Thursday 24 August 2017

FF My First Love - Part 5 (End)


“Ah Ra...”
“Uhm?”
“Sebenarnya apa tujuanmu kembali ke Namwon?”
“Untuk menemuimu,” gadis itu berkata yang sebenarnya, alam bawah sadarnya secara spontan membuatnya berkata jujur meski dia ingin berbohong.
“Untuk apa kau menemuiku?”
“. . . .” gadis itu memilih diam, dia yakin bila sedikit saja dia membuka mulut maka rahasianya akan terbongkar.
“Kenapa kau masih menyimpan sapu tanganku? Saat mencari inhaler-mu waktu itu aku juga melihat memo yang pernah kuberikan padamu sepuluh tahun yang lalu. Kau bahkan melaminatingnya! Apa maksudnya semua ini, kenapa kau masih menyimpan barang-barang yang seharusnya sudah lama kau buang?”
“Apa aku tidak boleh menyimpan barang-barang pemberianmu?”
“Untuk apa kau menyimpan sampah-sampah itu?”
“Mereka bukan sampah! Apapun yang kau berikan padaku, bagiku itu bukan sampah!”
“Sepenting itukah? Lalu apa artinya aku bagimu? Aku ‘kan hanya sahabatmu kau tidak perlu berlebihan seperti itu.”
“Kau bukan hanya sahabat bagiku, kau juga cinta pertaku!” mata gadis itu berkaca-kaca. Akhirnya dia tidak dapat menahan kebohongannya lebih lama lagi.
“Apa? Kau bercanda ‘kan?”
“Bagaimana bisa aku bercanda dalam keadaan seperti ini?”
“Yaak... Cho Ah Ra, bukannya dulu kau menolakku karena aku bukan tipe-mu?”
“Aku berbohong saat itu, hiks...”
“Kenapa kau lakukan?”
“Aku terpaksa, aku punya alasan sendiri melakukannya...”
“Ah iya, kau sahabat dengan segudang rahasia! Simpan saja ceritamu itu, jadikan dongeng pengantar tidurmu saat kau tak bisa tidur sebab aku tidak percaya lagi padamu. Semakin lama, kau membuatku semakin muak!”
“Seo Joon...” Ah Ra menangis, ini pertama kalinya Seo Joon berkata sekasar itu padanya.
“Kau menghancurkan perasaanku saat itu dan sekarang dengan mudahnya kau bilang bahwa kau berbohong, kau punya alasan sendiri melakukannya. Apa kau pikir hatiku ini keramik yang bisa kau hancurkan kemudian dapat kau rekatkan kembali setelah kau jujur bahwa kau terpaksa membohongiku?!”
“Maaf... hiks,”
“Jangan menangis, kau seharusnya tertawa setelah kau berhasil mempermainkan aku!”
“Aku benar-benar minta maaf Seo Joon...”
“Aku tidak bisa memaafkanmu, aku tidak akan melakukannya! Sekarang lebih baik kau pergi, menghilanglah dari kehidupanku!”
“Kumohon jangan seperti ini padaku, penyesalan terbesar yang kupikul selama sepuluh tahun ini adalah membuatmu terluka saat itu. Aku datang bukan untuk merebutmu darinya, aku hanya ingin memperbaiki kesalahpahaman di antara kita. Aku benar-benar tulus minta maaf padamu.”
“Sudah kubilang jangan minta maaf lagi, aku tidak akan memaafkanmu! Ketahuilah... aku merasa menyesal... kenapa dulu aku mau menjadi sahabatmu!”
“Jika dulu kau membiarkan aku tidak punya teman dan kesepian aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku. Kumohon jangan sesali persahabatan kita, jangan membenciku, jangan tutup pintu maafmu untukku, hiks...”
“Aku baru tahu kau ternyata sangat egois, kau masih mengharapkan aku memperlakukanmu seperti teman setelah kau membuatku terlihat seperti pecundang!”
“Aku salah... aku tahu aku bersalah padamu, tidak seharusnya dulu aku membuatmu kecewa. Kini ingin memperbaiki semua pun sudah terlambat. Kau akan menikah dan semua harapanku hilang.”
“Berhentilah mengoceh, kau benar-benar merepotkan di saat sedang mabuk. Ayo kita pulang, aku sudah janji pada Bibi Han untuk mengantarmu pulang!” Seo Joon mengemasi barang-barang Ah Ra dan menarik tangan gadis itu menuruni jalan bukit.
“Seo Joon...” Ah Ra masih terisak sambil berjalan.
“Berhentilah memanggil namaku, aku tidak ingin mendengar suaramu!” tegas Seo Joon. Begitu tiba di tepi jalan, Ah Ra segera dimasukkan ke dalam taksi. Kali ini Seo Joon mengancam pengemudi taksi itu untuk tidak mengantarkan Ah Ra ke tempat lain selain alamat rumah yang telah disodorkannya.
“Jangan datang ke pesta pernikahanku, aku benar-benar tidak ingin melihat dirimu lagi. Bila kau melakukannya, aku sendiri yang akan menyeretmu pergi!” ancam Seo Joon pada gadis itu.
♥♥♥

@Namwon 2006
Siang itu keriuhan memenuhi setiap sudut sekolah, upacara perpisahan untuk kelas tiga baru saja selesai. Hampir seluruh siswa mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama. Ah Ra memberesi lokernya, dia harus bersiap kembali ke Seoul hari itu juga. Dia belum bertemu Seo Joon bahkan berharap tidak pernah bertemu lagi. Dia terlalu malu dan merasa bersalah telah menyakiti hati sahabatnya itu sehingga tidak memiliki nyali untuk berhadapan langsung dengannya.
“Aku tahu rahasia antara kau dan Pak Guru Kim. Dia Pamanmu, anak tidak sah dari kakekmu, atau sederhananya akan kukatakan dia anak haram kakekmu. Dia masuk dan menjadi guru di sekolah ini pasti karena nepotisme. Apa jadinya bila seisi sekolah tahu siapa Pak Guru sebenarnya, apa kau yakin kakekmu tidak akan terkena stroke?”
“Lalu bagaimana dengan karir ayahmu sebagai seorang anggota kongres, apakah tidak akan rusak bila media memberitakan bahwa ayahmu memiliki saudara dari hubungan tanpa pernikahan? Maka dari itu sebaiknya kau diam dan turuti semua yang kukatakan. Buat Seo Joon menjauh darimu, aku tidak akan memintamu menjauhinya karena dapat kutebak, semakin kau menjauh maka dia akan semakin mendekat oleh sebab itu kau harus membuat dia sendiri yang menjauhimu.” Begitulah Jin Hee mengancamnya hingga dia tidak berkutik sama sekali. Dia terpaksa mengorbankan perasaannya dan menyakiti Seo Joon.

