Langit terlihat menyedihkan tanpa bintang…
Bintang tak berarti apa-apa tanpa langit…
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa
kau baik-baik saja di sana? Apa kau telah menemukan teman baru? Kau gadis yang
ceria, aku yakin kau akan mendapat banyak teman…” kuletakkan seikat mawar putih
kesukaanmu. Kau tersenyum dalam selembar foto yang melekat di batu nisan. Di
sampingku, Siwon masih khusuk berdoa dengan mata yang terpejam dan bibir yang
bergetar. Beberapa saat kemudian pemuda rupawan itu menyudahi doanya, dibukanya
matanya yang tadi terpejam dan terlihat jelas ada jejak kristal-kristal bening
yang berusaha ditutupinya.
“Gomawo…” ucapnya saat kusodorkan
selembar tisu padanya. Ini tahun ke dua kepergian gadis yang begitu
dicintainya, namun rasa sedihnya itu belum juga pudar. Masih teringat jelas
saat dia memelukmu untuk terakhir kalinya, seakan ia ingin melompat turun
bersamamu dalam galian makammu. Kenapa kau harus pergi secepat itu? Tak kasihan
kah kau melihatnya? Ha Neul… sahabatku.
***
“Byeol… kapan kau akan kembali? Aku
sangat merindukanmu…” ucapmu kala itu.
“Aku masih sibuk di sini, sungguh
aku tidak dapat meninggalkan semua kegiatanku,” dustaku. Maafkan aku…
“Aku sakit, aku ingin kau ada di
sini bersamaku…” lirihmu.
“Bukankah sudah ada Siwon di
dekatmu, dia bisa menjagamu dengan baik,”
“Kau dan Siwon berbeda, meski ada
dia di dekatku, aku masih membutuhkanmu!” kau berkeras memintaku datang. Maafkan
aku, aku sungguh tak dapat kembali selama pria itu masih di sisimu. Hatiku
masih belum sanggup melihat kalian berdua, aku pun tak dapat membenci kalian
sebab luka ini adalah kesalahanku. Aku minta maaf karena telah mencintai pria
yang juga kau cintai.
“Ha Neul… aku ada tamu, nanti aku
akan menghubungimu lagi!” tutupku. Kuseka air mataku, aku sayang kamu
sahabatku, sungguh menyayangimu. Aku menjauh agar rasa sayang itu tidak berubah
menjadi benci karena kecemburuanku padamu.
Kubuka
pintu apartment yang sedari tadi diketuk seseorang. Darahku berdesir saat
melihat kekasihmu berdiri di hadapanku. Choi Siwon berdiri dengan tatapan
sendunya.
“Pulanglah… Ha Neul sakit, dia
sangat merindukanmu!” bujuknya.
“Kau jauh-jauh datang ke Paris hanya
untuk…” aku terperangah, kurasakan begitu besar rasa cinta Siwon terhadapmu.
“Ha Neul terus menangis, berharap
kau mau kembali. Aku sungguh tak dapat melihatnya bersedih sepanjang hari,”
“Mianhe… saat ini aku benar-benar
sibuk pada studiku. Aku janji akan menemuinya bila kampusku memberi libur,”
“Tak ada waktu lagi, Ha Neul hanya
dapat bertahan tidak lebih dari sebulan…”
“Mwo? Mworaguyeo…?” pekikku.
Aku menangis selama perjalanan ke
Seoul, teganya kau menyembunyikan keadaanmu yang sedang sekarat. Kau mengidap leukemia dan tak pernah
memberitahukannya padaku. Kupikir kau hanya sakit biasa hingga aku begitu keras
pada pendirianku.
Hari-hari terakhirmu bersamaku tak
akan pernah terlupa, kujanjikan itu sebagai permintaan maafku yang tak pernah
peka pada keadaanmu. Setiap malam kutemani kau memandang bintang, bersama Siwon
kita terus bersenda gurau. Terkadang dalam senyuman aku menangis, aku masih
belum siap ditinggal olehmu. Kau hanya dapat tersenyum menyeka air mataku dan
menyemangatiku. Kau bahkan lebih tegar dariku, aku memang rapuh, sungguh aku
ingin sepertimu namun itu sulit. Aku pun menyadari mengapa Siwon begitu
mencintaimu.
