Sebelumnya di Flower + Guys (Part 10)
Aku dan
Siwon mengunjungi pasar malam bersama, ehm… mungkin dapat dikatakan kencan.
Semenjak kejadian di Mokpo itu, aku dan dia menjadi sangat dekat. Dia mencoba
memegang tanganku, aku cukup terkejut, juga lumayan malu. Kulirik dia di
sampingku yang ternyata reaksinya tidak jauh beda denganku. Kami bergandengan
tangan sepanjang jalan sambil melihat-lihat dan sesekali singgah memilih barang.
Siwon memaksaku berfoto di photo shop
dan kurasa aku tak dapat menolak. Hasilnya lumayan lucu, ternyata aku cukup fotogenic.
Kami singgah di kedai makanan kecil
untuk beristirahat sambil kami menikmati kue beras. Ini pertama kalinya
Pangeran Boryeong itu makan di kedai kecil di pinggir jalan, aku cukup kasihan
melihatnya namun dari ekspresinya aku dapat berkesimpulan bahwa dia
menikmatinya.
“Mau coba ini?” tawarku pada sate
usus, keningnya bekerut, “Coba sedikit saja, kalau tak suka aku tidak akan memaksamu
lagi!” lanjutku. Dia menurutiku, wajahnya yang tadi pesimis berubah mual saat
satu gigitan masuk ke perutnya. Buru-buru kuberi cola untuknya, “Mianhe… aku
tidak akan memaksamu lagi!” ucapku penuh penyesalan.
“Uhm… kurasa tidak begitu buruk!” selanya,
aku kaget,
“Kau suka?” tanyaku. Dia mengangguk
sambil tertawa renyah. Setelah kenyang, kami pun melanjutkan jalan-jalan kami.
Wah… aku melihat game zone, aku singgah melihat-lihat permainan yang ada.
Mataku tertuju pada gantungan kunci boneka dalam box game,
“Kau suka?” tanya Siwon, aku
mengangguk
“ Ayo kita beli!” putusnya,
“Ambilkan saja untukku! Kau bisa
‘kan?” tanyaku. Siwon pun menurut, dia berusah mengambilkannya untukku. Meski
jepitannya selalu meleset sehingga kami harus mengeluarkan banyak koin namun
akhirnya dia berhasil mendapatkan gantungan kunci itu.
Aku tersenyum-senyum sendiri sambil
memandangi hadiah kecil yang baru saja dimenangkan Siwon untukku. Sebuah
gantungan kunci boneka berwarna putih.
“Hanya gantungan kunci biasa seperti
itu, kau tak perlu berlebihan!” tegur Siwon yang heran melihat reaksiku. Kami
duduk di tepi sungai sambil menikmati secangkir kopi hangat.
“Siapa bilang ini gantungan kunci
biasa? Tadinya ini memang hanya benda biasa yang bahkan tidak berharga, namun melihat
kau begitu gigih mendapatkannya untukku maka benda ini berubah menjadi benda
yang istimewa.”
“Jiah… dasar!” dia tertawa geli.
“Aku tidak pernah menilai sesuatu
dari bentuk ataupun harganya. Aku menilai sesuatu dari seberapa keras
perjuanganmu untuk mendapatkannya. Semakin keras kau berusaha untuk
mendapatkannya tentu semakin barharga hal itu untukmu. Dan benda biasa ini kau
dapatkan dengan susah payah, tentunya akan menjadi hal yang berharga untukku.”
“Jadi benda biasa pun dapat menjadi
istimewa ya?” tanyanya. Aku mengangguk sambil terus memandangi gantungan kunci
itu dengan bahagia. Siwon sampai harus berulang kali menukar koin untuk
mendapatkan benda ini. Kalau mau dijumlahkan, uangnya habis 5000 won padahal
harga gantungan kunci ini di toko-toko hanya 1000 won. Kesimpulannya… Siwon
payah dalam permainan ini!
“Siwon-ssi…”
“Uhm…?”
“Terima kasih…”
“Untuk apa?
“Sebab malam ini kau sudah membuatku
senang!”
“Jangan terlalu cepat mengucapkan
terima kasih…” ucapnya, “…sebab masih banyak malammu yang akan kuberi
kebahagiaan. Tidak hanya malam ini aku akan membuatmu senang!” lanjutnya.
Kusandarkan kepalaku di bahunya sambil tersenyum bahagia,
“Kalau begitu tepati janjimu!”
tutupku.