“Ah Ra...” Seo Joon memanggil gadis itu yang tengah jalan seorang diri, “Kau akan pergi?” lanjutnya lagi.
“Aku akan kuliah di Seoul,”
“Maukah foto bersama untuk terakhir kalinya?”
“Maaf Seo Joon, aku buru-buru. Ibuku menunggu di luar...”
“Ini tidak akan menghabiskan sepuluh menit waktumu. Setidaknya sebelum berpisah, aku ingin memiliki kenang-kenangan bersamamu,” bujuk Seo Joon. Ah Ra tak dapat menolak, memang terlalu berlebihan bila untuk berfoto saja dia harus menghindar.
“Ah Ra... senyumlah sedikit, ini hari kelulusanmu tapi kau tampak tidak bahagia,” tegur siswa yang dimintai Seo Joon untuk memotret mereka. Ah Ra seperti lupa bagaimana cara tersenyum, sampai foto mereka diambil dia tak dapat menyunggingkan segaris pun senyumnya. Foto dari kamera Polaroid itu tercetak, Seo Joon kecewa melihat hasilnya sebab Ah Ra yang berada di sampingnya benar-benar tidak tersenyum.
“Untukmu...” Seo Joon menyodorkan foto itu pada Ah Ra.
“Bukannya kau yang ingin...”
“Apa artinya bila kau tak bahagia...”
♥♥♥

@Namwon 2016
Pagi ini matahari bersinar cerah, Seo Joon nampak gagah dengan tuxedo hitamnya. Ah Ra hanya dapat memandangnya dari balik jalan, sejauh yang dia bisa. Dia harus menghormati permintaan Seo Joon, pesta ini miliknya dan pria itu berhak memutuskan apa saja yang dia inginkan untuk pestanya termasuk ketidakhadiran Ah Ra.
Di lain pihak, Seo Joon tersenyum ramah menyambut para tamu yang datang. Dia tahu bila Ah Ra sebenarnya datang dan mentapnya dari kejauhan di seberang jalan. Hanya saja dirinya pura-pura tidak menyadari keberadaannya, teman-teman SMA-nya yang bertanya ‘Di mana Ah Ra?’ ‘Kenapa Ah Ra belum datang?’ hanya ditanggapi Seo Joon dengan gelengan kepala ataupun dengan mengangkat bahunya tanda dia juga tidak tahu.
“Nona... apa kita sudah bisa berangkat?” tanya pengemudi taksi yang melihat Ah Ra masih berdiri termangu memandang gedung yang mulai sepi setelah semua tamunya masuk untuk memulai acara.
“Uhm... kita kembali Seoul,” ucap gadis itu lirih.
♥♥♥

~ 6 Bulan kemudian ~

“Ah Ra... kau tidak lupa ‘kan hari ini kau ada janji?!” pekik Ibunya lewat sambungan telepon.
“Iya Ibu... sekarang aku sudah ada di depan Silla[1], baru juga turun dari taksi!” jawab Ah Ra bermalas-malasan.
“Awas saja kalau kau sampai kabur lagi! Jangan buat ibu malu, Ibu sudah bersusah payah mengatur kencan ini dan jangan sampai ada masalah.”
“Iya... ibu tenang saja!” bujuk Ah Ra.
“Tenang apanya? Dua kencan sebelumnya kau kabur dengan alasan yang menggelikan, sakit perut dan mules. Apa kau tidak bisa mengarang alasan yang lebih baik?”
“Baiklah... kali ini aku akan menggunakan alasan yang lebih masuk akal...” balas Ah Ra cuek.
“Apa? Yaak... anak ini benar-benar keterlaluan! Hargailah usaha ibu sedikit saja. Ibu benar-benar ingin melihatmu secepatnya menikah. Teman-teman ibu datang membopong cucunya saat arisan sementara anak ibu... menikah pun belum!”
“. . .” Ah Ra menjauhkan telinganya dari ponselnya. Telinganya jadi sakit setiap kali mendengar ibunya mengomel di telepon.
“Ah Ra!!! Jangan jauhkan ponselmu dari telingamu!” ancam ibunya. Ah Ra segera melihat sekelilingnya, apa ibunya mengamatinya sembunyi-sembunyi? “Kali ini kau tidak bisa kabur dengan alasan sakit lagi, kau akan berhadapan dengan seorang dokter muda. Ibu sudah memberitahu bila kau mengaku sakit agar dia langsung saja memeriksamu di tempat!”
Kali ini Ah Ra tidak dapat berkutik, sepertinya ibunya sudah mengatur semua dengan sempurna bahkan memperhitungkan alasan yang selalu digunakan Ah Ra untuk kabur dari pria yang dikenalkan Ibunya lewat kencan buta. Gadis itu tidak perlu menunggu lama karena pria yang dimaksud ibunya telah lebih dulu tiba.
“Maaf... apa kau menunggu lama?” sapa gadis itu,
“Ah tidak, aku juga baru sampai. Oh... kenalkan, aku Park Hyun Shik, senang bertemu denganmu!” ucap pria jangkung itu.
“Aku Cho Ah Ra...” balas gadis itu. Begitulah perkenalan mereka dimulai berlanjut pada makan malam dan berkeliling di gallery hotel.

“Eonni...” seseorang memanggil Ah Ra, gadis itu menoleh dan alangkah terkejutnya dia saat tahu siapa wanita yang menyapanya. “Masih ingat padaku?” tanya wanita itu. Wanita yang diketahuinya bernama Go Ah Ra, calon istri Seo Joon, ah... tidak bukan lagi tapi telah menjadi istrinya Seo Joon.
“Ten...tentu...” jawab Ah Ra gagap. Bibirnya bergetar, gadis itu tiba-tiba saja merasa menggigil di sekujur tubuhnya. “Apa yang kau lakukan di sini...?” tanyanya basa-basi.
“Ah... suamiku ada urusan di Seoul makanya aku ikut menemani, Eonni sendiri sedang apa di sini?” wanita itu masih bertanya meski dia sudah melihat Hyun Shik di samping Ah Ra.     
“Aku ada janji dengan temanku... kalau begitu aku pergi dulu...” Ah Ra bergegas pergi menarik tangan Hyun Shik. Sejujurnya dia belum siap berhadapan dengan Seo Joon saat ini, apa yang akan dia lakukan bila harus bertemu dengan pria itu? Dia tidak yakin kalau dia dapat menahan air matanya nanti. Alasan kenapa dia selalu kabur dalam kencan buta yang diatur ibunya adalah... karena dia memang masih belum dapat melupakan cinta pertamanya itu.
“Sayang... bicara dengan siapa?” seorang pria menyapa wanita yang bernama Ah Ra itu. Langkah Ah Ra terhenti, dia segera berbalik sebab dia tahu suara pria itu bukanlah suaranya Seo Joon. Benar saja... pria yang menyapa Go Ah Ra itu bukanlah Seo Joon.
“Dia siapa?” tanya Ah Ra memberanikan diri.
“Dia suamiku...”
“Bagaimana bisa? Lalu Park Seo Joon...”
“Eonni belum tahu... kami batal menikah!”
♥♥♥
Ah Ra menyandarkan kepalanya di jendela bus sambil memejamkan mata, perlahan buliran bening dan hangat mengalir dari kedua sudut matanya. Pertemuannya dengan Go Ah Ra membuat semua hal yang tidak diketahuinya menjadi jelas. Saat itu juga dia memutuskan kembali ke Namwon untuk membuat perhitungan dengan Park Seo Joon.
“Sebenarnya kami berdua tidak menyetujui perjodohan ini, baik aku maupun Seo Joon Oppa tidak saling mencintai. Kami memutuskan untuk membatalkannya dan berterus terang pada orang tua masing-masing, hanya saja tiba-tiba Oppa berubah pikiran. Dia ingin menikah sesuai jadwal yang telah direncanakan orang tua kami. Aku menolak, sebab aku mencintai orang lain. Oppa memohon padaku, dia berjanji akan menceraikan aku secepat yang dia bisa setelah pernikahan nanti. Saat kutanya apa alasannya dia melakukan hal gila seperti ini, dia bilang ingin menghusir seorang wanita dari kehidupannya. Dia melarangku bertanya siapa wanita itu, dia hanya bilang wanita itu pantas mati.”
“Pernikahan kami dibatalkan tepat saat kami berdiri di altar. Dia sendiri yang mengumumkan pada para tamu dan sekaligus meminta maaf pada orang tua. Wanita yang telah menyakitinya... kuharap dia tak akan hidup bahagia sebelum meminta maaf pada Oppa. Orang sebaik dia... berani melakukan hal seperti ini pasti karena rasa sakit yang terlalu dalam.”

