Kau
tak akan pernah dapat menentukan kapan cinta datang menyapamu...
Kau
tak akan pernah dapat menentukan pada siapa hatimu akan berlabuh...
Semua
terjadi tanpa pernah kau sadari, cinta... akan menunjukkan kekuatannya...
Gadis
itu memandangku lagi, seperti kemarin, dua hari yang lalu, tiga hari, dan
hari-hari sebelumnya. Kuyakin ia tulus padaku, tapi maaf... ia bukan ‘tipe-ku’.
Gadis berkacamata minus yang tebal dengan rambut kepang dua, gadis seperti
itu... siapa yang akan menyukainya? Satu lagi... dia tak dapat bicara.
Kusarankan menjauhlah dariku sebelum kau terluka.
♥♥♥
Ia
melangkah bagai seorang pangeran, senyumannya seakan mampu menghipnotis semua
yang memandangnya. Ia begitu sempurna, ia salah satu maha karya Tuhan yang
terindah. Aku cukup puas dengan hanya dapat memandangnya dari jauh. Tersenyum
sendiri kala melihatnya dan berdebar kala mendengar suaranya. Aku tak berharap
banyak, aku tentu tidak akan mendapat perhatiannya, seorang pangeran kampus
yang sangat kharismatik.
♥♥♥
“Ayolah... makan malam denganku. Aku yang akan
bayar!”
“Kau
pikir aku tidak punya uang?”
“Aku
tahu kau punya banyak, lalu bagaimana aku harus membujukmu? Setelah makan malam
kita bersenang-senang. Aku akan mereservasi hotel, katakan saja kau ingin di
mana?”
“...”
aku tersenyum. Kubelai wajahnya yang menurutku cantik, ternyata responnya cukup
agresif. Ia melingarkan tangannya di bahuku, “Maaf... aku sudah punya janji
malam ini. Kalau kau bersedia menunggu, mungkin tiga hari lagi setelah aku
menuntaskan janjiku dengan teman-teman sekelasmu!” kulepas rangkulannya dan
pergi dengan senyuman sinisku.
“Yaaak...
Kim Junsu!” gadis itu memekik namun tidak kuhiraukan.
Malam
ini aku menikmati rutinitasku, berpesta dan bersenang-senang di diskotik
seperti biasanya. Berdansa dan bercumbu dengan gadis mana saja yang kuinginkan.
Bukan aku yang meminta namun mereka sendiri yang datang. Begitulah... materi
yang diberikan orang tuaku membuatku dapat melakukan apa saja.
♥♥♥
Huh...
kulirik jam dinding di depanku, tanpa sadar aku menghembuskan napas yang dalam.
Hari sudah menjelang pagi namun tugasku belum selesai juga. Bel berbunyi tanda
ada pengunjung yang datang. Buru-buru kulepas celemekku dan merapikan seragam Alfamart-ku. Deg... coba
lihat siapa yang datang,
“Ada
orang tidak?” serunya. Aku buru-buru muncul di hadapannya, “Agh... kau
membuatku kaget, apa kau tidak bisa bicara baik-baik?!” tegurnya.
“...”
kubungkukkan badanku berkali-kali sebagai permintaan maafku.
“Ouh...
kau! Kau part time di sini?” dia memandang rendah padaku. Aku hanya mengangguk pasrah, “Aku
ingin jus, kepalaku sedikit pusing,” perintahnya. Segera kuambilkan pesanannya,
aroma alkohol tercium jelas darinya, malam ini dia pasti berpesta lagi.
Dia
membayar tagihannya, sungguh aku benar-benar gugup berhadapan dengannya.
Sebelum dia pergi, kusodorkan selembar kertas padanya,
“Kau
tidak menyetir ‘kan?” tulisku. Dia tertawa remeh,
“Memangnya
kenapa?” dia malah balik bertanya,
“Kau
sedang mabuk, nanti terjadi sesuatu padamu,” balasku dengan kertas yang lain.