Kami kembali bergelut dengan
kegiatan sekolah, kali ini kami harus lebih focus pada pelajaran sebab sebentar
lagi kami akan menghadapi kelulusan. Meski sedang sibuk belajar, bersantai
bersama Flower Guys dan Sungyeon rutin aku lakukan sepulang sekolah maupun saat
istirahat. Aku tak tahu mesti menggunakan cara apa agar Sungyeon dapat berdamai
dengan Sungmin. Jangan kira meski kami sering berkumpul, Sungmin dan Sungyeon
akan menjadi tontonan menarik bila sedang bertengkar. Malam ini, seperti
malam-malam biasanya, Siwon mengantarku pulang.
“Gwansim… jangan terlalu lelah belajar,
kulihat kau terlalu pucat untuk ukuran orang sehat!” pesan Siwon sebelum aku
membuka pagar. Aku tersenyum kemudian mengangguk. “Bukannya kau telah mendapat
beasiswa, jadi tidak perlu berlebihan belajar. Ayahku bukan tipe orang yang
akan mencabut beasiswa dengan mudah!” lanjutnya.
“Ok!” candaku. “Sekarang kau juga
harus pulang, ini sudah malam. Kau kan juga butuh istirahat!” pesanku. Siwon
melangkah mendekatiku, dia menatapku dalam. Dibelainya rambutku yang tertiup
angin, aku mulai deg-degan saat wajahnya mendekat. Ya ampun… Siwon, ini di
depan rumahku! Bagaimana kalau ayah dan ibuku juga Oppaku melihat?! Kututup
mataku rapat-rapat saking gugupnya, kuharap dia tidak nekat.
“Kau kenapa?” tanyanya tiba-tiba.
Segera kubuka mataku dan dia ternyata tidak melakukan apa-apa. “Yaak, kau
berpikiran jorok lagi ya?!” dia menyentil hidungku, “Aku hanya memperhatikan
lingkar matamu yang seperti mata panda.” Astaga… malunya aku, aku kenapa selalu
berpikiran jorok sih?
“Oh… benarkah?” ucapku lari dari
rasa kikuk.
“Bagaimana kalau besok kita ke salon
Heechul Hyung? Lagian sudah lama kita tidak berkunjung ke tempatnya!”
“Boleh… kita ajak yang lain juga…”
tawarku.
“Uhm, lebih ramai akan lebih baik!”
“Ya sudah, kau pulanglah. Angin
semakin kencang dan udara sangat dingin. Aku takut kau terkena flu!”
perintahku.
“Baiklah… sampai bertemu besok!”
serunya dan bergegas masuk ke mobilnya. Dia pun pegi dengan menyisahkan
senyuman untukku. Aku pun berbalik dan segera masuk ke halaman. Deg… aku
terkejut saat melihat Yesung Oppa berdiri tepat di hadapanku, dia menatapku
tajam. Aduh… dia pasti melihat kejadian tadi, dia pasti salah paham.
“Oppa… aku dan Siwon tadi hanya…”
ucapanku terhenti saat melihat tetes demi tetes air matanya mengalir. “Oppa…?”
ucapku bingung.
“Apa benar kau mencintainya? Lalu
bagaimana denganku, apa tak ada sedikitpun rasa itu terhadapku? Aku yang selama
ini menjaga dan mendukungmu tapi kenapa justru orang yang baru kau kenal yang
mendapatkan cintamu? Apa kau tidak tahu kalau aku terluka selama ini, aku tak
dapat melihatmu bersama pria lain,” ucapnya. Aku kaget, untuk sesaat aku hanya
dapat diam.
“Aku tak dapat menahannya lagi, aku
tidak bisa terus diam seperti ini. Hal ini membuatku begitu tersiksa. Selama
ini aku berusaha tegar namun akhirnya aku runtuh juga. Aku sungguh tak bisa
melihatmu bersama orang lain sebab… aku juga mencintaimu!” bergegas ia masuk ke
rumah, aku yang masih shock hanya dapat berdiri seperti patung di tempatku.
“Siwon-ssi?!” tegurku kaget saat
kusadari ada dia yang berdiri di belakangku. Di tangannya ada sapu tanganku,
jadi dia kembali untuk memberikan sapu tanganku yang tertinggal di mobilnya.
Apakah dia mendengar semuanya?