@Namwon 2004
            “Kau tak ikut menonton?” tanya Pak Kim pada Ah Ra yang sedang memandang ke luar jendela.
            “Aku tak punya teman...” jawab Ah Ra pelan
            “Kenapa aku merasa bahwa kau dan aku mirip. Aku pun dulu tak punya teman... hanya saja mereka menjauhiku karena aku tak punya ayah dan kau sebaliknya, mereka menjauh karena ayahmu terlalu hebat.”
            “Paman... ibuku baru saja menelpon, keadaan ayah semakin membaik. Semua karena bantuanmu. Andai bukan karena donor sum-sum darimu, aku tak tahu apa yang akan terjadi.”
            “Tak perlu berlebihan seperti itu, bukannya kau juga sudah membantuku. Kau tak perlu pindah ke Namwon hanya untuk merawatku pasca operasi pendonoran itu.”
            “Tidak... apapun yang kulakukan untuk Paman, itu belum seberapa dibanding bantuan Paman untuk ayahku.”
            “Goooool!!!!” riuh suara para penonton dan siswa di lapangan saat si kulit bundar berhasil bersemayam di gawang lawan. Hal itu sukses menarik perhatian Ah Ra, dia kembali menoleh ke jendela untuk menyaksikan keadaan di lapangan.
            “Si nomor punggung Sembilan lagi... dia mencetak lagi...” gumam gadis itu.
            “Oh... Park Seo Joon, dia memang hebat,” sambung Pak Kim.
            “Oh... jadi namanya Park Seo Joon...”
♥♥♥

