sebelumnya di Silence - Part 3
Memandangnya dari
kejauhan adalah rutinitasku beberapa waktu belakang ini. Sampai saat ini aku
masih belum punya keberanian untuk berhadapan langsung dengannya. Bahkan untuk
meminta maaf pun aku belum berani. Apa yang telah kulakukan padanya tidak akan
selesai hanya dengan sepatah kata maaf.
“Junsu… kau baik-baik
saja ‘kan?” Taeyeon begitu saja muncul di depanku dan menutupi pandanganku dari
gadis itu, gadis yang telah kurenggut bukan hanya suaranya dan orang tuanya,
namun semua kebahagiaannya.
“Uhm…” jawabku
singkat.
“Akhir-akhir ini kau sangat berbeda, kau lebih banyak diam dan
melamun. Apa kau sedang sakit?” Teayeon membelai wajahku.
“Aku ingin sendiri!” ucapku,
“Tidak! Aku tidak
akan membiarkan kau sendirian. Bagaimana kalau nanti malam kita ke diskotik.
Aku juga akan mengajak teman yang lain biar lebih ramai. Ayolah… kau ikut, aku
sedih melihat keadaanmu seperti ini. Apalagi kau tidak mau cerita,” gadis itu
memelas padaku.
Lantunan musik disko
yang memekakkan telinga sudah terdengar sejak dari pintu masuk. Kuputuskan
menerima ajakan Taeyeon untuk bersenang-senang malam ini. Seperti janjinya, dia
mengundang teman-teman yang lain. Candaan mereka, lelucon yang remeh sampai
yang keterlalaun pun terlontar dalam percakapan kami namun semua itu tak mampu
membuatku ikut menikmati kebersamaan ini.
Ragaku memang di
sini, berteman keramaian dan terhibur oleh tawa namun jiwaku sesungguhnya
terbelunggu kesunyian berdinding kesepian. Seoyoo… apa yang sedang kau lakukan
sekarang, berhentilah menangis bila memang saat ini kau sedang menangis. Aku
tak dapat menghiburmu ataupun menghapus air matamu, dan yang lebih menyakitkan
lagi saat kusadari air matamu itu karena perbuatanku.
“Junsu…” Taeyeon
menegurku, wajahnya khawatir melihatku yang sedari tadi terdiam. “Kau mau
minumu? Aku ambilkan!” tawarnya. Tidak berapa lama kemudian dia datang membawa
sebotol vodka dan sebuah gelas. Dia
menuang vodka itu ke gelas dan
memberikannya padaku, namun tanganku menolak mengambil gelas itu, justru
mengambil botolnya dan langsung meneguknya. Taeyeon terdiam memandangku,
“Jangan khawatir, aku
baik-baik saja!” hiburku sambil membelai wajahnya. “Ambilkan lagi, sebanyak
yang bisa kau berikan padaku. Aku ingin mabuk malam ini dan ingin kau
menemaniku,”
Entah berapa banyak
alkohol yang kuhabiskan dan perasaanku kini benar-benar melayang. Ini cukup
membantu melupakan persoalan yang membelitku walau hanya sejenak.
“Ayo kita berdansa!”
Taeyeon menarik tanganku turut bergabung dengan pengunjung lain yang sedari
tadi sudah bergoyang dengan musik keras yang dipersembahkan DJ.
Seoyoo? Aku kaget
saat melihatnya berdiri di depanku sambil tersenyum menikmati alunan musik.
Seorang gadis dari samping tidak sengaja menyenggolku, dia juga Seoyoo. Gadis
yang mengantarkan minuman ke meja pengunjung juga Seoyoo. Kenapa banyak Seoyoo
malam ini? Tidak… ini tidak mungkin, bahkan aku sudah dalam kendali alkohol
tapi kenapa aku masih terbayang wajah gadis itu?
