Friday 7 March 2014

FF One Shot - Our Love



Langit terlihat menyedihkan tanpa bintang…
Bintang tak berarti apa-apa tanpa langit…


            “Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau baik-baik saja di sana? Apa kau telah menemukan teman baru? Kau gadis yang ceria, aku yakin kau akan mendapat banyak teman…” kuletakkan seikat mawar putih kesukaanmu. Kau tersenyum dalam selembar foto yang melekat di batu nisan. Di sampingku, Siwon masih khusuk berdoa dengan mata yang terpejam dan bibir yang bergetar. Beberapa saat kemudian pemuda rupawan itu menyudahi doanya, dibukanya matanya yang tadi terpejam dan terlihat jelas ada jejak kristal-kristal bening yang berusaha ditutupinya.
            “Gomawo…” ucapnya saat kusodorkan selembar tisu padanya. Ini tahun ke dua kepergian gadis yang begitu dicintainya, namun rasa sedihnya itu belum juga pudar. Masih teringat jelas saat dia memelukmu untuk terakhir kalinya, seakan ia ingin melompat turun bersamamu dalam galian makammu. Kenapa kau harus pergi secepat itu? Tak kasihan kah kau melihatnya? Ha Neul… sahabatku.
***
            “Byeol… kapan kau akan kembali? Aku sangat merindukanmu…” ucapmu kala itu.
            “Aku masih sibuk di sini, sungguh aku tidak dapat meninggalkan semua kegiatanku,” dustaku. Maafkan aku…
            “Aku sakit, aku ingin kau ada di sini bersamaku…” lirihmu.
            “Bukankah sudah ada Siwon di dekatmu, dia bisa menjagamu dengan baik,”
            “Kau dan Siwon berbeda, meski ada dia di dekatku, aku masih membutuhkanmu!” kau berkeras memintaku datang. Maafkan aku, aku sungguh tak dapat kembali selama pria itu masih di sisimu. Hatiku masih belum sanggup melihat kalian berdua, aku pun tak dapat membenci kalian sebab luka ini adalah kesalahanku. Aku minta maaf karena telah mencintai pria yang juga kau cintai.
            “Ha Neul… aku ada tamu, nanti aku akan menghubungimu lagi!” tutupku. Kuseka air mataku, aku sayang kamu sahabatku, sungguh menyayangimu. Aku menjauh agar rasa sayang itu tidak berubah menjadi benci karena kecemburuanku padamu.
Kubuka pintu apartment yang sedari tadi diketuk seseorang. Darahku berdesir saat melihat kekasihmu berdiri di hadapanku. Choi Siwon berdiri dengan tatapan sendunya.
            “Pulanglah… Ha Neul sakit, dia sangat merindukanmu!” bujuknya.
            “Kau jauh-jauh datang ke Paris hanya untuk…” aku terperangah, kurasakan begitu besar rasa cinta Siwon terhadapmu.
            “Ha Neul terus menangis, berharap kau mau kembali. Aku sungguh tak dapat melihatnya bersedih sepanjang hari,”
            “Mianhe… saat ini aku benar-benar sibuk pada studiku. Aku janji akan menemuinya bila kampusku memberi libur,”
            “Tak ada waktu lagi, Ha Neul hanya dapat bertahan tidak lebih dari sebulan…”
            “Mwo? Mworaguyeo…?” pekikku.
            Aku menangis selama perjalanan ke Seoul, teganya kau menyembunyikan keadaanmu yang sedang sekarat. Kau mengidap leukemia dan tak pernah memberitahukannya padaku. Kupikir kau hanya sakit biasa hingga aku begitu keras pada pendirianku.

            Hari-hari terakhirmu bersamaku tak akan pernah terlupa, kujanjikan itu sebagai permintaan maafku yang tak pernah peka pada keadaanmu. Setiap malam kutemani kau memandang bintang, bersama Siwon kita terus bersenda gurau. Terkadang dalam senyuman aku menangis, aku masih belum siap ditinggal olehmu. Kau hanya dapat tersenyum menyeka air mataku dan menyemangatiku. Kau bahkan lebih tegar dariku, aku memang rapuh, sungguh aku ingin sepertimu namun itu sulit. Aku pun menyadari mengapa Siwon begitu mencintaimu.
***
            Aku dan Siwon melangkah pelan menelusuri jalan setapak di kaki bukit, kau meminta dimakamkan di antara indahnya taman bunga kaki bukit, tempat di mana kita sering menghabiskan waktu bersama sejak masih remaja.
            “Siwon~a…” ucapku memecah kebisuan di antara aku dan Siwon-mu.
            “Nde…” balasnya lemah.
            “Apa kau masih sangat mencintainya?” tanyaku.
            “Kenapa kau bertanya begitu?” Siwon malah balik bertanya.
            “Kumohon bukalah hatimu untuk gadis lain. Kau berhak bahagia meski tanpa dirinya.” Ucapanku membuat Siwon bungkam. “Temukanlah gadis yang mencintaimu dan dapat membuatmu bahagia. Kau perlu teman untuk menemanimu melalui hari-hari panjangmu nanti,”
            “Ha Neul terlalu berharga untuk kuganti dengan gadis yang lain…” lirih Siwon.
            “Hidupmu juga terlalu berharga untuk kau habiskan dalam keterpurukan,” balasku. “Aku takut Siwon… aku takut tak dapat menemanimu seperti dulu lagi. Bila nanti aku menikah, tentu aku tidak dapat menemanimu seperti saat ini lagi!” Siwon terkejut menatapku,
            “Menikah?” tanyanya. Aku mengangguk lemah,
            “Orang tuaku telah mengatur perjodohanku bersama anak dari sahabat dekat ayah. Aku tak dapat menolak, kurasa aku memang tak punya alasan untuk menolak,” cukup lama aku dan Siwon-mu diam. Tak ada bahasan yang mungkin dapat kami bicarakan.
Aku payah ‘kan? Sudah jelas aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya namun aku malah menerima perjodohan itu. Aku terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku padanya, apalagi kulihat dia masih sangat mencintaimu. Ha Neul… perasaanku pada Siwon semakin hari semakin dalam, dia tak mudah berpaling hati, itu tandanya dia pria yang setia. Namun kesetiaannya itu menjadi boomerang bagiku, sebab dia tak akan mudah berpaling untuk mencintaiku.
Aku tidak salah ‘kan Ha Neul? Aku memilih untuk menyerah saja, menyerah untuk kedua kalinya. Semakin dia setia, semakin aku tersentuh, semakin aku mencintainya, dan semakin jelas kalau aku tak dapat memilikinya. Rasanya terlalu sakit, aku tak mau kecewa untuk kedua kalinya. Kau setuju ‘kan Ha Neul? Kau mendukungku ‘kan? Hiks…

~Flash Back~
Sore itu terasa begitu lembab, langit begitu gelap dengan rintikan air hujannya. Aku masih terus menanti Ha Neul di bawah payung di seberang jalan. Tak terasa rintikan hujan itu berubah deras hingga semua pejalan kaki bergegas berlindung. Aku terkejut saat menyadari ada seorang siswa yang malah bernaung di payungku.
“Maaf… aku membuatmu kaget ya? Aku tak tahu harus berlindung ke mana, jadi aku berlari ke arahmu…” ucapnya. Senyumannya membuat rasa kesalku hilang, dia terlalu manis untuk kusuruh pergi dari payungku. Seragam yang dikenakannya sama dengan seragamku, itu tandanya kami murid SMU Neul Paran. “Ehm… kenapa kau menatapku seperti itu?” siswa itu merasa risih oleh tatapanku.
“Ah… tidak kok, tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja makanya bengong seperti tadi,” kilahku yang sejujurnya langsung tertarik pada siswa itu. “Aku harus mengantarmu ke mana? Katakanlah, sebab aku juga harus menjemput temanku…”
“Siwon~a…” tiba-tiba seseorang berteriak dari sebuah mobil
“Oh… itu temanku,” tunjuknya pada sebuah Audy yang terparkir di tepi lorong. Aku pun mengantarnya sampai dia masuk ke mobil itu. “Jeongmal gomawo Eun Byeol-ssi” ucapnya padaku. Aku cukup kaget saat dia tahu namaku, ternyata dia membaca papan nama di seragamku. Aku tersenyum…
“Cheonmaneyeo Choi Siwon-ssi…” balasku. Aku pun tahu siapa namanya setelah ikut membaca papan namanya.
~Flash Back End~

