Friday 29 January 2016

FF - Rising Sun (Part 2 - End)



sebelumnya di Rising Sun (Part 1)

“Junsu…” teriakku lagi, tiba-tiba mobilnya menepi, aku tidak tahu apa dia berhenti karena mendengar suaraku atau karena melihat pantulan bayanganku di kaca spionnya, aku tidak peduli, aku hanya ingin dia berhenti. Aku langsung memeluknya, erat… erat sekali saat dai keluar dari mobilnya. Aku merasa seluruh kasih sayangku yang terpendam selama ini tumpah begitu aku memeluk Junsu.

Aku seakan membuka lembaran baru kehidupanku sejak Junsu datang mewarnai hari-hariku. Tuhan… tolong jangan lagi Kau ambil kebahagiaanku. Hari ini aku menunggu Junsu praktek di rumah sakit, sebentar lagi dai akan lulus, aku yakin tugasnya pasti semakin banyak. Aku melihat dia menangani seorang pasien wanita dengan bantuan dosen pembimbingnya. Dia kelihatan sangat serius dan tegang, tak menyangka dalam waktu dekat ini dia akan menjadi seorang dokter.
  “Sudah lama menunggu?” tanya Junsu saat keluar dari ruang I.C.U. Aku hanya tersenyum. Junsu melepas kacamatanya, aku terkejut melihat pelipisnya lebam, seperti bekas pukulan.
  “Ada apa dengan pelipismu?” tanyaku terkejut
  “Tidak apa-apa! cuma lebam karena terseruduk pintu toilet” jawabnya
  “Bibirmu juga luka, aku tidak percaya kalau hanya terseruduk, pasti kamu habis dipukuli orang.” dia tersenyum karena kedapatan bohong olehku
  “Ayahmu marah dan memukulku” ucapnya
  “Apa…? ayah memukulmu?” aku sangat terkejut
  “Sudah… jangan kaget begitu, aku yang salah. Sepertinya ayahmu tidak senang kalau aku mengujungimu terlalu larut malam namun aku malah membela diri dengan mengatakan kalau aku rindu padamu, tidak peduli malam atau pagi aku pasti datang menemuimu” sambungnya. Dia menambahkan kalau sebenarnya ayah hanya terlalu menyayangiku sehingga ayah kelihatan belum rela saat mengetahui ada orang lain yang menghiasi kehidupan putrinya saat ini. Ayah hanya takut kehilangan aku.
  “Gadis yang malang!” lirih Junsu
  “Gadis di ruang I.C.U tadi?” tanyaku
  “Ya… dia mencoba bunuh diri” jawab Junsu
  “Kenapa dia mau bunuh diri?” tanyaku lagi
  “Calon suaminya meninggalkan dia di tengah pesta pernikahannya, lantaran calon suaminya tahu kalau wanita yang akan dinikahinya sudah tidak suci lagi” jawabnya. Aku sangat kaget, kenapa Junsu tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?
  “Aku bisa mengerti bagaimana perasaan pria itu, wajar kalau dia melakukan hal seperti itu. Setiap pria menginginkan sebuah kesucian, ibaratnya seperti membeli kain. Setiap pembeli menginginkan kain yang bersih dan tanpa noda, begitu pula seorang pria menginginkan kasucian dari gadis yang dicintainya, kami akan merasa kecewa apabila gadis yang kami cintai tidak suci lagi seperti yang kami harapkan!” ucap Junsu. Inilah yang aku takutkan, aku takut dia kecewa. Jauh sebelum aku menerima cintanya, aku selau bertanya bagaimana kalau ia tahu yang sebenarnya? bagaimana kalau aku bukan perawan seperti yang dia mau?
  “Junsu… seandainya kau yang berada diposisi pria itu, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku
  “Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, tapi sejujurnya aku seperti pria itu, aku tak akan menerima gadis itu.” jawab Junsu. Sepertinya aku sudah tahu apa yang akan terjadi bila Junsu tahu apa yang menimpaku empat tahun yang lalu. Ternyata aku memang tidak punya masa depan lagi.
  “Junsu… jangan pernah kau temui aku lagi” ucapku, dia nampak sangat terkejut, aku segera ke jalan menceagat taksi, aku tak punya keberanian menceritakan yang sebenarnya pada Junsu, sungguh ... aku tidak punya! hiks.
  Awalnya kupikir aku akan bahagia bersama Junsu tanpa kaitan dengan masa laluku, sungguh membuatku terpukul disaat orang yang kucintai meminta sesuatu dariku yang tidak akan pernah dapat aku berikan, kesucian ... , kasucian baginya sangat penting, ibaratnya sebuah lambang kesetiaan untuk orang yang terkasih. Ku memang kotor…
           