@Namwon 2016
            Dari jauh Ah Ra melihat Seo Joon yang sedang patroli. Polisi jangkung itu mengobrol dengan beberapa pejalan kaki sambil tertawa akrab. Dia melihat jam tangannya dan berjalan pelan ke mobil patrolinya, sepertinya jam kerjanya sudah berakhir. Ah Ra menyeberang jalan dan menghampirinya. Seo Joon terkejut melihat Ah Ra yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Plaakkk... gadis itu sukses mendaratkan tamparannya untuk melepas amarah yang ditahannya sedari tadi.
            “Yaak...” Seo Joon yang ditampar berusaha menahan emosinya dengan menguatkan rahangnya.
            “Nappeum[2]!” ucap gadis itu, perlahan air matanya menyeruak. “Apa sekarang kau sudah puas setelah menghusirku dari kehidupanmu melalui pernikahan rekayasamu? Selamat... kau berhasil membuat gadis yang pantas mati ini memohon maaf dan belas kasihanmu sambil menangis dan merintih. Kuharap sekarang kau bisa hidup tenang setelah dendam dalam dadamu telah terbayar lunas oleh air mataku! Kau benar-benar kejam!” gadis itu berbalik pergi, dia menghapus air matanya dan berjalan menjauhi Seo Joon. Dia kehabisan kata-kata berhadapan dengan pria itu, sejujurnya dia sudah menyediakan banyak makian dan umpatan sejak di perjalanan tapi semua itu hilang saat Seo Joon berdiri di hadapannya. Ciiittt.... bunyi rem mobil mendadak, gadis itu hampir saja tertabrak.
            “Yaak!! Kau mau mati ya?” bentak si pengemudi pada Ah Ra.
            “Apa kau bersedia membunuhku? Kalau begitu lakukan saja! Aku juga sudah lelah dengan kehidupanku!” Ah Ra membalas si pengemudi itu.
            “Dasar gila!” umpat si pengemudi.
            “Aku tidak gila! Tapi kurasa sebentar lagi aku akan jadi gila... hiks...”
            “Apa kau mabuk?!”
            “Maaf... maafkan dia...” Seo Joon segera menghampiri si pengemudi dan meminta maaf atas nama Ah Ra. Si pengemudi terdiam saat seorang polisi menghampirinya, karena tak mau terlibat lebih jauh dengan polisi diapun memilih langsung tancap gas dari tempat itu.
            “Jangan menangis di tengah jalan seperti ini...” Seo Joon menarik tangan Ah Ra untuk menepi.
            “Lepaskan!” Ah Ra menolak pria itu. “Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa aku pantas mati? Lalu kenapa kau tiba-tiba peduli padaku?”
            “Kau tahu dari mana?” tanya Seo Joon, “Pertanyaan bodoh, tentu saja dari Ah Ra...” Seo Joon berbisik pada dirinya sendiri.
            “Yaak... kenapa kau sekejam itu? Sungguh balasanmu ini membuatku sadar kalau dulu aku benar-benar menyakitimu. Aku minta maaf untuk itu, kita sudahi permusuhan ini... kumohon pertimbangkanlah hubungan baik yang dulu kita bina, bukannya kita sahabat?”
            “Hubungan baik? apa kau yakin kita bersahabat? Kau yang tidak bisa jujur padaku, kau yang menyembunyikan terlalu banyak rahasia di belakangku, dengan sikapmu itu... aku sangsi bila kau masih menganggapku sahabat.”
            “Park Seo Joon... apa kau masih penasaran apa yang kusembunyikan darimu? Apa kau masih bertanya-tanya kenapa dulu aku menolakmu?”
            “Tak perlu kau jawab sebab aku sudah tahu... semua karena Pak Guru Kim...”
            “Kau tahu dari mana?” Ah Ra terbelalak kaget mendengar pengakuan Seo Joon.
            “Huh... Cho Ah Ra, kau siswi jenius, untuk hal sepele seperti ini... tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Kedekatanmu dengannya pasti bukan karena hubungan guru dan murid biasa! Itu sudah jelas terbaca!”
            “. . .” Ah Ra tertunduk.
            “Aku tidak menyalahkan apa yang terjadi padamu, aku tidak pernah mau menyalahkan dirimu. Yang kusesali adalah diriku yang bodoh, kenapa aku masih mengharapkanmu di saat aku sudah tahu semuanya! Bodohnya lagi... sampai sekarang rasa itu masih sama. Dulu kau mempermainkan perasaanku, dulu kau melukai hatiku, dulu kau membunuh harapanku. Sepuluh tahun aku hidup bergelimang kekecewaan karena penolakanmu. Tapi kenapa aku masih saja mengharapkanmu?! Aku tidak pernah menyangka bahwa aku mencintaimu lebih dari yang kukira.”
            “Seo Joon...” suara Ah Ra tercekat.
            “Sepuluh tahun kurasa bukanlah waktu yang singkat, seharusnya dalam rentang waktu selama itu aku sudah bisa melupakanmu, tapi apa? Aku nyatanya tidak bisa melakukannya. Kuputuskan untuk tetap bertahan, biarlah perasaan cintaku ini tetap hidup di dalam hatiku. Aku hanya berharap suatu saat bisa jatuh cinta lagi pada wanita lain sehingga perlahan-lahan aku bisa melupakanmu, tapi tiba-tiba kau kembali, kau datang lagi ke kehidupanku. Kenapa? Kenapa kau harus datang di saat aku mulai terbiasa tanpamu?”
            “Kau datang dengan senyuman... kau bertanya bagaimana keadaanku, kau benar-benar hidup dengan baik selama ini. Itu membuatku marah! Di saat aku berjuang untuk menghapus kenanganmu... kau malah hidup bahagia, bagiku itu tidak adil! Jahat bukan? Ya... aku begini karena ulahmu juga!”
“Lima tahun yang lalu... aku ke Seoul, di saat itu aku seperti orang yang hilang akal karena begitu merindukanmu. Aku ingin menemuimu... aku ingin memintamu kembali padaku, aku ingin memohon kepadamu untuk mencintaiku juga... aku benar-benar ingin hidup bersamamu, tapi apa yang kulihat? Kau masih berhubungan dengan Pak Guru Kim. Kalian bahkan mengajar di tempat yang sama! Dan yang paling membuat hatiku ngilu... kalian memilih cincin pernikahan bersama. Saat itu... saat itu aku merasa seperti orang bodoh, seperti orang yang mengharap salju turun di bulan Juli, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin!”
“Tunggu... selama ini kau menganggapku memiliki hubungan apa dengan Pak Kim?” Ah Ra mulai bisa membaca jalan pikiran Seo Joon. “Apa kau masih mengira aku dan Pak Kim saling menyukai?”
“Lalu apa lagi?” balas Seo Joon.  
“Yaak... Park Seo Joon kupikir kau membenciku karena apa, ternyata karena hal ini. Kim Jae Wook, Pak Guru kita, dia adalah pamanku. Ayahku mengidap leukemia dan Pak Kim lah yang memberikan donor sum-sum. Hubungan kakek dan Pak Kim saat itu masih kaku, aku menjadi penengah untuk mengakrabkan mereka. Kenapa aku menyembunyikan kenyataan ini termasuk padamu... karena Pak Kim adalah anak haram kakekku. Baek Jin Hee mengancamku akan menyebar cerita ini bila aku tidak membuatmu menjauh dariku. Ayahku yang sedang dalam masa pemulihan pengobatan kankernya, kakekku yang sedang berada dalam pengobatan strokenya... aku harus melindungi mereka. Itulah pembelaanku untuk sakit hatimu sepuluh tahun yang lalu.”
“Lima tahun lalu Pak Kim menikah, dia memintaku memilihkan cincin yang cocok untuk pernikahannya nanti, begitulah penjelasanku untuk sakit hatimu lima tahun lalu. Aku tak akan menyalahkanmu untuk semua kesalahpahaman ini, semua karena ulahku juga, ya... benar katamu, semua karena ulahku juga. Andai dulu aku lebih berani berterus terang padamu mungkin kita tidak akan separah ini, saling menyakiti, saling melukai.”
“Setelah semua terbuka, setelah kita mengetahui kenyataan yang ada, kuharap kita bisa saling memaafkan. Jalanilah kehidupanmu dengan tenang, singkirkanlah rasa bencimu padaku. Aku tak ingin melihatmu menderita karena menanggung kebencian itu. Bila memang sulit... pelan-pelan saja, setidaknya itu akan membantuku menjalani hidupku dengan tenang juga.”
“Bebahagialah Park Seo Joon... aku tulus mendoakanmu. Ah ya... satu lagi, jangan berprasangka buruk padaku hanya karena aku diam dan baik-baik saja. Kau tak pernah tahu berapa banyak rindu yang kutampung seorang diri selama kau jauh dariku,” Ah Ra melangkah mundur dan berbalik arah meninggalkan Seo Joon yang bungkam.
Baginya tak ada lagi yang dapat dimulai dengan cinta pertamanya itu. Oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan cara baik-baik. Kebencian yang dirasakan oleh Seo Joon sudah teramat dalam, mustahil merubahnya kembali menjadi rasa sayang. Ponselnya berdering, dia menatap layarnya, dari ibu. Ah Ra meringis...
“Iya Ibu...”
“Yaaaak Cho Ah Ra!!! Kau kabur lagi!!!” ibu mengoceh. Ah Ra menjauhkan telinganya dari ponsel.
“Kenapa ibu menelpon di saat tidak tepat begini?” keluh gadis itu.
“Yaaak, jangan jauhkan teleponmu, dengarkan Ibu!!” perintah ibu yang sepertinya sudah hapal sekali kebiasaan putrinya. “Sampai kapan kau akan membuat ibu malu seperti ini? Park Hyun Sik... apa kurangnya dia? Kau meninggalkannya begitu saja...”
“Ah ya... Park Hyun Sik, aku lupa. Aku berjanji aku akan meminta maaf padanya begitu aku tiba di Seoul nanti. Aku benar-benar harus pergi Bu, ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan,”
“Memangnya kau di mana sekarang?”
“Aku sekarang di Namwon...”
“Apa yang kau lakukan di sana? Urusan penting apa lagi di sana? Anak ini... ibu hanya ingin melihatmu segera menikah apa susahnya bagimu? Memangnya pria seperti apa yang kau cari? Pengusaha, guru, dan yang terakhir dokter... tapi kau meninggalkan mereka semua dan kabur. Yaaak... katakan pada ibu pria seperti apa yang kau inginkan agar ibu bisa mencarikannya untukmu!”
“Ibu kumohon hentikanlah, sampai kapan ibu akan mengatur kencan buta untukku,”
“Sampai kau menemukan pria yang kau inginkan! Ibu yang seharusnya memohon padamu, sampai kapan kau mau kabur di setiap kencan buta yang ibu atur untukmu?
“Hiks....” gadis itu menangis,
“Yaak... Cho Ah Ra kenapa kau menangis?”
“Pria seperti apa yang kuinginkan? Ibu tak perlu bersusah payah, toh dia telah menolakku,” jerit gadis itu dalam hati.
“Ibu maaf... ibu sudah bersusah payah mengatur kencan itu untukku tapi yang ada aku malah selalu merusaknya, aku janji... aku tidak akan membuat ibu malu lagi. Ini yang terakhir kalinya aku kabur, aku janji. Aku akan menemui Park Hyun Sik dan meminta maaf secara resmi padanya. Ibu terima kasih untuk...” pembicaraan Ah Ra terputus saat ada yang merebut ponselnya. Park Seo Joon, pria itu merebut ponsel Ah Ra dan langsung menyambung obrolan mereka.
Anyeong haseyeo Ommoni[3]... Saya Park Seo Joon, temannya Ah Ra saat di SMU Namwon dulu, apa anda masih ingat?”
“Seo Joon... apa yang kau lakukan? Kembalikan ponselku!” perintah Ah Ra. Gadis itu mencoba merebut ponselnya kembali namun Seo Joon menggenggam tangannya seraya menghalangi usaha gadis itu.
“Maaf sebelumnya bila saya lancang tapi bolehkah anda berhenti mengatur kencan buta lagi untuk Ah Ra? Saya mencintai putri anda sejak SMU dulu dan itu tidak berubah sampai sekarang. Saya seorang polisi, Ibu tidak masalah ‘kan dengan menantu seorang polisi?”
“Seo Joon~a apa yang kau lakukan?!” Ah Ra bergidik.
“. . . .” entah apa yang dikatakan ibu, Ah Ra tak dapat mendengar.
“Uhm... maaf sudah membuat anda kaget, secepatnya saya akan menemui Ibu di Seoul untuk membicarakan semua ini,”
“. . . .”
“Kenapa Ah Ra tidak cerita? Entahlah! Tapi terima kasih Ibu atas pengertiannya, aku akan menutup teleponnya lebih dulu. Selamat malam!” Seo Joon memutuskan sambungan teleponnya dan mengembalikan ponselnya pada Ah Ra.
“Mulai saat ini jangan lagi menghadiri kencan buta itu sebab sudah ada aku untukmu!” perintah Seo Joon. Ah Ra kaget terdiam dan hanya bisa menatap takjub pada pria yang saat ini sedang menggenggam tangannya.
♥♥♥
“Apa kau yakin akan pulang malam ini? Bermalam saja!” bujuk Seo Joon pada gadis yang sedang berjalan di sebelahnya.
“Tidak... ibu akan benar-benar marah bila aku tidak kembali malam ini juga. Bus terakhir akan berangkat satu jam lagi, tak masalah bila aku tiba tengah malam di Seoul,” jelas Ah Ra. Langkah mereka terhenti saat tiba di bukit kelinci. Ah Ra meminta pada Seo Joon untuk dibawa ke bukit itu sebelum kembali ke Seoul. “Aku selalu rindu dengan pemandangan malam di bukit ini. Bintangnya bertabur seperti berlian,”
“Aku juga sering ke tempat ini bila kesepian dan merindukanmu...”
“Mulai saat ini, telepon aku bila kau rindu padaku. Jangan biarkan dirimu kesepian!”
“Ah Ra~ya... mulai saat ini kau berjanjilah padaku, tak akan ada lagi rahasia yang kau sembunyikan sebab aku pria yang mudah salah paham,”
“Hi hi hi... aku janji. Dan kau ‘pria yang mudah salah paham’ juga harus berjanji bila ada yang membuatmu gelisah dan bertanya-tanya... maka kau harus menyampaikannya padaku. Sebab aku adalah wanita yang tidak sensitif,” ucap Ah Ra. Mereka berdua tertawa cekikikan.
“Kalau begitu... izinkan aku mengaku padamu, hal ini telah kusembunyikan selama sepuluh tahun dan jujur membuatku gelisah selama ini,” Seo Joon serius menatap Ah Ra.
“Apa?”Ah Ra pun jadi tegang menanti pengakuan Seo Joon.
“Sore itu... saat pertama kali kau membawaku ke bukit ini, di saat kau tertidur, aku... aku....” Seo Joon jadi gagap, ucapannya jadi terbata-bata.
“Kau menciumku?” Ah Ra menebak sendiri.
“Bagaimana kau tahu?”
“Hehehee... Park Seo Joon, bagaimana aku bisa tertidur di samping orang yang kusukai, yang ada aku malah gugup. Aku hanya berpura-pura memejamkan mataku,”
“Jadi...”
“Uhm... itu artinya kegelisahanmu selama sepuluh tahun ini jadi sia-sia...” tawa Ah Ra. Tiba-tiba saja sebuah bintang jatuh terlihat jelas di langit malam. Ah Ra terkejut,
“Kau lihat? Kau lihat bintang yang jatuh? Kenapa tidak ada pemberitahuan di berita?” Ah Ra jadi heboh sendiri. “Wuah... akhirnya aku bisa melihat bintang jatuh bersamamu, ini seperti mimpi. Aku sudah mengharapkan ini sejak sepuluh tahun yang lalu dan sekarang menjadi kenyataan,” gadis itu berceloteh sendiri. Seo Joon hanya dapat memandang takjub pada gadis itu, dia juga tidak menyangka bahwa hari ini akhirnya tiba, hari di mana Ah Ra dapat membalas perasaannya.

