Sunday 30 August 2015

Silence - Part 4



sebelumnya di Silence - Part 3







Memandangnya dari kejauhan adalah rutinitasku beberapa waktu belakang ini. Sampai saat ini aku masih belum punya keberanian untuk berhadapan langsung dengannya. Bahkan untuk meminta maaf pun aku belum berani. Apa yang telah kulakukan padanya tidak akan selesai hanya dengan sepatah kata maaf.
“Junsu… kau baik-baik saja ‘kan?” Taeyeon begitu saja muncul di depanku dan menutupi pandanganku dari gadis itu, gadis yang telah kurenggut bukan hanya suaranya dan orang tuanya, namun semua kebahagiaannya.
“Uhm…” jawabku singkat.
“Akhir-akhir ini  kau sangat berbeda, kau lebih banyak diam dan melamun. Apa kau sedang sakit?” Teayeon membelai wajahku.
“Aku ingin sendiri!” ucapku,
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau sendirian. Bagaimana kalau nanti malam kita ke diskotik. Aku juga akan mengajak teman yang lain biar lebih ramai. Ayolah… kau ikut, aku sedih melihat keadaanmu seperti ini. Apalagi kau tidak mau cerita,” gadis itu memelas padaku.
Lantunan musik disko yang memekakkan telinga sudah terdengar sejak dari pintu masuk. Kuputuskan menerima ajakan Taeyeon untuk bersenang-senang malam ini. Seperti janjinya, dia mengundang teman-teman yang lain. Candaan mereka, lelucon yang remeh sampai yang keterlalaun pun terlontar dalam percakapan kami namun semua itu tak mampu membuatku ikut menikmati kebersamaan ini.
Ragaku memang di sini, berteman keramaian dan terhibur oleh tawa namun jiwaku sesungguhnya terbelunggu kesunyian berdinding kesepian. Seoyoo… apa yang sedang kau lakukan sekarang, berhentilah menangis bila memang saat ini kau sedang menangis. Aku tak dapat menghiburmu ataupun menghapus air matamu, dan yang lebih menyakitkan lagi saat kusadari air matamu itu karena perbuatanku.
“Junsu…” Taeyeon menegurku, wajahnya khawatir melihatku yang sedari tadi terdiam. “Kau mau minumu? Aku ambilkan!” tawarnya. Tidak berapa lama kemudian dia datang membawa sebotol vodka dan sebuah gelas. Dia menuang vodka itu ke gelas dan memberikannya padaku, namun tanganku menolak mengambil gelas itu, justru mengambil botolnya dan langsung meneguknya. Taeyeon terdiam memandangku,
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja!” hiburku sambil membelai wajahnya. “Ambilkan lagi, sebanyak yang bisa kau berikan padaku. Aku ingin mabuk malam ini dan ingin kau menemaniku,” 

Entah berapa banyak alkohol yang kuhabiskan dan perasaanku kini benar-benar melayang. Ini cukup membantu melupakan persoalan yang membelitku walau hanya sejenak.
“Ayo kita berdansa!” Taeyeon menarik tanganku turut bergabung dengan pengunjung lain yang sedari tadi sudah bergoyang dengan musik keras yang dipersembahkan DJ.
Seoyoo? Aku kaget saat melihatnya berdiri di depanku sambil tersenyum menikmati alunan musik. Seorang gadis dari samping tidak sengaja menyenggolku, dia juga Seoyoo. Gadis yang mengantarkan minuman ke meja pengunjung juga Seoyoo. Kenapa banyak Seoyoo malam ini? Tidak… ini tidak mungkin, bahkan aku sudah dalam kendali alkohol tapi kenapa aku masih terbayang wajah gadis itu?
Aku berjalan sempoyongan dan ternyata tanpa sengaja menyenggol orang lain, minumannya tumpah dan mengotori pakaiannya,
“Yaak!!!” bentaknya padaku.
“Maaf!” balasku singkat
“Hei… begitu caramu minta maaf?!” lerainya. Aku merogoh saku celanaku dan mengambil beberapa lembar won yang tersisa.
“Ambil ini untuk biaya laundrimu,” perintahku.
“Brengsek, kau pikir aku orang miskin?!” bentaknya. Kudorong orang itu,
“Kalau begitu jangan menghalangi jalanku!” suaraku meninggi.
“Kau ingin cari gara-gara!” orang itu menarik kerah bajuku dan melayangkan satu pukulan di pelipisku. Amarahku memuncak, kupukul dia di bagian hidung sehingga hidungnya berdarah. Tak ayal lagi terjadi perkelahian antara aku dan orang itu.
♥♥♥
Jam dinding telah menunjukkan hampir tengah malam, shift jagaku telah selesai dan aku bersiap-siap untuk pulang.
“Wajahmu pucat sekali, apa kau yakin bisa pulang sendiri?” tegur rekan kerjaku. Aku mengangguk untuk menjawab.
“Lebih baik kau pulang dengan taksi, aku takut terjadi apa-apa padamu,” lanjutnya. Aku menggeleng, kalau naik taksi biayanya akan sangat mahal. Aku memberikan isyarat padanya bahwa aku akan baik-baik saja, dia tidak perlu khawatir.
Angin malam berhembus dengan sangat kencang, kurapatkan mantelku dan berjalan dengan cepat. Aku tak mau ketinggalan bus terakhir sebab ongkos taksi dapat menghabiskan sebagian gajiku. Belum begitu jauh aku melangkah, tiba-tiba saja sesuatu jatuh di depanku. Bukan barang atau apa, yang jatuh adalah orang. Di bawah sinar lampu jalan aku dapat melihat dengan jelas cairan merah segar mengalir dari tubuh orang itu. Apa dia korban perampokan? Segera kubalik tubuh orang itu yang tertelungkup dan jantungku terasa berhenti berdetak, orang itu adalah Junsu. Wajahnya penuh memar dan kepalanya berdarah.
“Apa… apa yang terjadi padamu? Kenapa kau seperti ini?” jeritku dalam hati. Aku harus apa? Aku tidak bisa menelpon siapa-siapa, hiks… aku bisu. Untung saja ada orang yang lewat sehingga membantuku menelpon ambulans.

