigaan.
            “Jangan bilang banner ini untuk mendukungnya!” ancamnya.
            “He… he… he… Tentu saja bukan!” aku jadi kikuk, “Aku datang ke sini untuk mendukung sekolah kita, aku masih cinta pada sekolah kita!” lanjutku. “Aish… kita sudah terlambat, tidak ada waktu untuk mgobrol lagi. Palli!” aku buru-buru mengalihkan topik. Sahabatku yang satu ini memang sangat sensitif pada hal yang bernama ‘kesetiaan’.

            Aku dan Sun Young segera mengambil tempat duduk sesuai yang tertera di tiket. Hari ini adalah babak final Badminton Match antara Neul Paran High School, sekolahku dan Sinhwa High School. Sun Young langsung membentangkan banner yang kuberikan padanya tadi,  Neul Paran Hwaiting! Begitulah tulisannya. Pertandingan akhir partai tunggal putra kali ini mempertandingkan teman sekelasku Park Jung Il yang harus berhadapan dengan Lee Yong Jae sebagai wakil dari Sinhwa.
            Pertandingan berlangsung alot dan menegangkan, bagaimana tidak… kedua finalis itu adalah atlet terbaik di kotaku. Bahkan Lee Yong Jae telah menandatangani kontrak beasiswa atlet Badminton, sebuah kontrak eksklusif yang ditawarkan pemerintah untuk calon-calon atlet berbakat yang dinilai dapat dijadikan wakil Negara di kancah pertandingan internasional.
            “Jung Il-ssi hwaiting!” teriakan Sun Young menggema berbaur dengan hysteria penonton yang memberikan dukungan untuk jagoan mereka.
            “Jung Il~a… kau pasti bisa!” teriakku juga yang tak mau kalah dari Sun Young. Aku dan sahabatku itu tertawa dan kompak meneriakkan yel-yel kebanggan kami.
            Kuakui, badminton bukanlah olah raga terpopuler di negaraku namun bukan berarti tidak punya tempat di hati para penonton. Buktinya Jamsil Gymnasium sore ini penuh sesak oleh para supporter. Supporter pun memegang peranan penting bagi kesuksesan atlet meraih kemenangan. Bagaimana tidak, tanpa supporter, para atlet tentu tidak bersemangat dalam bertanding. Dalam keadaan yang lelah bahkan terpuruk sekalipun, seorang atlet dapat menjadi pemenang hanya karena support dari para pendukungnya.
            Aku dan Sun Young berteriak heboh setiap teman kami berhasil mencuri angka dari lawan, segala perkakas yang kami bawa berbunyi riuh menambah semarak dukungan.
            “Jung Il~a… berjuanglah!” teriakku kencang. Lawannya, Lee Yong Jae menatapku dengan tatapan kesal, matanya membulat menyiratkan ancaman.
            “Wakakaka… kau ribut sekali, lihatlah musuh kita marah!” Sun Young tertawa di sampingku. “Kau memecah konsentrasinya!” lanjut sahabatku.
            “Jung Il~ssi… berjuanglah!” Sun Young menggantikanku berteriak, ugh… memangnya tidak boleh aku mendukung temanku? Sun Young saja boleh berteriak, kenapa aku tidak?

            Lee Yong Jae berhasil memenangkan set pertama dengan perolehan angka tipis dari temanku. Hal ini membuat riuh kubu pendukung Sinhwa.
            “Teman-teman… jangan kecewa, masih ada set kedua. Ayo tetap dukung Park Jung Il kita!” aku berseru di depan murid-murid Neul Paran dan itu membuat kubu kami kembali bersorak memberi dukungan. Sekali lagi Lee Yong Jae itu menatap kesal padaku namun kali ini aku mencoba cuek, pura-pura saja tidak melihatnya.
            Ternyata semangat Jung Il tidaklah kendor berkat dukungan kami, dia berhasil menyelesaikan set ke dua dengan kemenangan tipis atas lawannya. Jelas hal itu membuat kami heboh, aku dan Sun Young berpelukan senang dan meneriakkan yel-yel kami sekali lagi. Di lapangan, Jung Il hanya tersenyum melihat tingkah kocak kami. Lain lagi dengan lawannya, huh… apa masalah orang itu, kami ‘kan tidak membuat pelanggaran. Apa salah kami mendukung wakil dari sekolah kami? 
