Thursday 24 September 2015

FF When Rain Comes - Part 1


Note : This is not my own story. I remake it from manga which I red in 2005. But I forget tittle and the writer. Please enjoy it ^^




            “Lihat… anak itu memandangmu lagi!” suara Yamie membuatku berhenti menikmati ramyeon pesananku. Aku menoleh ke tempat yang ditujukan penglihatan sahabatku itu. Huh… apa masalahku dengan anak itu? Kenapa dia selalu memandangiku?
            “Apa lebih baik kulabrak saja siswa itu?!” tanyaku meminta pendapat pada Yamie
            “Untuk apa dilabrak? Paling dia adalah secret admirer-mu!” aku mendengus mendengar perkataan Yamie.
            “Boleh gabung dengan kalian?!” seseorang berdiri di sampingku sambil membawa sebuah mangkuk, aku menoleh…
            “Nde…!” jawabku mengizinkannya. Adrian lalu duduk di sampingku tepat berhadapan dengan Yamie, mereka saling memandang dan tersenyum malu. Huh… kenapa aku jadi iri pada mereka?
            “Adrian…” Yamie memulai duluan, “Apa kau kenal anak di ujung sana, yang dekat jendela itu!” Yamie menunjuk ke arah anak yang selalu memandangku sembunyi-sembunyi.
            “Henry?!” Adrian bertanya sendiri untuk memastikan penglihatannya, “Ya… namanya Henry, ada apa?”
            “Sepertinya dia menaksir Hyena!”
            “Yaa… !” aku melotot ke Yamie
            “Benarkah? Kasihan anak itu, tiga bulan lalu Appanya meninggal!” kata Adrian
            “Jeongmal?!” benarkah? aku dan Yamie berbarengan memekik.
            “Nde, Appanya meninggal karena kecelakaan jadi sekarang dia tinggal bersama Ommanya. Tahu tidak… meski dia masih tercatat sebagai siswa SMU namun dia sudah mendapat beasiswa sampai tamat di Universitas Kyunghee, kalau tidak salah…di jurusan Post Moderen Music! Dia sangat pandai bermain biola, semua yang mendengar permainannya pasti akan terbuai dan terhipnotis!”
            “Wah…Kyunghee University?!” pekikku tidak percaya, itu adalah universitas impianku.
            “Sebenarnya dia juga mendapat tawaran dari Inha University tapi entah kenapa dia memilih Kyunghee!”
            “Padahal Inha sangat bagus, di sana tempat kuliah orang-orang kaya dan berpengaruh!” Yamie menggigit sedotan jusnya. Ponselku berdering, Appa memanggil!  
            “Nde … Appa, waeyo?” tanyaku,
            “Sekarang Appa dan Omma sedang di bandara menunggu penerbangan ke Busan, tiba-tiba ada panggilan dari bos Appa. Miane Appa tidak bisa berpamitan langsung!”
            “Mwo?! Yah… aku sendirian di rumah dong!” keluhku,
            “Oh ya… Appa lupa menyampaikan sesuatu padamu. Besok kan hari minggu, pergilah ke Mokpo menghadiri acara reunian teman-teman SMU Appa sebab kau tahu sendiri Appa tidak bisa pergi.”
            “Mwo?! Mokpo?! Aniya!!!” aku memekik dan menolak,
            “Jebal… Hyena, Appa tidak enak kalau tidak ada perwakilan, lagipula daripada tidak ada kerjaan, mending kau mewakili Appa!”
            “Aniyo…Appa tahu kan aku tidak suka ke desa! Mending aku tidur seharian saja dari pada harus ke desa besok!”
            “Hyena… jebal…” Appa memohon padaku dan aku benar-benar berat menolaknya. Huh… aku benci, benci, benci, sangat benci dengan hujan, sekarang adalah bulan Juli, tentu di desa akan sering turun hujan! Appa… kenapa Appa tidak mengerti?!
            “Ke Mokpo ya? He…he…selamat liburan Chingu!” Yamie mengejekku, dia tahu betul aku sangat benci pada desa.
            ~~♥ when rain comes ♥~~
            Aku memilih berangkat malam, biar sewa penginapan saja di sana soalnya kalau berangkat pagi, aku bisa ketinggalan bus dan terlambat menghadiri reuni itu. Huf… aku mendengus kesal, menyebalkan… kenapa harus aku yang menggantikan Appa? Sudah terbayang di kepalaku begitu menjengkelkannya acara reuni itu besok, akan banyak ajjusshi dan ajumma yang datang, mereka pasti akan bercerita panjang lebar dengan suara melengking sampai tidak sadar umur, belum lagi kalau mereka bertanya ini-itu padaku, argh… kekesalanku sepertinya sudah sampai di ubun-ubun!
            Aku turun di halte, kupandangi keadaan di sekitarku yang remang-remaang. Kalau tidak salah di sini ada penginapan, kujinjing tasku dan menelusuri jalan setapak yang kelihatannya licin karena hujan. Langkahku begitu pelan sebab aku takut terperosok, mana jalannya begitu becek. Urgh…menyebalkan! Umpatku berkali kali. Tiba-tiba seekor kucing memotong jalanku, aku terkesiap dan kehilangan keseimbangan di jalan licin ini, dalam sekejap aku terperosok ke dalam lubang yang cukup terjal. Kepalaku sakit sekali terbentur akar pohon yang begitu besar, kulihat di bawah ada danau yang cukup besar. Aku tak sanggup berdiri lagi, benturan di kepalaku membuatku pusing dan penglihatanku perlahan berkurang dan akhirnya aku kehilangan kesadaran.
~~♥ when rain comes ♥~~
            “Dia dari mana ya? Kenapa pakaiannya aneh?”
            “Eh… dia lumayan cantik, Hyung… apa kau tak merasa dia mirip ibumu?”
            “Apa hubungannya dia dengan ibuku?”
            “Iya juga sih…” perlahan kubuka mataku sebab terganggu oleh percakapan itu,
            “Wha…!!!!!!!” pekikku melihat dua orang pemuda yang sedang menatapku, kurasa mereka seumuran denganku, mereka pun ikut berteriak mendengar teriakanku. “Kenapa kalian berteriak???” tanyaku kesal
            “Kau duluan yang berteriak kan?!” balas salah satu dari mereka.
            “Soalnya kalian yang mengagetkanku, kenapa kalian memandangiku seperti itu?!” bentakku,