Semua diam, Siwon, Sungyeon,
Sungmin, Kyuhyun, juga Donghae. Saat ini kami berkumpul di ruang Flower Guys
untuk membicarakan apa yang terjadi semalam. Jelas terlihat ada kekecewaan di
wajah Sungyeon yang telah bertahun-tahun menyimpan hati pada Oppa-ku. Siwon
berdiri di depan jendela dan mengarahkan pandangannya ke luar, Sungyeon
terduduk lesu di hadapanku, begitu pun Sungmin yang menyepi di sudut. Kyuhyun
dan Donghae… hanya diam menatapku seakan memberiku kesempatan untuk bicara.
“Ini konyol! Bagaimana mungkin ini
terjadi?” protes Sungyeon, “Ingin tertawa pun aku tidak bisa! Ini benar-benar
di luar nalar. Meski kau bukan adik kandungnya tapi bagaimanapun kalian tetap
saudara!”
“Yeon~a!” lirihku,
“Ini gila!” tutup sahabatku itu dan
bergegas meninggalkan kami.
“Aku juga kehilangan kata-kata, aku
tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Aku mungkin akan lebih menerima kalau
Yesung Hyung mencintai gadis lain, kurasa aku masih bisa bersaing dengan gadis
itu, tapi kalau sainganku itu justru kau…” Sungmin melirikku, dia menarik
napasnya dengan berat. Dia pun pergi tanpa sempat menyelesaikan kata-katanya.
Aku semakin terpojok, kusadari kedua orang yang baru keluar itu… benar-benar
menaruh harapan pada Oppa-ku.
“Jadi kau anak adopsi?” tanya
Kyuhyun, aku mengangguk.
“Orang tuaku meninggal saat usiaku
enam tahun kemudian aku diadopsi oleh keluarga Yesung Oppa yang ternyata
bersahabat baik dengan orang tuaku dulu. Sebagai rasa terima kasihku, aku pun
mengganti namaku beserta surat-surat kelahiranku atas nama orang tua adopsiku,”
jelasku. Donghae yang memang sudah tahu sejak dulu hanya diam tertunduk.
Setelah Sungyeon dan Sungmin yang
pergi, kini giliran Siwon. Dia pun pergi begitu saja tanpa sempat berbicara.
“Aku harus bagaimana Kyuhyun-ssi?”
tanyaku cemas.
“Aku juga tidak tahu, aku sungguh
kehilangan ide untuk masalah ini!” balasnya. Kulirik Donghae dengan isyarat
pertanyaan yang sama,
“Kau tak harus berbuat apa-apa
sekarang. Biarkan semua tenang dulu, saat ini mereka pasti shock dan belum
dapat berpikir jernih.”
“Betul, kita hanya perlu menunggu
dengan diam, biar waktu yang bekerja membantu kita!” ucap Kyuhyun yang searah
dengan pemecahan yang diajukan Donghae.
Kekakuan antara aku dan Oppa
terlihat jelas, entah siapa yang menghindari siapa, yang jelas kami selalu
menghindar setiap kali akan berpapasan. Di sekolah juga begitu, sampai sekarang
Sungyeon, Sungmin, bahkan Siwon belum bertegur sapa denganku. Aku tak tahu
harus menyalahkan siapa saat ini, aku tidak pernah mengharapkan Oppa melakukan
ini padaku lalu kenapa aku dijauhi begini? Untung masih ada Kyuhyun dan Donghae
yang mendukungku, entah bagaimana kalau mereka juga menjauhiku, aku bisa gila.
“Oppa akan pindah ke Dongdi?”
tanyaku kaget saat ibu menyampaikan rencan Oppa padaku.
“Uhm, padahal rumah sakit di Seoul
banyak, tapi kenapa mesti menerima tawaran ke Dongdi!” keluh ibu. Apa Oppa
mencoba untuk menghindar? Kasihan ibu, jelas sekali ia tidak ingin tinggal
terpisah dengan anaknya meski itu hanya berjarak tiga jam perjalanan darat. Ibu
tidak tahu apa-apa, aku jadi semakin merasa bersalah.
“Oppa… bisakah kita bicara sebentar?