            Siwon menepikan mobilnya tepat di depan pintu kediamanku, wajahnya masih tidak berubah sejak dari makam tadi. Sepanjang satu jam perjalanan tadi dia hanya diam, tatapannya nanar memandang jalan di depan.
            “Kau baik-baik saja? Apa kau tidak enak badan? Biar kuminta supirku mengantarmu pulang,” tawarku.
            “Ah… tidak perlu, aku baik-baik saja,” balasnya. Dia pun berlalu dan secepatnya menghilang dari pandanganku. Tetes demi tetes air mataku jatuh, Ha Neul… apakah langkah yang kuambil salah? Aku hanya tidak ingin menderita lagi.
***
            Gleduk…gleduk… suara sebuah benda menggelinding di meja tulisku. Saat kuangkat kepalaku, Siwon tersenyum manis. Dia memberi sekaleng jus lemon, aku tersenyum. Ya… setelah kejadian sore itu entah kenapa kami bisa dekat. Setelah kejadian sore itu, aku berharap setiap sore akan turun hujan hingga siswa yang ternyata setingkat denganku itu dapat berlindung di payungku lagi.
            Siwon tersenyum sambil melirik pada Ha Neul, botol jus yang kupegang ternyata untuk sahabatku. Aku tersenyum perih, ya… dia suka pada sahabatku. Kejadian saat dia berlindung di payungku ternyata rencananya. Ia ingin mendekati Ha Neul melaluiku. Aku benar-benar menyesal, andai sore itu tak pernah ada, andai hujan itu tak pernah turun, hidupku mungkin tak akan menyedihkan seperti ini.
            Seperti gayung bersambut, ternyata sahabatku itu memiliki perasaan yang sama pada Siwon. Setelah beberapa bulan saling penjajakan akhirnya mereka berpacaran. Jujur saja, aku sesak, dadaku seperti terbakar bila melihat mereka bersama. Di depan mereka aku berusaha menjadi sahabat yang turut bahagia melihat mereka bersatu. Namun di saat aku berpaling, sesungguhnya aku menangis, terisak sedih. Aku yang lebih dulu bertemu dengannya, tapi kenapa harus Ha Neul yang bersamanya.
            Aku benci pada diriku sendiri, ya… aku benci pada sikap lemahku ini. Aku tak akan pernah menyalahkan Ha Neul, ia tidak tahu apa-apa ‘kan? Aku pula tak akan menyalahkan Siwon, dia hanya siswa biasa yang tengah jatuh cinta. Lalu… siapa yang harus kusalahkan? Apakah saling mencintai adalah dosa? Apakah Siwon dan Ha Neul harus dihukum karena saling mencintai? Bodoh… tersangkanya adalah aku! Aku yang salah karena jatuh hati pada kekasih sahabatku, wajarlah bila aku dihukum.
***
            “Kau akan ke Prancis? Kenapa jauh sekali?” Ha Neul kaget mendengar keputusanku.
            “Kau tahu sendiri ‘kan aku sangat menyukai modeling dan fashion, aku ingin menjadi designer yang hebat. Kurasa Prancis adalah tempat yang paling cocok untuk menyalurkan cita-citaku,”
            “Tapi… kenapa jauh sekali?”
            “Jarak tak akan jadi masalah, ada telepon dan internet. Lagi pula aku bisa kembali setiap kali aku mendapat libur…” bujukku kala itu. Meski terlihat begitu berat, sahabatku itu melepasku. Maafkan aku yang memilih pergi, maaf bila aku harus meninggalkan kalian, aku hanya ingin bernapas dengan lega tanpa perlu ada sesak karena kalian. Aku tidak akan menyalahkan kalian, aku pergi untuk menghukum diriku yang telah keliru pada perasaanku.
            “Ha Neul tanpa Eun Byeol terlihat menyedihkan…”
            “Eun Byeol tanpa Ha Neul tak ada artinya…” itulah kalimat terakhir yang kurangkai bersamamu sebelum akhirnya aku pergi membawa luka yang kusembunyikan di balik perasaanku.
            Entah kebetulan atau memang telah menjadi takdir, namaku berarti bintang sedangkan Ha Neul berarti langit. Kami bagai dua sisi yang nyaris tak dapat dipisahkan. Ya… langit dan bintang sesuatu yang menyatu, namun akhirnya terpisah karena kehadiran seorang pria. Bukan… bukannya terpisah namun bintanglah yang memisahkan diri dari langitnya. Bintang lah yang memutuskan pergi karena tidak lagi dapat bertahan pada langitnya. Hingga akhirnya langit terlihat kelam dan begitu menyedihkan.
***
            Pagi ini langkahku begitu berat untuk pergi, aku masih duduk terpaku di depan cermin sambil tertunduk lemah. Sebuah bingkai kecil mempertontonkan wajah bahagiaku bersama Siwon dan Ha Neul saat masih berseragam sekolah. Pagi ini matahari bersinar hangat namun tak dapat menghangatkan hatiku. Warna cerah hanbok yang kugunakan pun tak dapat mencerahkan perasaanku.  
            “Kau sudah siap?” Tanya ibuku sambil memeriksa riasanku. Aku hanya mengangguk pelan, seakan memberi aba-aba bahwa sesungguhnya aku tidak pernah siap. “Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Tadi Paman dan Bibi Lee menelpon, katanya mereka telah tiba di restaurant.”
            Ha Neul… apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus berterus terang pada orang tuaku? Kalaupun itu kulakukan, bukankah ayah dan ibu akan meminta aku memperkenalkan pria yang kucintai itu. Aku tidak punya keberanian berterus-terang kepada Siwon. Aku sungguh tidak ingin mengubah perasaannya yang tadinya menganggapku sahabat menjadi orang yang membuatnya kecewa. Ha Neul… kumohon tanyakan kepada para malaikat yang bersamamu di surga, apa yang harus kulakukan?
***
            “Aku ingin melihat bintang…” kuantar kau ke balkon belakang. Saat itu hari-harimu semakin sulit. Keadaanmu pun semakin mengkhawatirkan. “Byeol… apakah teman-temanmu yang gemerlapan di atas sana akan menerimaku bergabung?”
            “Nde… mana mungkin mereka menolak,” lirihku. Kulihat Siwon yang bersandar di kusen pintu dengan wajah pilunya.
            “Kalau begitu aku akan punya banyak teman bila aku telah pergi…” ucapmu lemah. Siwon tak sanggup lagi, dia masuk begitu saja, kurasa untuk menangis sekedar mengurangi sesak di dadanya.
            “Jangan bicara seperti itu, kau tidak akan pergi secepat itu…” hiburku meski kau tahu itu tak mungkin lagi.
            “Siwon…” ucapmu terputus, matamu menatap sendu langit berbintang kala itu. “Jagalah dia untukku, kurasa hanya kau yang dapat melakukannya…”
            “Aku tak mau menjaganya… itu adalah tugasmu, lakukanlah sendiri!” tolakku menahan isakku.
            “Byeol~a… jangan jahat seperti itu padaku. Aku tidak punya waktu lagi, aku tak sanggup lagi bertahan lebih lama, sakit ini begitu membuatku tersiksa,” kupeluk sahabatku itu, aku tak boleh menangis, kutahan isakku sebisa mungkin.
            “Setidaknya bila tiba saatnya, kau tidak boleh pergi tanpa berpamitan, arro?” aku berusaha tegar. Kau mengangguk, kau melepas pelukanku. Kau menatapku dan membelai wajahku dengan tangan kecilmu… “Wajah ini… tak akan pernah kulupakan,” ucapmu. Kau mengambil sebuah cincin dan memasangkannya di jariku, “Jagalah amanahku…” pintamu.
            Air mataku menetes meski sekuat tenaga aku menahannya. Cincin ini bukannya pemberian Siwon, kenapa kau malah memberikannya padaku?