***
Aku dan Siwon melangkah pelan
menelusuri jalan setapak di kaki bukit, kau meminta dimakamkan di antara
indahnya taman bunga kaki bukit, tempat di mana kita sering menghabiskan waktu
bersama sejak masih remaja.
“Siwon~a…” ucapku memecah kebisuan
di antara aku dan Siwon-mu.
“Nde…” balasnya lemah.
“Apa kau masih sangat mencintainya?”
tanyaku.
“Kenapa kau bertanya begitu?” Siwon
malah balik bertanya.
“Kumohon bukalah hatimu untuk gadis
lain. Kau berhak bahagia meski tanpa dirinya.” Ucapanku membuat Siwon bungkam.
“Temukanlah gadis yang mencintaimu dan dapat membuatmu bahagia. Kau perlu teman
untuk menemanimu melalui hari-hari panjangmu nanti,”
“Ha Neul terlalu berharga untuk
kuganti dengan gadis yang lain…” lirih Siwon.
“Hidupmu juga terlalu berharga untuk
kau habiskan dalam keterpurukan,” balasku. “Aku takut Siwon… aku takut tak
dapat menemanimu seperti dulu lagi. Bila nanti aku menikah, tentu aku tidak dapat
menemanimu seperti saat ini lagi!” Siwon terkejut menatapku,
“Menikah?” tanyanya. Aku mengangguk
lemah,
“Orang tuaku telah mengatur
perjodohanku bersama anak dari sahabat dekat ayah. Aku tak dapat menolak,
kurasa aku memang tak punya alasan untuk menolak,” cukup lama aku dan Siwon-mu
diam. Tak ada bahasan yang mungkin dapat kami bicarakan.
Aku
payah ‘kan? Sudah jelas aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya namun aku
malah menerima perjodohan itu. Aku terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku
padanya, apalagi kulihat dia masih sangat mencintaimu. Ha Neul… perasaanku pada
Siwon semakin hari semakin dalam, dia tak mudah berpaling hati, itu tandanya
dia pria yang setia. Namun kesetiaannya itu menjadi boomerang bagiku, sebab dia
tak akan mudah berpaling untuk mencintaiku.
Aku
tidak salah ‘kan Ha Neul? Aku memilih untuk menyerah saja, menyerah untuk kedua
kalinya. Semakin dia setia, semakin aku tersentuh, semakin aku mencintainya,
dan semakin jelas kalau aku tak dapat memilikinya. Rasanya terlalu sakit, aku
tak mau kecewa untuk kedua kalinya. Kau setuju ‘kan Ha Neul? Kau mendukungku
‘kan? Hiks…
~Flash Back~
Sore
itu terasa begitu lembab, langit begitu gelap dengan rintikan air hujannya. Aku
masih terus menanti Ha Neul di bawah payung di seberang jalan. Tak terasa
rintikan hujan itu berubah deras hingga semua pejalan kaki bergegas berlindung.
Aku terkejut saat menyadari ada seorang siswa yang malah bernaung di payungku.
“Maaf…
aku membuatmu kaget ya? Aku tak tahu harus berlindung ke mana, jadi aku berlari
ke arahmu…” ucapnya. Senyumannya membuat rasa kesalku hilang, dia terlalu manis
untuk kusuruh pergi dari payungku. Seragam yang dikenakannya sama dengan
seragamku, itu tandanya kami murid SMU Neul Paran. “Ehm… kenapa kau menatapku seperti
itu?” siswa itu merasa risih oleh tatapanku.
“Ah…
tidak kok, tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja makanya bengong seperti tadi,”
kilahku yang sejujurnya langsung tertarik pada siswa itu. “Aku harus
mengantarmu ke mana? Katakanlah, sebab aku juga harus menjemput temanku…”
“Siwon~a…”
tiba-tiba seseorang berteriak dari sebuah mobil
“Oh…
itu temanku,” tunjuknya pada sebuah Audy
yang terparkir di tepi lorong. Aku pun mengantarnya sampai dia masuk ke mobil
itu. “Jeongmal gomawo Eun Byeol-ssi” ucapnya padaku. Aku cukup kaget saat dia
tahu namaku, ternyata dia membaca papan nama di seragamku. Aku tersenyum…
“Cheonmaneyeo
Choi Siwon-ssi…” balasku. Aku pun tahu siapa namanya setelah ikut membaca papan
namanya.
~Flash Back
End~
Siwon menepikan mobilnya tepat di
depan pintu kediamanku, wajahnya masih tidak berubah sejak dari makam tadi.