Aku berjalan
sempoyongan dan ternyata tanpa sengaja menyenggol orang lain, minumannya tumpah
dan mengotori pakaiannya,
“Yaak!!!” bentaknya
padaku.
“Maaf!” balasku
singkat
“Hei… begitu caramu
minta maaf?!” lerainya. Aku merogoh saku celanaku dan mengambil beberapa lembar
won yang tersisa.
“Ambil ini untuk
biaya laundrimu,” perintahku.
“Brengsek, kau pikir
aku orang miskin?!” bentaknya. Kudorong orang itu,
“Kalau begitu jangan
menghalangi jalanku!” suaraku meninggi.
“Kau ingin cari
gara-gara!” orang itu menarik kerah bajuku dan melayangkan satu pukulan di
pelipisku. Amarahku memuncak, kupukul dia di bagian hidung sehingga hidungnya
berdarah. Tak ayal lagi terjadi perkelahian antara aku dan orang itu.
♥♥♥
Jam dinding telah
menunjukkan hampir tengah malam, shift jagaku telah selesai dan aku
bersiap-siap untuk pulang.
“Wajahmu pucat
sekali, apa kau yakin bisa pulang sendiri?” tegur rekan kerjaku. Aku mengangguk
untuk menjawab.
“Lebih baik kau
pulang dengan taksi, aku takut terjadi apa-apa padamu,” lanjutnya. Aku
menggeleng, kalau naik taksi biayanya akan sangat mahal. Aku memberikan isyarat
padanya bahwa aku akan baik-baik saja, dia tidak perlu khawatir.
Angin malam berhembus
dengan sangat kencang, kurapatkan mantelku dan berjalan dengan cepat. Aku tak
mau ketinggalan bus terakhir sebab ongkos taksi dapat menghabiskan sebagian
gajiku. Belum begitu jauh aku melangkah, tiba-tiba saja sesuatu jatuh di depanku.
Bukan barang atau apa, yang jatuh adalah orang. Di bawah sinar lampu jalan aku
dapat melihat dengan jelas cairan merah segar mengalir dari tubuh orang itu.
Apa dia korban perampokan? Segera kubalik tubuh orang itu yang tertelungkup dan
jantungku terasa berhenti berdetak, orang itu adalah Junsu. Wajahnya penuh
memar dan kepalanya berdarah.
“Apa… apa yang
terjadi padamu? Kenapa kau seperti ini?” jeritku dalam hati. Aku harus apa? Aku
tidak bisa menelpon siapa-siapa, hiks… aku bisu. Untung saja ada orang yang
lewat sehingga membantuku menelpon ambulans.
Aku duduk termangu di
depan instalasi gawat darurat rumah sakit, menunggu dokter menangani Junsu dan
kuharap semua akan baik-baik saja. Tidak berapa lama dari kejauhan kulihat
Taeyeon setengah berlari ke arahku.
“Bagaimana Junsu? Di
mana dia? Dia baik-baik saja ‘kan?” dia menjejaliku dengan rentetan pertanyaan
dan tentu saja aku tak akan dapat menjawabnya. Tiba-tiba saja seorang suster
keluar dari ruangan itu,
“Suster, bagaimana
keadaan Junsu? Pasien yang terluka itu!” Taeyeon dengan sigap menghampirinya.
“Dia kehilangan
banyak darah, luka di kepalanya sangat dalam,” jawab suster itu. “Maaf… saya
harus ke ruang persediaan untuk meminta darah yang cocok dengan golongannya,”
Taeyeon terisak sedih
mendengar penjelasan suster tadi. Sementara aku… kurasakan tubuhku kaku
mengeras, kejadian mengerikan itu kembali terputar seperti video di kepalaku.
Ayah ibuku bersimbah darah, mereka sudah tidak bergerak. Aku hanya dapat
menangis melihat mereka yang terus memejamkan mata sampai akhirnya senyap itu
berubah menjadi gaduh. Orang-orang mulai berkerumun, sirine ambulans juga
bersahutan. Aku, ayah, dan ibuku segera di masukkan ke ambulans yang berbeda.