The End




[1] Nama Restaurant Hotel
[2] Jahat
[3] Apa kabar Ibu, 

FF My First Love - Part 4





@Namwon 2016
Ah Ra sedang menemani Bibi Han berbelanja di pasar, gadis itu begitu sumringah mengunjungi pasar yang telah sepuluh tahun ditinggalkannya. Dia ingat betul, dulu Seo Joon sering mengajaknya mengunjungi toko kelontong milik orang tuanya di pasar. Beberapa kali mereka makan mie ayam kesukaan Ah Ra di warung sudut jalan. 
“Ini Ah Ra ‘kan?” tiba-tiba seorang wanita paruh baya menyapanya. Ah Ra terkejut karena wanita itu adalah ibunya Seo Joon.
“Ommo-nim[1]...” sapa Ah Ra.
“Astaga, putriku... kau datang, kenapa tidak bilang-bilang? Kenapa tidak mengunjungiku?” ucap ibunya Seo Joon sambil memeluk erat gadis itu.

Ah Ra mengedarkan pandangannya di ruang tamu berukuran sedang itu. Di dinding terpasang beberapa foto Seo Joon salah satunya foto bersama ibunya saat upacara pelantikan polisi.
“Jadi Seo Joon sudah tahu kalau kau ada di Namwon?” Ibu keluar membawa secangkir teh dan dua piring cemilan. Ah Ra sigap berdiri dan membantu membawakan nampan. Ibunya Seo Joon mengajak Ah Ra atau mungkin lebih tepatnya memaksa gadis itu untuk berkunjung ke rumahnya.
“Iya...” jawab Ah Ra singkat.
“Dasar anak itu! Aku akan memarahinya kalau sudah pulang nanti. Kenapa dia tidak bilang-bilang kalau kau datang?!”
“Ibu... jangan memarahinya, aku sendiri yang memintanya untuk tidak bilang apa-apa, aku takut kalau kedatanganku mengganggu Ibu, bukannya Ibu sedang sibuk mengurus pernikahan?” Ah Ra berbohong.
“Ah... apanya yang sibuk, justru dia yang sibuk ke sana ke mari mengatur segalanya. Dia tidak ingin melihat ibunya kelelahan,”
“Kurasa dia begitu bahagia dengan pernikahan ini...” lirih Ah Ra.
“Kau sendiri bagaimana? Apa kau sudah menikah?”
“Belum...”
“Benarkah? Andai aku tahu kau belum menikah, aku akan melamarmu untuk Seo Joon!” perkataan Ibunya Seo Joon itu seperti belati yang menghujam tepat ke jantung Ah Ra. “Tapi tunggu... kau dari keluarga terpandang, sedangkan kami...”
“Ibu... jangan berkata sembarangan, apa pernah aku menyinggung soal seperti itu selama ini?” Ah Ra segera memotong perkataan Ibu.
“Kau masih sama seperti dulu... selalu rendah hati. Mengenai perkataanku tadi jangan dimasukkan ke hati. Seo Joon itu teledor dan keras kepala, mana mungkin kau akan menerima lamaranku untuknya!”
“Aku akan menerimanya!” seru Ah Ra lantang. Ibunya Seo Joon termangu memandangnya, sepertinya kaget karena tak menyangka mendapat respon seperti itu dari Ah Ra. “Daripada bersama dengan pria yang asing, bukankah lebih baik bersama pria yang telah kukenal! Seo Joon adalah sahabatku, aku telah lama mengenalnya, tentu aku akan meringankan ibu mengenai uang lamarannya,” lanjut Ah Ra.
“Ah... kau pandai bercanda,” ucap Ibu.
“Ibu... sejujurnya aku ingin protes, kenapa Ibu menjodohkan Seo Joon? Lalu bagaimana denganku?”
“Aa..pa... maksudmu Nak?” Ibu kaku dan terkejut mendengar pertanyaan Ah Ra.
“Aku juga ‘kan putri ibu, setelah menikahkan Seo Joon jangan lupa untuk memikirkan pernikahanku juga... carikan aku jodoh yang tampan,” canda Ah Ra.
“Ah... gadis ini, kau belajar bercanda dari mana?!” sekali lagi Ibu tertawa.
“Ibu... aku ingin ke toilet,”
“Pergilah, kau tahu tempatnya ‘kan? Tidak ada yang berubah dari rumah ini,”
Ah Ra menangis sesenggukan, dia sengaja menyalakan kran air untuk menyembunyikan isakannya. Hatinya terlalu sakit untuk menahan semuanya di depan Ibunya Seo Joon. Dia terlalu pengecut untuk berterus terang bahwa dia sangat mencintai putra keluarga ini. Ah Ra membasuh wajahnya agar jejak air matanya hilang. Saat dia keluar dari toilet, dia terkejut dengan kehadiran Seo Joon.
“Kau... kapan datangnya?” tanya Ah Ra.
“Beberapa saat yang lalu... aku memang selalu pulang untuk makan siang bersama Ibu,” jawab Seo Joon.
“Aku... bukannya sengaja datang ke rumahmu, aku berpapasan dengan Ibumu di pasar makanya....”
“Aku mengerti...”
“Seo Joon... mengenai kejadian ahjussi itu...”
“Aku tidak ingin membahasnya...” tolak Seo Joon. “Bagaiamana tanganmu?!” pria itu mengalihkan pembicaraan.
“Sudah baikan, aku bahkan sudah melepas gipsnya,”
“Ah Ra~ya... ayo makan siang bersama kami!” ajak Ibunya Seo Joon.
“Tidak perlu...” Ah Ra mencoba menolak, dia yakin Seo Joon tidak akan senang jika dia terlalu lama berkunjung.
“Makanlah bersama kami. Ibu kelihatannya begitu senang dengan kehadiranmu, tolong jangan buat Ibu kecewa,” bujuk Seo Joon.
♥♥♥