            “Siwon… pasti sedang sedih, masuklah dan hiburlah dia,” pintamu. Aku pun tak dapat menolak, aku masuk mencari kekasihmu yang sangat menyedihkan itu. Dia termenung di depan kaca jendela sambil menatap langit. Kutepuk bahunya, menggenggamnya erat untuk memberinya dukungan agar dapat bertahan. Namun justru hal itu membuatnya lemah, dia terisak memelukku,
            “Aku belum siap kehilangannya…” ucapnya. Lama aku mencoba menenangkannya, kubujuk dia agar dapat mengendalikan perasaannya. Saat itu Ha Neul begitu rapuh, jangan biarkan dia melihat air mata dari orang terkasihnya.
            Malam semakin larut, angin pun terasa tak bersahabat lagi. Aku dan Siwon menemuimu kembali di halaman belakang itu.
            “Ha Neul~a… ini sudah larut…” ucapku pelan, tiba-tiba saja tanganmu tersentak dari gagang kursi roda. Matamu terpejam dengan segaris senyum di bibirmu. Sungguh, malam itu kurasakan langit seakan runtuh.
            “Kau janji akan berpamitan sebelum pergi, tapi kenapa kau pergi begitu saja?” aku memeluk tubuhmu yang telah kaku. Siwon pun datang memelukmu, kami berdua memelukmu, menangis bersama karena kau pergi begitu saja.
***
            Mataku nanar memandangan jalan yang kulalui bersama kedua orang tuaku untuk ke restaurant. Sedari tadi ibuku hanya memperbaiki hanbok-ku agar tak ada yang kusut. Aku putri tunggal keluarga Shin, jelaslah kedua orang tuaku akan memberikan hal terbaik untukku. Ya… kuharap pria yang dipilihkan untukku juga adalah yang terbaik.
Orang tuaku bercengkarama dengan Paman dan Bibi Lee, sementara aku hanya tertunduk diam. Keriuhan di antara dua keluarga ini justru membuatku merasa sunyi. Donghae, pria yang akan dijodohkan denganku pun tak banyak bicara. Meski kusadari sesekali dia memandangku.
            “Byeol… kenapa kau diam saja? Ayo bicaralah…” ajak Paman Lee, aku mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kemurunganku.
            “Kau pemalu sekali!” tambah Bibi Lee.
***
“Kembalilah ke Seoul, lanjutkan saja studimu di sini. Selain kau, aku tak punya siapa-siapa lagi semenjak Ha Neul pergi…” Siwon memohon padaku. Ha Neul… dia begitu malang, kau meninggalkannya dan membuatnya kehilangan arah. Baiklah, seperti permintaanmu sebelum pergi, aku akan menjaganya untukmu.
Kubuka pintu kamar Siwon, di dalam kulihat dia tengah memandangi foto kalian saat masih bersama. Dia menyadari kedatanganku, namun tak dapat melepas pandangannya untukku. Kulihat makanan yang masih utuh di atas meja tulisnya, aku pun mengambil nampan makanan itu dan mendekat ke arahnya.
“Sampai kapan kau akan seperti ini? Aku tahu kau sedih, tapi Ha Neul berpesan agar jangan menyiksa dirimu…” kuambil sesendok nasi dan mencoba menyuapi Siwon-mu. “Apa kau ingin membuatnya sedih? Makanlah meski hanya sedikit, dia tak mau melihatmu sakit!” bujukku.
“Aku tidak lapar…” ucapnya.
“Kau tahu, apapun yang terjadi padamu mulai dari sekarang sampai seterusnya adalah tanggung jawabku. Aku telah berjanji padanya untuk menjagamu, bila terjadi sesuatu padamu, aku takut dia akan membuat perhitungan denganku kelak…”
“…” Siwon-mu hanya diam, dia masih membatu,
“Ha Neul tak ingin kita bersedih terlalu lama. Dia ingin beberapa hari setelah dia pergi, kita bisa kembali seperti dulu, ceria dan bahagia. Anggaplah dia masih ada, anggaplah kita tak pernah kehilangannya, maka dari itu kita tak akan sedih,” ucapku, “Menangis adalah hal yang wajar, kita memang perlu menangis agar kita sadar bahwa kita hanya manusia biasa. Namun dalam tangisan itu, kita juga perlu tawa agar kita tahu bahwa kita bukan manusia yang lemah…” tutupku. Siwon memakan habis makanan yang kusuapkan untuknya, aku janji tak akan meninggalkannya, dia sangatlah rapuh.
***
Saat ini entah apa yang terjadi pada mataku maupun kepalaku. Kenapa aku melihat ada seorang pria yang mirip Siwon berjalan ke arahku. Apakah aku berhalusinasi melihatnya datang? Mungkin karena aku begitu menantinya sampai aku tak dapat berpikir jernih.
“Maaf bila aku mengganggu acara kedua keluarga ini…” ucap Siwon begitu saja saat ia menghampiri meja keluargaku. Kali ini aku dapat melihat dia nyata, ternyata aku tidak sedang menghayal.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku padanya. Dia menoleh ke arahku sejenak kemudian menoleh lagi ke arah ayah dan ibuku.
“Aku harap paman dan bibi berkenan membatalkan perjodohan ini!” ucapnya tegas.
“Yaa… kau biacara apa?” aku kaget, wajah kedua orang tuaku juga sepertiku, begitupun Donghae dan orang tuanya.  
“Aku mencintai Byeol, kumohon jangan pisahkan aku darinya!” terang Siwon. Aku tertegun, apa aku salah dengar? Atau mungkin aku sedang bermimpi saat ini? Siwon menggenggam tanganku, “Aku benar-benar membutuhkanmu!” ucapnya,
“…” aku bungkam karena kaget.
“Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu!” ucapnya. “Selama ini kau selalu berada di sampingku, menuntunku, membantuku, dan menghiburku. Kau selalu ada untuk memperhatikanku, aku tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila kelak kau tak lagi ada untukku. Tentu rasanya akan lebih sakit dibanding kehilangan Ha Neul, aku tak mau menangis lagi, aku tak mau kehilangan lagi, untuk itu jangan pernah pergi dariku.”
“…”
“Kau berjanji akan menjagaku, kau berjanji akan terus bersamaku, kini aku menagih janjimu itu. Kau bilang aku berhak bahagia meski tanpa Ha Neul, kalau begitu aku ingin bahagia tapi kali ini harus bersamamu!”
“…” hiks, hiks, hiks, isakan ini bukan karena sedih ataupun gundah. Isakan ini karena aku terlalu terharu, aku bahagia, sungguh aku bahagia.
***
Semenjak kau pergi, Siwon telah menjadi tanggung jawabku. Seperti janjiku, aku harus membantunya kembali berdiri. Aku telah melakukannya, aku membantunya mendapatkan kembali senyumnya. Mengajaknya pergi ke manapun yang dia suka, menemaninya setiap saat dia membutuhkan aku, dan melakukan apapun yang dimintanya. Aku bahagia mengemban tugas ini namun semakin lama semakin aku menyadari, sampai kapanpun dia hanya akan menganggapku sebagai teman.
Bisakah kau membantuku mengubah perasaannya? Bisakah kau pergi dari pikirannya? Huh… itu hal yang tidak mungkin. Baginya kaulah segalanya, masa lalu yang tak akan mungkin pernah hilang dari pikirannya, lantas untuk apa lagi aku bertahan dengan semuanya? Aku benar ‘kan Ha Neul?
Tapi kedatangannya sore itu, tepat di saat kedua orang tuaku membicarakan perjodohan itu, telah mengubah semuanya. Sejak kapan dia mencintaiku? Sejak kapan dia membutuhkanku? Sejak kapan dia tak ingin kehilangan diriku? Aku tidak akan menanyakan hal-hal itu. Yang kutahu dia telah mencintaiku, dia membutuhkanku, dan dia tak ingin kehilangan diriku.