Aku duduk termangu di depan instalasi gawat darurat rumah sakit, menunggu dokter menangani Junsu dan kuharap semua akan baik-baik saja. Tidak berapa lama dari kejauhan kulihat Taeyeon setengah berlari ke arahku.
“Bagaimana Junsu? Di mana dia? Dia baik-baik saja ‘kan?” dia menjejaliku dengan rentetan pertanyaan dan tentu saja aku tak akan dapat menjawabnya. Tiba-tiba saja seorang suster keluar dari ruangan itu,
“Suster, bagaimana keadaan Junsu? Pasien yang terluka itu!” Taeyeon dengan sigap menghampirinya.
“Dia kehilangan banyak darah, luka di kepalanya sangat dalam,” jawab suster itu. “Maaf… saya harus ke ruang persediaan untuk meminta darah yang cocok dengan golongannya,”
Taeyeon terisak sedih mendengar penjelasan suster tadi. Sementara aku… kurasakan tubuhku kaku mengeras, kejadian mengerikan itu kembali terputar seperti video di kepalaku. Ayah ibuku bersimbah darah, mereka sudah tidak bergerak. Aku hanya dapat menangis melihat mereka yang terus memejamkan mata sampai akhirnya senyap itu berubah menjadi gaduh. Orang-orang mulai berkerumun, sirine ambulans juga bersahutan. Aku, ayah, dan ibuku segera di masukkan ke ambulans yang berbeda. Saat itu aku benar-benar takut, aku takut karena mereka tak bergerak lagi, aku takut karena mereka bersimbah darah. Aku takut orang tuaku meninggal. Dan ketakutan itu menjadi nyata saat aku sadarkan diri, orang tuaku benar-benar pergi.
Ketakutan itu kembali lagi, saat ini aku merasakan ketakutan yang sama. Junsu terjatuh di depanku, dia bersimbah darah, dia tak bergerak, apa dia juga akan pergi? Apa dia juga akan meninggal? Tidak… tidak mau, aku tidak mau ditinggal lagi oleh orang yang kusayangi.
Brukk… kesadaranku lenyap.  
♥♥♥
Aku tak lagi ingat apa dan bagaimana kejadian itu berlangsung. Yang kutahu hanyalah aku begitu merindukannya, aku ingin bertemu dengannya. Sekalipun mungkin dia akan menghusirku, aku hanya ingin melihatnya. Taeyeon terus berteriak ketakutan membuat kepalaku yang perih semakin perih saja. Aku tertatih, menahan sakit di sekujur tubuhku hanya untuk melihatnya dari jauh. Dia terlihat pucat, dengan wajah layunya dia keluar dari tempat kerjanya. Dirapatkannya mantelnya karena angin yang berhembus dingin menusuk sampai ke tulang, langkah lemahnya dia percepat mungkin karena tak ingin ketinggalan bus terakhir. Menumpang taksi tentu hal yang sangat mewah bagi gadis yang serba kekurangan sepertinya.
Seoyoo… semua salahku, maafkan aku…
“Junsu…”
Seoyoo… maafkan aku…
“Junsu…” kurasakan ada belaian lembut di wajahku, saat kubuka mata, wajah teduh ibuku menyambutku.
“Ibu…” lirihku.
“Kau mengigau menyebut nama Seoyoo dan berulang kali meminta maaf padanya,” ucap Ibu, “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja Nak,” hibur ibuku.
♥♥♥
Aku tersentak terbangun dari tidurku, aku tak tahu kalau ternyata ada Tuan Kim di sampingku.
“Tenanglah…Kau tak boleh banyak bergerak, keadaanmu belum stabil,” bujuknya.
“Bagaimana keadaan Junsu?” kugenggam erat tangannya dan menatapnya tajam kuharap dia mengerti apa maksudku.
“Junsu sudah melewati masa kritisnya, kita tinggal menunggunya sadar,” jelasnya. Aku menghembuskan napas legaku, syukurlah dia baik-baik saja. “Kau ingin melihatnya?” tanya Tuan Kim hati-hati, aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang apakah menerima atau menolak tawarannya. “Kapanpun kau boleh menjenguknya tapi tunggulah sampai keadaanmu pulih. Kau tiba-tiba pingsan semalam, dokter bilang kau kelelahan dan tertekan,”

Cairan infusku telah habis dan setelah mencabutnya, dokter mengizinkan aku untuk menemui Junsu. Dia masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai. Ibunya bilang bahwa dia mengigau menyebut namaku. Dia minta maaf dan menangis dalam tidurnya. Aku melangkah perlahan mendekatinya, mengenggam tangannya, hangat sekali. Kupandangi ia dalam-dalam, tetes demi tetes air mataku meleleh.
“Ini mungkin yang terakhir kalinya, jaga dirimu baik-baik. Kuputuskan untuk pergi jauh darimu, ini demi kebaikan kita semua,” lirihku.   
♥♥♥
Untuk Junsu,
            Jangan pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada kita, aku percaya segala sesuatu yang terjadi akan memberikan kita pelajaran di akhir cerita. Jangan menghukum dirimu lagi, berhentilah menyakiti dirimu. Jujur kuakui, trauma akan kejadian masa itu membuatku sulit untuk menatapmu namun juga takut kehilanganmu. Betul-betul aneh, aku sendiri tak tahu apa yang kuinginkan. Mungkin dapat kukatakan bahwa aku hanya ingin semua orang yang kucintai hidup bahagia termasuk dirimu.
            Tak perlu memikirkan lukaku, itu urusanku. Yang perlu kau lakukan adalah menata dirimu, perbaiki hidupmu. Kuyakin kau dapat berhasil seperti kebanyakan orang, bahagiakan kedua orang tuamu, jangan sampai terlambat, selama kau masih memiliki mereka sebab kehilangan orang tua benar-benar tidak enak.

            Bila waktu mengizinkan, bila perasaan itu masih sama, dan setelah kau mampu memaafkan dirimu sendiri datanglah kembali padaku. Kuharap di saat itu aku juga telah berhasil mengobati lukaku.

Hiks… hiks… Seoyoo… dia pergi. Entah kemana. Apartement sewaannya kosong, rumahnya di Jinju pun kosong, ayah telah membantuku mencarinya namun hanya menghasilkan kekecewaan. Baiklah, seperti inginmu, aku akan berusaha memaafkan diriku sendiri, bila saat itu tiba aku ingin mencintaimu seperti saat ini lagi. Kau tak boleh menolak, apapun alasannya kau juga harus menerimaku kembali.   