            Sayang pada set ketiga kami harus mengakui ketangguhan tim lawan, ia menang dengan angka yang cukup jauh. Kekecewaan jelas ada, aku dan yang lain tidak akan memungkirinya namun bagaimanapun Jung Il telah berjuang. Ia telah mengeluarkan kemampuan terbaiknya hanya saja tim lawan memang lebih hebat. Kubentangkan banner yang kubawa, banner yang sempat dicomot Sun Young namun segera kuambil.
            “Terima kasih Jung Il, kau telah berjuang! Kau adalah pahlawan kami!” begitulah yang tertera pada bannerku. Kami berteriak memberi dukungan pada teman kami itu, nomor kedua bukanlah angka yang buruk, itu berarti kau hanya dikalahkan oleh satu orang. Jadi jangan pernah malu bila kau menempati posisi ke dua.

©©©
            Hari telah gelap saat aku dan Sun Young selesai merapikan barang-barang kami. Ponselku bergetar, bulu kudukku berdiri saat kulihat gambar penelponnya.
            “Yeobuseo?” sapaku merinding,
            “Kau di mana?” tanya si penelpon, suaranya seram sekali.
            “Aku masih di stadion memberesi barang…” belum selesai aku bicara, Sun Young langsung merebut ponselku,
            “Yong Jae-ssi… chukkae kau menang…” seru sahabtku pada si penelpon.
            “…”
            “Nde… sebentar lagi kami selesai. Kau menunggu di mana?”
            “…”
            “Baiklah, akan kusampaikan padanya. Anyeong!” gadis itu segera menutup flip ponselku.
            “Dia bilang apa? Kenapa kau langsung merebut ponselku tadi?” aku mencubit pipi sahabatku itu.
            “Aku tahu kau takut bicara dengannya makanya aku membantumu! Dia menunggumu di luar! Pergilah, nanti dia semakin kesal bila menunggu lama. Hari ini kau sudah cukup membuat dia bad mood jadi jangan ditambah lagi,” 
            “Lalu kau…”
            “Aku bisa menyelesaikannya sendiri. Lagi pula masih banyak hoobae yang akan membantuku!” aku tersenyum dan segera memeluk sahabatku itu.
            “Gomawo!” ucapku.
            “Yak, lepaskan pelukanmu! Nanti dilihat Jung Il, aku tidak mau dia salah paham dan menyangka aku lesbian..”
            “Yak, dia tidak akan berpikiran begitu, kau ini sensitif sekali. Ya sudah, aku pergi!”
            “Uhm… hati-hati!” pesannya. Sahabatku itu sudah lama menaksir Jung Il, saat ini dia sedang pendekatan dengan atlet itu dan aku yang menjadi makcomblangnya.

            Kuperbaiki dandananku, huf… aku harus terlihat cuek biar tidak dapat ditindas olehnya. Kulihat seorang pemuda yang menunggu sendiri di bawah lampu jalan sambil menenteng ransel raketnya.
            “Wah… lihatlah juara tunggal putra kita, dia sedang menunggu siapa?” ucapku manis saat aku menghampirinya. Wajahnya masih cemberut namun tetap terlihat manis.
            “Yaak… kau benar-benar cari gara-gara!” ucapnya dengan nada yang kurang bersahabat.
            “Mwo?” apa? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
            “Kau…” dia kehabisan kata-kata. “Kau berteriak mendukung Jung Il terlalu berlebihan. Kau mendukungnya dan melupakan pacarmu sendiri!”
            “Bukannya kau sudah ada pendukung, anak-anak Sinhwa itu!”
            “Tapi aku juga ingin mendengar kau menyebut namaku, aku ingin kau berteriak mendukungku!”
            “Bagaimana bisa aku berteriak mendukung lawan, aku bisa disembelih teman-temanku!” ucapku membela diri. “Wah… itu medalimu? Coba kulihat!” aku mencomot medali yang dipegangnya dan segera berjalan. Kalau terus berdebat dengannya tentang masalah ini, sampai pagi pun nanti tidak akan selesai. Dia mengikuti langkahku, tentu saja masih dalam keadaan kesalnya.
            “Yaak… kau tidak takut aku marah padamu? Kalau aku marah, aku tidak akan menyapamu! Aku tidak akan menelpon, aku tidak akan menjemputmu, aku juga tidak akan mengajakmu kencan, apa kau sudah siap?” dia mengancamku, huh… justru kau yang kelihatannya takut pada keadaanmu sekarang.