Ha Neul… terima kasih, karena dirimu aku dapat mengenalnya; karena dirimu aku dapat dekat dengannya; karena dirimu aku dapat mencintainya; dan karena dirimu pula aku dapat bersamanya. Kuharap kau bahagia di atas sana melihatku mengenakan gaun pengantin yang indah. Di sampingku, Siwon berjalan membawaku ke altar pernikahan. Kami tersenyum dan aku yakin kau pun tersenyum. Berilah restumu kepada kami, doakan kami agar bahagia.
Kini tugasku baru kumulai yaitu menjaganya, aku menjaganya untukmu dan untuk bagianku juga. Aku akan melakukan semua hal yang tidak dapat kau lakukan untuknya, menemaninya sampai kapan pun, membahagiakannya, dan selalu berdiri di sisinya tanpa lelah. Kini izinkan aku memanggilnya ‘Siwon-ku’ kuharap kau tidak akan keberatan sahabatku.

Siwon menggenggam tanganku menelusuri jalan setapak setelah menziarahi makam Ha Neul. Dari kaki bukit ini kupandangi langit biru dan awan yang berarak, kuyakin kau tersenyum. Ha Neul… gomawo.
  
End


FF One Shot - Blue Tomorrow


            “Omma… apa boleh aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku, di sela-sela sarapan
            “Ne… apa?” ibu membolehkan
            “Aku tak ingin tempat ayahku digantikan oleh orang lain!” perkataanku ini membuat ibuku tertegun, matanya menatap tajam ke arahku.


            Hari ini pelajaran Sejarah, aku menanti kesempatan ini setiap saat. Bae songsaenim masuk ke kelas dengan melemparkan senyumnya yang sangat menawan, tentunya senyum yang sangat kusuka. Kebanyak siswa akan mengantuk bila mengikuti pelajaran sejarah, katanya membosankan lah, sulit lah, dan masih banyak lagi alasan yang mereka punya namun bagiku sejarah itu indah apalagi yang mengajarkan adalah Bae songsaenim.
            “Baiklah…,” songsaenim mengakhiri penjelasannya. “Ada yang tahu mengapa terjadi insiden teh di pelabuhan Amerika saat itu?” tanyanya. Kuberanikan diriku mengangkat tangan mencoba menjawab pertanyaannya. “Ne… Kim Seohyun!”
            “Terjadinya insiden pembuangan teh hasil panen oleh petani di Amerika dikarenakan sebagai bentuk protes para petani atas kesewenangan Inggris yang membeli teh mereka dengan harga murah dan menyebabkan kerugian besar bagi para petani!” jawabku.
            “Bagus!” songsaenim memberi pujian padaku, aku senang sekali, pokoknya aku harus lebih giat belajar agar terus mendapat pujian darinya.

            Aku dan Jaejoong Oppa menghabiskan waktu istirahat kami di perpustakaan. Bagi sebagian siswa, perpustakaan adalah tempat yang paling membosankan begitupun bagiku, namun itu dulu, sebelum Bae songsaenim menjadi guru sejarahku. Setelah dia berhasil membuatku menaruh perhatian padanya, aku jadi keranjingan membaca buku-buku sejarah; sejarah korea, maupun sejarah umum.
            “Kau benar-benar berubah, memangnya bagaimana cara mengajar Bae songsaenim sehingga kau seperti fans beratnya?!” tegur Jaejoong  Oppa keheranan.
            “Seperti guru-guru yang lain kok!” jawabku,
            “Lalu…?” tanyanya bingung
            “Soalnya dia ganteng makanya aku tertarik!”
            “Aku juga ganteng, apa kau juga suka padaku?” tanyanya narsis,
            “Jiah… Oppa jangan membuatku tertawa!” aku kembali membuka lembaran buku yang menceritakan kisah runtuhnya kebesaran kerajaan Shilla.