Saat itu aku benar-benar takut, aku takut karena mereka tak bergerak lagi, aku
takut karena mereka bersimbah darah. Aku takut orang tuaku meninggal. Dan
ketakutan itu menjadi nyata saat aku sadarkan diri, orang tuaku benar-benar
pergi.
Ketakutan itu kembali
lagi, saat ini aku merasakan ketakutan yang sama. Junsu terjatuh di depanku,
dia bersimbah darah, dia tak bergerak, apa dia juga akan pergi? Apa dia juga
akan meninggal? Tidak… tidak mau, aku tidak mau ditinggal lagi oleh orang yang
kusayangi.
Brukk… kesadaranku
lenyap.
♥♥♥
Aku tak lagi ingat
apa dan bagaimana kejadian itu berlangsung. Yang kutahu hanyalah aku begitu
merindukannya, aku ingin bertemu dengannya. Sekalipun mungkin dia akan
menghusirku, aku hanya ingin melihatnya. Taeyeon terus berteriak ketakutan
membuat kepalaku yang perih semakin perih saja. Aku tertatih, menahan sakit di
sekujur tubuhku hanya untuk melihatnya dari jauh. Dia terlihat pucat, dengan
wajah layunya dia keluar dari tempat kerjanya. Dirapatkannya mantelnya karena
angin yang berhembus dingin menusuk sampai ke tulang, langkah lemahnya dia
percepat mungkin karena tak ingin ketinggalan bus terakhir. Menumpang taksi
tentu hal yang sangat mewah bagi gadis yang serba kekurangan sepertinya.
Seoyoo…
semua salahku, maafkan aku…
“Junsu…”
Seoyoo…
maafkan aku…
“Junsu…” kurasakan
ada belaian lembut di wajahku, saat kubuka mata, wajah teduh ibuku menyambutku.
“Ibu…” lirihku.
“Kau mengigau
menyebut nama Seoyoo dan berulang kali meminta maaf padanya,” ucap Ibu, “Jangan
khawatir, semua akan baik-baik saja Nak,” hibur ibuku.
♥♥♥
Aku tersentak
terbangun dari tidurku, aku tak tahu kalau ternyata ada Tuan Kim di sampingku.
“Tenanglah…Kau tak
boleh banyak bergerak, keadaanmu belum stabil,” bujuknya.
“Bagaimana
keadaan Junsu?”
kugenggam erat tangannya dan menatapnya tajam kuharap dia mengerti apa
maksudku.
“Junsu sudah melewati
masa kritisnya, kita tinggal menunggunya sadar,” jelasnya. Aku menghembuskan
napas legaku, syukurlah dia baik-baik saja. “Kau ingin melihatnya?” tanya Tuan
Kim hati-hati, aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang apakah menerima atau
menolak tawarannya. “Kapanpun kau boleh menjenguknya tapi tunggulah sampai
keadaanmu pulih. Kau tiba-tiba pingsan semalam, dokter bilang kau kelelahan dan
tertekan,”
Cairan infusku telah
habis dan setelah mencabutnya, dokter mengizinkan aku untuk menemui Junsu. Dia
masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai. Ibunya bilang bahwa dia
mengigau menyebut namaku. Dia minta maaf dan menangis dalam tidurnya. Aku
melangkah perlahan mendekatinya, mengenggam tangannya, hangat sekali. Kupandangi
ia dalam-dalam, tetes demi tetes air mataku meleleh.
“Ini
mungkin yang terakhir kalinya, jaga dirimu baik-baik. Kuputuskan untuk pergi
jauh darimu, ini demi kebaikan kita semua,” lirihku.