Enam tahun kemudian …
Pagi yang indah, aku bersama anak-anak TK Eirin melakukan study tour. Mereka nampak sangat bahagia, berkejaran di taman pohon cherry yang tengah bermekaran. Musim semi tiba, musim yang membuat kota Seoul berwarna putih dan pink karena keindahan bunga cherry yang bermekaran.
“Shin Songsaenim[1]… bukannya hari ini pameran lukisanmu masih berlangsung?” tegur Suster Kepala padaku.
“…” kujawab pertanyaannya dengan anggukan mengiyakan.
“Kau tak perlu repot menemani anak-anak, datanglah ke pameran itu dan biarkan dirimu mendengar komentar para pengunjung,”
“Tidak, bagiku menemani anak-anak lebih penting. Mereka hanya study tour sekali dalam setahun, aku tak akan melepas kesempatan untuk bergembira bersama mereka,” tulisku pada buku catatan kecil yang memang sering kubawa sebagai media komunikasiku dengan orang-orang.
“Terima kasih…” ucap Suster Kepala, ia bahkan menitikkan air mata. “Entah apa yang terjadi pada kami andai kau tidak ada,” lanjutnya.
“Jangan berkata begitu, aku belum melakukan apa-apa untuk kalian semua,” kegenggam tangannya,
“Berkatmu kami bisa memiliki panti asuhan sendiri tanpa perlu takut penggusuran karena menumpang di tanah milik orang lain, bagaimana bisa kau bilang kau belum melakukan apa-apa?!”
“Apa yang telah kalian berikan kepadaku selama aku menumpang masih lebih besar dari apa yang telah kuberikan pada kalian. Kebahagiaan dan kedamaian yang kurasakan selama enam tahun bersama kalian tak akan bisa kuganti sekalipun aku memberikan seluruh Seoul pada kalian,”
“Diberkatilah kau Nak, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberimu kebahagiaan,”
“Amiin…”

Ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Wajahku cemberut saat membaca apa isi pesan itu, pesan yang datang dari menejer gallery.
“Pria itu berani menawar 100.000.000 Won untuk lukisanmu itu, kumohon pertimbangkanlah!”
“Tidak, aku tidak akan menjualnya. Andai bukan Byeol yang memaksaku untuk memamerkannya, aku pasti tidak akan memasukkannya di gallery, tutupku.”
“Ibu… ibu… balonku terbang!!!” teriak Byeol dari kejauhan.



[1] Ibu Guru


to be continued...