            Malam ini ibu berdandan sangat rapi dan cantik, katanya ada reuni teman-teman SMU. Aku yang sibuk mencari referensi sejarah umum mengenai pecahnya perang Salib di internet jadi kurang memperhatikan ibuku.
            “Seohyun…” teriak ibuku dari luar, “Ibu pergi dulu!” sambungnya
            “Ne Omma! Hati-hati ya!” balasku. Aku tak akan menghalangi ibu mencari kebahagiaan barunya, ibu sudah cukup berkorban membesarkanku sendirian semenjak ayah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kadang aku bercanda meminta ibu mencarikanku ayah baru namun ditanggapi dingin oleh wanita yang begitu kukagumi itu. Kini sepertinya ibu telah menemukan cinta barunya, aku bisa melihat dari gerak geriknya akhir-akhir ini.
Huf… kupandangi foto keluarga kecilku, ayah, ibu, dan aku, aku rindu kebersamaan kami namun tak akan pernah kudapatkan lagi. Ayah… tak apa kan’ kalau ibu mencari penggantimu? Ibu telah bersabar membesarkanku sendiri selama sepuluh tahun ini. Doakan ibu agar cepat mendapatkan pengganti yang sebaikmu ayah!
Malam ini ibu pulang agak larut, kulihat dari jendela kamarku yang mengarah ke jalan, ibu diantar oleh seseorang. Apakah mungkin pria itulah yang membuat ibu berbeda akhir-akhir ini? Pagi menjelang, aku jalan ke sekolah bersama Jaejoong  Oppa, oh ya… dia adalah teman sepermainanku sejak kecil. Kami tetangga, umurnya lebih tua dua tahun dariku, ya… dia senior di sekolahku.
“Kenapa senyum-senyum seperti itu?” tanyanya tiba-tiba, aku menggeleng enggan memberitahukan alasannya. “Apa nanti jam pelajaran sejarah?” tebaknya.
“Oppa… sepertinya ibuku sudah mendapat pengganti ayah!” jawabku.
“Mwo? Apa kau tidak marah?”
“Kenapa harus marah? Aku malah senang, sekarang ibuku tidak kesepian lagi!”
“Yah… dongsaengku telah dewasa, kupikir kau akan marah bila ibumu menjalin hubungan dengan pria lain. Sukurlah kalau begitu, memang sudah saatnya Ajumma mencari kebahagiaannya sendiri, dan lebih bagusnya lagi ternyata kau mendukungnya,”
“Uhm…tapi sampai saat ini ibu belum menceritakan apa-apa padaku, mungkin dia masih malu…” lirihku,
“Kalau begitu mintalah ibumu memperkenalkan kau dan calon ayah barumu itu, cepat atau lambat kalian harus saling mengenal kan’?” aku berusaha mencerna nasihat Oppa, memang aku harus mendesak ibu sebab bila aku diam saja maka tak akan ada perkembangan.
Aku dan Jaejoong  Oppa berpisah di lorong sekolah, Oppa menuju kelasnya di lantai tiga dan aku terus saja sebab kelasku di lantai satu. Di koridor aku bertemu Bae songsaenim, dia nampak kerepotan membawa beberapa buku cetak. Segera aku menawarkan diri untuk membantunya, kami pun beriringan ke ruang guru.
“Gomawoyo Lee,” ucap Bae songsaenim dengan senyuman manisnya.
“Cheonmaneyo songsaenim,” balasku. Aku membungkukkan badan dan setelahnya segera beranjak dari ruangan itu,
“Mmmm… Lee…!” panggil songsaenim, aku berbalik, “Apa sepulang sekolah kau ada waktu? Aku ingin mentraktirmu!” ucap songsaenim malu-malu. Hah? Traktir? Maksudnya… ini dapat dikatakan ajakan kencan?
“Mentraktir karena apa songsaenim?” tanyaku tidak langsung menyetujui, aku tidak boleh terlihat gampangan di depannya.
“A…a… i..itu… mentraktir karena…” dia jadi gelagapan, “…karena kau telah membantuku mengangkat buku-buku ini!” dia tersenyum renyah, kelihatan sekali kalau dia gugup.
“Ne… gomawoyo songsaenim!” balasku tidak kalah senang.
“Kutunggu di gerbang sekolah saja ya!” ucapnya. Aku mengangguk dan segera pergi dari ruangan itu. YESSSS!!!! Aku berjalan kegirangan, wajahku kini memerah seperti tomat. Wah…jeongmal, ini seperti mimpi, aku diajak jalan oleh songsaenim idolaku, aku tidak mau bangun! Jangan ada yang berani membangunkan aku bila ini memang mimpi, bagaimanapun aku sangat, sangat, dan sangat bahagia.
Saat pulang sekolah, kulihat di parkiran Bae songsaenim menunggu di samping mobilnya, matanya membelalak seperti mencari sesuatu di antara murid-murid yang bergumul pulang.
“Oppa… aku duluan ya, itu songsaenim telah menungguku!” aku berpamitan pada Jaejoong  Oppa. Dia mengangguk dan tersenyum padaku, kenapa wajahnya terlihat sedih? Dia seperti sedih dalam senyumannya, ah… sudahlah… mungkin Oppa sedang bermasalah dengan pelajarannya, nanti saja kutanyakan, kalau-kalau dia butuh bantuanku. Aku menghampiri Bae songsaenim, seyumannya membuatku semakin senang, dia membukakan pintu mobilnya dan setelah aku masuk, kami segera meluncur ke tempat yang telah dijanjikannya.
Setelah makan, songsaenim mengajakku berkeliling Dongdaemun bahkan tak segan-segan dia menawarkan aku untuk membeli sesuatu, katanya dia yang traktir. Aku masih punya cukup malu, makanya yang kupilih adalah barang-barang yang tidak mahal, itupun sebenarnya aku tidak enak lagi padanya yang tidak pernah berhenti menawarkan barang padaku. Hari telah gelap dan sudah saatnya aku pulang, dia mengantarkan aku sampai di depan rumah. Kulihat rumah masih gelap berarti ibu belum pulang, aku segera turun dari mobil dan sekedar basa-basi meminta songsaenim untuk singgah. Dia menolak, katanya masih ada yang harus dia kerjakan, akupun melambaikan tanganku selepas dia pergi.
Aku tersenyum sendiri masuk ke pekarangan rumahku, kalau tidak kenal malu, aku pasti sudah berteriak kencang ‘songsaenim… nomu choaeyo!!!!’ aku sungguh menyukaimu.
“Ehm…!” ada seseorang yang datang, aku segera berbalik mencari orang itu, tidak ada, aku melihat ke samping kiri dan kanan, juga tidak ada. “Hei… di atas!” ucap orang itu lagi, aku pun menengadah. Senyumanku mengembang melihat Jaejoong  Oppa yang sedang mengamatiku di balkon kamarnya.
“Oppa…!” sapaku,
“Duh… yang baru pulang kencan, wajahnya merah seperti tomat!” ledeknya, aku tersenyum malu. “Sepertinya belanja banyak, ada bagainku juga?!” aku buru-buru menggeleng sehingga wajahnya berubah cemberut.
“Mianhe Oppa, aku jadi lupa padamu!” ucapku,
“Jadi begitu ya? Kalau kau senang, kau lupa padaku?”
“Bukan… bukan begitu, aku…”
“Sudahlah… aku hanya bercanda, cepatlah masuk udara sangat dingin nanti kau masuk angin!” aku mengangguk dan segera masuk ke rumah, kunyalakan beberapa lampu dan menutup rapat pintu kemudian menyalakan penghangat.

Pagi ini saat sarapan, kuberanikan diriku bertanya mengenai hubungan ibu dengan kekasihnya, kupikir tak ada salahnya bila kuikuti saran Jaejoong  Oppa. Ibu awalnya enggan menceritakannya, entah karena malu atau apa.
“Ibu takutnya kau akan marah makanya ibu hanya diam…” ibuku memberi alasan,
“Omma, aku mengerti apa yang telah terjadi. Tak selamanya Omma dapat hidup sendiri, apa lagi Appa sudah lama meninggal, Omma pasti butuh pendamping yang dapat memberi dukungan dan kasih sayang pada Omma. Aku tidak akan selamanya menemani Omma kan’?” kupegang tangan ibuku dan kutatap ia dalam-dalam. “Suatu saat nanti aku akan membentuk keluarga sendiri dan tentunya harus berpisah dari Omma, maka dari itu… sekaranglah saatnya Omma mencari pendamping yang dapat menemani Omma bila aku sudah harus pergi.” Ibuku tersenyum, dia menunduk, beberapa saat kemudian dia mengangguk.
“Baiklah… nanti malam Omma akan mengatur makan malam dengannya, kau bersiap-siaplah!” janji Omma.