@Namwon 2006
Ah Ra beridiri menatap Seo Joon di balik jendela kelasnya, matanya sembab habis menangis. Dari kejauhan dia dapat melihat Seo Joon membaca pesan singkat di ponselnya, pesan yang baru saja dikirim olehnya. Pesan yang memberitahukan Seo Joon bahwa dirinya tak dapat pulang bersama karena ada urusan mendadak. Alasan klasik memang... tapi hanya itu yang terpikir olehnya agar dapat menjauh dari sahabatnya itu setidaknya untuk hari ini.
  Berhari-hari, secara perlahan Seo Joon menyadari Ah Ra kian menjauh darinya. Mereka yang dulu sering makan bekal siang bersama, kini tidak lagi melakukannya. Mereka yang dulu sering pulang bersama kini mengambil jalan masing-masing. Ah Ra sepertinya punya berbagai alasan untuk menghindar dari Seo Joon.
Siang itu Seo Joon mengikuti pertandingan sepak bola antar sekolah, pertandingan terakhir timnya sebelum menutup masa SMU-nya. Saat istirahat tiba, Ah Ra bertugas membagikan air minum pada para pemain. Gadis itu menghitung jumlah air bawaannya untuk memastikan agar Seo Joon tidak kebagian.
“Gomawo Ah Ra~ya...” seru para pemain yang bangga mendapat air mineral dari Ah Ra, ya sekalipun hanya air mineral. Ah Ra tersenyum simpul menanggapi ucapan mereka.
“Ups... airnya habis. Maaf, aku akan mengambilnya dulu...” ucap Ah Ra saat berhadapan dengan Seo Joon. Pemuda jangkung itu hanya diam melihat Ah Ra berlalu begitu saja darinya,
“Ini...” Jin Hee menyodorkan air mineral untuk Seo Joon. Sebenarnya pemuda itu enggan menerimanya karena berharap Ah Ra akan kembali dan memberikan air mineral untuknya seperti janjinya tadi. Tapi pada kenyataannya, dia melihat Ah Ra melakukan pekerjaan lain dan tidak betul-betul mengambil air seperti yang dia katakan.
“Gomawo...” ucap Seo Joon mengambil pemberian Jin Hee dengan kecewa.

Seo Joon menghadang jalan Ah Ra saat jam pulang sekolah tiba. Dia memang sengaja menunggu Ah Ra di gerbang sekolah seperti yang dulu sering dia lakukan.
“Kau belum pulang?” Ah Ra terkejut saat melihat sahabatnya itu masih setia menantinya di depan sekolah. “Bukannya aku sudah bilang untuk tidak menungguku, kau boleh pulang duluan karena aku ada urusan...”
“Ada yang harus kubicarakan denganmu!” ucap Seo Joon.
“Kalian masih di sini?” tiba-tiba Pak Kim muncul dan menyapa mereka.
“Pak Guru duluan saja, aku akan menyusul,” ucap Ah Ra pada Pak Gurunya.
“Aku tunggu di parkiran,” balas Pak Kim yang dijawab anggukan oleh Ah Ra.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Ah Ra pada Seo Joon setelah memastikan Pak Kim menjauh dari mereka.
“Apa kau baik-baik saja?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
“Itu... anu, aku merasa akhir-akhir ini kita semakin menjauh. Ah tidak, sepertinya kau yang menghindar dariku. Apa terjadi sesuatu? Apa kau punya masalah? Kau boleh cerita padaku, aku akan membantumu untuk menyelesaikannya semampuku!”
“Hihihi... kau bicara apa? Aku tidak ada masalah apa-apa! Akhir-akhir ini aku memang sibuk. Beberapa tugas sastraku bermasalah makanya Pak Kim membantuku memperbaikinya.”
“Ah Ra...” Seo Joon nampak kecewa pada jawaban sahabatnya itu. Dia yakin Ah Ra sedang berbohong.
“Kita ‘kan sahabat, aku pasti akan bercerita padamu bila aku ada masalah.”
“. . . .” Seo Joon terdiam dan menatapnya kecewa.
“Maaf... Pak Guru menungguku, aku harus pergi. Kau juga pulanglah!” pamit Ah Ra.
“Ah Ra~ya...” Seo Joon mencegatnya sebelum gadis itu pergi jauh. “Besok malam saatnya hujan meteor, kau tidak lupa ‘kan pada janji kita?”
“Ah, tentu! Aku akan datang!” seru gadis itu.
“Aku akan menunggumu!” balas Seo Joon.
♥♥♥