Thursday 27 August 2015

Silence - Part 3


Sebelumnya di Silence - Part 2


Kurapatkan jaketku, malam ini dingin terasa begitu menggigit. Sebulan sudah Junsu menghilang tanpa kabar. Entah apa yang terjadi pada dirinya, kurasa aku begitu merindukannya. Seperti malam-malam sebelumnya, aku berjalan sendirian usai menyelesaikan shift malamku di Alfamart. Entah hanya perasaanku, atau memang benar adanya, malam ini aku merasa diamati oleh seseorang.
Berkali-kali kuedarkan pandanganku di sekeliling namun hanya jalan sepi yang kudapat. Perlahan kulihat bayangan seseorang di balik tembok, cuaca yang dingin terasa semakin dingin karena rasa takutku. Tapi tunggu dulu, sepertinya aku tahu orang itu, aku mengenalnya meski hanya dari bayangannya. Junsu...
Aku merapat ke arah tembok itu dan bayangan itu perlahan menjauh, kupercepat langkahku dan seperti prediksiku si pemilik bayangan seakan berusaha menghindar. Aku mengejarnya, berlari di tengah malam yang dingin mengejar dia, kuharap itu Junsu, aku ingin bertemu, aku begitu merindukannya.
Ciiiiiitttttttt..... Rem mobil bergema saat aku berada di persimpangan jalan. "Hei.... Kau sudah bosan hidup ya?!" bentak si pengemudi padaku. Aku segera membungkukkan badan seraya minta maaf, memang aku yang salah, tiba-tiba saja memotong jalan dan membuatnya kaget. Pengemudi itu lalu keluar dari mobilnya, aroma alkohol sangat tajam tercium darinya.
"Kau masih terlalu muda untuk bunuh diri..." ucapnya lagi. Aku masih membungkukkan badan memberi maaf, sebab untuk bersuara aku tak bisa. "Begini saja... Aku tak akan marah lagi padamu asal kau mau menemaniku malam ini!" tiba-tiba saja paman yang mabuk itu menarik tanganku untuk masuk ke mobilnya. Aku meronta, berusaha keras untuk menolak namun kekuatan paman itu terlampau besar. Bagaimana ini... Aku bahkan tak bisa berteriak meminta tolong.
Bughhhh, tiba-tiba saja seseorang datang menolongku. Dipukulnya paman itu sampai tak berdaya. "Dasar brengsek, kau hampir menabraknya, kau memakinya, dan sekarang kau ingin berbuat kurang ajar padanya!!" maki orang itu, Junsu... Itu suara milik Junsu. "Mati saja kau!!!" serunya. Segera kulerai dia memukul paman itu, saat kulihat wajahnya, benar ini Junsuku. Junsu datang untuk menolongku.
"Kau... Apa yang ada di pikiranmu? Untuk apa mengejar orang asing yang mencurigakan? Dan lagi kenapa tidak berteriak minta tolong saat kau dalam bahaya?!" marahnya padaku. Aku menangis, menangis terharu, dapat melihatnya lagi benar-benar membuatku bahagia. Kau bukanlah orang asing, kau orang yang kucintai dan lagi... Aku tak bisa bersuara, apa kau lupa itu. Serta merta dia memelukku erat.
"Maafkan aku...." lirihnya.
♥♥♥
Kupeluk erat dirinya, karena mengejarku dia sampai harus mengalami kejadian yang mengerikan ini. Dia bahkan tak mampu untuk melindungi dirinya sendiri namun masih nekat untuk mengejarku. Dia melepas pelukannya, menatapku dalam dan aku mengerti apa yang ingin dikatakannya.
"Kemana saja kau selama ini?" kurasa begitulah suara hatinya.
"Maafkan aku yang pergi begitu saja dan tidak memberimu kabar," lirihku. Aku sebenarnya tidak pergi, aku tetap di sini, di dekatmu hanya saja... Aku tak sanggup untuk bertatap muka denganmu. Aku di sini memperhatikanmu dari jauh, menahan kerinduan untuk menyapamu.
Pagi itu setelah mencicipi sarapan buatanmu, aku mendapat pesan dari informanku bahwa gadis yang kucari telah ditemukan. Aku tegang, sejujurnya aku takut, bagaimanakah dia, gadis itu. Sehebat apakah dia sehingga ayahku tega membagi perhatiannya bukan sepenuhnya untukku tapi untuknya juga. Nasehatmu kala itu membuatku semakin takut untuk mengetahui siapakah gadis itu, kau bilang ayahku pasti punya alasan yang kuat sehingga melakukan hal itu, kau bilang mungkin saja gadis itu adalah gadis malang yang sangat membutuhkan ayahku, kau memintaku untuk menemukannya, kau memintaku untuk memaafkannya.
Tahukah kau apa yang terjadi selanjutnya? Hiks.... Kenapa harus kau orangnya? Kenapa? Kenapa? Dari sekian banyak anak perempuan di kota ini, di negara ini, bahkan di dunia ini, kenapa harus kau orangnya? Kenapa harus kau lah anak hasil perselingkuhan ayahku? Kumohon jawablah kenapa?
Air mataku tak terbendung lagi, aku menangis di hadapannya menahan perih yang tak terhingga. Sakit yang kurasakan benar-benar membuatku kalah. Kedua tangannya menghapus air mataku namun air mata itu malah semakin deras mengalir. Ya Tuhan... Di saat aku harus jatuh cinta untuk pertama kalinya, bahkan telah kubuang harga diriku dengan mencintai seorang gadis cacat, kenapa... kenapa Kau membuatnya menjadi saudara perempuanku?
Aku rela sekalipun dia gadis cacat, aku rela meski dia hidup sebatang kara, aku rela bila dia hanyalah gadis miskin asal... asal dia bukan saudara perempuanku.
Aku berjanji... Apapun akan kulakukan bila saja dia bukan saudara perempuanku.
♥♥♥
Ada yang aneh pada sikap Junsu, aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja dia tidak mau cerita tentang masalahnya itu. Kadang aku menemukannya termenung di saat dia sedang sendiri bahkan air matanya mengalir tanpa dia sadari. Dia segera menghapusnya ketika menyadari kedatanganku, aku dapat merasakan begitu berat beban yang dia rasakan. Masalah ayahnya benar-benar membuatnya terpuruk. Andai aku bisa meringankan bebannya, apapun pasti akan kulakukan.
"Aku ingin mengajakmu makan malam, apa kau bersedia?" ajaknya saat itu.
"Di mana?" tanyaku lewat secarik kertas.
"Di rumahku!" jawabnya mantap. "Kau belum pernah ke rumahku 'kan?" tanyanya balik. Aku menggeleng, memang benar aku belum pernah ke rumahnya.
"Apa ayah dan Ibumu tahu?" tanyaku kembali.
"Uhm..." dia mengangguk, "Aku memang ingin memperkenalkan kau pada mereka, kau tidak keberatan 'kan?" ucapnya. Napasku tercekat, kuakui ketegangan secara tiba-tiba menyelimutiku.
"Jangan takut, orang tuaku tidak akan menyakitimu. Mereka bukan gengster..." canda Junsu. Aku menatapnya protes, ini tidak lucu seruku dalam hati.
"Mereka bukanlah orang tua seperti yang sering dipertontonkan di TV, yang akan marah bila anaknya berteman dengan teman yang tidak selevel dengan mereka. Orang tuaku tidak akan keberatan aku berteman dengan siapa saja selama teman itu tidak merusakku. Dan aku tahu kau bukanlah yang seperti itu." dia mengenggam tanganku,
"Wah... Tanganmu sangat dingin, belum bertemu dengan orang tuaku saja sudah sedingin ini, begaimana bila bertemu nanti, jangan sampai kau menjadi es balok!" ejeknya. Aku hanya bisa melayangkan tatapan protes padanya, ini bukan saatnya bercanda.
"Tenanglah, kau akan baik-baik saja!" bujuknya.
♥♥♥
Maaf... Aku sungguh terpaksa melakukannya, aku tak punya pilihan lain. Bagaimanapun aku telah berjanji pada Ibu bahwa aku akan membawa 'gadis itu' ke hadapannya. Dan kali ini aku ingin menepati apa yang telah kukatakan.
Kuharap setelah ini... Kita akan baik-baik saja. Menjalani hidup sebagai saudara, rukun dan saling mendukung, itulah yang kuharapkan meski aku sendiri ragu apakah aku akan dapat melakukannya mengingat perasaanku padamu benar-benar tulus. Ya.... rasa cinta itu telah mengakar kuat sehingga kuyakin akan butuh waktu lama untuk menghilangkannya.
Sore itu - sesuai janji - aku datang menjemputnya. Aku sempat kehilangan kata-kata saat melihatnya, dia sungguh berbeda dari yang biasanya. Dia berdandan, matanya, pipinya, bibirnya, menjadi sangat cantik. Dia tak lagi memakai kacamatanya. Gaun berwarna bunga cherry sungguh membuatnya semakin menawan. Rambutnya yang bergelombang dibiarkannya tergerai dengan satu jepitan berbentuk pita untuk menjepit poninya. Bagaimana dia bisa secantik ini?
"Aku meminjam gaun milik temanku, dia juga yang mendadaniku seperti ini..." tulisnya di selembar kertas, aku tersenyum geli membaca pengakuannya.
"Aku payah ya? Bagaimana bisa aku mengaku kalau semua yang kupakai ini adalah pinjaman" sesalnya. Aku menggeleng tidak setuju.
"Itu tandanya kau sangat menghargai orang tuaku... Kau berupaya tampil sebaik mungkin sekalipun semua hanya pinjaman,"
"Aku hanya tidak ingin membuat orang tuamu kecewa,"
"Tidak, ayah dan ibuku pasti tidak akan kecewa!"