“Apa
pedulimu?” tutupnya. Dia lalu melangkah pergi, tapi belum begitu jauh, dia
kembali lagi. Dia menatap sesuatu di seragamku, “Shin Seoyoo" Nama yang
bagus!” pujinya. Ternyata dia mencari namaku. “Terima kasih sudah
mengkhawatirkanku. Aku bawa supir!” tutupnya lalu pergi.
♥♥♥
Suasana
gelap menemani langkahku ke dalam kamar. Gelap tak masalah, yang aku benci
adalah kesunyian. Di rumah sebesar ini, aku sendiri, berteman dengan gelap.
Ponselku berdering, ada pesan masuk, “Ibu sudah mentransfer uang ke rekeningmu.
Jangan terlalu boros!” tulisnya.
“Ciih...”
segaris senyum jengkel berbentuk di bibirku. “Anda siapa Nyonya?” pekikku
kemudian melempar ponselku sampai hancur berantakan. Kubaringkan badanku di
atas kasur empuk ini, memejamkan mata hingga tak terasa buliran bening itu
mengalir. Teringat kembali kenangan belasan tahun yang lalu, di saat orang
tuaku masih seperti dulu. Aku ingin kembali... kembali di masa itu, di masa aku
masih dapat melihat wajah mereka di kala aku terbangun dari tidurku.
“Aku
rindu kalian... bisakah kalian datang untuk memelukku lagi? Ibu... Ayah...”
lirihku.
Tanganku
menyentuh sesuatu, ternyata selembar kertas. Aku tersenyum perih usai
menyalakan lampu untk melihat kertas itu. Ya... kertas dari gadis bisu itu, “Kau sedang
mabuk, nanti terjadi sesuatu padamu,”
“Bahkan
orang lain pun masih mengkhawatirkan aku. Tapi kenapa kalian nyaris tak pernah
menanyakan bagaimana keadaanku?”
♥♥♥
Kutepuk
kepalaku keras, bagaimana bisa aku lupa membawa perlengkapan lukisku. Kubalik
langkahku ke kelas dan aku sudah tak menemukannya lagi. Kuamati setiap laci
meja semoga saja aku keliru memasukkannya tadi namun tak ada. Aku mulai
menggaruk kepalaku yang tidak gatal, mencoba mengingat kembali di mana aku
meletakkannya. Aku sungguh tidak lupa, jelas-jelas aku membawanya ke kelas
tadi.
Huf...
perlengkapan lukis itu cukup mahal dan aku tidak punya uang lagi untuk
membelinya kembali. Aku tidak mau menggunakan uang ‘pemberi tunjangan’ itu
lagi.
“Ha...ha...
ini dia pemiliknya!” teman sekelasku tiba-tiba menegurku. Kedatangannya diikuti
oleh beberapa mahasiswa lain yang juga tertawa mengejek ke arahku.
“Siapa
ini? Kim Junsu? Siswa Bisnis Menejmen itu?” tanya
Sunny, teman sekelasku sambil menenteng sketsa milikku. Kulihat perlengkapan
lukisku sudah berserakan di lantai. Aku tak menjawab, tentu saja... aku bisa
menjawab apa sedangkan bersuara pun aku tidak bisa. Kucoba mengambil sketsa itu
namun Sunny segera menjauhkannya dariku.
“Apa
maksudmu menggambar sketsa Kim Junsu? Kau suka padanya?” Sunny mengolokku
diikuti tawa siswa lain.
“Kau
baik-baik saja ‘kan? Tidak ada kerusakan di otakmu ‘kan? Ayolah... jangan
mempermalukan dirimu!” Victoria mendorongku, gadis yang juga mengejar-ngejar
Kim Junsu. Akhirnya mereka mulai mem-bulying aku, tas dan semua bukuku mereka
hamburkan di lantai. Setelah merusak semua barangku, mereka pun pergi dengan
perasaan puas.