Sepanjang jalan ke sekolah aku menceritakan semua pada Jaejoong  Oppa, anehnya kenapa dia malah sedikit ragu pada keputusanku untuk berkenalan dengan calon ayahku. Bukannya dia sendiri yang menyarankan agar aku meminta ibu untuk memperkenalkan aku pada teman prianya itu.
“Kapan makan malamnya? Nanti ya?” tanya Oppa, aku mengangguk. “Apa kau yakin ingin mengenalnya lebih dekat?” dia bertanya seperti orang tidak mengerti apa-apa.
“Kenapa Oppa malah bertanya aneh seperti itu? Tentu saja aku ingin tahu pengganti ayahku. Bagaimanapun aku harus tahu kan’? Namaku nantinya akan berpindah ke namanya, kami akan tinggal bersama menjadi keluarga, dan… mungkin aku bahkan punya adik darinya!”
“Mmmmm… semoga semua berjalan lancar ya!” seru Oppa. Aku tidak mengerti akan perubahan sikap Oppa, bukannya dia sendiri yang memintaku untuk terus mendukung ibu, nah… di saat aku telah memberi dukungan sepenuhnya untuk ibu dia malah pesimis.
Malampun tiba, aku menyusul ibu ke restaurant tempat kami janjian. Di sana kulihat ibu hanya sendiri, belum ada pria itu. Ibu melambai ke arahku saat ia melihatku di pintu masuk resto.
“Kenapa ibu sendiri?” tanyaku sambil mendorong kursi untuk duduk.
“Teman ibu ke toilet dulu, katanya dia lumayan gugup akan bertemu denganmu!” jawab ibu, aku tersenyum geli mendengarnya, gugup karena akan bertemu denganku? Beberapa saat kemudian seorang pria berjalan ke arah kami, dia nampak rapi dengan stelan jas hitamnya. Dia mengenakan kacamata dan senyumnya sangat indah, Bae Songsaenim?
“Maaf… sudah lama menunggu ya?” sapanya padaku, aku heran, aku masih belum mengerti apa yang terjadi. Kenapa songsaenim menyapa kami? Kenapa dia tahu kami sedang menunggu?
“Tidak… dia juga baru datang,” balas ibu, “Seohyun… perkenalkan, namanya Bae Young Jun, dia teman sekolah ibu dulu!” perlahan aku mulai mengerti, tapi masih sulit percaya. Tatapanku tajam mengarah pada songsaenimku dan tersenyum kecut melihat ibu.
“Maaf Seohyun… sudah lama aku ingin menceritakan semua padamu tapi aku tidak berani!” ucap songsaenim.
“Sebenarnya ibu yang melarang, nilai sejarahmu bagus dan ibu takut bila orang sekolah tahu Young Jun dan ibu punya hubungan maka akan disangkutpautkan dengan nilai-nilai pelajaranmu!” aku diam seribu bahasa, aku benar-benar tak tahu harus bicara apa, aku sungguh sulit untuk percaya kalau pria itu adalah songsaenimku, guru yang kutaksir. Tidak… aku bukannya sulit percaya, tapi… tapi… tapi aku tidak mau percaya.
♥♥♥
Aku terduduk lesu di taman, aku kehilangan selera pada segala sesuatu. Seharusnya di jam istirahat seperti ini aku sudah ada di perpustakaan mencari bahan pelajaran sejarah yang akan dibahas songsaenim pada pelajaran berikutnya. Kusentakkan kakiku di tanah, meraung sendiri, dan… tanpa kusadari air mataku jatuh. Hiks… kenapa harus dia? Kenapa  harus songsaenimku?
Tubuhku terasa hangat seketika, kusadari ada seseorang yang memelukku. Ini aroma Jaejoong  Oppa, ya… aku yakin.
“Gwencanayo, apa kau baik-baik saja?” tanyanya,
“Bagaimana mungkin aku baik-baik saja? Orang yang kusukai ternyata calon ayah tiriku!” aku sesenggukan di pelukannya. “Kau jahat Oppa… kau sangat jahat! Kau pasti sudah tahu masalah ini, tapi kenapa kau tidak cerita padaku? Kau menyembunyikan apa yang kau tahu dan membiarkan aku tahu sendiri.”
“Jeongmal mianhe…” ucapnya pelan, dia mengelus kepalaku.
“Aku seperti orang bodoh di hadapan Ibu dan  songsaenim semalam, benar-benar seperti katak dalam tempurung!”
“Aku baru tahu kemarin, saat itu aku tidak sengaja melihat Ajumma diantar oleh songsaenim. Aku ingin cerita padamu namun aku enggan, aku tahu kau pasti akan sedih, jadi aku memilih biar kau tahu sendiri.”
“Aku harus bagaimana Oppa? Aku menyukai songsaenim, aku sangat menyukainya. Aku tak mau dia menjadi ayahku, aku tak mau namaku berubah menggunakan namanya, aku tak mau tinggal serumah dengannya dan melihat kemesraannya bersama ibu, aku… juga tak mau punya adik darinya, aku tak mau!” aku berontak.
“Lalu… bagaimana dengan ibumu? Kau akan bilang apa padanya?”
“Aku tak ingin ibu menikah dengan songsaenim, mereka harus memutuskan hubungan mereka!” seketika Jaejoong  Oppa melepas pelukannya, dia menatap tak percaya padaku.
“Kau bicara apa? Kenapa kau tega sekali?”
“Ibu juga tega padaku, ibu tega menyakiti hatiku! Ibu mengambil songsaenim dan ingin menjadikan dia ayahku!”
Seohyun… sadarlah, kau tak pantas bicara seperti ini! Bukannya kau sendiri yang meminta ibumu untuk mencari pengganti ayahmu lalu setelah…?!”
“Tapi bukan songsaenim orangnya! Aku tak mau dia jadi ayahku!” potongku sebelum dia menyelesaikan kata-katanya.
“Ya… kau tak ingin menjadi putrinya, kau berhak menolak, kau punya pilihan, lalu apa yang akan kau katakan pada ibumu bila dia bertanya mengapa kau menolak? Apa kau akan bilang kalau kau menyukai songsaenim?” aku terdiam, benar… aku harus bilang apa kalau ibu bertanya? Apa yang akan kujadikan alasan? 
Sepanjang jam pelajaran aku tidak berkonsentrasi, masalah ini berkecamuk di kepalaku. Aku harus bagaimana? Apa aku harus diam saja menerima kenyataan ini? Apa aku bisa tahan tinggal serumah dengan orang yang kusayangi namun sebagai ayahku? Apa bisa aku menyapanya dengan sebutan ayah? Sekali lagi aku menangis, menangis tiba-tiba di tengah kelas, kali ini begitu kencang.
“Lee… kau kenapa?” tanya Seo songsaenim, ibu guru Sastra Koreaku.
“Gwencanayo?” tanya teman-temanku,
“Apa kau sakit?” tanya songsaenim lagi
“Songsaenim… sejak tadi pagi dia nampak murung!” ucap temanku
“Iya… wajahnya juga pucat, dia pasti sakit!” sambung yang lain. Akhirnya songsaenim memberitahukan wali kelasku dan kemudian menelpon ibu. Dengan wajah cemas ibu datang menjemputku, Bae songsaenim juga mengantar kami sampai ke parkiran untuk pulang. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam, ibu hanya sesekali bertanya sebab aku tidak pernah menggubris kata-katanya.
Malam ini Jaejoong  Oppa datang menjengukku, dia dengar dari teman-temanku aku dijemput pulang dari sekolah tadi siang. Oppa menempelkan punggung tangannya di dahiku untuk memastikan aku tidak demam. Aku hanya terbaring malas di ranjang, aku tidak mood melakukan apa-apa, saat ini mungkin aku sedang marah, ya… mungkin marah pada ibu.
“Hentikan semua ini Seohyun, sampai kapan kau perlakukan ibumu seperti ini? Kau marah tanpa alasan dan ibumu tidak tahu apa-apa!”
“Oppa… kau yang hentikan ceramahmu, sampai kapan kau ingin menyalahkan aku? Di sini aku lah yang menjadi korban, apa kau tidak mengeri?”
“Korban? Kau yang menjadi korban? Di sini ibumu lah yang kau sakiti! Kenapa kau begitu egois?” Oppa jadi emosi, “Baiklah… seandainya kau kukuh dengan keputusanmu memisahkan ibumu dan songsaenim apa semua akan berakhir bahagia seperti rencanamu? Apa kau akan menyatakan sukamu pada songsaenim dan dia akan menerimamu? Lalu ibumu bagaimana? Apa kau akan menyuruhnya mencari pria lain lagi? Menggelikan sekali bukan? Semua yang mendengar masalah ini pasti akan terkikih!”
“Jadi Oppa bermaksud memintaku untuk mengalah?!” tanyaku kaget
“Apa kau tak ingin berkorban untuk ibumu?” balasnya kesal
“Lalu bagaimana dengan perasaanku Oppa? Aku berkorban demi ibu untuk menjaga perasaannya, lalu bagaimana dengan perasaanku sendiri?” aku sedih kenapa Oppa malah menyalahkanku, “Siapa yang akan menjaga perasaanku?!” aku putus asa, satu-satunya orang yang kupercaya dan dapat kuandalkan malah mengecewakanku.
“Aku! Aku yang akan menjaga perasaanmu!” tegasnya. Tatapan Oppa yang tadinya penuh kesal kini berubah lembut. Dia membelai rambutku dan sejenak terdiam, “Saranghae Seohyun…” lanjutnya. Mwo? Apa aku tidak salah pendengaran? Oppa bilang cinta padaku!
“Oppa!” hanya itu yang dapat kukatakan di sela keterkejutanku.
“Ne… Seohyun, Oppa memang pengecut, tidak dapat berterus terang padamu. Oppa menyukaimu sejak kita masih SMP tapi tidak berani mengatakannnya!” dia tertunduk entah malu, sedih, atau mungkin merasa bersalah. “Seandainya saja sejak dulu Oppa jujur dan berani memintamu menjadi pacar, mungkin kau tidak akan tertarik pada songsaenim dan keadaannya tidak akan seperti ini!”
“Oppa…” lirihku,
“Jaljayo! Beristirahatlah!” Oppa pamit dan keluar dengan langkah berat, aku sendiri masih berusaha menenangkan perasaanku.