Kami tiba, kugenggam tangannya dan menuntunnya memasuki rumahku. Kurasakan tangannya mendingin, sangat jelas dia sedang gugup. Sementara aku... ya... Aku juga gugup, seakan menghitung mundur detik-detik eksekusi matiku, aku akan membawanya menemukan kenyataan pahit antara kami berdua.
"Apa ayah dan ibu sudah lama menunggu? Maaf... Aku sedikit terlambat." ucapku memecah percakapan orang tuaku. Mereka serta merta menoleh,
"Tidak masalah..." ucapan ayah terpotong dan suaranya seakan hilang saat melihat gadis yang sedang kugandeng. Seperti yang sudah kuprediksi, Seoyoo pun seperti itu, dia kaget.
"Seoyoo... Perkenalkan, ini ayah dan ibuku," ucapku bergetar.
"Seoyoo..." ibuku tercekat. Aneh... ibu sepertinya juga sudah mengenalnya.
"Apakah benar mereka ayah dan ibumu?" dengan isyarat Seoyoo bertanya padaku. Aku mengangguk, tak dapat kujelaskan secara rinci keterkejutannya itu. Tapi seakan aliran darahnya berhenti sehingga wajahnya menjadi pucat pasi. Gadis itu menggeleng seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia menangis sesenggukan, apakah terlalu sakit? Kuharap kau dapat bertahan.
Serta merta dia melepas genggaman tanganku, mendorongku dengan tenaganya yang lemah dan segera meninggalkan aku dan orang tuaku.
"Seoyoo...!" ayah sempat melerainya namun langkahnya terlambat.
"Ibu... Seperti janjiku sebelumnya, aku akan membuktikan bahwa ayah telah menghianati kita selama ini."
"Apa yang kau bicarakan?" suara ayah terdengar berat.
"Aku menemukan rekening mencurigakan milik ayah yang menunjukkan bahwa setiap bulannya ayah mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening orang lain. Setelah kutelusuri ternyata rekening itu milik Seoyoo." ucapku. "Dia siapa ayah? Kenapa ayah mengiriminya uang yang banyak selama beberapa tahun ini? Apa hubungan ayah dengannya sehingga ayah mau berkorban seperti itu padanya? Benarkah dia anak haram ayah?"
"Junsu!!!!" Ibu seketika menamparku, aku tidak percaya... Ibu menamparku? Kupikir ayah yang akan melakukannya, tapi pada kenyataannya ibulah yang melakukannya.
♥♥♥
Aku berlari... Air mataku tak henti mengalir. Sampai pada saat aku kehabisan napas, aku terjatuh. Aku kehabisan napas bukan karena berlari namun karena tangis yang menguras semua emosiku. Aku terduduk di atas aspal yang dingin menangis dan meratap, kenapa semua berakhir pilu seperti ini?
Aku tak akan pernah melupakan, aku tidak akan bisa! Ayahmu, sesungguhnya aku tak ingin melihatnya lagi sepanjang sisa usiaku. Bila dia ayahmu, berarti kaulah orangnya. Kaulah yang membuat hidupku jadi menyedihkan seperti ini. Hiks... hiks.... hiks.... kupukul dadaku yang sesak, kuharap agar sakitnya sedikit berkurang tapi nyatanya tak ada pengaruh sama sekali.
Apa? Apa yang harus kulakukan? Kenapa harus dia, kenapa harus Junsu? Kenapa aku jatuh cinta pada pembunuh kedua orang tuaku?
♥♥♥
"Kau tak ingat, kau lupa! Sesungguhnya kejadian itu sangat berat untukmu sehingga menyebabkanmu amnesia." ibu berbicara di sela tangisannya.
"Kau tak sadar bahwa selama ini kau sedang sakit," ayah menambahkan dengan suara lirih. "Kami sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa kau mengalami amnesia sebagian,"
"Apa maksud ayah?" kebingungan menyekat tenggorokanku.
"Kau tak ingat saat kau remaja... Ayah harap kau tak akan pernah ingat kejadian itu. Kejadian itu membuatmu berteriak ketakutan sepanjang malam sehingga kami harus menyuntikkan obat penenang padamu,"
"Kejadian apa? Apa yang terjadi saat itu?" desakku. Entah kenapa aku menjadi takut, takut tanpa alasan yang jelas.
"Kau... Tanpa sengaja membunuh sepasang suami istri dan melukai putri mereka..." lirih ayah. "Kau membawa kabur mobil ayah, ugal-ugalan di jalan padahal kau baru saja belajar menyetir. Sampai pada akhirnya kecelakaan mengerikan itu terjadi, kau menabrak mobil lain, membuat mobil itu terpental jauh dan menabrak pagar pembatas. Sepasang suami istri penumpang mobil itu meninggal di tempat sementara putri mereka mengalami koma." jelas ayah penuh kehati-hatian.
Kepalaku terasa berputar, tiba-tiba saja sekelebat bayangan sebuah kecelakaan melintas dalam ingatanku. Suara sirine ambulans, kemacetan jalan, suara tangisan ibu, darah... Semua berputar di kepalaku entah dari mana asalnya.
"Ayah... Aku tak ingin masuk penjara,"
"Lakukanlah sesuatu, Junsu tidak sengaja melakukannya, aku tak mau putraku masuk penjara, hiks..."
"Pengacara Lee apa yang harus kami lakukan? Kami akan membayar kompensasi berapapun yang mereka minta"
"Satu-satunya korban yang masih selamat adalah gadis itu. Saat ini dia sedang koma sehingga kita tidak dapat bernegosiasi dengannya."
"Dokter bagaimana keadaan gadis itu? Dia akan selamat 'kan?"
"Keadaannya buruk, paru-parunya bermasalah setelah terkena tulang rusuknya yang patah. Kami harus membuatkan alat pernapasan cadangan agar dia dapat bernapas sampai keadaannya stabil untuk melakukan operasi.
"Lakukan apa saja untuk menyelamatkannya... Apa saja!"
"Tapi...kami harus mengangkat pita suaranya untuk memasang selang udara di tenggorokannya,"
"Ayah terpaksa menyetujuinya Nak, bila gadis itu tak dapat bicara maka dia tak akan bisa memberikan kesaksian untuk menjeratmu ke dalam hukum. Ya... satu-satunya jalan untuk menyelamatkanmu adalah dengan membuat gadis itu bisu."
"Dan... Sebagai gantinya, kami mengirimkan biaya hidup setiap bulan untuknya semata-mata sebagai ungkapan rasa penyesalan kami atas kematian kedua orang tuanya," lanjut ibu. "Sekalipun kami tahu... Sebesar apapun jumlah uang yang kami berikan tak akan cukup untuk membayar duka kematian orang tuanya dan... Membayar suaranya yang kami rampas."
♥♥♥
Air mataku mengalir dengan sendirinya tanpa dapat kutahan saat memandang foto keluarga kecilku. Ayah, Ibu, dan aku tersenyum bahagia, namun kenyataannya kini... hanya tersisa aku dengan tangisan yang memilukan. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membencinya? Tapi aku terlanjur mencintainya. Hiks...
"Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat..." tegur rekan kerjaku di Alfamart.
"......." aku tak tahu harus menjawab apa, saat ini keadaanku sangat buruk. Huh... dan tentu saja aku tidak akan pernah bisa menjawab karena keadaanku ini, aku tak memiliki pita suara. Ya.... Mereka telah merenggutnya, Junsu telah merenggutnya dengan sangat kejam.
Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku, kepalaku yang tadi bersandar di halte bus menangkap sosok pria yang sejujurnya tidak ingin kulihat lagi, dia ayahnya Junsu.
"Bisakah kita bicara berdua?" ajak Tuan Kim.
Aku menggeleng, apa yang dapat kita bicarakan berdua sementara untuk bersuarapun aku tak bisa.
"Seoyoo... Maafkan kami!" pintanya. Tiba-tiba dia berlutut di depanku, “Aku sangat sadar sebanyak apapun uang yang kami berikan kepadamu tak akan bisa menggantikan apa yang telah kami rebut darimu. Tapi kumohon… maafkanlah kami, terus terang saja selama belasan tahun hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah terhadapmu membuatku tertekan.”
“Junsu… dia juga sakit kala itu. Setiap malam selalu mengalami mimpi buruk dan sepanjang hari ketakutan. Dia mengalami ketergantungan pada morfin sebagai obat penenangnya sampai suatu ketika dia over dosis. Dia koma selama dua minggu, setelah sadar tiba-tiba saja dia lupa segalanya. Psikiaternya bilang bahwa tekanan yang dialaminya terlalu berat untuk diterima otak sehingga otak menolak untuk memproses segala ingatannya dan akhirnya semua hilang.”
“Kami mengerti, kau sangat menyangi ayah dan ibumu begitu pun kami yang sangat menyangi Junsu. Aku tak akan rela melihat anakku semakin tersiksa mendekam dalam penjara. Aku terpaksa, aku tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan Junsu selain dengan mengorbankan suaramu,”