Dengan
air mata yang menetes, kupungut semua barangku. Kuambil yang mungkin masih
dapat diperbaiki. Perlahan kudengar derap langkah mendekat ke arahku, saat
kuangkat wajahku, dengan jelas kulihat Kim Junsu berdiri di dekatku. Perlahan
di merunduk dan membisikkan sesuatu di telingaku,
“Makanya
jangan suka padaku!” lalu dia pergi. Diinjaknya sketsa wajahnya yang kubuat,
aku hanya dapat menatap kepergiannya dalam diam. Uhm... aku sadar, aku tidaklah
sempurna, aku miskin dan tak dapat bicara. Namun dapatkah itu dijadikan alasan
untuk tidak boleh jatuh cinta? Aku pun tak mengharap balasanmu. Kau tak berhak
melarangku jatuh cinta sebab perasaan ini adalah milikku.
♥♥♥
“Ayah dan Ibu akan kembali ke Korea...” aku tersenyum
sinis membaca pesan dari orang tuaku. Apakah ada bedanya kalian kembali atau
tidak? Toh... kalian akan kembali sibuk dengan urusan masing-masing dan
mengabaikan aku.
“Junsu!!!!”
teriak Taeyeon. Aku mendesah, apa lagi mau gadis itu. “Kau ke mana saja, aku
mencarimu sedari tadi!”
“Ada
apa?” senyumku dan membelai rambutnya.
“Malam
ini aku ingin kencan denganmu...” jawabnya mantap. Cih... gadis ini tidak tahu
berbasa-basi.
“Maaf...
aku tidak bisa,”
“Tapi
kenapa?” dia menolak, itu sudah sifatnya. Malam ini aku begitu malas ke pesta,
aku hanya ingin berdiam diri di rumah.
“Bagaimana
kalau lain waktu saja?”
“Memangnya
kenapa dengan malam ini?” wajahnya mulai menunjukkan rasa tidak suka. Aku
berusaha keras berpikir, apa yang harus kukatakan agar gadis ini melepasku?
“Karena...
karena....” shit! Aku tak mendapat alasan.
“Karena
apa? Aku tidak ingin kau menolakku!” Taeyeon bertahan.
“Aku
ada janji dengan...dia!” tiba-tiba saja gadis bisu itu muncul dan spontan aku
menunjuknya. Gadis bisu itu terdiam, sepertinya kaget. Taeyeon bahkan melongo,
“Dia?”
respon Taeyeon setelah beberapa saat bengong. “Apa kau yakin Si Bisu itu?”
“Uhm!”
aku mengangguk kaku, “Kenapa kau lama sekali? Ayo cepat masuk!” sapaku pada Si
Bisu. Gadis itu masih terdiam shock di tempatnya, terpaksa... kuulangi
terpaksa... aku menjemputnya dan membukakan pintu mobilku untuknya.
“Kim
Junsu... jangan bercanda! Aku tidak ingin main-main!” Taeyeon menahanku.
“Aku
serius!” ucapku.
“Kau
menolakku gara-gara gadis ini?” Taeyeon melirik pada gadis bisu itu.
“Aku
tidak menolakmu. Bukannya tadi aku bilang kalau kita kencan lain kali saja!”
“Aku
tidak mau lain kali! Sekarang atau tidak sama sekali!” gadis itu berang.
“Ehm...
aku pilih yang ke dua!” buru-buru aku masuk ke mobilku dan banting stir
meninggalkan Taeyeon yang murka.
Selama
dalam perjalanan, aku dan gadis bisu itu hanya diam. Aku tak mungkin
menunggunya untuk bicara, sedangkan aku pun tidak tahu harus berkata apa
padanya. Dia hanya tertunduk, lama-lama aku jadi merasa bersalah padanya.
“Maaf...
aku memanfaatkanmu,” ucapku tulus. Gadis itu terlihat menulis di secarik
kertas, setelah beberapa saat dia menyodorkannya padaku.
“Tak
masalah, aku tahu kau memanfaatkanku. Aku senang dapat membantumu. Sekarang
turunkan aku, aku ingin ke stasiun bus.”