Sepanjang satu jam perjalanan tadi dia hanya diam, tatapannya nanar memandang
jalan di depan.
“Kau baik-baik saja? Apa kau tidak
enak badan? Biar kuminta supirku mengantarmu pulang,” tawarku.
“Ah… tidak perlu, aku baik-baik
saja,” balasnya. Dia pun berlalu dan secepatnya menghilang dari pandanganku.
Tetes demi tetes air mataku jatuh, Ha Neul… apakah langkah yang kuambil salah?
Aku hanya tidak ingin menderita lagi.
***
Gleduk…gleduk…
suara sebuah benda menggelinding di meja tulisku. Saat kuangkat kepalaku, Siwon
tersenyum manis. Dia memberi sekaleng jus lemon, aku tersenyum. Ya… setelah
kejadian sore itu entah kenapa kami bisa dekat. Setelah kejadian sore itu, aku
berharap setiap sore akan turun hujan hingga siswa yang ternyata setingkat
denganku itu dapat berlindung di payungku lagi.
Siwon tersenyum sambil melirik pada
Ha Neul, botol jus yang kupegang ternyata untuk sahabatku. Aku tersenyum perih,
ya… dia suka pada sahabatku. Kejadian saat dia berlindung di payungku ternyata
rencananya. Ia ingin mendekati Ha Neul melaluiku. Aku benar-benar menyesal,
andai sore itu tak pernah ada, andai hujan itu tak pernah turun, hidupku
mungkin tak akan menyedihkan seperti ini.
Seperti gayung bersambut, ternyata
sahabatku itu memiliki perasaan yang sama pada Siwon. Setelah beberapa bulan
saling penjajakan akhirnya mereka berpacaran. Jujur saja, aku sesak, dadaku
seperti terbakar bila melihat mereka bersama. Di depan mereka aku berusaha menjadi
sahabat yang turut bahagia melihat mereka bersatu. Namun di saat aku berpaling,
sesungguhnya aku menangis, terisak sedih. Aku yang lebih dulu bertemu
dengannya, tapi kenapa harus Ha Neul yang bersamanya.
Aku benci pada diriku sendiri, ya…
aku benci pada sikap lemahku ini. Aku tak akan pernah menyalahkan Ha Neul, ia
tidak tahu apa-apa ‘kan? Aku pula tak akan menyalahkan Siwon, dia hanya siswa
biasa yang tengah jatuh cinta. Lalu… siapa yang harus kusalahkan? Apakah saling
mencintai adalah dosa? Apakah Siwon dan Ha Neul harus dihukum karena saling
mencintai? Bodoh… tersangkanya adalah aku! Aku yang salah karena jatuh hati
pada kekasih sahabatku, wajarlah bila aku dihukum.
***
“Kau akan ke Prancis? Kenapa jauh
sekali?” Ha Neul kaget mendengar keputusanku.
“Kau tahu sendiri ‘kan aku sangat
menyukai modeling dan fashion, aku ingin menjadi designer yang hebat. Kurasa
Prancis adalah tempat yang paling cocok untuk menyalurkan cita-citaku,”
“Tapi… kenapa jauh sekali?”
“Jarak tak akan jadi masalah, ada
telepon dan internet. Lagi pula aku bisa kembali setiap kali aku mendapat
libur…” bujukku kala itu. Meski terlihat begitu berat, sahabatku itu melepasku.
Maafkan aku yang memilih pergi, maaf bila aku harus meninggalkan kalian, aku
hanya ingin bernapas dengan lega tanpa perlu ada sesak karena kalian. Aku tidak
akan menyalahkan kalian, aku pergi untuk menghukum diriku yang telah keliru
pada perasaanku.
“Ha Neul tanpa Eun Byeol terlihat
menyedihkan…”
“Eun Byeol tanpa Ha Neul tak ada
artinya…” itulah kalimat terakhir yang kurangkai bersamamu sebelum akhirnya aku
pergi membawa luka yang kusembunyikan di balik perasaanku.
Entah kebetulan atau memang telah
menjadi takdir, namaku berarti bintang sedangkan Ha Neul berarti langit. Kami
bagai dua sisi yang nyaris tak dapat dipisahkan. Ya… langit dan bintang sesuatu
yang menyatu, namun akhirnya terpisah karena kehadiran seorang pria. Bukan…
bukannya terpisah namun bintanglah yang memisahkan diri dari langitnya. Bintang
lah yang memutuskan pergi karena tidak lagi dapat bertahan pada langitnya.