Aku terduduk di aspal, menangis terluka mendengar penjelasan Tuan Kim. Kejadian itu kembali berkelebat dalam ingatanku dan aku telah bersumpah untuk tidak akan pernah melupakannya. Seorang ayah berlutut di hadapanku demi membela putra semata wayangnya lalu siapa yang akan membelaku sebagai putri yang kehilangan orang tuanya dengan begitu tragis. 

to be contined ....



Friday 21 August 2015

Silence - Part 2




sebelumnya di Silence - Part 1

Aku mempersiapkan semua keperluan melukisku. Kurasa taman belakang kampus cukup untuk kujadikan objek lukisanku. Pemandangan bukit hijau dengan langit biru menjuntai akan membuat kertas kanvasku terlihat lebih menawan. Saat meraut pensilku, ia terjatuh. Bergelinding hingga aku mendengar percakapan seseorang di telepon.
“Rekening seorang gadis seumuranku? Apa kau tak salah informasi?”
“Mana mungkin ayahku berselingkuh dengan gadis yang seumuran anaknya!”
“Apa mungkin justru gadis itu adalah anaknya?” begitulah ia berbicara dengan nada yang tertekan amarah. Kim Junsu? Aku kaget saat menyadari ternyata orang itu Kim Junsu! Ayahnya selingkuh?
“Cari tahu siapa gadis itu bagaimana pun caranya. Akan kuhancurkan dia sama seperti kehadirannya telah menghancurkan kebahagiaan keluargaku!” tutup sang pangeran kampus itu. Kreeck... tak sengaja aku menginjak ranting kering hingga kehadiranku disadari olehnya.
“Siapa?” tanyanya menyelidik. Buru-buru kubalik badanku, bersiap untuk kabur namun langkahku terlalu lambat hingga ia berhasil menemukanku.
“Kau?! Apa kau mendengar semuanya?!” bentaknya. Aku merinding ketakutan, aku hanya berani menatap rerumputan di bawahku dengan mulut yang bungkam.
“Kenapa kau selalu mengikutiku? Apa kau stalker?” bentaknya. Aku berusaha meminta maaf dengan membungkukkan badanku berkali-kali, ingin sekali aku menjelaskan bahwa aku tidak sengaja namun apa daya, keadaanku tidak memungkinkan.
“Apa kau ingin tidur denganku?” pertanyaannya membuatku bagai terkena tamparan. Kuangkat penglihatanku dan kutatap dia dengan tatapan tidak percaya. “Apa tidur denganku cukup membuatmu untuk berhenti menjadi bayanganku?”
Plaaakkk... tamparanku mendarat di pipinya.
“Kenapa? Bukannya kau menyukaiku? Tidur denganku pastinya menjadi harapanmu. Aku akan melakukannya untukmu asal berhentilah mengekoriku!”
Plaaakk... sekali lagi pipinya yang mulus harus merasakan tamparanku. Perlahan butiran bening merembes melalui kelopak mataku, aku tak menyangka dia akan setega itu padaku.
♥♥♥
Tanganku mengepal menatap kepergiannya, gadis itu... beraninya dia menamparku. Gadis bisu sepertinya punya hak apa melukaiku? Kau... akan hancur di tanganku! Segera kupencet beberapa nomor di ponselku dan...
“Aku ingin kau mencari tahu tentang gadis bisu itu, latar belakangnya, alamat, dan semuanya. Sore ini... semuanya sudah harus kuketahui!” perintahku.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, informasi tentang gadis bisu itu sampai juga di tanganku.
“Dia yatim piatu, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis saat dia masih SMP. Kehidupannya dibiayai oleh negara sejak saat itu namun saat menginjak bangku kuliah, dia mulai membiayai hidupnya sendiri. Dia bekerja part time di  mini market yang buka 24 jam, dia mengambil shift malam sebab paginya dia harus kuliah dan siang dia menjaga perpustakaan kampus...” begitulah informanku menjelaskan data gadis itu. Huh... ternyata dia orang kecil, tidak akan sulit untuk menghancurkannya!
♥♥♥
Usai mengganti seragamku Alfamart-ku, aku pun pulang ke rumah. Jalanku dicegat oleh beberapa orang preman. Wajah mereka sungguh menakutkan dengan penampilan urakan. Apa yang mereka inginkan? Uang? Aku tidak punya. Aku melangkah mundur dengan harapan dapat melarikan diri namun mereka mengepungku. Aku hanya bisa menangis, bersuarapun aku tak bisa, bagaimana mungkin dapat berteriak meminta tolong.
Tubuhku gemetar saat mereka mulai menyentuhku, seseorang... siapa pun itu, kumohon bantulah aku.
“Kau takut?” tiba-tiba sebuah suara familiar mengalun di telingaku. Aku menengadah dan kulihat Kim Junsu memandangku dengan angkuh. “Permainan yang menyenangkan. Melihatmu ketakutan seperti itu, siapa yang sangka kalau kau sebenarnya pemberani. Berani telah menamparku! Aku bisa melakukan lebih, maka dari itu berhati-hatilah!” ucapnya kemudian meninggalkanku.