  Sudah beberapa hari aku tidak pernah bertemu denganya, aku juga tidak mau menerima teleponnya. Saat ini, hal yang paling aku takutkan adalah kehilangan Junsu, namun aku lebih takut bila dia kelak kecewa padaku setelah mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Pagi ini ponselku terus berbunyi, sudah enambelas panggilan dari Junsu yang tidak aku jawab. Apa dia tidak punya telinga? Aku kan sudah mengatakan jangan menghubungi aku lagi. Ponselku terus bebunyi sampai akhirnya ada 27 panggilan yang tidak terjawab, dan semuanya dari Junsu.
  “Aku sudah bilangkan? Jagan hubungi aku lagi!” bentakku padanya lewat telepon saat menerima panggilannya yang ke 28, aku tidak bisa ... sungguh aku terpaksa membentaknya, maafkan aku Junsu.
  “Kenapa… apa alasannya? apa kau marah padaku? apa aku berbuat salah padamu?”
  “Jangan tanya kenapa! yang jelas lebih baik bagimu maupun bagiku bila kita tidak berhubungan lagi!”
  “Aku tidak akan menuruti kata-katamu tanpa ada penjelasan yang jelas darimu!”
  “Junsu… dengarkan aku! jauhi aku, aku mohon!” aku lalu mematikan ponselku. Pertanyaan Junsu terus menghantuiku ‘ kenapa? ‘ membuatku semakin teriris, ingin sekali aku menjawabnya ‘ karena aku wanita kotor, aku bukan perwan lagi ‘ namun mulutku seakan terkunci, jawaban itu terasa berat keluar dari mulutku.
  Hari ini aku berkunjung lagi ke psikiaterku, aku takut kalau nanti bertemu Junsu, aku harus menghindar dengan cara apa? Ibu tidak dapat menemaniku, Ibu dan Ayah ada acara penting dengan teman bisnis mereka jadi aku harus pergi sendiri.
  “Apa kau masih sering bermimpi buruk?” tanya psikiaterku, aku menggeleng tanda tidak pernah lagi. Dia tersenyum lalu menyuruhku menunggu sebentar di ruangannya dan dia keluar. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap, aku terkejut,
  “Junsu ... Junsu . . tolong aku, aku takut!” tak sadar aku berteriak memanggil nama Junsu,” tenang . . aku disini, aku akan menjagamu!” suara itu menggema di telingaku, seakan Junsu sedang berada di dekatku, kata-kata itu pernah dia ucapkan saat aku ketakutan waktu itu. Lampu akhirnya menyala dan psikiaterku masuk,
  “Kau masih trauma dengan keadaan gelap, kalau boleh menyarankan, seseorang bernama Junsu mungkin bisa membantumu, tadi aku mendengar kau menyebut namanya begitu lampu dimatikan.” ujarnya. Aku memang masih takut dengan kegelapan, entah bagaimana caranya aku bisa terlepas dari rasa takut itu, sedangkan Junsu tidak bersamaku lagi.
  Usai pemeriksaan, aku pulang. Aku berjalan dengan sangat berhati-hati, agar bila bertemu Junsu aku bisa langsung menghindar. Sejauh ini aku aman, mungkin dia tidak mempunyai jadwal di rumah sakit lagi. Ting ... bunyi pintu lift terbuka, aku berdiri menunggu sampai pintunya terbuka sempurna. Deg ... jantungku seakan berhenti berdetak ketika menyadari Junsu ada di dalam lift yang akan kutumpangi.