            “Ka…kau siapa? Kenapa pakaianmu aneh?” tanya orang berambut coklat padaku
            “Aneh apanya pakaianku? Justru pakaian kalian yang aneh, kampungan! Namaku Park Hyena, aku di mana sekarang?!” tanyaku memandangi sekelilingku.
            “Park Hyena? Hyung… marga kalian sama!” seru pemuda berambut hitam, dia tidak menjawab pertanyaanku.
            “Memangnya namamu siapa?!” tanyaku pada pemuda berambut coklat,
            “Namaku Park Jungsu!” balasnya, aku memandang aneh padanya, dia juga ikut menatapku. Wha…ha…ha… aku terbahak-bahak mendengarnya,
            “Kenapa kau ketawa?” tanya pemuda yang bernama Jungsu itu,
            “Namamu sama dengan nama Appaku, Appaku bernama Jungsu dan marganya Park!”
            “Wah… kebetulan sekali!” celetuk pemuda berambut hitam itu. “Aku Kyuhyun, Cho Kyuhyun!” ucapnya mantap,
            “Aku tidak tanya!” balasku. Pemuda bernama Kyuhyun itu memanyunkan bibirnya. “Oh ya… kalian lihat SMU Mokpo tidak? Aku mau menghadiri reunian Appaku,”
            “SMU Mokpo??? Kami siswa di sana, tapi sekarang sekolah libur!” balas Kyuhyun. “Dan setahuku tidak ada rencana reunian, memang reuni angkatan ke berapa?
            “Angkatan 17!” jawabku
            “Heh… angkatan 16 saja belum keluar apalagi angkatan 17!” balas Kyuhyun.
            “Mwo?!” aku bingung mendengar perkataan anak aneh itu.
            “Kami angkatan 17 dan itupun lulus tahun depan, masa sudah mau reunian?!” sambung Jungsu. Aku mengerutkan kening, aneh…
            Aku berjalan mengitari ruang rumah ini, kepalaku masih sedikit perih akibat benturan itu, aku menatap foto keluarga yang tertempel di dinding, foto seorang bayi digendong ayahnya dan seorang anak umur tiga tahun dipegang ibunya.  Kenapa foto ini ada di sini? Seorang ajumma masuk membawa nampan berisi makanan,
            “Kau sudah bangun! Ayo sarapan dulu!” ajaknya, aku menatap aneh padanya,
            “Omma, Inyoung Unni ke mana?” tanya Jungsu,
            “Oh… dia ke kota mengurus berkas-berkas kuliahnya!”
            “Inyoung?” tanyaku, mereka semua memandangku heran. “Ommo…” aku mulai panik, “Kau bernama Park Jungsu?” tanyaku ulang pada Jungsu, dia mengangguk. “Unnimu bernama Park Inyoung?!” tanyaku lagi dan dia mengangguk sekali lagi. “Apa Ommamu bernama Park Sohra?” tanyaku,
            “Kenapa kau tahu namaku?” ajumma itu terheran melihatku,
            “Jangan bilang nama Appamu Park Teajong!” lanjutku,
            “Wah… kau tahu nama-nama anggota keluarga Hyung!” potong Kyuhyun.  
            “Andwe…!!!!!” pekikku membuat mereka menutup telinga,
            “Waeyo?” tanya ajumma
            “Appa ...!” aku memanggil Jungsu,
            “Kenapa kau memanggilku Appa?” dia terkejut,
            “Nde… kau appaku, ajumma ini haermoniku! Pantas aku merasa pernah melihatmu!”
            “Jungsu~a… kapan kau punya anak?” Healmoni bertanya pada Appa,
            “Omma ini bicara apa? Mana mungkin aku punya anak yang seumuran denganku!”
            “Yaa… gadis gila, kau ini bicara apa?!” Kyuhyun mengejekku,
            “Yaa… aku tidak gila! Tapi sepertinya aku memang akan gila…!” andwe… kenapa jadi begini!!!!!?
~~♥ when rain comes ♥~~
            Bola mataku berputar tak tentu arah, jantungku berdegup kencang tak berirama, ini mimpi… ya ini pasti mimpi. Aku menepuk pipiku keras-keras, jariku mengenai dahiku yang luka, aw… sakit sekali, jadi ini tidak mimpi!!! Ini tidak masuk akal, mana mungkin aku ada di zaman saat ayahku seumuran denganku? Ini aneh, sangat tidak masuk akal. Aku berjalan tidak tentu arah, aku harus mencari tempat di mana aku jatuh semalam, aku yakin tempat itu adalah lorong waktu sehingga aku bisa terjebak di jaman ini!
            Aneh… aku memutar ingatanku sedemikian keras, bukannya tempat ini adalah danau? Ya… aku ingat, semalam aku terperosok di dekat danau dan tersangkut pada pohon besar. Aku mulai menangis… kenapa ini menimpaku? Apa salahku sampai hal seburuk ini terjadi padaku? Bagaimana aku bisa pulang? Aku mau pulang!
            “Wah… ternyata kau di sini! Semua orang mencarimu, ayo pulang!” Kyuhyun membuka jaketnya dan memasangkannya padaku. “Ayo…!” dia menarik tanganku.
            “Lepaskan!” bentakku, “Aku mau pulang… aku mau kembali ke Seoul! Tempat apa ini, aku tak mau di sini!”
            “Kalau mau pulang ke Seoul besok saja, aku yang akan mengantarmu, ini sudah malam jadi sangat berbahaya pulang ke Seoul malam-malam begini!”
            “Kau mengerti perkataanku tidak sih?! Aku mau pulang ke jamanku, bukan di sini, orang tuaku pasti mencariku…!” hiks… aku menangis.
            “Ternyata kau di sini, aku mendengar tangisanmu sehingga aku menemukanmu di sini!” Appaku datang,
            “Aku mau pulang! Pulang! Pulang!” aku meronta,
            “Iya… kita pulang sekarang!” Appa mencoba membujukku, akhirnya kami bertiga kembali ke rumah Appa. Di sana telah menunggu Haermoni dan Haerboji juga Imo, mereka menantiku dengan cemas. Saat berhadapan dengan Haerboji tanpa kurasa mataku jadi sembab, inikah dia? Haerboji yang sering diceritakan Appa padaku, yang tidak sempat kulihat sebab beliau meninggal sebelum Appa menikah dengan Ommaku. Reflex aku memeluk tubuh pria paruh baya yang ada di hadapanku ini, aku memeluknya sambil menangis kencang.