Pagi ini aku memutuskan untuk melakukan sesuatu, aku harus menentukan jalan bagaimana menyelesaikan permasalahanku.
“Omma… apa boleh aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku, di sela-sela sarapan
“Ne… apa?” ibu membolehkan
“Aku tak ingin tempat ayahku digantikan oleh orang lain!” perkataanku ini membuat ibuku tertegun, matanya menatap tajam ke arahku.
“Begitu ya?” ibu bertanya lirih dan melanjutkan sarapannya,
“Omma tak mau mendengar alasannya?”
“Tidak usah,” ibu menolak tawaranku, “Omma tahu pasti berat bagimu menerima orang lain untuk menggantikan posisi ayahmu!” lanjut ibu. Apa aku egois? Apa yang kulakukan salah? Aku hanya berusaha melindungi perasaanku dan kurasa itu wajar. Tak seorangpun boleh menyalahkan keputusanku, mereka tidak mengerti, mereka tidak dalam posisiku. Tenanglah Seohyun… kau mengambil langkah yang tepat.

Sekarang jam pelajaran sejarah, aku memilih bolos. Untuk saat ini aku masih belum punya keberanian untuk bertatap muka secara langsung dengan songsaenim. Aku menyendiri di bawah pohon besar di belakang sekolah. Wajah ibu tadi pagi terus menghantui pikiranku, ibu memang sedih namun tidak terlihat kaget. Lama aku merenung sendiri sampai akhirnya bel tanda pelajaran usai berbunyi nyaring, aku masih belum berniat beranjak dari tempatku, atau mungkin aku sekalian bolos seharian saja?
Sekaleng jus jeruk tiba-tiba muncul di hadapanku, aku menoleh pada orang yang menyodorkannya, Bae songsaenim? Perlahan kuambil jus pemberiannya dan segera dia duduk di sampingku.
“Kenapa kau bolos pada jam pelajaranku?” tanyanya, aku membisu, “Permasalahan pribadi tentu tidak boleh dikaitkan dengan pelajaran, bila kau merasa tidak enak denganku karena masalah ibumu, jangan sampai kau mengorbankan pelajaranmu.” Kali ini aku masih tetap bungkam. “Ibumu telah memberitahukanku, tadi pagi dia menelponku. Sedih rasanya kau menolakku namun aku mengerti, pasti masih sulit bagimu untuk menggeser posisi ayahmu pada orang lain,”
“Songsaenim…” lirihku.
“Aku dan ibumu telah berteman sejak masih SMP bahkan kami telah saling menyukai. Sayang kami harus berpisah saat ibumu harus dijodohkan dengan pria pilihan orang tuanya! Kami tidak dapat berbuat banyak… kami menganggap ini memang harus kami jalani, perpisahan memang telah menjadi takdir.” Kakek dari ibuku memang orang yang keras, wajar kalau ibu tidak bisa protes pada perjodohannya. Ibuku menikah dengan ayah begitu ia lulus SMU, ya… memang pernikahan di usia muda lagi marak saat itu.
“Setelah pernikahan ibumu, aku pindak ke Jepang menyusul orang tuaku. Di Jepang aku dengar kabar kalau suami ibumu meninggal karena kecelakaan, meski ingin sekali menetap dan menghiburnya namun kusadari itu tidak rasional, apa kata orang nanti? Saat itu usiamu baru 7 tahun dan kau belum mengerti apa-apa.”
“…” aku diam
“Kucoba melupakan semua kenangan yang pernah terjadi antara aku dan ibumu, aku menjalin hubungan dengan seorang wanita di Jepang namun hubungan kami kandas saat aku tahu kalau aku dikhianati. Kuputuskan untuk kembali ke Korea, aku pun menjadi guru di sekolah ini, dan tanpa disengaja aku dan ibumu bertemu kembali saat pertemuan orang tua murid dan guru.” Beberapa saat songsaenim diam kemudian kembali bercerita, “Ibumu tidak berubah, dia masih seperti dulu, wanita yang lembut dan sangat sopan. Meski telah berpisah selama 18 tahun namun ternyata aku masih sangat mencintainya, aku ingin kami kembali seperti dulu, menjalin hubungan yang indah. Aku tahu itu tidak akan mudah, ibumu tidak sendiri, ada kau di sampingnya, dan bila kami ingin kembali seperti dulu tentunya kami harus meminta izinmu!”
Aku tertunduk, 18 tahun? Karena ayahku, ibuku mengalah dan melepas songsaenim, kini setelah berpisah selama 18 tahun, ibu sekali lagi mengalah demi diriku. 18 tahun aku dan ayah memisahkan mereka dan sekarang berapa tahun lagi aku akan menjadi penghalang di antara mereka?
“Jagalah ibumu baik-baik! Jangan sungkan meminta bantuanku bila kau dan ibumu dalam masalah!” songsaenim menepuk pundakku dan bergegas meninggalkanku. Tes… tes… air mataku jatuh di rerumputan kering, benar kata Jaejoong  Oppa, lebih baik aku mengalah, aku tidak boleh egois. Bila aku bertahan dengan perasaanku, maka yang tersakiti bukan hanya ibu, songsaenim juga, bahkan akupun tersakiti.   