  Tanpa mendapat aba-aba, aku berlari sekencang mungkin menghindari pertemuan itu. Dan, tentu saja Junsu mengejarku, dia berulang kali memanggil namaku dan memintaku berhenti. Aku berlari sekuat tenaga namun dia berhasil menghentikan aku.
  “Kenapa kau ini… kenapa kau menghindar? apa aku berbuat salah padamu? katakan bila memang iya, jangan menggantungkan pertanyaanku!” bentaknya,
  “Lepaskan ...” aku memohon padanya. Dia mencengkram bahuku, dia pasti tidak mau melepaskan aku begitu saja.
  “Kau tidak akan kemana-mana tanpa menjelaskan semua padaku. Aku salah apa padamu, ayo jawab!”
  “Kau tidak salah apa-apa!”
  “Lalu kenapa kau tak mau bertemu denganku? kenapa kau tak mau menjawab teleponku, kenapa kau pergi saat melihatku?”
  “Aku tidak bisa menjawabnya Junsu, kumohon mengertilah!”
  “Aku tidak bisa mengerti aku hanya ingin alasan.”
  “Junsu ...!” aku kehabisan kata-kata, aku menangis terisak sampai tidak bisa bernapas.
  “Aku bukan perawan lagi ... aku bukan wanita suci seperti yang kau mau, aku diperkosa empat tahun yang lalu. Mahkotaku sebagai wanita telah hilang, aku bukan wanita yang pantas untukmu” akhirnya keluar juga, akhirnya aku mengatakan yang sebenarnya. Seketika Junsu melepas pegangannya, dia mundur dan menjauhiku. Kulihat dia kelihatan sangat kecewa.
  “Kau tidak perlu menemuiku lagi” ucapku berbalik meninggalkan Junsu
  “Jadi ... hanya karena masalah itu kau mati-matian menghindariku? ,kupikir karena apa!” ucap Junsu dengan sinisnya. Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya. Kuhentikan langkahku dan menoleh padanya
  “Aku tidak habis pikir kenapa kau berpikiran pendek seperti itu, kau memutuskan masalah tanpa berunding dulu denganku. Aku sudah tahu apa yang terjadi padamu, Ibumu yang telah menceritakan semuanya padaku. Dengar! aku mencintaimu lebih dari apa yang kau kira, aku menyayangimu tanpa memandang bagaimana masa lalumu, dan banyak lagi alasan yang dapat membuatmu menjauhiku” Junsu perlahan-lahan menghampiriku yang masih kebingungan, saat dia tepat berada di hadapanku,
  “Aku hanya ingin bilang aku cinta padamu!” Junsu memelukku yang diam terpaku seakan tidak percaya dengan kejadian yang saat ini sedang aku alami, ini bagaikan mimpi.
  “Kau telah kutangkap dan tak akan kulepas lagi, jangan pernah mencoba pergi dariku karena aku pasti akan mendapatkanmu. Kemanapun kau pergi kau tak akan pernah lepas dariku karena kau adalah milikku!” ucapnya sambil mempererat pelukannya. Tuhan… bila ini memang nyata, kumohon biarkan terus begini. Namun bila ini hanya mimpi, tolong jangan pernah bangunkan aku. Aku juga sangat mencintaimu Junsu!