Nomu bogoshipposso…” ucapku masih dalam pelukannya. Aku rasakan keterkejutan Haerbojiku namun aku tak berniat melepasnya, aku masih ingin memeluknya lama… lama sekali. Aku semakin terisak bila mengenang cerita Appa, Haerbojiku meniggal saat Appa berusia 20 tahun, kalau begitu tiga tahun lagi… tiga tahun lagi Hearbojiku akan pergi karena sakit yang dideritanya. Usai makan malam, Appa dan Kyuhyun mulai membicarakan masalahku.
            “Apa benar kau putriku?” tanya Appa,
            “Nde… Appa pikir aku bohong?” balasku sengit,
            “Aniyo…bukan begitu, aneh saja… coba pikirkan kau dan aku seumuran jadi bagaimana mungkin…”
            “Aku juga tidak mengerti kenapa malah jadi begini!”
            “Coba ceritakan apa yang terjadi sebelum kau terjatuh, Park Ajumma yang menemukanmu di sisi jalan pingsan dengan luka di dahimu!” perintah Kyuhyun.
            “Begini, dengarkan baik-baik ya! Kemarin Appa menelponku dan memberitahukan kalau dia dan Omma harus ke Busan karena pekerjaan mendadak. Appa memintaku untuk mewakilinya menghadiri reuni yang akan diadakan hari ini oleh siswa SMU Mokpo angkatan 17. Karena aku anak yang baik dan patuh makanya aku menurutinya, aku berangkat malam ke Mokpo dan berencana menginap di penginapan agar besok pagi tidak terlambat menghadiri reunian itu.” Aku menarik napas dalam-dalam, “Aku mau minum!” ucapku, Kyuhyun sigap memberi segelas teh padaku,
            “Ini…” ucapnya. Segera kuteguk teh itu sampai habis dan kembali bercerita,
            “Saat melalui jalan setapak untuk mencari penginapan, tiba-tiba seekor kucing memotong jalanku hingga aku kaget dan terpeleset sebab jalannya licin. Aku terjatuh ke lubang yang cukup terjal dan untung saja aku tersangkut di akar pohon sehingga tidak perlu tercebur ke danau! Setelah itu aku tidak ingat apa-apa sampai kita bertemu.”
            “Danau? Di sini tidak ada danau!” ucap Appa,
            “Karena itulah aku bingung saat mencari tempatku jatuh, tak ada danau dan tak ada pohon besar yang menyelamatkanku!” Appa terlihat berpikir keras, “Appa… aku harus bagaimana?!” desakku,
            “Jangan memanggilku Appa!” pintanya
            “Kau kan Appaku jadi wajar kan’!”
            “Masalahnya…” Appa jadi salah tingkah.
            “Kalau begitu kau panggil aku apa?” tanya Kyuhyun cengar-cengir.
            “Bagaimana kalau kupanggil Buddy?!”
            “Wah… keren sekali, seperti nama orang barat, artinya apa?” tanya Kyuhyun
            “Itu nama anjing peliharaan tetanggaku!” jawabku,
            “Kau kejam sekali!”
            “Makanya jangan membuatku kesal!”
            “Sudahlah… namamu Hyena kan? Tidurlah… lebih baik beristirahatlah dulu, kau kelihatan lelah, biar besok kita bicarakan jalan keluar masalahmu lagi!” pinta Appa.
~~♥ when rain comes ♥~~
Aku terbangun saat keadaan masih gelap, sepertinya semalam hujan sebab kulihat lewat jendela, jalan becek dan pepohonan basah.
Yaa…!!!” Kyuhyun muncul di depan jendela tiba-tiba sehingga membuatku berteriak,
Yaa… kau mau membunuhku?!” bentakku, 
“Kau kaget ya?!” tanyanya, pertanyaannya membuatku kesal, aku memintanya mendekat dan dia menurut,
“Kalau tidak kaget mana mungkin aku berteriak!!! Lain kali jangan membuatku kaget, kalau kau lakukan lagi, aku pasti membunuhmu!” ucapku sambil mencekik lehernya lewat jendela.
Kyuhyun masih memegangi lehernya saat aku keluar rumah bersama Appa, baru kali ini aku bangun pagi, kulihat jam masih menunjukkan jam 5.30 pagi. Katanya kami akan ke sungai menangkap ikan, Appa telah siap dengan segala perlengkapannya.
Hyung… putrimu ini sangar sekali!” keluh Kyuhyun pada Appa,
“Kau duluan yang menganggunya kan’?” aku menjulurkan lidahku pada Kyuhyun saat Appa membelaku.
Kami bertiga menelusuri jalan desa yang hanya dapat dilalui satu mobil, aku benar-benar benci dengan kondisi jalan yang becek seperti ini. Huh… kenapa harus hujan sih? Aku mendengus kesal, sementara Appa dan Kyuhyun berjalan riang di depanku.
“Buka saja sendalmu, bisa-bisa kau terpeleset lagi!” perintah Kyuhyun,
“Tidak mau! Nanti kakiku kotor!” balasku,
“Sudahlah… kalau kau nyaman dengan sendalmu, pakai saja!” ucap Appa, aku mengejek Kyuhyun lagi. Dasar sial, apa mungkin aku sangat keterlaluan pada Kyuhyun sehingga belum berapa lama dia menyuruhku melepas sandal, aku sudah terpeleset tapi untung Kyuhyun sigap menolongku. Aku jatuh di pangkuannya,
“Nah… sudah kubilang lepaskan saja tapi kau malah keras kepala!” ejeknya,
“Hyena… lepaskan saja!” perintah Appa. Akupun terpaksa melepas alas kakiku, awalnya aku begitu kesulitan berjalan tanpa alas kaki apalagi medannya becek seperti ini namun lama kelamaan aku terbiasa.
Kami menuruni beberapa lahan yang landai, Kyuhyun mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku menuruni sebuah parit, kutolak menat-mentah uluran tangannya,
“Appa!!!” aku memanggil Appaku biar dia yang membantuku, Appaku pun menurut dan kulihat bibir Kyuhyun mengerucut. Setelah jalan beberapa saat akhirnya kami sampai ke sebuah sungai yang airnya begitu jernih.
“Hyena… sini!” Kyuhyun tiba-tiba menarik tanganku, dia membawaku ke pinggir sungai dan menghadapkanku ke sebuah gunung. Perlahan mentari muncul di balik gunung itu dan seiring dengan itu, keadaan gelap berubah terang. Aku terkesima menatap keindahan alam di depanku ini, aku menoleh ke arah Kyuhyun, kulihat dia tak kalah terkesimanya dibanding aku, bahkan kulihat ada perasaan bangga dalam senyumnya, seakan dia ingin bilang, inilah desaku yang keindahannya tidak akan kau dapatkan di tempat lain.