            “Kalau begitu marahlah, kau berhak untuk itu!” tantangku.
            “Yaak… aku serius!”
            “Aku juga serius. Kalau kau ingin marah, silahkan! Aku mengerti bagaimana perasaanmu tapi aku bisa apa, kita berada di kubu yang berlawanan! Aku akan sabar menunggu sampai marahmu reda dan setelah itu kita kembali baik-baik saja!”
            “Yaak… Jung Hye Na!” dia merajuk. “Kalau aku marah, itu akan sangat lama! Bisa sampai berbulan-bulan!” dia menakutiku namun malah terlihat sangat manis.
            “Kalau begitu… akan kutunggu sampai berbulan-bulan asal jangan kau putuskan cintamu!!” balasku. Cih… memangnya seberapa lama kau bisa marah padaku?
            “Hye Na… apa salahnya kau mendukungku sekali saja dalam pertandinganku? Kau berteriak menyebut nama orang lain sementara kau mengabaikanku. Bahkan kau membuat banner untuknya sementara untukku tidak ada!”
            “Jangan kira aku tidak menyebut namamu berarti aku tidak mendukungmu! Jangan kira aku membuat banner untuk orang lain karena aku tidak peduli padamu! Apa kau tidak bisa membaca apa yang tertera pada banner-ku tadi?” 
            “Jelas-jelas banner-mu bertuliskan Terima kasih Jung Il, kau telah berjuang! Kau adalah pahlawan kami! Apa itu? kau pikir aku tidak kecewa?” 
            “Apa kau tidak mengerti? Apa kau tidak dapat menangkap makna yang tersirat dalam tulisan itu? Aku menulis itu untuk memberikan semangat pada Jung Il yang kalah, aku mempersiapkan banner itu untuk membesarkan hatinya agar dia tidak kecewa pada kekalahannya,”
            “Lalu…?”
            “Itu berarti aku sudah tahu kau akan menang! Aku sudah yakin kau akan mengalahkan dia, aku tahu kau lebih hebat darinya!”
            “…” Yong Jae bengong.
            “Hal seperti ini saja kau tidak paham? Yong Jae bodoh! Kali ini aku yang akan marah padamu! Kalau aku marah, itu akan sangat lama! Bisa sampai berbulan-bulan!” ucapku kesal dan bergegas meninggalkannya.
            “Yaa..ya… benarkah? Benarkah kau yakin aku akan menang? Benarkah menurutmu aku lebih hebat dari Jung Il?” dia menarik tanganku.
            “Jangan bicara padaku, aku sedang marah!” balasku. Dia malah tertawa dan langsung menarikku ke dalam pelukannya.
            “Gomawo… kupikir kau benar-benar tidak peduli padaku!” ucapnya.
            “Lepaskan!” aku mendorongnya, “Kau bau keringat!” ucapku sambil mengucek-ucek hidungku. Tak berapa lama aku tertawa geli, ckkk..ckk… benar-benar seperti anak kecil, bukan hanya kau, aku juga kenak-kanakan. Dia membelai rambutku,
            “Saranghae…” bisiknya. Perlahan wajahnya mendekat ke wajahku, jantungku berdebar kencang seketika. Aku sudah dapat menerka apa yang akan dia lakukan, aku pun memejamkan mataku. Beberapa saat tidak terjadi apa-apa, segera kubuka mataku. “Bisa tidak kau jinjit? Pinggangku sakit bila terlalu menunduk!” ucapnya. Errr…
            “Ya sudah kalau kau tidak bisa! Salah sendiri kau punya pacar yang lebih pendek darimu!” ucapku kesal dan segera melanjutkan jalanku. Cih… cari saja pacar yang sejajar denganmu, cari pacar yang tingginya 180 sepertimu supaya kau tidak kesulitan menciumnya. Aku mana bisa, aku butuh heels 20 cm untuk dapat sejajar denganmu. Greb… aku kaget, kurasakan tubuhku terangkat. Yong Jae ternyata menggendongku,
            “Nah… kalau begini sudah bisa ‘kan?” ucapnya. Kini aku lebih tinggi darinya, dia tersenyum dan benar-benar terlihat cute. Segera kukecup bibir mungilnya, I really, really love you my cute enemy.