Aku berdiri menghapus air mata ketakutanku. Hatiku memang tertarik padamu namun bukan berarti kau dapat memperlakukan aku semaumu. Kulempar sepatuku dan mengarah padanya, yup... sukses penimpuk kepalanya.
“Kau!” bentaknya. Kaumbil buku catatanku dan secepat mungkin menulis suara hatiku. Kulemparkan secarik kertas itu ke arahnya kemudian segera kabur dari hadapannya.
“Kuharap gadis itu adalah putri ayahmu. Dan kuharap gadis itu tidak seperti dirimu. Kasihan ayahmu bila hanya memilik seorang putra sepertimu!” begitulah tulisanku.
Aku berhenti di persimpangan jalan, kuatur napasku yang terputus-putus karna lelah berlari. Aku terduduk, aku tak sanggup berdiri lagi. Pengecut? Apakah memang aku pengecut? Seharusnya aku tetap di sana menanti reaksinya dan membalasnya lagi kalau perlu. Tapi kenyataannya malah aku lari, menyelamatkan diri. Langit mulai cerah, perlahan fajar mulai menyingsing. Kutekuk lututku, sampai kapan aku harus begini, aku lelah dengan keadaanku. Hiks...
♥♥♥
Kuremas kembali kertas yang telah kuremas barusan. Berkali-kali hingga kertas itu nyaris sobek. Dia... beraninya dia berkata seperti itu. Tapi sebenarnya... ada persetujuan dari lubuk hatiku, anak seperti apa aku ini? Apa pernah aku membuat orang tuaku bangga padaku? Aku selalu protes pada mereka yang terlalu sibuk, namun aku sendiri tidak pernah membuat mereka merasa beruntung memiliki putra sepertiku.
Aku termenung dan lamunanku terusik oleh kedatangan seseorang. Saat menoleh, kulihat gadis bisu itu telah kabur. Ya... mungkin dia tak menyangka aku berada di tempat yang selalu didatanginya, taman belakang kampus.
“Hei pengecut jangan kabur!” teriakku padanya dan sesuai prediksiku, dia menghentikan langkahnya. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mencoba tersenyum meski sejujurnya hatiku perih karena malu.
“Bagaimana kalau kita ke pantai?” tawarku
Awalnya aku pesimis dia mau menerima tawaranku, namun ternyata dia menerima. Kini aku dan dia duduk bersama di tepi pantai sambil memandang lepas pada laut yang mulai berwarna keemasan karena pantulan cahaya matahari yang akan tenggelam.
“Kenapa kau mau menerima ajakanku? Apa kau tak takut kujebak?” tanyaku membuka percakapan.
“Aku tak ingin menjadi pengecut. Cukup semalam saja aku melarikan diri darimu. Kali ini bila kau ingin mengerjaiku, aku harus menghadapinya,” tulisnya di secarik kertas. Aku tersenyum.
“Jadi... kau berharap kali ini aku akan mengerjaimu lagi?”
“Tentu saja tidak. Tapi bila iya, aku sudah siap!” aku tersenyum lagi.
“Ternyata kau lucu! Aku iri padamu...” balasku. Dia menatapku, aku tidak mengerti apa maksudnya. “Hidupmu berat, saat ini kau tak punya siapa-siapa lagi, namun kau berjuang dan tak mau menyerah. Bila aku berada di posisimu, aku tak yakin apakah aku dapat bertahan sepertimu...”
“......” dia masih menatapku.
“Orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka bahkan tak pernah menyisahkan waktu untukku. Hatiku bertambah sakit saat menyadari kalau ayahku mungkin berdusta. Bagaimana mungkin ayahku menyisahkan waktu untuk orang lain sementara untukku tidak ada,” “Ibuku pun terlihat acuh dengan keadaan ini, apakah ia benar-benar tidak tahu atau malah tidak peduli, aku tidak tahu.” “Rasanya pasti akan sangat sakit bila kecurigaanku ini menjadi nyata. Aku bukanlah orang yang mudah memaafkan sebuah pengkhianatan, kuharap semua hanya salah paham...”
♥♥♥
Dia tertidur lelap dalam pangkuanku, kubelai rambutnya dan memandang lekat wajahnya. Pertama kalinya kulihat dia mengeluh, bahkan menangisi masalahnya. Sejauh ini yang kutahu dia pemuda angkuh yang memiliki segalanya kecuali satu, air mata. Ternyata aku salah, sehebat apapun seseorang, dia pasti dapat menagis. Satu tirai kelam milik Kim Junsu yang mungkin tidak diketahui orang lain, namun aku mengetahuinya. Dibalik penampilannya yang tanpa celah selama ini, ternyata dia rapuh.
“Kenapa kau harus seperti ini. Apa yang kau alami membuatku semakin tak dapat menanggalkan perasaanku padamu. Kuatlah... seperti yang orang-orang lihat selama ini. Kau seorang Kim Junsu yang memiliki segalanya kecuali air mata!” ucapku.