Hingga akhirnya langit terlihat kelam dan begitu menyedihkan.
***
Pagi ini langkahku begitu berat
untuk pergi, aku masih duduk terpaku di depan cermin sambil tertunduk lemah.
Sebuah bingkai kecil mempertontonkan wajah bahagiaku bersama Siwon dan Ha Neul saat
masih berseragam sekolah. Pagi ini matahari bersinar hangat namun tak dapat
menghangatkan hatiku. Warna cerah hanbok yang kugunakan pun tak dapat
mencerahkan perasaanku.
“Kau sudah siap?” Tanya ibuku sambil
memeriksa riasanku. Aku hanya mengangguk pelan, seakan memberi aba-aba bahwa
sesungguhnya aku tidak pernah siap. “Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.
Tadi Paman dan Bibi Lee menelpon, katanya mereka telah tiba di restaurant.”
Ha Neul… apa yang harus kulakukan?
Apakah aku harus berterus terang pada orang tuaku? Kalaupun itu kulakukan,
bukankah ayah dan ibu akan meminta aku memperkenalkan pria yang kucintai itu.
Aku tidak punya keberanian berterus-terang kepada Siwon. Aku sungguh tidak
ingin mengubah perasaannya yang tadinya menganggapku sahabat menjadi orang yang
membuatnya kecewa. Ha Neul… kumohon tanyakan kepada para malaikat yang
bersamamu di surga, apa yang harus kulakukan?
***
“Aku ingin melihat bintang…” kuantar
kau ke balkon belakang. Saat itu hari-harimu semakin sulit. Keadaanmu pun
semakin mengkhawatirkan. “Byeol… apakah teman-temanmu yang gemerlapan di atas
sana akan menerimaku bergabung?”
“Nde… mana mungkin mereka menolak,”
lirihku. Kulihat Siwon yang bersandar di kusen pintu dengan wajah pilunya.
“Kalau begitu aku akan punya banyak
teman bila aku telah pergi…” ucapmu lemah. Siwon tak sanggup lagi, dia masuk
begitu saja, kurasa untuk menangis sekedar mengurangi sesak di dadanya.
“Jangan bicara seperti itu, kau
tidak akan pergi secepat itu…” hiburku meski kau tahu itu tak mungkin lagi.
“Siwon…” ucapmu terputus, matamu
menatap sendu langit berbintang kala itu. “Jagalah dia untukku, kurasa hanya
kau yang dapat melakukannya…”
“Aku tak mau menjaganya… itu adalah
tugasmu, lakukanlah sendiri!” tolakku menahan isakku.
“Byeol~a… jangan jahat seperti itu
padaku. Aku tidak punya waktu lagi, aku tak sanggup lagi bertahan lebih lama,
sakit ini begitu membuatku tersiksa,” kupeluk sahabatku itu, aku tak boleh
menangis, kutahan isakku sebisa mungkin.
“Setidaknya bila tiba saatnya, kau
tidak boleh pergi tanpa berpamitan, arro?” aku berusaha tegar. Kau mengangguk,
kau melepas pelukanku. Kau menatapku dan membelai wajahku dengan tangan
kecilmu… “Wajah ini… tak akan pernah kulupakan,” ucapmu. Kau mengambil sebuah
cincin dan memasangkannya di jariku, “Jagalah amanahku…” pintamu.
Air mataku menetes meski sekuat
tenaga aku menahannya. Cincin ini bukannya pemberian Siwon, kenapa kau malah
memberikannya padaku?
“Siwon… pasti sedang sedih, masuklah
dan hiburlah dia,” pintamu. Aku pun tak dapat menolak, aku masuk mencari
kekasihmu yang sangat menyedihkan itu. Dia termenung di depan kaca jendela
sambil menatap langit. Kutepuk bahunya, menggenggamnya erat untuk memberinya
dukungan agar dapat bertahan. Namun justru hal itu membuatnya lemah, dia
terisak memelukku,
“Aku belum siap kehilangannya…”
ucapnya. Lama aku mencoba menenangkannya, kubujuk dia agar dapat mengendalikan
perasaannya. Saat itu Ha Neul begitu rapuh, jangan biarkan dia melihat air mata
dari orang terkasihnya.