Hari mulai gelap, dengan langkah berat aku memasuki rumahku. Ibu belum pulang, suasana di rumah begitu sunyi. Kunyalakan lampu untuk menerangi ruangan di rumahku, belum berapa lama aku duduk beristirahat, telpon berdering.
“Yeobuseo?” ucapku begitu merapatkan telpon itu ke telingaku.
Seohyun…” terdengar suara Bae songsaenim, kenapa dia menelpon? “Kau di mana sekarang?” tanyanya,
“Aku di rumah,” jawabku singkat
“Segeralah ke Rumah Sakit Incheon sekarang!” perintahnya,
“Kenapa songsaenim? Siapa yang sakit?” tanyaku heran.
“Ibumu mengalami kecelakaan barusan, sekarang kami ada di rumah sakit!”
“Mwo?!!!” aku terperanjat, seketika tubuhku gemetar, ibu kecelakaan?! Aku terpontang-panting keluar halaman dan segera membuka pagar rumah. Air mataku mulai meleleh, kutunggu taksi namun tak ada yang lewat. Aku berlari ke ujung jalan dekat jalan utama, mungkin di situ aku dapat menemukan taksi dengan cepat. Cccccctttt… suara rem mobil menggema saat aku tiba-tiba potong jalan,
“Gwencanayo?” sebuah suara yang sangat familiar di telingaku menghampiriku yang duduk di aspal, sikuku lecet setelah menghantam aspal. “Seohyun?!” ucap orang itu kaget. aku menengadah, Jaejoong  Oppa? “Kau baik-baik saja kan’? aduh lihat sikumu berdarah!” dia membantuku berdiri, “Ayo kita ke rumahku untuk mengobati sikumu!” ajaknya.
“Andwe Oppa, aku ingin ke rumah sakit, tadi Bae songsaenim menelponku dan mengatakan Omma kecelakaan.”
“Mwo? Jeongmal?” Oppa kaget. Diapun mengantarku ke RS Incheon, sepanjang jalan mulutku tak berhenti bergerak, berdoa dengan suara yang kecil, ya… Tuhan semoga ibuku baik-baik saja. Begitu sampai di RS, aku buru-buru ke ruang gawat darurat setelah bertanya pada suster tempat ibuku dirawat. Di koridor kulihat Bae songsaenim menunggu, wajahnya lelah dan sedih.
“Songsaenim!” teriakku, seketika guruku itu menoleh padaku. “Bagaimana keadaan ibu? Kenapa bisa begini? Sebenarnya apa yang terjadi sampai kecelakaan itu ada?” aku mencercanya dengan beberapa pertanyaan.
“Ommamu masih diperiksa di dalam, semoga saja semua akan baik-baik saja!” ucapnya
“Omma…” hiks, air mataku mengucur deras, aku takut, takut sekali. Aku hanya punya ibu di dunia ini, kalau ibuku pergi maka aku benar-benar akan sendiri. Songsaenim mendekapku, kudengar jelas denyut jantungnya, kencang. Dia pasti sedang khawatir saat ini seperti aku yang takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada ibu. Klekk… pintu terbuka, beberapa perawat keluar mendorong ranjang ibu sementara seorang dokter menyusul di belakannya.
“Bagaimana keadaannya dokter?” Bae Songsaenim dan aku segera menghampiri dokter itu,
“Apa kalian keluarganya?” dokter itu malah bertanya
“Nde~ saya putrinya!” jawabku,
“Dia baik-baik saja, hanya sedikit retak di engkle kanannya, kalau rutin mengikuti terapi, dia pasti bisa berjalan normal kembali.” aku dan Songsaenim menarik napas lega, untung saja keadaan ibuku baik-baik saja. Saat aku berbalik, kulihat Jaejoong  Oppa berdiri dengan senyumannya, dia juga ikut bahagia pada keadaan ibu yang tidak apa-apa. Dia menyodorkan sebuah kantongan untukku, dengan penuh keingintahuan aku segera membuka kantong itu, sandal? Kulirik kakiku, ah… ya ampun aku hanya memakai kaos kaki itupun sobek karena lecet.
“Aku mengerti keadaanmu, saat itu kau pasti panik sekali sampai lupa memakai alas kaki, ini kubelikan di koperasi RS,”
“Gomawo Oppa!” ucapku tertunduk malu.  
♥♥♥
Dua jam kami menunggu ibu sampai dia sadar dari pingsannya, tahukah kalian nama pertama yang diucapkan ibu saat ia mulai membuka mata?
Seohyun…” suara ibu terdengar lemah, Bae Songsaenim yang duduk di sampingnya langsung terjaga dan buru-buru memegang tangannya. Aku yang duduk di pojokan bersama Jaejoong  Oppa langsung merapat ke ranjang ibu.
“Nde~ Omma aku di sini!” ucapku pelan
Seohyun… mianhe…” ibu malah minta maaf padaku,
“Waeyo? Kenapa Omma minta maaf? Omma tidak salah kan’?”
“Mianhe karena telah membuatmu khawatir. Putri Omma…” ibu berusaha meraih tanganku, “Wajahmu kelihatan sangat lelah dan matamu bengkak, Omma sangat jahat membuatmu seperti ini!”
“Aniyo Omma, gwencana!” aku baik-baik saja ibu, kau tak perlu khawatir.
“Young Jun…” kali ini penglihatan ibu beralih pada Bae Songsaenim,
“Nde~”
“Mianhe…” ucap ibu, Songsaenimku tertunduk sedih, “Kita tak dapat melanjutkan semua ini…”
“Gwencana… tak masalah kalau harus berhenti sampai di sini, aku saat ini hanya memikirkan keadaanmu, untunglah kalau kau tak apa-apa,” balas Songsaenim, suaranya terdengar berat dan tidak rela.
“Omma… Songsaenim… mianhehamnida…” ucapku, “Aku tak akan menjadi penghalang kalian lagi, aku tidak akan melarang ibu menikah bersamamu songsaenim asal kau janji akan menyayanginya seperti aku sayang pada ibu. Aku tidak mau keegoisanku membuat kalian menderita, aku tak mau karena keras kepalaku semuanya tersiksa. Memang sudah sepantasnya kalian bersama setelah belasan tahun terpisah, aku sama sekali tidak berhak membuat kalian menunggu lebih lama lagi,”
Seohyun…” ibuku lirih menatapku, “Kau tidak perlu melakukan itu Nak, Omma tidak mau tersenyum sendiri sementara kau menangis,”
“Omma… senyumanmu adalah senyumanku juga. Omma telah merawatku dan membahagiakan aku selama 17 tahun hidupku dan sekarang sudah saatnya aku melakukan sesuatu untuk membalas kasih sayangmu. Omma… chaega jeongmal gwencanasso, ibu tak perlu khawatir, aku benar-benar ikhlas melihat Omma bersama songsaenim!”
Seohyun…” songsaenim memandangku,
“Nde~ songsaenim, awalnya aku memang tertarik padamu, kupikir aku benar-benar menyukaimu, tapi akhirnya aku sadar kalau ternyata aku hanya kagum padamu! Alangkah bangganya aku bila orang yang sangat kukagumi menjadi ayahku, aku benar-benar tidak sabar menanti pernikahan kalian. Jadilah orang tuaku, jadikan aku seorang putri yang sangat beruntung memiliki orang tua seperti kalian,” ibuku menangis memandangku, kupeluk ibuku dengan pelukan yang hangat, terima kasih ibu… ini hanya sebagian kecil dari rasa terima kasihku karena kau mau dan selalu ingin berkorban untukku. Kudengar suara pintu bergeser, Jaejoong  Oppa keluar! Segera kulepas pelukan ibu dan berpamitan untuk mengejar Oppa. 
“Oppa…” panggilku, seketika dia menghentikan langkahnya dan bebalik ke arahku,
“Chukkae…” kenapa dia memberi selamat padaku? “Kau telah dewasa Seohyun, kau telah menjadi kesatria yang mengagumkan dengan mengalah dan memberikan kesempatan pada ibumu untuk bahagia, aku sunguh bangga padamu!” ucapnya.
“Gomawoyo…” terima kasih ucapku, kami kemudian terdiam…
“Kalau begitu… aku pergi dulu!” dia berbalik dan melangkah perlahan. Hiks… dadaku sesak melihat punggungnya, aku benci melihat dia berpaling dariku.
“Oppa…” panggilku lagi, “Aku telah melakukan apa yang seharusnya kulakukan, kini aku ingin menagih janjimu, sekarang giliranmu untuk melakukan apa yang harus kau lakukan!” cegatku. Dia berbalik dan memandang tidak mengerti padaku. “Bukannya kau bilang kalau kau akan menjaga perasaanku? Aku telah merelakan perasaanku pada songsaenim hanyut demi kebahagiaan ibu dan kini aku ingin menagih janjimu waktu itu, apapun yang terjadi dan bagaimanapun itu kau tidak boleh meninggalkanku. Janji adalah utang dan kau harus membayarnya!” Oppa tersenyum, wajahnya merah, lucu sekali. Dia melangkah perlahan ke arahku,
“Boleh aku memelukmu?!” tanyanya, aku mengangguk. Tak perlu menunggu lama dia langsung melakukannya, “Saranghae Seohyun… jeongmal saranghae!” dia berteriak kencang. Aku tertawa geli dalam pelukannya, beberapa saat kemudian dia melepasnya. Dia menatapku dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku, dag…dig…dug… jantungku bergemuruh.
“Yaa… apa yang kalian lakukan?” pertanyaan itu membuat kami terkesiap, Songsaenim muncul di antara kami, “Kalian masih terlalu muda untuk melakukan itu jadi belum saatnya!” dia langsung menjauhkanku dari Jaejoong  Oppa,
“Appa… ini kan biasa di kalangan anak muda!” aku mendengus,
“Mwo? Appa?” Songsaenim kaget aku memanggilnya ayah,
“Nde~ apakah songsaenim tidak  suka kupanggil appa?”
“Greom… nomu choaye…” malah balik songsaenim yang memelukku,
“Songsaenim… dia milikku!” Jaejoong  Oppa buru-buru menarikku dari dekapan songsaenim, kami tertawa geli melihat kekonyolan ini.
Akhirnya aku bisa menyambut hari-hari indahku bersama orang-orang yang sangat kusayangi, ibuku begitu bahagia dalam balutan gaun pengantin putihnya bersanding dengan Songsaenim di altar pernikahan. Kutatap langit biru, segumpal awan seakan tersenyum padaku, ayah… lihatlah ibu bahagia bersama songsaenim, dan aku juga bahagia bersama Jaejoong  Oppa di sini. Terima kasih sudah mau melindungi kami, aku sayang padamu ayah. Blue tomorrow-ku akhirnya tiba!

~Blue Tomorrow End~