  Hari ini adalah hari kelulusan Junsu dari Universitas Seoul, tak terasa telah setahun kami bersama. Aku benar-benar bahagia dengannya, aku berharap Tuhan tidak akan mengambilnya dariku. Nasibnya memang mujur, setelah lulus dia mendapat tawaran bekerja di sebuah rumanh sakit yang cukup terkenal di Seoul. Suatu hari aku dan dia janjian makan malam, karena terlalu sibuk mengurus pasiennya, aku akhirnya menunggu Junsu di ruangannya.
  “Kenapa ada pistol di mejamu?” tanyaku
  “Oh… tadi ada polisi yang terluka karena harus dioprasi, jadi pistolnya diamankan di ruanganku, tapi sebentar lagi akan dikembalikan ke kantor polisi kok!” dia lalu meninggalkan aku sebentar. Aku yang agak jenuh menunggu, membuka-buka album foto Junsu, foto-foto saat kelulusan SMU-nya. Aku tertawa melihat dia berpose bersama teman-temannya. Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah gambar Junsu yang cukup besar. Di gambar itu kebetulan kancing atas bajunya tidak terpasang sehingga kalung yang menghiasi lehernya terlihat jelas. Kalung matahari itu…
  “Maaf membuatmu menunggu lama!” kata Junsu saat memasuki ruangan. Aku yakin dia pasti sangat terkejut melihatku berlinang air mata.
  “Kau kenapa?” tanyanya
  “Kau ... kaulah orang itu, kaulah orang yang menghancurkan masa depanku malam itu! kaulah orang bejat itu!” uacapku, dia nampak terkejut.
  “Kau pemilik kalung matahari itu, kalung yang tak sengaja kurampas dari orang yang memperkosaku, aku tidak akan pernah lupa pada kalung itu.” suaraku bergetar, aku benar-benar seperti tertimpa gunung.
  “Malam itu seseorang tiba-tiba menyumpal mulutku dari belakang, lalu dia membawaku ke tempat yang gelap lalu ... lalu dia memperkosaku, dan orang itu adalah kau! ayo jawab Junsu!” Junsu menunduk dia tidak berani menjawab pertanyaanku,
  “Ayo jawab Junsu!” sekali lagi aku membentaknya.
  “Iya ... akulah orang itu!”
  “Ya ... Tuhan!” aku menangis sejadi-jadinya
  “Tapi aku menyesal ...” sela Junsu
  “Bohong...! aku tidak percaya, apapun yang kau katakan aku tidak percaya. Kau menghancurkan aku dan masa depanku, kenapa? kenapa kau lakukan itu? apa salahku?”
  “Saat itu aku terpengaruh oleh obat yang diberikan teman-temanku seusai upacara kelulusan SMU, aku tak menyangka akan diberikan obat peranngsang yang awalnya kupikir hanya vitamin saja”
  “Aku benci kamu Junsu ... aku telah bersumpah akan membenci orang yang telah menghancurkan aku, seumur hidupku!”
  “Aku hormati keputusanmu, aku memang pantas dibenci”
  “Kau tidak hanya pantas dibenci, kau juga harus mati!” aku benar-benar kalap saat ini, pistol yang tergeletak di meja Junsu segera kuambil dan kuarahkan kepadanya, tapi dia malah tersenyum
  “Lakukanlah! bila itu dapat mengobati sakit hatimu padaku, kematianku saja belum dapat membayar apa yang telah aku lakukan padamu. Namun satu hal yang harus kau ketahui, aku akan tetap mencintaimu, kau adalah Han Yoori yang akan tetap menjadi wanita pilihanku”
  “Bohong ...” tiba-tiba aku menarik pelatuk pistol itu, suara tembakan menggema di seluruh penjuru rumah sakit, dan di saat itu pula Junsu tak dapat menahan keseimbangan tubuhnya akibat peluru yang telah bersarang di dadanya. Junsu terjatuh bersimbah darah, jas putih yang ia kenakan berubah merah seketika saat ia tergeletak tak sadarkan diri di lantai ruangannya. A ... aku telah membunuhnya, hiks ... Junsu ...!