Kita tidak bisa terus begini, kumohon jangan terus menghindar…” pintaku di
depan pintu kamarnya yang terkunci. Jongjin Oppa menepuk bahuku,
“Untuk saat ini biarkan Hyung
sendiri, dia butuh waktu untuk menenangkan hatinya. Hal ini tentu sangat sulit
dilaluinya sehingga hanya kesendirian yang dapat membantunya.” Aku terkejut
menatap Oppa-ku, “Uhm, aku sudah tahu. Semalam aku tak sengaja melihat kalian
di pekarangan…” lanjutnya sekaligus menjawab tatapan terkejutku.
Oppa mengajakku ke café, ia
menghiburku, di sana kami bercerita banyak tentang masa kecil kami, saat
pertama kali aku diadopsi oleh keluarganya. Tepatnya kami bernostalgia,
mengenang saat bahagia itu. Orang tuaku meninggal saat aku berumur enam tahun
kemudian aku diadopsi oleh keluarga Kim yang rupanya sahabat baik orang tuaku.
Saat pertama kali aku datang ke kediaman baruku, aku lebih banyak diam dan
menyendiri, juga masih sering menangis. Aku bahkan menjaga jarak dengan kedua
Oppaku yang terlihat begitu perhatian padaku.
Kedua Oppaku begitu sayang padaku, bahkan
setiap peringatan kematian kedua orang tuaku yang meninggal karena bencana alam,
kedua Oppaku akan mengantarku ke makam dan kami pun berdoa bersama. Aku dan
Jongjin Oppa bersekolah di sekolah yang sama. Aku dan Jongjin Oppa masih duduk
di bangku sekolah dasar dan Yesung Oppa sudah berada di tingkat menengah
pertama. Setiap pulang sekolah, Yesung Oppa menjemput kami dan kami pulang
bertiga. Biasanya kami tidak langsung pulang, kami singgah bermain di taman
entah itu untuk menangkap serangga atau bermain petak umpet. Biasanya kami akan
lupa pulang bila keasyikan bermain sehingga Omma datang dan menjemput kami.
Yesung Oppa selalu kena marah bila sudah seperti ini, katanya Oppa tidak
memberi contoh yang baik bagi adik-adiknya.
Perlahan tapi pasti aku akhirnya
dapat melupakan rasa perih kehilangan keluarga sebab aku mendapat pengganti
yang sama baiknya. Meski aku putri adopsi namun aku tidak pernah diperlakukan
seperti anak adopsi. Ayah dan ibuku menyayangiku seperti mereka menyayangi
kedua putranya. Aku pun tumbuh menjadi anak yang tak kekurangan kasih sayang,
aku punya ayah, ibu, dan dua Oppa yang sangat baik. Namun sekarang… hiks,
apakah keakraban antara aku dan Oppaku akan lenyap?
“Yeon~a…
aku baru saja membuat banana cake, kau mau mencoba? Aku tidak tahu apakah
rasanya enak sebab ini resep baruku bersama ibu!” aku mencoba mendekati Sungyeon,
jujur saja kalau aku tidak bisa berlama-lama jauh darinya.
“Maaf…
aku harus ke perpustakaan!” tolaknya. Sikapnya begitu dingin, aku menatap
kepergiannya dengan dada yang sesak.
“Wah…
apa yang sedang terjadi? Apakah kita ketinggalan berita teman-teman?” perkataan
Jessica mengusikku, aku menoleh ke arahnya yang tersenyum meremehkan.
“Sepertinya
duo bunga dan daun sedang dalam masalah. Ada apa ya? Tidak biasanya mereka jadi
dingin begini!” sambung Jaekyeong.
“Ha…ha…
akhirnya si Daun mengerti kalau Bunga yang selama ini menemaninya bukan rekan
yang baik!” seru Eunjeong tak mau kalah. Kuserahkan kotak bekalku pada mereka,
mereka kebingungan…
“Kalian
belum makan siang ‘kan? Cicipi cake buatanku!” ucapku sambil nyelosor pergi.
Aku tak tahu kenapa mereka begitu membenciku, kurasa aku tak punya hak melarang
mereka memusuhiku. Aku cukup menghindar dan semua akan baik-baik saja. Oh ya,
arti dari namaku adalah bunga, tapi kenapa mereka menjuluki Sungyeon daun?
“Dia
kenapa?” tanya Jaekyeong,
“Sepertinya
dia sudah gila!” jawab Eunjeong.
“Ah…
tidak, Siwon sunbae tidak mungkin menyukai orang gila!” pekik Jessica.