Sejak itu kami mulai dekat. Seperti mimpi yang menjadi nyata, aku dapat mengobrol dengannya seperti seorang teman. Tak dapat kuingkari, kedekatanku dengannya membuatku semakin menyayanginya. Sekalipun aku tahu, aku tak pernah ada di hatinya namun sudah cukup bagiku bila hanya menjadi temannya.
“Aku masih tak percaya, Junsu dan Si Bisu itu menjadi teman!” tanpa sengaja kudengar percakapan beberapa mahasiswa di koridor.
“Kudengar... Si Bisu itu menggunakan status yatim-piatunya untuk menarik simpati Junsu!”
“Benar-benar menjijikkan. Meskipun begitu, aku tetap salut pada Si Bisu itu. Bagaimana tidak, tega sekali dia menggunakan kematian orang tuanya untuk menarik perhatian laki-laki!”
Aku terkejut akan kehadiran Junsu secara tiba-tiba. Kulihat ada emosi di matanya, tangannya mengepal...
“Kenapa kau diam saja mendengar perkataan mereka?” tanyanya. Aku tertunduk pasrah. Apa aku harus berteriak marah sedangkan suara pun aku tak punya? “Biar kulakukan untukmu!” sambungnya, mungkin menyadari arti kebisuanku. Segera kutahan tangannya, dan menggeleng memberi isyarat agar dia tak melakukannya.
“Aku baik-baik saja!” ucapku dengan isyarat. Kupegang dadaku dan tersenyum padanya. Meskipun perih, aku harus tahan. Di masa depan... pasti aku akan mengalami hal yang lebih menyakitkan dari saat ini. Maka dari itu, mulai sekarang aku harus terbiasa dengan gunjingan orang-orang sekalipun itu fitnah.
♥♥♥
Penelusuranku akan gadis itu tetap berlanjut, aku harus tahu siapa anak haram ayahku. Kali ini aku harus membuat ayah mengakuinya, ibu pun harus tahu. Hanya saja aku belum memikirkan langkah apa yang harus kutempuh bila memang kelak aku menemukan gadis itu.
"Ayahmu tidak akan melakukan hal itu!!!" ucap Ibu kukuh saat aku menceritakan kecurigaanku tentang kesetiaan ayah padanya.
"Aku punya bukti, rekening mencurigakan ayah yang sejumlah uangnya dikirim secara konsisten pada rekening seorang wanita." belaku,
"Junsu... Kau membuntuti ayahmu?" tanya Ibu,
"Ya, aku memang melakukannya."
"Kau tak punya hak untuk itu!" tak kusangka Ibu menjadi marah.
"Aku melakukannya untukmu Bu, untuk kita! Begitu kejinya perbuatan ayah mendustai kepercayaan kita. Dia berselingkuh bahkan memiliki anak haram!!"
"Junsu!!!!" Ibu menghardikku. Untuk pertama kalinya aku mendengar Ibu membentakku.
"Akan kubuktikan bahwa kecurigaanku itu benar. Saat itu kuharap Ibu tak akan menyesal karena tidak percaya padaku. Akan kuseret anak haram itu ke hadapan Ibu. Itu janjiku."
Perih memang, di saat aku tulus untuk membantu Ibu namun usahaku diabaikan begitu saja. Sekalipun begitu, aku tak akan berhenti. Akan kutunjukkan pada Ibu bahwa selama ini ayah telah menipu kami. Entah apa kelebihan yang dimiliki anak haram itu sehingga ayah bahkan lebih perhatian padanya dibanding padaku. Aku janji akan membuat mereka menyesal telah merampas kebahagiaan keluargaku.
♥♥♥
"Junsu..." pekikku dalam hati saat tahu orang yang mengetuk pintu apartement lusuhku adalah dirinya.
"Apa aku mengganggumu?" lirihnya, suaranya bahkan nyaris hilang ditelan gemuruh hujan badai malam ini. Aku menggeleng cepat, katarik tangannya untuk segera masuk agar dia tidak kedinginan. Di luar sedang hujan lebat disertai badai, dia bahkan telah basah kuyub. Apa yang terjadi padanya? Kenapa penampilannya sangat menyedihkan? Beberapa saat berlalu akhirnya dia dapat terlelap dengan sisa air mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Ada apa dengannya? Apakah dia baru saja mengalami hal yang sangat melukainya?
Pagi pun menjelang, untunglah dia bangun dalam keadaan yang lebih baik. Aku telah menyiapkan sarapan untuknya, semoga lidahnya dapat bersahabat dengan masakanku. Kulihat dia makan dengan lahap, tak banyak protes.
♥♥♥
Pertengkaran dengan ibu malam itu membuatku terpukul, dan entah kenapa hatiku memintaku datang mencari perlindungan padanya. Dia pasti kaget kedatangan tamu di tengah badai, kupikir dia akan menghusirku tapi ternyata malah memberi pertolongan padaku.
"Terima kasih...." ucapku usai menyantap sarapan darinya. "Masakanmu seenak buatan Ibuku, tapi sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah merasakannya..." dia diam memandangku, kutahu dia ingin bicara namun keterbatasannya mencegahnya untuk itu.
"Aku bertengkar dengan Ibu. Ia marah saat tahu aku menyelidiki ayahku. Kutahu Ibu sangat mencintai ayah, namun itu bukan alasan baginya untuk tutup mata dan tutup telinga pada perbuatan ayahku."
Gadis itu menggenggam tanganku, kehangatannya mengalir mengikuti aliran darahku, "jangan membencinya, kebencian hanya akan menggerogoti kebahagiaanmu, jangan membenci ayahmu maupun anak itu..." tulisnya. Aku memandangnya tak percaya, "Apa kau tidak mendukungku?" saat ini hanya pertanyaan itu yang berpendar di kepalaku.
Dia menggeleng, dia segera menulis di kertas dan menyodorkannya padaku. "Carilah gadis itu, temukan dia dan kenali dia. Mungkin saja dia gadis yang malang dan sangat membutuhkan ayahmu."
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Aku yakin ayahmu punya alasan yang kuat untuk semua keputusannya. Belajarlah mempercayai orang yang kau sayangi, itu akan membantumu bertindak lebih bijak."
♥♥♥
Junsu segera berpamitan setelah dia menerima telepon dari seseorang. Wajahnya terlihat tegang saat itu. Kuharap itu bukan sesuatu yang buruk.
Sehari...
Dua hari...
Empat hari...
Seminggu... Tak ada lagi kabar darinya. Junsu tak lagi menemuiku, aku bahkan tidak pernah lagi melihatnya di kampus. Ada apa? Apa dia baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu padanya? Ya Tuhan... Kumohon lindungi dia, jangan biarkan terjadi hal buruk padanya.
Sudah seminggu aku menunggui Junsu di taman belakang kampus, bahkan beberapa kali aku mengunjungi kelasnya. Berharap dia tetap datang kuliah dan hanya sibuk sampai tidak sempat menemuiku. Meski tatapan sinis dan cibiran pedas menyambutku setiap kali aku bertanya pada teman-temannya tentang keberadaannya, aku tak lagi peduli.
♥♥♥
Aku tak pernah menyangka, melihatnya menantiku tanpa kepastian ternyata sanggup melukai perasaanku. Berhentilah menungguku di taman, akhir-akhir ini cuaca semakin dingin nanti kau jatuh sakit. Berhentilah mencariku di kelas dan bertanya pada teman-temanku, tidakkah kau lihat tatapan remeh mereka terhadapmu? Sisahkan sedikit harga diri untukmu, kau berhak untuk itu.
Kau... Sejak kapan kau membuatku seperti ini? Kau hanyalah gadis bisu yang tidak pernah masuk dalam hitunganku tapi bagaimana bisa kau membuatku jatuh cinta? Selama ini banyak gadis yang mendekatiku yang tentu saja lebih baik berkali-kali lipat darimu tapi kenapa justru kau saja yang mampu mengetuk pintu hatiku?
Hiks... Aku tak ingin mencintaimu!
Aku benar-benar tak ingin,

Bukan karena aku malu pada keadaanmu... Tapi karena aku tak boleh.

to be continued ...