  Aku terus menunduk saat berada di kantor polisi. Aku gemetar, keringat dinginku terus mengalir. Junsu ... apa yang terjadi padamu saat ini? Ayah dan Ibu ku menemui aku di kantor polisi, Ibu tak henti-hentinya menangis.
  “Ayah dan Ibu sudah tahu kalau yang merusak hidupmu adalah Junsu, dia sudah mengakui perbuatannya pada kami” ucap ayah
  “Bahkan Ayahmu sempat memukulnya sampai wajahnya memar namun dia sama sekalii tidak melawan” ucap Ibuku lagi di diselingi tangisannya. Jadi ... saat aku melihat wajah Junsu yang memar ternyata itu akibat keterusterangannya pada Ayah? tapi dia malah memberiku alasan lain, alasan yang membuatku lebih tenang, Junsu… maaf! hiks.
  “Kenapa kau melakukan itu Yoori? padahal Junsu berjanji akan membayar semua perbuatannya.” kata Ayah yang kelihatannya sangat kecewa. Bagaimanapun orang tuaku tidak menyalahkan aku sepenuhnya, aku sama sekali tidak tahu apa-apa sebelumnya. Penyesalan menghinggapi perasaanku, semua sudut-sudut di kepalaku terisi oleh permintaan maaf pada Junsu. Masih teringat jelas saat Junsu tersenyum mengizinkan aku menembaknya, Junsu . . maaf!
  Tidak sampai sehari aku berada di kantor polisi, ternyata keluarga Junsu mencabut tuntutannya. Semuanya atas permintaan Junsu sesaat sebelum dia masuk ruang oprasi. Aku seperti akan gila kembali, depresi ... atas semua perbuatanku. Wajah Junsu tak bisa hilang dari ingatanku, saat dia tersenyum selalu ada di pelupuk mataku.
  Sudah hampir seminggu Junsu terbaring tak sadarkan diri di ruang I.C.U entah sudah berapa banyak air mata yang telah kutumpahkan sabagai tanda penyesalanku atas perbuatanku padanya, air mataku sudah terasa kering.
  “Han Yoori ...” suara itu terdengar lemah, aku segera mengangkat kepalaku, Junsu kau sudah sadar! Aku menangis lagi, tapi kali ini air mata kebahagiaan.
  “Jangan menangis lagi, selama ini kau sudah banyak menangis akibat perbuatanku. Meski perasaan bersalah selalu menghantuiku sejak kejadian itu dan membuatku tersiksa, namun aku tahu penderitaan yang kau alami jauh lebih berat dariku.” kata Junsu dengan suara terbata-bata. Aku menggeleng, menyuruhnya berhenti berbicara, keadaannya masih sangat lemah.
  “Kau tahu ... tangisanmu malam itu selalu menghantuiku, teriakan minta tolongmu benar-benar menyiksaku. Siang malam aku tak dapat tenang memikirkan nasibmu. Sungguh aku benar-benar menyesal. Sampai kuputuskan untuk mencarimu dan meminta maaf padamu. Empat tahun yang lalu aku mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa yang mengatakan memiliki pasien yang depresi akibat pemerkosaan, dan ternyata itu adalah kamu. Aku meminta alamat dan nomor teleponmu namun tak berani menemuimu dan keluargamu. Saat itu yang dapat kulakukan hanyalah bejar giat sebagai dokter agar kelak bisa menyembuhkanmu!”
  “Ja ... jadi kau menjadi dokter karena aku?” tanyaku terkejut
  “Ya, setiap malam aku mengunjungi rumahmu, dan setaip malam juga aku mendengarmu menangis histeris akibat kejadian malam itu. Hal itu semakin membuat hatiku teriris. Sampai kuputuskan dan kuberanikan diri mendekatimu di swalayan itu. Percayalah aku perlahan-lahan jatuh cinta padamu sejak kita mulai berkenalan. Sungguh di luar dugaanku, aku malah jatuh cinta pada orang yang telah kuhancurkan hidupnya,” ucapnya lagi. Cukup Junsu ... jangan bicara bicara lagi, aku percaya ... aku percaya padamu.
  “Maafkan aku ... aku sangat berdosa padamu, maaf ...!” aku mentutup bibir Junsu dengan kedua jariku, aku tak mengizinkan dia bicara lagi. Aku memeluknya yang terbaring lemah dengan nafas yang sangat berat
  “Aku telah memaafkanmu, aku percaya kau sangat menyesal. Tak mungkin kau bersusah payah mencariku bila kau sama sekali tidak peduli padaku.” ucapku.
Inilah akhir dari kisahku, berawal dari sebuah kehancuran yang membuat duaku seakan tenggelam, Tuhan mengirimkan seorang malaikat dalam wujud seorang pemuda yang bertanggung jawab. Ibu selalu bilang padaku, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk setiap umatnya, awalnya aku tidak percaya mana mungkin pemerkosaan itu adalah yang terbaik untukku, namun aku sadari ternyata tanpa kejadian itu, aku tak akan mengenal Junsu.
        Kisahku berakhir disebuah gereja kecil dengan balutan wedding dress yang sangat indah disertai janji suci untuk saling menjaga dan setia. Tuhanlah yang menjadi saksinya. Akhirnya matahari masa depanku kembali lagi dan akan bersinar untuk selamanya. Junsu datang memberi masa depan yang indah.