~~♥ when rain comes ♥~~
to be continued

Tuesday 8 September 2015

FF One Shot - Love You More

This is not my own, I just remake it from anonymous online story. But hope you still enjoy it. ^^




          Sinar mentari sore ini seperti berlomba menyentuh kulitku melalui celah pepohonan, terasa begitu hangat setelah beberapa bulan kota Seoul harus berselimut salju karena musim dingin. Aku duduk sendiri menunggu kedatangannya, hari ini adalah ulang tahunku dan dia mengajakku untuk makan malam bersama. Aku masih sibuk membaca pesan singkat ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Aku tersenyum bahkan sesekali tertawa membaca kata-kata mereka yang lucu, sungguh bahagia mereka masih mau membagi perhatian padaku.
          Aktifitasku terhenti saat sebuah klakson mobil berbunyi, kuangkat pandanganku dari layar ponselku dan aku menemukan sosok Jo Hyunjae berdiri dengan senyuman khasnya.
          “Saengil chukka chaggi…” ucapnya. Aku tersenyum,
          “Gomawo Oppa!” balasku.
          “Sudah lama menunggu?”
          “Lumayan…”
          “Maaf ya, tadi di kantor banyak pekerjaan…”
          “Gwencana…”
          “Oh ya, ini untukmu!” dia menyodorkan sebuah bungkusan padaku, dengan jantung yang berdebar, kubuka bungkusan itu. Senyumanku menghilang saat melihat hanya sebuah Teddy Bear di dalamnya.
          “Kalian ‘kan telah berpacaran selama lima tahun, paling tidak kali ini dia harus memberimu cincin…” teringat kembali perkataan Hye Na padaku saat di sekolah.
          “Ada apa? Apa kau tidak suka?” Tanya Hyunjae, mungkin dia menyadari raut wajahku yang berubah.
          “Ah… tidak, bonekanya cantik!” elakku, aku bukannya tidak suka, aku hanya kecewa.
          Perjalanan kami akhirnya terhenti di sebuah café kecil di tepi kota, di sinilah pertama kali kami bertemu. Saat itu teman-temanku mengadakan acara kencan buta bersama sekelompok pria yang dikenal lewat internet, mereka mengajakku ikut untuk melengkapi jumlah membernya. Tak disangka aku dan Hyunjae bertemu di sana, di saat pemilihan pasangan ternyata dia menyerahkan mawarnya padaku. Dia bilang tertarik padaku dan ingin mengenalku lebih dalam. Kami pun sepakat memulai hubungan sejak saat itu.
          “Dia memberimu boneka lagi? Astaga… apa yang dipikirkannya? Kau telah 23 tahun, bukan anak umur 16!” ucap temanku lewat pesan singkatnya. Aku tertunduk, benar… aku telah 23 tahun, yang kubutuhkan bukanlah boneka.
          “Chaggi… ada apa? Apa makanannya tidak enak?” tegurnya saat menyadari sedari tadi aku belum menyentuh makananku. “Kenapa sejak tadi kau terlihat tidak bersemangat? Apa kau ada masalah?”
          “Oppa… apa kau mencintaiku?” tanyaku setelah membaca pesan dari sahabatku lagi, “Tanyakan padanya apa dia serius padamu? Jangan-jangan dia hanya mempermainkanmu!”
          “Kenapa kau bertanya seperti itu?” Hyunjae malah balik bertanya.
          “Aku bukan anak kecil lagi yang setiap ulang tahun dapat kau beri boneka. Atau selama ini kau merasa sedang berpacaran dengan anak kecil?”
          “Apa kau tidak suka pada boneka yang kuberikan?”
          “Bukannya tidak suka…” aku kehilangan kata-kataku. Entah harus dengan apa aku dapat membuatnya mengerti. Aku bukannya ingin kau memberikan benda-benda mahal untukku, aku sungguh tidak berharap demikian. Aku hanya ingin kau mengerti bahwa waktu lima tahun yang telah kita lalui harganya jauh lebih besar dari sekedar sebuah boneka.
          “Lalu… ada apa?”
          “Oppa… kenapa kau tidak peka sekali?” emosiku mulai menguasaiku, “Sudahlah, kau mungkin tidak akan pernah mengerti! Aku jadi tidak lapar, kau makanlah sendiri!” aku pergi meninggalkannya.
          “Chaggi… tunggu dulu, maafkan aku bila aku telah berbuat salah padamu…”
          “Tidak, kau tidak perlu minta maaf. Aku tidak membutuhkannya, aku hanya ingin kau mengerti pada posisiku!” kulepas genggamannya dan segera keluar dari café.
          Ternyata dia menyusulku dari belakang, aku juga tidak mengerti kenapa mood-ku tiba-tiba jadi jelek seperti ini. Hanya karena persoalan boneka, apa salahnya kalau dia memberiku boneka? Tidak… tentu saja salah! Benar kata Hye Na, paling tidak Hyunjae harus memberiku cincin.
          “Chaggi… kumohon jangan seperti ini. Ayo kita bicara baik-baik!”
          “Oppa… biarkan aku sendiri dulu,” tolakku.
          “Chaggi… kalau bagitu katakanlah apa yang kau inginkan, aku bukanlah pria yang baik yang dapat mengetahui semua yang kau inginkan namun bila kau mengatakannya, aku akan berusaha memenuhinya,”
          “Oppa… lima tahun ini apakah tidak berarti apa-apa bagimu? Sampai kapan kita hanya berhubungan seperti ini? Kapan kau akan melamarku?” jujurku. “Seharusnya kau memberiku cincin!” sambungku. Hyunjae terkejut, untuk beberapa saat dia terdiam.
          “Jadi begitu…” lirihnya,
          “Maaf bila aku membuatmu kecewa, aku bukannya tidak suka pada bonekamu,” ucapku lagi. Hyunjae tertunduk, dia hanya diam, kurasa tak ada lagi yang ingin dia bicarakan padaku. Aku pun memutuskan untuk meninggalkannya.
          “Chaggi…” sekali lagi dia memanggilku, “Kau lupa bonekamu…” ucapnya sembari menyerahkan Taddy Bear itu padaku. Emosiku bergumul, apakah dia benar-benar tidak mengerti? Kenapa dia masih berani memberiku benda itu? Kuambil boneka itu dan langsung membuangnya ke jalan.
          “Aku tidak mau bonekamu!” tegasku lalu pergi darinya. Saat menoleh, kulihat Hyunjae memungut boneka itu kembali, aku tak lagi peduli. Kuteruskan kembali langkahku sampai terdengar sebuah bunyi hantaman yang keras hingga menghentikan langkahku. Buru-buru aku berbalik mencari sumber suara itu yang jelas-jelas dari arah belakangku.
          Aku terkesiap saat melihat tubuh Hyunjae terkulai tak berdaya di aspal. Sebuah mobil box telah menyeretnya sampai beberapa meter hingga membuatnya penuh luka dan berlumur darah.
          “Oppaaaaaaaaa…………” pekikku keras. Aku bergegas menghampirinya, kupeluk erat dirinya yang kurasakan sudah tak bergerak lagi. “Oppa… bangunlah, ayo bangun… kumohon,” tangisku kencang. Perlahan orang-orang di jalan mulai mengerumuni kami, “Tolong panggilkan ambulans, panggilkan ambulans!” pintaku pada mereka.