Malam semakin larut, angin pun
terasa tak bersahabat lagi. Aku dan Siwon menemuimu kembali di halaman belakang
itu.
“Ha Neul~a… ini sudah larut…” ucapku
pelan, tiba-tiba saja tanganmu tersentak dari gagang kursi roda. Matamu
terpejam dengan segaris senyum di bibirmu. Sungguh, malam itu kurasakan langit
seakan runtuh.
“Kau janji akan berpamitan sebelum
pergi, tapi kenapa kau pergi begitu saja?” aku memeluk tubuhmu yang telah kaku.
Siwon pun datang memelukmu, kami berdua memelukmu, menangis bersama karena kau
pergi begitu saja.
***
Mataku nanar memandangan jalan yang
kulalui bersama kedua orang tuaku untuk ke restaurant. Sedari tadi ibuku hanya
memperbaiki hanbok-ku agar tak ada yang kusut. Aku putri tunggal keluarga Shin,
jelaslah kedua orang tuaku akan memberikan hal terbaik untukku. Ya… kuharap
pria yang dipilihkan untukku juga adalah yang terbaik.
Orang
tuaku bercengkarama dengan Paman dan Bibi Lee, sementara aku hanya tertunduk
diam. Keriuhan di antara dua keluarga ini justru membuatku merasa sunyi.
Donghae, pria yang akan dijodohkan denganku pun tak banyak bicara. Meski
kusadari sesekali dia memandangku.
“Byeol… kenapa kau diam saja? Ayo
bicaralah…” ajak Paman Lee, aku mencoba tersenyum untuk menyembunyikan
kemurunganku.
“Kau pemalu sekali!” tambah Bibi Lee.
***
“Kembalilah
ke Seoul, lanjutkan saja studimu di sini. Selain kau, aku tak punya siapa-siapa
lagi semenjak Ha Neul pergi…” Siwon memohon padaku. Ha Neul… dia begitu malang,
kau meninggalkannya dan membuatnya kehilangan arah. Baiklah, seperti permintaanmu
sebelum pergi, aku akan menjaganya untukmu.
Kubuka
pintu kamar Siwon, di dalam kulihat dia tengah memandangi foto kalian saat
masih bersama. Dia menyadari kedatanganku, namun tak dapat melepas pandangannya
untukku. Kulihat makanan yang masih utuh di atas meja tulisnya, aku pun
mengambil nampan makanan itu dan mendekat ke arahnya.
“Sampai
kapan kau akan seperti ini? Aku tahu kau sedih, tapi Ha Neul berpesan agar
jangan menyiksa dirimu…” kuambil sesendok nasi dan mencoba menyuapi Siwon-mu.
“Apa kau ingin membuatnya sedih? Makanlah meski hanya sedikit, dia tak mau
melihatmu sakit!” bujukku.
“Aku
tidak lapar…” ucapnya.
“Kau
tahu, apapun yang terjadi padamu mulai dari sekarang sampai seterusnya adalah
tanggung jawabku. Aku telah berjanji padanya untuk menjagamu, bila terjadi
sesuatu padamu, aku takut dia akan membuat perhitungan denganku kelak…”
“…”
Siwon-mu hanya diam, dia masih membatu,
“Ha
Neul tak ingin kita bersedih terlalu lama. Dia ingin beberapa hari setelah dia
pergi, kita bisa kembali seperti dulu, ceria dan bahagia. Anggaplah dia masih
ada, anggaplah kita tak pernah kehilangannya, maka dari itu kita tak akan
sedih,” ucapku, “Menangis adalah hal yang wajar, kita memang perlu menangis
agar kita sadar bahwa kita hanya manusia biasa. Namun dalam tangisan itu, kita
juga perlu tawa agar kita tahu bahwa kita bukan manusia yang lemah…” tutupku.
Siwon memakan habis makanan yang kusuapkan untuknya, aku janji tak akan
meninggalkannya, dia sangatlah rapuh.
***
Saat
ini entah apa yang terjadi pada mataku maupun kepalaku. Kenapa aku melihat ada
seorang pria yang mirip Siwon berjalan ke arahku. Apakah aku berhalusinasi
melihatnya datang? Mungkin karena aku begitu menantinya sampai aku tak dapat
berpikir jernih.
“Maaf
bila aku mengganggu acara kedua keluarga ini…” ucap Siwon begitu saja saat ia
menghampiri meja keluargaku. Kali ini aku dapat melihat dia nyata, ternyata aku
tidak sedang menghayal.