Rising Sun End

FF - Rising Sun (Part 1)




Sudah berulang kali ku katakan pada Ibu, aku belum berani keluar rumah dan pergi ke tempat umum, namun Ibu tetap saja memaksa untuk menemaninya ke swalayan. Aku sadar Ibu hanya mengikuti saran dokter agar aku cepat sembuh dari depresi.
Aku akui… aku mulai tertarik dengan dunia luar yang telah hampir empat tahun aku tinggalkan sejak kejadian malam itu, kejadian yang merampas keceriaan, kebahagiaan, dan masa depanku yang membentang luas penuh harapan.

Aku berdiri di dekat pintu sambil membawa belanjaan Ibu, sementara Ibu sedang sibuk membayar tagihannya di kasir. Tiba-tiba buah yang aku bawa terjatuh karena aku kurang hati-hati memegangnya. Aku segera memungutnya, tanpa aku sadari seseorang ikut membantu.
 “Ha… Ibu… tolong, tolong Bu! Aku takut!” teriakku sambil berlari menangis menuju arah Ibu. Ibu yang terkejut segera mendekapku. Tubuhku gemetaran, tanganku dingin, dan tangisanku keras sekali membuat seisi swalayan melemparkan perhatian kepadaku.
 “Maaf Bibi… aku cuma mau membantu memungutkan barang-barangnya yang jatuh,”  ucap pemuda itu agak takut, dia merasa tidak enak diberikan tatapan sinis oleh orang-orang yang ada di dalam swalayan.
 “Iya… tidak apa-apa, Bibi mengerti.” jawab Ibuku sambil tersenyum pada pemuda yang sepertinya seumuran denganku. Ibu pun mulai menenangkan aku.
 “Sudah… tidak apa-apa, dia hanya ingin membantumu Nak!” kata Ibu.

Sejak empat tahun yang lalu aku mulai takut pada semua pria, setiap ada pria yang mendekatiku atau mengajakku bicara aku pasti histeris ketakutan. Untung saja psikologku seorang wanita. Ibu memamg temanku yang paling setia, beliau selalu menemaniku dan dengan setia selalu membantuku, aku tak tahu bagaimana nasibku tanpa Ibu.
Ibu lah orang yang pertama membantuku saat pemerkosaan malam itu, malam terkutuk yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Saat itu aku baru saja merayakan upacara kelulusan bersama teman-teman dan guru-guru di sekolah. Saat pulang, taksi yang kutumpangi mogok, atas saran supirnya aku ke ujung jalan untuk menahan taksi yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulutku dari arah belakang, dia membawaku ke tengah taman, di bawah pohon besar yang gelap dan ...
Kejadian itu selalu menghampiriku dalam mimpiku di setiap malam-malamku selama empat tahun terakhir ini, seakan-akan pria itu belum puas menghancurakan aku dan masa depanku dengan mengirimkan mimpi-mimpi menyeramkan itu di setiap malamku. Kejadian yang membuatku selama empat tahun ini berdiam diri di rumah, tidak pernah berbicara dengan orang lain, selain Ayah dan Ibuku. Kejadian ini jugalah membuat aku harus dirawat di rumah sakit jiwa selama setahun, membuatku merasa lebih kotor daripada sampah. Kalung matahari yang tergeletak bisu di dalam laci lemariku menjadi saksi kejadian malam itu. Han Yoori matahari masa depanmu telah terbenam dan berganti malam gelap yang tak akan berakhir

Hari ini aku ke psikiaterku sendiri, Ibu tidak bisa menemaniku karena ada urusan penting. Aku rasa aku juga harus membiasakan diri tanpa Ibu, karena tidak selamanya Ibu akan menemaniku. Karena terus menunduk saat berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang,
 “Maaf…aku tidak sengaja!” kataku
 “Ternyata kau…!” ucap orang itu. Ketika mencoba mengangkat wajahku, aku menyadari dia seorang pria. Jantungku berdegup kencang, tanganku mendingin, ketakutan itu kembali lagi, ya…Tuhan, bantulah aku mengatasi perasaan ini. Ketika menengadah, ternyata dia pemuda yang sama dengan pemuda yang di swalayan waktu itu. Aku melihat dia mengenakan jas putih, apa dia seorang dokter? Perlahan-lahan aku mundur dan berlari ketakutan meninggalkan orang itu.