@Namwon 2016
“Wuah...” semua bersorak riuh saat satu set daging sapi kualitas terbaik dikeluarkan oleh pemilik restaurant. Jun Ho yang memang berbakat memanggang daging, melaksanakan tugasnya tanpa perlu aba-aba.
“Seung Yeon~a berbahagialah bila kalian menikah nanti, kau tak perlu repot belajar memasak sebab suamimu sudah jago masak!” puji Nicole. Seung Yeon memerah wajahnya karena malu, sayangnya Jun Ho cuek saja.
“Ah Ra... bagaimana keadaanmu? Aku sangat kaget saat Seo Joon mengabari bahwa kau hampir kecopetan dan terluka,”
“Ah... aku sudah membaik. Bahkan perban di tanganku sudah dilepas,”
“Kau tak perlu memaksakan diri untuk datang, labih baik kau beristirahat...” Jun Ho menatapnya khawatir.
“Jangan khawatir, aku sudah tidak apa-apa. Lagi pula besok adalah hari pernikahan Seo Joon dan malam ini kita harus merayakan dia melepas masa lajangnya, bagaimana bisa aku tidak hadir.”
“Kau selalu bilang baik-baik saja padahal kau sedang terluka... tanganmu maksudku,” Seung Yeon menatapnya iba.
“Ah... aku sungguh berterima kasih atas perhatian kalian. Tapi tak perlu khawatir, aku baik-baik saja.”
“Seorang sahabat tak mungkin membiarkan sahabatnya sendirian di hari bahagianya!” Seo Joon ikut bicara memihak Ah Ra.
“Kalau begitu mari kita rayakan hari terakhir masa lajang teman kita Park Seo Joon!!” Chan Sung berdiri mengangkat gelas minnumannya yang berisi soju. “Seo Joon~a... selamat atas pernikahanmu! Semoga kau bahagia!” tambahnya lagi. Semua bersorak mengamini harapan Chan Sung.
“Kau tidak minum?” tanya Taec Yeon pada Ah Ra. Gadis itu menggeleng,
“Aku tidak kuat minum, aku takut nantinya kalian akan kerepotan bila aku mabuk,”
“Apakah kau parah bila sedang mabuk?”
“Hehehe... sebenarnya aku hanya takut mengigau. Aku pasti berbicara jujur saat sedang mabuk!”
“Wuah... kalau begitu aku harus membuatmu mabuk, ada banyak hal yang ingin kuketahui tentangmu!” canda Taec Yeon.
“Minumlah!” Seo Joon menyodorkan segelas besar soju, “Sejujurnya aku sangat penasaran pada beberapa rahasiamu!” candanya.
“Aish... dasar kalian!” Ah Ra merungut.

Malam semakin larut, sesekali Ah Ra mengecek jam di ponselnya. Hal ini disadari Seo Joon, dia paham bahwa gadis itu tidak terbiasa keluar sampai larut malam.
“Sudah mau pulang? Satu jam lagi menuju tengah malam, Paman Han pasti sudah menunggumu!” ucap Seo Joon. Ah Ra mengangguk, dia memang sudah ingin pulang tapi merasa tidak enak pada teman-temannya.
“Pulanglah! Kau juga butuh istirahat. Kau baru saja sakit, kau harus menjaga kondisimu!” seru yang lain.
“Aku akan mengantarmu!” ucap Seo Joon.
“Ah.. tidak perlu, aku bisa pulang sendiri!” tolak Ah Ra.
“Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri, bagaimana bila terjadi sesuatu di jalan?”
“Ini pestamu, aku tidak mau kau meninggalkan teman-teman!”
“Tapi...”
“Aku akan naik taksi, akan kupastikan aku tiba dengan selamat. Aku akan langsung menghubungimu bila aku telah tiba, aku janji!” Ah Ra meyakinkan Seo Joon. Pria itu menatap Ah Ra seakan tidak rela melepas gadis itu pergi sendiri namun dia sadar, dia pasti akan kalah berdebat dengannya. Memang dia selalu kalah berdebat dengan Ah Ra.
“Akan kutahankan taksi untukmu!” putus Seo Joon. Kali ini Ah Ra tidak berkutik.

Air matanya menetes perlahan di dalam taksi yang gelap. Ah Ra menangis tanpa bersuara, usai sudah kisahnya bersama Seo Joon. Kisah cinta manis yang barawal saat remaja dan berakhir penuh duka.
“Halo...” ucapnya lemah saat menerima panggilan di ponselnya. Dari seberang terdengar isakan Baek Jin Hee, “Kenapa kau menangis?” tanya gadis itu.
“Aku tak tahu Seo Joon akan menikah... Ah Ra~ya... apa kau baik-baik saja?”
“Menurutmu apa aku akan baik-baik saja? Sepuluh tahun aku memendam perasaan ini dan semua itu harus kuakhiri hari ini,”
“Aku sungguh minta maaf, semua salahku. Hiks...”
“Sudahlah, semua telah terjadi, meski kau meminta maaf... tak akan ada yang berubah. Kulihat dia begitu bahagia menyambut pernikahannya, kurasa bagiku itu sudah cukup.”
“Ah Ra~ya... maaf, hiks...”
“Dia berhak bahagia, aku sungguh akan merelakannya. Kau tak perlu khawatir, pasti akan sangat sulit untuk melupakannya setelah sepuluh tahun memendam perasaan padanya, tapi aku akan tetap berusaha.”
“Ah Ra... hiks!”
“Jangan menangis, kau hanya membuatku ikut menangis!” tangisan Ah Ra pecah.
♥♥♥

@Namwon 2006
Seo Joon menunggu di bukit kelinci seperti janjinya, malam ini akan ada hujan meteor dan dia sudah menantikan hal ini sejak lama. Pemuda itu memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Ah Ra. Perasaan suka yang telah dirasakannya sejak pertama kali dia dapat bertegur sapa dengan gadis itu. Perasaan suka yang selama ini disembunyikannya secara diam-diam hanya karena tidak mau merusak persahabatan yang telah terjalin di antara mereka.
Perasaan gugup yang dirasakannnya saat menanti kedatangan Ah Ra lama kelamaan berubah menjadi cemas. Semakin jauh malam, gadis itu belum datang juga. Waktu hujan meteor akan segera tiba, gadis itu bisa saja terlambat melihatnya. Lambat laun dia mulai berpikiran lain, mungkin saja Ah Ra lupa pada janjinya. Tapi tidak... gadis itu justru paling antusias untuk melihat hujan meteor, dia tidak mungkin lupa.
Senyumnya mengembang saat meihat sesosok gadis berjalan pelan menuju arahnya, inilah saatnya gumamnya dalam hati. Sayang senyuman itu memudar seiring dia dapat melihat dengan jelas siapa yang datang menghampirinya,
“Jin Hee?” sapanya kecewa. Dari mana gadis itu tahu tempat ini? Seo Joon bertanya dalam hati.
“Kau menunggu Ah Ra? Sayangnya dia tidak akan datang...”
“. . .” Seo Joon terdiam.
“Dia terlalu sibuk bersama Pak Guru Kim.”

Seo Joon berdiri termenung menatap Ah Ra dan Pak Kim di observatorium, Ah Ra telah mengingkari janjinya. Karena ingin memastikan informasi yang diberikan Jin Hee, Seo Joon benar-benar datang ke pusat pengamatan bintang itu.
“Betul... tempat terbaik untuk melihat bintang tentu saja observatorium...” bisik Seo Joon dalam hati dengan senyum perihnya. Satu hal yang setidaknya membuat pemuda itu tenang, Ah Ra dan Pak Guru tidaklah berdua saja, ada beberapa siswa yang juga ikut melihat hujan meteor bersama mereka.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jin Hee
“Uhm...” Seo Joon mengangguk, “Ini sudah malam, aku akan mengantarmu pulang...” tutup Seo Joon dan bergegas meninggalkan tempat itu. 