“Kau
mau ke mana?” tanyaku.
“Bukan
urusanmu!” tulisnya di lembaran baru.
♥♥♥
Besok
peringatan meninggalnya kedua orang tuaku. Agar tidak terlambat, kuputuskan
untuk berangkat ke Jinju malam ini. Kusandarkan kepalaku di penopang kursi
kereta sambil menatap hampa pada jalan di depanku. Melintas kembali kejadian
yang baru saja terjadi. Kim Junsu ‘memanfaatkanku’, sejujurnya... aku tulus
mengatakan bahwa aku senang dapat membantunya. Ya... sekalipun itu melukai
perasaanku, aku rela.
Menyukainya
membuatku kehilangan akal sehatku, begitulah cintaku padanya. Terdengar
kekanak-kanakan bukan? Namun begitulah adanya. Aku hanya berharap kelak bila
aku sudah tak mencintainya lagi, ia sudah menemukan gadis yang benar-benar
tulus padanya. Sejauh ini siapapun yang berada di sampingnya, itu hanya untuk
mendompleng popularitasnya.
Setelah
dua jam dalam perjalanan, akhirnya aku tiba. Aku berdiri menatap sebuah gedung
di depanku. Di sinilah aku lahir dan tumbuh dengan bahagia bersama kedua orang
tuaku. Kutelusuri anak-anak tangga hingga aku tiba di depan ruang apartmenku,
satu-satunya peninggalan orang tuaku untukku. Kunyalakan lampu begitu aku
masuk, semua masih sama, letak semua barang dan juga kenangannya. Tak terasa
air mataku jatuh saat melihat foto keluargaku.
“Kenapa
kalian meninggalkanku sendiri? Andai dulu kalian mengajakku, tentu saat ini aku
tidak akan menderita seperti ini...” isakku. “Ibu, Ayah... aku sangat
merindukan kalian.”
Saat
masih SMP, aku dan kedua orang tuaku mengalami kecelakaan tragis. Kedua orang
tuaku meninggal sementara aku sendiri harus mengalami cacat permanen. Akibat
kecelakaan itu aku harus menjalani operasi bedah tenggorokan untuk membuat
saluran pernapasan sementara yang mengganti kinerja paru-paruku setelah sobek
karena terkena tulang rusuk yang patah. Karena itulah pita suaraku harus
diangkat. Akhirnya aku kehilangan suara, bahkan kemampuanku untuk bicara. Kini
aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk bicara. Mulutku sudah lama terkatup
untuk tidak bicara.
♥♥♥
Orang
tuaku akhirnya kembali ke Korea. Meski bibirku mengatakan tak peduli namun
sejujurnya aku sangat bahagia dapat melihat mereka lagi. Aku menjemput mereka
di Incheon dan bercerita banyak sepanjang perjalanan kembali ke Seoul.
Sayang... kebahagiaanku harus ternoda saat Ayah memisahkan diri, ia bilang
masih ada urusan yang harus diselesaikannya.
“Bisakah
urusan itu Ayah pending saja, apa
artinya kalian pulang ke Korea bila kembali sibuk dan mengabaikan aku?”
protesku.
“Junsu...”
Ibu mencoba membujukku.
“Ayah
akan segera kembali bila urusannya sudah selesai,” ucap Ayah.
“Huh...
tak kembali pun tak apa-apa!” balasku sinis.
“Junsu!”
ibu menegurku.
Sejujurnya
aku mulai tak percaya pada ayahku. Aku pernah menemukan transaksi mencurigakan
di rekening bank miliknya. Uang-uangnya di-transfer ke sebuah nomor rekening
yang tidak kukenali. Saat kuselidiki, ternyata rekening itu milik seorang
wanita. Apakah Ayahku selingkuh? Meskipun benar, aku tidak ingin percaya. Aku
hanya kasihan melihat Ibuku yang begitu setia pada Ayah.
to be continued ...
to be continued ...