Entah mungkin hari itu Tuhan menakdirkan kami bertemu, akhirnya aku bertemu lagi dengan pemuda itu di perempatan jalan saat taksi yang kutumpangi mogok. Malam itu sepertinya akan turun hujan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang menepi ke arahku, ternyata pemuda itu, dia menawarkan tumpangan padaku. Aku teringat kejadian empat tahun yang lalu, aku takut… kenapa malam ini seperti malam itu, air mataku berjatuhan, aku akui, aku memang masih trauma, aku belum sembuh total.
 “Jangan menangis, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin menolongmu!” ucap pemuda itu mulai was-was. Supir taksi ikut menyarankan mencari taksi yang lain karena taksi itu tidak mungkin berjalan lagi. Aku mencoba menyingkirkan phobiaku pada pria, aku ingin sembuh, aku ingin menjadi gadis normal lagi yang dapat berinteraksi dengan orang lain seperti dulu, aku tidak boleh terpuruk ke dalam jurang yang begitu terjal ini. Aku harus berusaha karena hanya aku yang dapat menyembuhkan diriku sendiri, demi Ayah dan Ibu yang menyayangiku. Akhirnya aku terpaksa menerima tawaran pemuda itu.
Dia bernama Kim Junsu, sepanjang perjalanan dia selalu mengajakku ngobrol, namun tak sekalipun aku membalas pertanyaannya. Maaf aku masih takut pada setiap pria.
 “Namamu Han Yoori kan? ehm… aku tahu dari Ibumu. Kau masih ingat kita pernah ketemu di swalayan, waktu itu aku ingin membantumu tapi tiba-tiba kau berteriak ketakutan” kata pemuda itu. Aku menunduk.
 “Kalau boleh tahu kenapa waktu itu kau ketakutan melihatku apa aku menyeramkan ya…?” tanya pemuda itu lagi. Aku tak menjawabnya.
 “Kalau tak mau jawab, tidak apa-apa. Apa kau masih sekolah atau sudah kuliah? Aku mahasiswa jurusan kedokteran, tadi aku praktek di rumah sakit, dan kebetulan sekali bertemu denganmu,” ucapnya lagi.
Dia tak henti-hentinya berceloteh sampai perjalanan kami berakhir dan dengan sedihnya, tak satupun pertanyaannya yang aku jawab.
 “Terima kasih…” ucapku pelan saat aku tiba di rumah dengan selamat.
 “Eh… apa boleh aku sering-sering main ke rumahmu?” tanya pemuda itu sambil tersenyum. Tiba-tiba senyuman itu menghilang ketika Ayahku menghampiri kami, dia nampak tegang sekali.
 “Terima kasih telah mengantar putriku pulang” ucap Ayah. Tiba-tiba pemuda itu tersenyum, rupanya dia hanya tegang karena mengira Ayah akan memarahinya.