♥♥♥
Untuk Junsu,
Jangan
pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada kita, aku percaya segala
sesuatu yang terjadi akan memberikan kita pelajaran di akhir cerita. Jangan
menghukum dirimu lagi, berhentilah menyakiti dirimu. Jujur kuakui, trauma akan
kejadian masa itu membuatku sulit untuk menatapmu namun juga takut
kehilanganmu. Betul-betul aneh, aku sendiri tak tahu apa yang kuinginkan.
Mungkin dapat kukatakan bahwa aku hanya ingin semua orang yang kucintai hidup
bahagia termasuk dirimu.
Tak
perlu memikirkan lukaku, itu urusanku. Yang perlu kau lakukan adalah menata
dirimu, perbaiki hidupmu. Kuyakin kau dapat berhasil seperti kebanyakan orang,
bahagiakan kedua orang tuamu, jangan sampai terlambat, selama kau masih
memiliki mereka sebab kehilangan orang tua benar-benar tidak enak.
Bila
waktu mengizinkan, bila perasaan itu masih sama, dan setelah kau mampu
memaafkan dirimu sendiri datanglah kembali padaku. Kuharap di saat itu aku juga
telah berhasil mengobati lukaku.
Hiks…
hiks… Seoyoo… dia pergi. Entah kemana. Apartement sewaannya kosong, rumahnya di
Jinju pun kosong, ayah telah membantuku mencarinya namun hanya menghasilkan
kekecewaan. Baiklah, seperti inginmu, aku akan berusaha memaafkan diriku
sendiri, bila saat itu tiba aku ingin mencintaimu seperti saat ini lagi. Kau
tak boleh menolak, apapun alasannya kau juga harus menerimaku kembali.
Enam tahun kemudian …
Pagi yang indah, aku bersama anak-anak TK Eirin melakukan study tour. Mereka nampak sangat bahagia, berkejaran di taman pohon cherry yang tengah bermekaran. Musim semi tiba, musim yang membuat kota Seoul berwarna putih dan pink karena keindahan bunga cherry yang bermekaran.
“Shin Songsaenim[1]… bukannya hari ini pameran lukisanmu masih berlangsung?” tegur Suster Kepala padaku.
“…” kujawab pertanyaannya dengan anggukan mengiyakan.
“Kau tak perlu repot menemani anak-anak, datanglah ke pameran itu dan biarkan dirimu mendengar komentar para pengunjung,”
“Tidak, bagiku menemani anak-anak lebih penting. Mereka hanya study tour sekali dalam setahun, aku tak akan melepas kesempatan untuk bergembira bersama mereka,” tulisku pada buku catatan kecil yang memang sering kubawa sebagai media komunikasiku dengan orang-orang.
“Terima kasih…” ucap Suster Kepala, ia bahkan menitikkan air mata. “Entah apa yang terjadi pada kami andai kau tidak ada,” lanjutnya.
“Jangan berkata begitu, aku belum melakukan apa-apa untuk kalian semua,” kegenggam tangannya,
“Berkatmu kami bisa memiliki panti asuhan sendiri tanpa perlu takut penggusuran karena menumpang di tanah milik orang lain, bagaimana bisa kau bilang kau belum melakukan apa-apa?!”
“Apa yang telah kalian berikan kepadaku selama aku menumpang masih lebih besar dari apa yang telah kuberikan pada kalian. Kebahagiaan dan kedamaian yang kurasakan selama enam tahun bersama kalian tak akan bisa kuganti sekalipun aku memberikan seluruh Seoul pada kalian,”
“Diberkatilah kau Nak, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberimu kebahagiaan,”
“Amiin…”
Ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Wajahku cemberut saat membaca apa isi pesan itu, pesan yang datang dari menejer gallery.
“Pria itu berani menawar 100.000.000 Won untuk lukisanmu itu, kumohon pertimbangkanlah!”
“Tidak, aku tidak akan menjualnya. Andai bukan Byeol yang memaksaku untuk memamerkannya, aku pasti tidak akan memasukkannya di gallery, tutupku.”
“Ibu… ibu… balonku terbang!!!” teriak Byeol dari kejauhan.