Aku
duduk menyendiri di taman belakang, tempat aku dan Sungyeon juga Flower Guys
menghabiskan waktu istirahat. Tubuhku memang di sekolah namun pikiranku terus
berada di rumah. Sampai kapan Oppa akan seperti ini? Aku tak ingin dia pergi
dengan meninggalkan masalah kami yang belum terselesaikan.
“Jangan
terlalu mengkhawatirkan masalah ini, jalan keluar pasti akan muncul!” Donghae
muncul sambil menyodorkan sekaleng jus padaku, disusul Kyuhyun yang sedang
membawa kotak bekalku.
“Cake
buatanmu enak!” seru si magnae yang asyik mengunyah sampai pipinya gembung.
“Kenapa
cake itu ada padamu? Bukannya aku memberikannya pada Jessica dan
kawan-kawannya?”
“Dia
merampasnya, ternyata nafsu makannya besar!” jawab Donghae.
“Kami
melihat kau di-bullying oleh mereka, heran deh… kenapa kau malah memberikan ini
pada mereka? Mereka kan tidak pernah berbuat baik padamu,” keluh magnae
“Itulah
mengapa Gwansim perlu pelindung sebab dia tak tahu membedakan mana teman dan
mana lawannya. Semua diperlakukan sama rata seperti teman sehingga dia tidak
tahu kalau sebenarnya dia bisa saja diserang,” jelas Donghae.
“Kalau
begitu, aku akan jadi pelindungmu asal kau membuatkan cake seperti ini
untukku!” seru Si Magnae, aku tersenyum. Terima kasih sebab kalian masih
bersikap baik padaku serta mendukungku.
Aku
melangkah lemah memasuki rumahku, saat berjalan ke kamarku, kulihat kamar
Yesung Oppa terbuka. Senyumku mengembang, kurasa ini kesempatan untuk bicara
dengannya. Tanpa banyak menunggu, aku segera masuk ke kamar itu. Senyumanku
menghilang saat kulihat Omma lah yang berada di dalam sambil merapikan barang
dan sekalian menutupi beberapa property dengan kain.
“Kenapa
Omma merapikan kamar Oppa?” tanyaku agak khawatir, jangan-jangan…
“Oppa-mu
sudah berangkat Nak, maaf ya… omma tidak bisa menahannya sampai kau pulang,”
“Oppa
sudah berangkat?!” kagetku. Omma mengangguk dan membelai rambutku.
“Sebenarnya
Omma sudah memintanya menunggumu untuk berpamitan tapi dia bilang pada Omma
untuk menyampaikan salamnya saja padamu.”
“Tapi…
tapi… itu… ini tidak adil!” aku mulai bergetar,
“Omma
mengerti perasaan Oppamu, dia pasti sangat berat meninggalkanmu sehingga
memutuskan untuk pergi tanpa pamit denganmu. Kau tahu sendiri, Oppa-mu sangat
sayang padamu, mana tahan dia mengucapkan selamat tinggal denganmu,” ucap ibu.
Aku melangkah lemah keluar dari kamar Yesung Oppa, sesekali kuseka air mataku.
Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi juga, kekecewaannya kini berubah menjadi
benci. Bahkan untuk berpamitan denganku dia enggan.
“Jangan
menangis, Omma tidak tahu masalah kalian!” Jongjin Oppa muncul di hadapanku,
“Tidak usah khawatir, Hyung tidak membencimu, dia hanya berusaha melupakanmu
dan mungkin baginya ini adalah salah satu caranya,” Oppa mengusap air mataku.
Aku memeluknya dan menangis sedih, dia mengusap kepalaku, “Jangan bersedih, itu
pesan Hyung untukmu sebelum dia pergi.”
Duk…duk…duk…
terdengar jelas suara bola di-drible, Siwon berlari dengan kakinya yang telah
sembuh sambil menggiring bola ke bawah keranjang. Saat tepat berada di depan,
diangkatnya bola itu kemudian melemparnya sehingga bola itu masuk ke keranjang.
Benda bulat itu pun terpantul-pantul setelah lepas dari jaring dan bermuara ke
arahku. Siwon pun melangkah mendekat, kurasa bukan untukku namun untuk bola
itu.