“Apa
yang kau lakukan?” tanyaku padanya. Dia menoleh ke arahku sejenak kemudian
menoleh lagi ke arah ayah dan ibuku.
“Aku
harap paman dan bibi berkenan membatalkan perjodohan ini!” ucapnya tegas.
“Yaa…
kau biacara apa?” aku kaget, wajah kedua orang tuaku juga sepertiku, begitupun
Donghae dan orang tuanya.
“Aku
mencintai Byeol, kumohon jangan pisahkan aku darinya!” terang Siwon. Aku
tertegun, apa aku salah dengar? Atau mungkin aku sedang bermimpi saat ini?
Siwon menggenggam tanganku, “Aku benar-benar membutuhkanmu!” ucapnya,
“…”
aku bungkam karena kaget.
“Aku
membutuhkanmu karena aku mencintaimu!” ucapnya. “Selama ini kau selalu berada
di sampingku, menuntunku, membantuku, dan menghiburku. Kau selalu ada untuk
memperhatikanku, aku tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila kelak kau
tak lagi ada untukku. Tentu rasanya akan lebih sakit dibanding kehilangan Ha
Neul, aku tak mau menangis lagi, aku tak mau kehilangan lagi, untuk itu jangan
pernah pergi dariku.”
“…”
“Kau
berjanji akan menjagaku, kau berjanji akan terus bersamaku, kini aku menagih
janjimu itu. Kau bilang aku berhak bahagia meski tanpa Ha Neul, kalau begitu
aku ingin bahagia tapi kali ini harus bersamamu!”
“…”
hiks, hiks, hiks, isakan ini bukan karena sedih ataupun gundah. Isakan ini
karena aku terlalu terharu, aku bahagia, sungguh aku bahagia.
***
Semenjak
kau pergi, Siwon telah menjadi tanggung jawabku. Seperti janjiku, aku harus
membantunya kembali berdiri. Aku telah melakukannya, aku membantunya
mendapatkan kembali senyumnya. Mengajaknya pergi ke manapun yang dia suka,
menemaninya setiap saat dia membutuhkan aku, dan melakukan apapun yang
dimintanya. Aku bahagia mengemban tugas ini namun semakin lama semakin aku
menyadari, sampai kapanpun dia hanya akan menganggapku sebagai teman.
Bisakah
kau membantuku mengubah perasaannya? Bisakah kau pergi dari pikirannya? Huh…
itu hal yang tidak mungkin. Baginya kaulah segalanya, masa lalu yang tak akan
mungkin pernah hilang dari pikirannya, lantas untuk apa lagi aku bertahan
dengan semuanya? Aku benar ‘kan Ha Neul?
Tapi
kedatangannya sore itu, tepat di saat kedua orang tuaku membicarakan perjodohan
itu, telah mengubah semuanya. Sejak kapan dia mencintaiku? Sejak kapan dia
membutuhkanku? Sejak kapan dia tak ingin kehilangan diriku? Aku tidak akan
menanyakan hal-hal itu. Yang kutahu dia telah mencintaiku, dia membutuhkanku,
dan dia tak ingin kehilangan diriku.
Ha
Neul… terima kasih, karena dirimu aku dapat mengenalnya; karena dirimu aku
dapat dekat dengannya; karena dirimu aku dapat mencintainya; dan karena dirimu
pula aku dapat bersamanya. Kuharap kau bahagia di atas sana melihatku
mengenakan gaun pengantin yang indah. Di sampingku, Siwon berjalan membawaku ke
altar pernikahan. Kami tersenyum dan aku yakin kau pun tersenyum. Berilah
restumu kepada kami, doakan kami agar bahagia.
Kini
tugasku baru kumulai yaitu menjaganya, aku menjaganya untukmu dan untuk
bagianku juga. Aku akan melakukan semua hal yang tidak dapat kau lakukan
untuknya, menemaninya sampai kapan pun, membahagiakannya, dan selalu berdiri di
sisinya tanpa lelah. Kini izinkan aku memanggilnya ‘Siwon-ku’ kuharap kau tidak
akan keberatan sahabatku.
Siwon
menggenggam tanganku menelusuri jalan setapak setelah menziarahi makam Ha Neul.
Dari kaki bukit ini kupandangi langit biru dan awan yang berarak, kuyakin kau
tersenyum. Ha Neul… gomawo.
End