Para murid riuh bercerita pengalaman mereka melihat hujan meteor semalam. Seo Joon menyendiri di bangku belakang sibuk menulis apa saja agar pikirannya teralihkan dari kejadian semalam. Dia tidak punya cerita untuk berbagi bersama teman-temannya, bahkan dia berharap seandainya ‘tadi malam’ itu tidak pernah ada.
“Park Seo Joon!” seseorang memanggil namanya dan seketika riuh para siswa terhenti. Ah Ra berdiri di depan kelasnya sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok pemuda jangkung itu. Gadis itu menarik napas leganya saat melihat Seo Joon menghampirinya, “Ada yang ingin kubicarakan, ikutlah denganku!” pinta Ah Ra. Seo Joon menurut dan mengekor di belakangnya. Setelah sepasang remaja itu pergi, kelas kembali riuh berbisik tapi kali ini mereka tidak membicarakan tentang hujan meteor melainkan menebak-nebak apa yang terjadi antara sepasang sahabat itu.
“Apa semalam kau menungguku?” tanya Ah Ra, gadis itu membawa Seo Joon berbicara berdua di belakang sekolah.
“Uhm...” Seo Joon mengangguk lemah. Ah Ra menggigit bibir bawahnya, wajahnya berubah penuh rasa bersalah.
“Apa kau menunggu sampai larut malam?” gadis itu bertanya lagi.
“Uhm...” dan sekali lagi dijawab anggukan oleh Seo Joon.
“Aku benar-benar minta maaf... semalam... tiba-tiba saja Pak Guru Kim mengajakku untuk melihat hujan meteor di observatorium. Aku tidak bisa menolak, awalnya aku ingin mengabarimu tapi ponselmu tidak aktif.”
“Tak masalah, aku tidak sendiri, ada Jin Hee yang menemaniku...”
“Be... benarkah?” Ah Ra tercekat. “Syukurlah kalau begitu. Aku benar-benar takut kalau kau sendirian dan menunggu. Lain kali... kita akan melihat bintang bersama-sama, aku janji. Kalau begitu aku pergi, ada yang harus kukerjakan bersama temanku di kelas!”
“Ah Ra~ya... ada yang ingin kutanyakan...” Seo Joon menghentikan langkah gadis itu. “Maaf bila ini agak keterlaluan tapi aku sangat penasaran.”
“Apa itu?” tanya Ah Ra.
“Apa kau memiliki hubungan istimewa dengan Pak Guru? Maksudku... apa kalian saling menyukai?”
“Seo Joon!” Ah Ra menghardiknya,
“Kalian terlalu dekat padahal status kalian hanya sebagai guru dan murid. Maaf... aku hanya penasaran...”  
“Aku tidak akan menjawabnya, tak ada yang perlu kujelaskan!”
“Kau harus menjelaskannya karena ini berhubungan dengan perasaanku!”
“Apa maksudmu?”
“Aku harus tahu apa saat ini kau sedang menyukai seseorang atau tidak, karena sejujurnya aku memiliki perasaan terhadapmu. Aku menyukaimu Cho Ah Ra, rasa suka antara pria dan wanita bukan rasa suka antar sahabat...” Seo Joon memberanikan diri untuk berterus terang dan hal itu sukses membuat Ah Ra terdiam sejenak.
“Maaf... tapi kau bukan tipeku. Aku tidak punya perasaan apa-apa padamu. Selama ini aku hanya menganggapmu sebagai teman,”
“Ah Ra...” Seo Joon tertegun, dia tak menyangka akan menerima penolakan seperti ini.
“Seo Joon~a... mungkin kau salah paham pada kedekatan kita selama ini. Aku benar-benar minta maaf karena membuatmu salah mengerti.”
“. . .” Seo Joon bungkam. Lidahnya terlalu keluh untuk bersuara, dia hanya dapat menatap Ah Ra dengan tatapan kecewa yang mendalam.
“Kau tetap sahabatku... terima kasih karena telah berterus terang padaku,”
♥♥♥

@Namwon 2016
            Seo Joon bergegas ke rumahnya Ah Ra setelah mendapat telepon dari Bibi Han bahwa gadis itu belum juga pulang padahal waktu telah menunjukkan jam dua pagi. Bibi Han menangis cemas menjelaskan kepada Seo Joon bahwa Ah Ra berpamitan untuk menghadiri pesta pelepasan masa lajang Seo Joon bersama teman-teman SMU-nya dan sampai sekarang dia belum kembali.
Seo Joon mulai cemas, dia ingat Ah Ra meninggalkan pesta jam sebelas malam, seharusnya dia sudah tiba di rumah lima belas menit kemudian. Apalagi gadis itu menepati janjinya dengan mengabari lewat pesan singkat bahwa dia tiba dengan selamat. Apakah Ah Ra bohong? Lalu ke mana gadis itu pergi?
“Seo Joon... apa terjadi sesuatu padanya? Dia diserang pencopet beberapa hari lalu dan sekarang apa lagi?” isak Bibi Han. Seo Joon teringat sesuatu, dia bergegas menelpon perusahaan taksi yang ditumpangi Ah Ra ketika pulang tadi. Dari info supir taksi itu, Seo Joon akhirnya mendapat bayangan ke mana Ah Ra pergi.
Seo Joon melalui jalan setapak yang telah sepuluh tahun tidak pernah dia lalui. Jalan yang dapat membawanya ke Bukit Kelinci. Dia menarik napas leganya saat melihat dari kejauhan seorang gadis duduk sambil menengadahkan kepalanya menatap bintang di langit.
“Kau... benar-benar berbakat membuat orang lain cemas!” tegur Seo Joon. Ah Ra kaget saat menyadari ada yang datang.
“Seo Joon~i?” tebaknya melihat siluet yang mendekat ke arahnya.
“Uhm... aku!” jawab Seo Joon singkat.
“Bagaimana bisa kau menemukanku?” tanya gadis itu dengan nada orang mabuk.
“Kau mabuk? Berapa banyak yang kau minum?” Seo Joon bergegas memeriksa keadaan Ah Ra. Dia mendapati beberapa botol soju di dalam kantong plastik namun baru sebotol yang terbuka.
“Hanya satu botol!” jawab gadis itu jujur, Seo Joon hanya bisa tertawa kecil.
            “Seo Joon... cantik bukan? Ternyata tempat ini sangat cocok untuk melihat bintang!” seru Ah Ra senang sambil menunjuk kumpulan bintang di langit,
“Bukannya dulu aku sudah bilang tempat ini sangat cocok untuk melihat bintang?”
“Benarkah? Kapan?”
“Kau tidak ingat?” Seo Joon menatapnya tajam, “Ah... tentu saja, itu bukan hal yang penting untukmu makanya kau mudah melupakannya,”
“Apa yang kau katakan? Segala hal yang menyangkut tentang dirimu adalah hal yang sangat penting bagiku,”
“Ah... kau berbohong, padahal kau bilang kalau sedang mabuk kau akan berkata jujur!”
“Harus bagaimana agar kau percaya?”
“Sudahlah... ayo pulang, Bibi Han sangat khawatir karena kau menghilang tiba-tiba,”
“Ah... benar, Bibi Han! Kenapa aku sampai lupa?” Ah Ra buru-buru merogoh tasnya untuk mencari ponsel, dua berniat menelpon Bibinya. Sayangnya karena mabuk, semua refleksnya berjalan lambat, dia tidak dapat menemukan ponselnya. Jalan terakhir yang dilakukan gadis itu adalah membongkar seluruh isi tasnya, dan untunglah dia menemukan apa yang dia cari. Bibir gadis itu mengkerut karena tidak menemukan signal,
“Itulah kenapa Bibi Han tidak dapat menghubungimu karena tempat ini tidak memiliki signal,” jelas Seo Joon.
“Ah... kalau begitu aku harus pulang. Kau juga kenapa berkeliaran padahal beberapa jam lagi kau akan menikah. Kau juga harus pulang!” gadis itu bergegas memungut barangnya meski refleksnya tidak sempurna karena pengaruh alcohol. Seo Joon membantunya, tangannya terhenti saat menemukan sapu tangan yang masih dikenalnya.
“Ah Ra...”
“Uhm?”
“Sebenarnya apa tujuanmu kembali ke Namwon?”
♥♥♥

~To Be Continued~


[1] Ibu