“Sampai
kapan kita akan begini?” tanyaku lemah saat dia mengambil bola yang berada di
ujung sepatuku. Dia tidak menjawab malah langsung memutar haluan
membelakangiku. Aku melangkah cepat dan memeluknya dari belakang, “Jangan
perlakukan aku seperti ini… kumohon! Oppaku meninggalkanku, Sungyeon
menjauhiku, dan kau mendiamiku. Kyuhyun-ssi dan Donghae tidaklah cukup untuk
mendukungku, aku juga butuh kau. Ke mana lagi aku menangis kalau bukan padamu!”
isakku. “Ini bukan salahku, aku pun sungguh tidak ingin ini terjadi, namun ini
berada di luar kendaliku…” dia tiba-tiba melepas pelukanku. Aku diam dengan
rasa perih, sampai kapan kau akan marah?
“Aku
tidak ingin marah lagi…” ucapnya lembut dan tanpa kusangka dia berbalik
memelukku. “Aku tak ingin kau menjadi lelah akan sikapku sehingga kau menyerah
dan akhirnya pergi. Saat ini sainganku telah bertambah satu, bukan hanya
Donghae namun tak tanggung-tanggung adalah Oppa-mu. Aku harus menjagamu sebaik
mungkin agar tidak kehilanganmu!” ucapnya mempererat pelukannya. Aku tersenyum
dalam tangisku, gomawo Siwon-ssi… hiks.
Siwon
mengantarku pulang, kali ini bebanku terasa hilang sebagian. Setidaknya aku
sudah mendapatkan satu lagi pendukung. Aku benar-benar tak berdaya di saat aku
kehilangan kasih sayang dari orang-orang yang kucinta. Aku membuka pintu
kamarku, dan alangkah kagetnya aku saat kulihat Sungyeon tidur di kasurku.
“Oh…
kau sudah pulang? Sungyeon sudah lama menunggumu, makanya dia ketiduran.
Memangnya kau dari mana Nak?” tanya Ibu.
“Aku
dan Siwon ke Dongdaemun Omma, oh ya, kenapa Sungyeon datang?” tanyaku.
“Entahlah,
waktu dia datang, wajahnya sangat layu. Sepertinya dia ada masalah, dia hanya
bilang ingin bertemu denganmu dan memutuskan untuk menunggumu saat Omma bilang
kau belum pulang dari sekolah,”
“Oh
begitu…” ucapku sambil memandangi wajah sahabatku.
“Omma
akan ke restaurant, Appamu sendirian di sana,” pamit Omma,
“Nde…”
ucapku.
Aku
duduk di samping sahabatku, kubelai rambutnya, aku begitu sayang padamu namun
aku tidak tahu bagaimana caranya untuk membuatmu bahagia. Maafkan aku, aku tahu
kau begitu sakit, Oppaku yang kau taksir bertahun-tahun justru menyukaiku.
Andai aku dapat mengatur perasaan seseorang, tentu aku akan membuat Oppaku
menyukaimu.
“Oh…
Gwansim,” Sungyeon terjaga, mungkin karena belaianku. Dia segera duduk dan
memperbaiki posisinya sambil sesekali menguap kecil. “Kau dari mana saja, aku
menunggu cukup lama.”
“Maaf,
aku dan Siwon ke Dongdaemun tadi,”
“Hm…
jadi kau dan Siwon sudah berbaikan?” dia tersenyum lega. Perlahan air wajahnya
berubah, dia terlihat sedih. Serta merta dia memelukku dan kurasakan tubuhnya
mulai bergetar karena menangis. “Maafkan aku, tak seharusnya aku memusuhimu
karena masalah ini. Aku tahu kau tak salah namun egoku terlalu besar untuk
dapat menerima apa yang telah terjadi. Berhari-hari aku memikirkan semua ini,
kita telah bersama selama bertahun-tahun, tak adil bila aku memusuhimu atas
kejadian yang sama sekali bukan salahmu.”
“Yeon~a…”
lirihku, mataku berkaca-kaca mendengar rintihannya.
“Aku
sangat menderita Gwansim… aku juga sakit karena menjauhimu. Aku sadar kalau aku
sudah sangat menyangimu, aku menyayangimu lebih dari rasa sukaku terhadap
Oppa-mu. Jadi kumohon maafkan aku, bisa ‘kan kita berdamai?”
“Mianhe hal gotkkajineun obseo…” tak ada
yang perlu dimaafkan, “Kau tak pernah salah, aku yang telah mengecewakanmu
justru akulah yang harus minta maaf,”
“Gwansim~a…
aku sangat menyangimu!” isaknya.
Flower + Guys End