Tanganku bergetar dengan bibir yang tak berhenti melantunkan doa pada Tuhan agar memberi keselamatan pada Hyunjae. Saat ini dia tengah berjuang melawan maut yang siap menjemputnya kapan saja. Sesekali air mataku menetes mengingat kejadian tadi, andai ia tak memungut boneka itu, tidak… andai saja aku tidak membuang boneka itu di jalan, tentu kejadian ini tidak akan terjadi.
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Hyunjae keluar, kulihat wajahnya dan kurasa aku tidak suka. Tatapannya yang seakan menyiratkan sebuah kegagalan membuatku takut.
“Maaf… dia telah meninggal sebelum kalian sampai di rumah sakit. Kami tidak bisa berbuat apa-apa…” ucapnya. Bohong… kau bohong ‘kan? Hyunjae mana mungkin pergi semudah itu. Jangan bercanda dokter! Aku tidak suka! Hari ini aku berulag tahun, mana boleh dia memberiku kado buruk seperti ini. Bruk… tiba-tiba saja kurasakan tubuhku menghantam lantai setelah sebelumnya penglihatanku menjadi gelap.

                                                            ***    
Malam ini hujan turun dengan derasnya seakan langit turut menangisi kepergian Hyunjae, orang yang bagitu kucintai. Teddy Bear pemberiannya tetap tersenyum lebar di atas ranjangku. Teddy Bear dengan balutan blazer hitam itu seakan mengulurkan tangannya untuk memelukku, ‘peluklah aku untuk mengurangi sakitmu’ ucapnya. Kuambil boneka pemberiannya dan memeluknya erat.
“Maaf… seandainya aku tidak membuangmu waktu itu…” isakku.
“Would you marry me? I have something in my pocket!” tiba-tiba saja Teddy itu mengeluarkan suara. Aku terkesiap, apa kau bisa bicara? Segera kuperiksa kantong di blazer hitam Teddy itu dan jariku menemukan sesuatu, cincin berlian. Seketika air mataku bercucuran tak tertahankan lagi. Aku memang bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Jadi Hyunjae ingin melamarku saat itu dan aku marah padanya karena lamaran yang tak kunjung dia lakukan. Sekali lagi kupeluk Teddy pemberian terakhirnya dan Teddy itu mengeluarkan suara lagi…
“Would you marry me? I have something in my pocket!”
“Hiks… kembalilah Oppa, jangan tinggalkan aku,” isakku. “Tuhan, aku sungguh tidak membutuhkan cincin ini, aku hanya ingin Oppaku. Kembalikan ia padaku dan ambil saja cincin ini. Hiks…” 
***
Getaran ponselku mengganggu tidurku, begitu berat terasa saat aku harus membuka mata. Andai saja mata ini tak pernah terbuka lagi, tentu rasa nyeri di hatiku tak akan terasa lagi. Segera kuambil ponselku yang berada di bawah bantal, terdengar jelas message alert-ku suara Hyunjae,
“Chaggi… ada SMS, cepat dibaca.” Segera kubuka pesan yang datang, “Saengil Chukkkae chaggi~a,” tulis pesan itu. Ini pesan dari Hyunjae, aku jadi heran. Berikutnya berentetan lagi pesan singkat dari teman-temanku yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal, ada apa ini? Kulihat tanggal di ponselku, ini ‘kan tanggal kemarin, tanggal ulang tahunku?
“Eun So… kau tidak ke sekolah? Ini sudah jam berapa?” teriak ommaku dari balik pintu kamarku. Segera kubuka kamarku ingin memastikan hari apa ini, “Aduh… putri Omma, saengil chukka. Sekarang kau sudah 23 tahun, semoga segera dilamar Hyunjae ya!” ucap ommaku sambil menciumi kedua pipiku.
“Sekarang tanggal berapa omma?” tanyaku masih tidak percaya,
“Sekarang tanggal ulang tahunmu, kau pasti lupa! Sudahlah, cepatlah bersiap, nanti kau dicap sebagai guru yang tidak disiplin bila terlambat mengajar!”
Kutarik napasku dalam-dalam, kulihat tanggal digital di atas mejaku, ya… ini hari ulang tahunku. Jadi hari ini terulang? Benarkah terulang? Aku teringat sesuatu, kuacak-acak tempat tidurku mencari keberadaan Teddy Bear pemberian Hyunjae, tidak ada!
“Chaggi~a aku menelponmu, segera angkat teleponku. Jangan biarkan aku menunggu…” ponselku kembali berdering, ringtone itu khusus bila Hyunjae menelpon.
“Yeo…buseo?” aku bergetar mengangkatnya,
“Chaggi… nanti sore aku menunggumu di halte, bagaimana bila kita makan malam?” tanyanya. Kemarin dia juga menelponku dan mengatakan hal yang sama.
“Chaggi… kenapa kau diam? Apa kau mendengarku?” tanyanya lagi.
“Ah… nde, nde, nde Oppa!” aku jadi kaget sendiri. Apa Tuhan mendengar doaku? Benarkah Kau mengabulkan doaku Tuhan? Ini kesempatan keduaku ‘kan? Aku memeluk erat boneka pemberian Hyunjae tahun lalu sambil melompat-lompat kegirangan.

Dengan perasaan yang berdebar, kunanti kembali kedatangan Hyunjae sore ini di halte. Persis di sore kemarin, dia datang di waktu yang sama. Dengan senyuman khasnya dia berdiri di depanku.
          “Saengil chukka chaggi…” ucapnya. Aku tersenyum, sungguh terharu dapat melihatnya lagi seperti ini.
          “Gomawo Oppa!” balasku.
          “Sudah lama menunggu?”
          “Lumayan…”
          “Maaf ya, tadi di kantor banyak pekerjaan…”
          “Gwencana…” potongku.
          “Oh ya, ini untukmu!” dia menyodorkan sebuah bungkusan padaku, dengan jantung yang berdebar, kubuka bungkusan itu. Air mataku menetes saat kulihat di dalamnya ada sebuah Teddy Bear dengan balutan blazer hitam.
          “Manis sekali… gomawo Oppa!” aku memeluk Hyunjae yang mungkin keheranan melihat air mata haruku.
          “Kau suka?” tanyanya.
          “Aku suka, suka, suka, suka seeeekaaliii!” tegasku.
          Di dalam mobilnya, aku tak dapat menyembunyikan perasaan bahagiaku, sesekali dia memandangku. Dapat kubaca tatapan herannya pada tingkahku namun dia hanya tersenyum. Boneka pemberiannya itu sudah lebih dari cukup, sungguh aku tidak membutuhkan cincin lagi, terima kasih Tuhan… Kau bersedia menukar Hyunjaeku dengan cincin itu. Kupeluk Teddy Bear itu, tak akan kubiarkan dia jatuh ke jalan.
          “Kau senang sekali ya mendapatkan boneka? Jangan dipeluk terlalu erat begitu…” ucap Hyunjae.
          “Memangnya kenapa? Apa kalau boneka ini kupeluk erat, dia akan bersuara?” candaku. Kueratkan pelukanku pada boneka itu dan benar saja, dia bersuara.
            “Would you marry me? I have something in my pocket!” aku jadi kaget, Hyunjae pun nampak gelagapan. Perlahan kumasukkan jariku ke saku blazer boneka itu dan aku menemukan cincin. Cincin yang sama seperti yang kulihat semalam. Aku tertunduk, sekali lagi air mata haru menetes dan membasahi pipiku.
          “Tentu… tentu aku sangat ingin menikah denganmu…” ucapku.
          “Gomawo…” balas Hyunjae.
          “Bukannya Teddy ini yang melamarku, kenapa malah Oppa yang berterima kasih?” candaku.
          “Mwo?” Hyunjae kaget,
          “Nde… aku akan menikah dengan Teddy ini, bukannya dengan Oppa!”
          “Yaak…” buru-buru Hyunjae menghentikan kemudinya dan membuang Teddy itu ke jok belakang. Diambilnya cincin itu dan dipegangnya tanganku,
          “Maukah kau menikah denganku? Mungkin aku selalu membuatmu kecewa namun aku janji tidak akan membuatmu menangis,” dia menatapku.
          “Bohong, aku tidak percaya. Barusan kau bilang tidak akan membuatku menangis tapi buktinya…” air mata kembali menggenang di pelupuk mataku. Dia menghapus air mataku dan memelukku erat,
          “Saranghae chaggi…” bisiknya. Aku semakin terisak dalam pelukannya.
         
Aku tahu, Tuhan mengajarkanku untuk selalu bersukur pada apa yang kumiliki. Dia saat aku bersukur maka Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang kuharapkan.

~the end~

  Typed on 17 February 2012



Monday 7 September 2015

Silence - Part 5


sebelumnya di Silence - Part 4






Yeobuseo[1]…” ucapku setelah mengangkat panggilan yang masuk
“Maaf… saya hanya mengabarkan kalau saya belum berhasil membujuk pemilik lukisan itu untuk menjual lukisannya,” ucap menejer gallery
“Katakan padanya bahwa aku berani membelinya dengan harga 100.000.000 Won. Aku benar-benar tertarik dengan lukisan itu.”
“Aku sudah mengatakannya tapi dia tetap menolak. Dia bilang lukisan itu tidak untuk dijual. Kenapa anda tidak mencoba melihat lukisan yang lain, masih banyak yang lebih bagus dibanding lukisan Nona Star itu,”
“Lukisan itu… bukanlah sekedar lukisan bagiku, lukisan itu adalah kenangan. Lukisan itu dapat membawaku pada masa ketika aku masih bersama orang yang kucintai,”
“Oh… maaf, saya tidak tahu hal itu,”
“Tidak apa-apa, atau mungkin kau bisa memberikan nomor telepon pelukis itu, mungkin bila langsung aku yang meminta dia akan berkenan,”
“Maaf… sepertinya anda tidak bisa menelponnya Sajangnim[2]…”
“Memangnya kenapa?” tanyaku, deg… jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat apa yang ada di depanku. Mobilku berhenti saat lampu merah dan rombongan siswa TK melintas di zebracross. Apa aku sedang bermimpi? Apa ini hanya halusinasiku karena begitu merindukannya? Seoyoo… itu Seoyoo. Untuk beberapa saat aku terhenyak, terdiam, dan kaku. Sampai akhirnya suara menejer gallery lewat telepon mengembalikan kesadaranku. Berbarengan dengan lampu kembali berwarna hijau dan kendaraan di belakangku sudah memberikan peringatan padaku untuk segera berjalan.
“Sajangnim… apa anda mendengarku?”
“Nanti akan kutelpon lagi, aku ada urusan mendadak!” segera kututup teleponku. Shittt… aku tak bisa memutar balik karena tanda larangan. Terpaksa harus melalui persimpangan di depan sana agar bisa memutar balik ke tempatku tadi melihat Seoyoo. Aku tidak boleh kehilangannya, aku yakin itu dia. Seoyoo… gadis yang telah kucari selama bertahun-tahun ini.
Setelah memutar balik, aku kembali ke tempat di mana aku melihat Seoyoo tadi. Kuyakin mereka belum jauh, sampai akhirnya kulihat rombongan siswa TK yang sedang bermain di taman bunga cherry. Dari arah depan, seorang gadis berlari mengejar balon merah yang terbang, semakin dekat, semakin membuat jantungku berdegub tak karuan, semakin jelas kulihat itu Seoyoo. Gadis itu berhasil meraih benang balon yang terbang, terlihat kelegahan di wajah manisnya.
“Seoyoo~a…” tegurku, gadis itu berbalik. Matanya membulat melihatku, rasa terkejut itu terlihat jelas di wajahnya. Bahkan balon yang dia tangkap terlepas kembali.
“Ibu… kenapa balonku dibuang?!” tangis seorang gadis kecil yang menghampirinya. Ibu? Gumamku dalam hati.
♥♥♥
Byeol akhirnya diam saat Junsu membelikan balon baru untuknya. Ya… Junsu, setelah bertahun-tahun akhirnya kami bertemu kembali. Dunia terasa berhenti berputar saat kulihat dia dengan wujud nyatanya muncul di hadapanku. Selama ini aku hanya dapat melihatnya dalam angan dan lukisanku saja.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya saat Byeol pergi, dia lebih memilih bermain dibanding menemani kami.
“Aku baik-baik saja…” jawabku melalui isyarat. “Lalu bagaimana denganmu sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, aku juga baik-baik saja,”
Ada kecanggungan antara kami berdua, diam dan kaku menghiasi pertemuan kami. Aku tak tahu harus memulai dari mana, pun… mungkin dia juga begitu. Dia menggunakan stelan jas yang rapi, apakah dia telah berhasil? Kuharap begitu, itu tandanya dia telah dapat memaafkan dirinya sendiri.
“Ayo cepat, ini dia Paman yang membelikan aku balon!” tiba-tiba Byeol datang dengan beberapa temannya. Kutarik tangan gadis kecil itu dan bertanya lewat isyarat,
“Ibu… balon mereka juga terbang, aku bilang pada mereka bahwa ada Paman baik hati yang memberiku balon baru saat balonku terbang. Mereka juga ingin dibelikan balon baru!” jelasnya. Wajahku memerah karena malu, aku benar-benar dibuat gemas oleh anak ini. Bagaimana bisa dia berpikiran untuk mengajak temannya minta dibelikan balon lagi.
“Kalian mau balon baru? Ayo ikut Paman!” Junsu menggiring anak-anak untuk membeli balon baru. Ya ampun… kutarik pipi Byeol yang gembung, dia benar-benar menggemaskan.
“Paman Matahari… terima kasih banyak!!!” seru gadis kecilku pada Junsu saat kami menaiki bus untuk pulang. Junsu tersenyum, akupun ikut berpamitan.
“Tunggu…” lerainya saat aku akan naik ke bus. “Bisakah kita bertemu lagi? Itupun kalau tidak ada yang keberatan,” Aku mengangguk mengiyakan, kuberikan kartu namaku padanya. Dia bisa datang menemuiku kapanpun dia mau.
♥♥♥
Seperti mimpi aku berhasil menemukannya, dia banyak berubah. Dia cantik, tak ada lagi kacamata tebal dan rambut kepang dua atau kuncir kuda. Tapi… Byeol memanggilnya Ibu. Ada rasa sakit yang menjalar di setiap persendianku, benarkah dia telah menggantikan posisiku dengan orang lain? Aku tidak mau melepasnya lagi. Aku benar-benar mengharapkannya. Ya Tuhan… jangan beri aku ujian yang tidak dapat kulalui.
Menejer gallery memberikan alamat pemilik lukisan ‘Tuan Matahari’ kepadaku, dan alamat itu membawaku ke Taman Kanak-kanak Eirin, alamat yang sama persis dengan yang diberikan Seoyoo padaku tempo hari.
“Maaf… anda bukannya teman Shin Songsaenim yang bertemu dengan kami tempo hari?” tegur Suster Kepala padaku.
“Benar,” jawabku. “Saya datang ke sini untuk bertemu dengan pemilik lukisan “Tuan Matahari’ yang dipamerkan di gallery di COEX”
“Oh… kebetulan sekali, itu lukisan Shin Songsaenim,” aku tersentak mendengar penjelasan Suster Kepala sekalipun aku sudah memprediksikan sebelumnya. Menejer gallery menyerankan padaku untuk langsung bertemu dengan si pelukis, aku tak akan bisa menelponnya sebab si pelukis bisu tentunya tak dapat berbicara.
“Byeol itu adalah anak asuh kami, usianya belum genap setahun saat orang tuanya mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal. Byeol sebatang kara dan tak memiliki siapa-siapa. Shin Songsaenim sangat menyayanginya bahkan mengizinkan Byeol untuk memanggilnya Ibu. ‘Tuan Matahari’ itu nama yang diberikan Byeol pada lukisan yang anda inginkan,”
“Tanah dan bangunan sekolah ini adalah pemberian Shin Songsaenim. Beberapa tahun yang lalu kami hampir digusur, untunglah Shin Songsaenim memiliki tabungan untuk menebus lahan ini,”
“Saat pertama kali bertemu dengan Shin Songsaenim, keadaannya sungguh menyedihkan. Kurasa dia mengalami masalah yang begitu berat sehingga lari dan bersembunyi. Gadis itu terlalu kuat untuk gadis sebayanya, aku bisa merasakannya hanya dengan melihat tatapan matanya. Banyak orang yang memutuskan bunuh diri di kala terhimpit masalah yang rumit namun tidak dengannya. Dia memilih untuk bertahan dan melalui semuanya dengan tulus.”

Begitulah Suster Kepala menceritakan tentang keadaan Seoyoo padaku selama aku kehilangan kabar tentangnya. Aku bahagia dia dapat melalui semuanya dengan baik. Selama aku berpisah dengannya, di kepalaku hanya ada dirinya, apakah dia mampu bertahan, apakah dia telah memaafkanku, aku tak tahu. Sukurlah dia baik-baik saja, melihat dia hidup penuh dengan kasih sayang, aku jadi berterima kasih pada keadaan yang dulu memisahkan kami. Perpisahan itu membantu kami menyembuhkan luka kami masing-masing.
♥♥♥
Perasaan haru itu menyeruak ketika kulihat dia benar-benar datang. Sejujurnya semalam aku menangis dalam hening mengingat kembali kenangan kami dulu. Bagaimana aku mencintainya, bagaimana dia berdamai denganku, bagaimana aku harus belajar melupakannya setelah tahu dialah penyebab penderitaanku. Dia datang lagi, kulihat dia bercerita dengan anak-anak, wajahnya teduh, sangat berbeda dengan yang dulu.
“Maaf… aku mengganggumu lagi,” sapanya padaku saat dia melihatku datang. Aku menggeleng tanda tak mengapa.
“Akulah orang yang ingin membeli lukisan ‘Tuan Matahari’ milikmu. Aku datang untuk bernegosiasi,” lanjutnya. Mataku membulat karena kaget, ja… jadi dia orangnya? Orang yang membuatku bingung sebab berani menawar lukisan biasa milikku seharga ratusan juta won.
“Kau manggunakan nama lain hingga aku tak tahu bahwa pelukis itu adalah kau. Namun aku baru sadar, ternyata kau menggunakan namanya Byeol[3].”
“Untuk apa kau berlebihan menawarkan ratusan juta won hanya untuk lukisan biasa seperti itu?” tulisku di secarik kertas,
“Bagiku itu bukan sekedar lukisan,” lirihnya. “Itu adalah kenangan, harga ratusan juta yang kutawarkan belum seberapa dibanding kenangan yang diceritakan oleh lukisan itu,” lanjutnya. Aku kehilangan kata-kata, sungguh aku tak tahu harus bilang apa. Lukisan itu memang tentang dirinya, aku melukisnya saat dia mengajakku ke pantai waktu itu. Ya… saat pertama kali melihatnya menangis karena masalah keluarganya.
“Ambillah… aku tak akan menjualnya. Lukisan itu untukmu,” tulisku.

Aku mengantarnya sampai ke parkiran, sebelumnya aku telah mengirim pesan pada menejer gallery bahwa aku telah memberikan lukisan itu pada Junsu. Tak ada banyak bicara antara aku dan Junsu, dia hanya menyampaikan terima kasih padaku dan segera ke mobilnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti,
“Seoyoo~a… bagaimana keadaanmu?” tanyanya pelan nyaris seperti bisikan. Keningku berkerut, bukannya dia sudah menanyakannya?
“Maksudku… lukamu, apakah kau berhasil menyembuhkannya?” tanyanya masih dalam posisi membelakangiku. Deg… aku baru sadar arah pertanyaannya.
“Aku telah memaafkan diriku sendiri, lalu bagaimana denganmu? Apa kau berhasil menyembuhkan lukamu,” dia berbalik menatapku. Tubuhku bergetar, aku nyaris tak dapat menyembunyikannya.
“Aku sangat bahagia saat ayah menelponku bahwa kau datang menemuinya tiga tahun yang lalu,” ucapnya. “Kau meminta izin menggunakan uang yang selama ini dikirim ayah ke rekeningmu, kurasa itu kau gunakan untuk menebus tanah dan bangunan panti asuhan ini. Namun aku belum berani mencarimu setelah tahu kau meminta ayah agar tidak menceritakan itu padaku. Maaf… ayahku melanggar janjinya. Di situlah aku berpikir mungkin lukamu belum sembuh,”
“Aku telah memenuhi permintaanmu, aku datang menemuimu setelah aku berhasil memaafkan diriku,”
“…” aku tertunduk, kusembunyikan wajahku yang mulai basah oleh air mata.
“Di saat lukamu telah sembuh datanglah kembali padaku...” tutupnya.
Tidak… aku tidak bisa terus begini, aku tak mau melepasnya pergi lagi. Selama ini aku begitu menderita menahan rinduku padanya, dan kini dia telah berada di depanku, bagaimana bisa aku tega melepasnya lagi.
“Seoyoo~a… ini bukan perintah tapi ini permohonan, kumohon sembuhkanlah lukamu dan kembalilah padaku,”
Aku berlari memeluknya, menumpahkan segala gejolak yang kupendam selama ini. Berhentilah bicara, semakin kau banyak bicara, semakin kau membuatku lemah. Ya… aku telah sembuh, lukaku telah hilang. Kini bukalah kedua tanganmu dan sambut aku sebab aku ingin kembali padamu.
 ♥♥♥
Beberapa menit sebelumnya
“Hiks… hiks… anak nakal, aku pasti akan membalasmu…” tiba-tiba saja seorang gadis kecil sambil memeluk boneka kelinci masuk ke ruangan tempatku menunggu. Setelah kucermati ternyata itu Byeol.
“Byeol?” tegurku
“Paman Matahari!!!” dia tertawa saat menyadari keberadaanku,
“Kenapa kau menangis sayang?” kuusap kepalanya dan membersihkan air matanya.
“Jonghyun menyebut ibuku tidak bisa bicara… hiks,” perlahan tangisnya kembali lagi. “Tapi aku sudah memukulnya Paman, kupukul kepalanya dengan kotak pensil!” tangisnya berhenti dan dia berbicara penuh semangat.
“Jangan memukul teman seperti itu, nanti dimarahi Ibu Guru,”
“Aku sudah dimarahi oleh Ibu Guru…” lirihnya. “Ibuku bukannya tidak bisa bicara, ibuku hanya malas bicara. Ibu berjanji padaku bila aku mendapat peringkat pertama maka ibu akan bicara,”
“Lalu… sekarang kau peringkat berapa?”
“Peringkat dua!”
“Kalau begitu kau harus belajar sedikit lebih giat lagi agar mendapat peringkat satu!”
“Tidak mau! Aku tidak mau jadi peringkat satu,” seru gadis kecil itu.
“Kenapa tidak mau?” tanyaku heran.
“Aku tidak mau ibuku jadi pembohong!” jawabnya. Aku tidak mengerti maksudnya, “Bagaimana bila aku mendapat peringkat satu tapi ibu tetap tak mau bicara?!” kupeluk gadis kecil itu, apakah dia mengerti bila kukatakan padanya bahwa semua itu karena diriku?
“Paman Matahari… jangan beritahu ibu bila aku tak mau menjadi peringkat satu ya! Janji?!” tanya gadis cilik itu.
“Janji!” ucapku lemah dengan senyum pahit. “Byeol… apa paman bisa bertanya padamu?”
“Apa?!”
“Kenapa kau memanggil Paman dengan sebutan Paman Matahari?”
“Paman ‘kan yang berada di lukisan Ibuku?” tanyanya kembali, “Di kamar Ibuku masih banyak lukisan Paman Matahari, banyak… banyak sekali…” gadis cilik itu bercerita dengan penuh semangat. “Dan Ibu selalu tersenyum saat melihat lukisan itu!”
Ommo[4]… Ibuku datang! Aku harus cepat pergi!” dia jadi panik saat melihat Seoyoo dari jendela. Dengan langkah kecilnya, dia berlari lewat pintu lain. Belum sempat keluar, dia kembali lagi menghampiriku,
“Paman janji ya tidak akan memberi tahu Ibu kalau aku tak mau menjadi peringkat satu!” dia kembali untuk mengingatkan aku rupanya. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Paman janji!” jawabku penuh semangat. 

♥♥♥ Silence End ♥♥♥







[1] Halo
[2] Direktur
[3] Byeol = star (bintang)
[4] Astaga