Namanya Kim Junsu, seorang mahasiswa bagian kedokteran. Kulitnya putih bersih, rambutnya kemerah-merahan, matanya sipit, tubuhnya tinggi, dan senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya yang merah, jelas sekali kalau dia menjauhi rokok. Kenapa… kenapa aku selalu membayangkannya? Aku yakin dia pasti pemuda yang baik, entah dari mana keyakinan itu datang.
Sekali lagi aku memandangi kalung matahari di laci lemariku, satu-satunya saksi saat orang laknat itu menghancurkan aku untuk selama-lamanya, selain kegelapan di malam itu.
 “Kau datang memeriksa kesehatan lagi ya?” tegur pemuda itu saat kami bertemu untuk yang ketiga kalinya di rumah sakit itu. Kali ini aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya.
 “Iya…” ucapku
 “Aku sedang tugas praktek di sini, apa kau sudah selesai? Kalau aku sudah!” tambah pemuda itu lagi
 “Sudah…” jawabku
 “Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” tanya pemuda itu. Sejujurnya aku datang ke rumah sakit ini dengan berharap secara tidak sengaja dapat berjumpa denganmu. Saat kami menuju ke parkiran, dia mengajakku ke suatu tempat. Tiba-tiba phobiaku datang lagi, aku teringat lagi kejadian malam itu.
 “Aku tidak akan macam-macam, aku janji!” ucapnya sambil membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya berbentuk V. Entah mengapa senyumannya tidak membuatku takut lagi. Mobilnya melaju kencang diatas jalan berpasir, tiba-tiba kami singgah di suatu rumah besar yang sepertinya tempat penampungan.
Dia mengajakku masuk, alangkah terkejutnya aku saat melihat belasan bayi yang ada di rumah itu. Mereka sangat lucu, aku bahkan tersenyum untuk pertama kalinya sejak empat tahun tidak pernah melakukannya. Aku mencoba menggendongnya,
 “Jangan…!” tegur Junsu, aku heran mengapa dia meleraiku
 “Pakai ini!” dia lalu memakaikan sarung tangan, masker, dan baju khusus.
 “Bayi-bayi di sini terinfeksi virus HIV/AIDS, akan sangat berbahaya bagimu maupun bagi mereka bila kita tidak berhati-hati,” virus HIV/AIDS? mengerikan sekali! bayi-bayi kecil yang tak berdaya ini terkena virus seperti itu! aku menggendong salah seorang diantara mereka, bayi itu sangat lucu dan menggemaskan, namun sangat disayangkan mereka…
 “Kenapa mereka terkena virus?” tanyaku pelan saat berada lagi di dalam mobil.
 “Akibat kesalahan ibu mereka, sebagian besar anak-anak disini adalah anak dari wanita panggilan. Virus HIV yang diidap oleh ibu mereka ditularkan pada bayi yang dikandungnya maupun dari air susu ibu.” Sungguh mengejutkan, aku menunduk memikirkan bayi-bayi itu.
 “Meraka masih sangat kecil namun ibu mereka sendiri yang merampas masa depan mereka, masa depan yang seharusnya indah, masa anak-anak, remaja, dan dewasa tidak akan pernah mereka nikmati.” sambung Junsu. Ternyata sangkaanku selama ini bahwa aku begitu sial, aku adalah orang yang paling menyedihkan di dunia ini, salah. Ternyata nasib bayi-bayi itu lebih menyedihkan. Masa depan mereka lebih suram dari pada diriku, setidaknya aku masih dapat menyembuhkan diriku, sedangkan mereka tidak! Tapi untuk apa Junsu membawaku ke tempat itu, apa maksudnya?
“Aku kasihan melihat mereka, seandainya saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Untuk itu aku ingin menjadi seorang dokter, agar aku bias merawat mereka meski belum tentu dapat membantu mereka.” kata Junsu, dia memang orang yang baik, aku ternyata tidak salah menebak. Setelah itu dia mengantarku pulang,
“Apa kita masih dapat bertemu lagi?” tanyanya, aku tak tahu harus bilang apa, tapi aku berharap pertemuan kita tidak hanya sampai di sini saja. Aku menunduk dan membelakanginya lalu membuka pagar, aku tidak menjawab pertanyaannya lagi. Saat melihatnya, dia nampak kecewa, dia pasti menyangka aku tak ingin lagi bertemu dengannya.
“Ku harap kau mau main-main ke sini sesering mungkin!” ucapku. Sekali lagi aku melihat dia tersenyum, senyuman yang setiap malam membantuku menepis mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Aku melangkah masuk,
“Han Yoori …!” tegurnya, aku berbalik
“Apa boleh aku meminta kau untuk tersenyum sekali lagi, seperti saat kau melihat bayi-bayi itu, aku merasa senyumanmu tak kalah cantik dari matahari terbit!” ucapnya. Tersenyum? apa aku bisa?
“Anggap saja aku bayi-bayi itu agar kau tersenyum lagi!” . Aku tidak bisa. Sejak kejadian itu, tersenyum adalah pekerjaan tersulit yang harus ku lakukan. Junsu mengambil sebuah botol susu lalu mengisapnya seperti seorang bayi, aku teringat cartoon kesukaanku Baby Huey , dia seperti Junsu, tanpa aku sadari aku tertawa.
“Sampai jumpa…!” ucapnya sambil mengerlingkan matanya, dia berhasil membuatku tersenyum. Junsu… saat ini aku hanya berharap aku tidak akan jatuh cinta padamu.

“Tolong…! tolong aku...!” aku berteriak sekencang mungkin, orang itu seperti tidak peduli. Dia menghempaskan aku di dekat akar pohon yang besar, wajahnya tidak jelas, aku tidak bisa melihatnya karena terlalu gelap. Aku mencoba berontak dengan seluruh tenagaku, aku mencoba melarikan diri. Namun cengkraman orang itu terlalu kuat dan berhasil membuatku terkulai lemah tak berdaya. Aku melihat dari sedikit cahaya bulan, sebuah kalung matahari bergelantungan di leher pria itu.
“Tidak ...” teriakku begitu kencangnya memenuhi seluruh isi ruangan di kamarku, tak pelak Ayah dan Ibuku terbangun,
“Yoori …” ucap Ibuku yang segera menghampiriku dan menyalakan lampu.
“Ibu… orang itu, orang itu menodaiku Bu…! dia mencengkram bahuku Bu… dia sangat kuat”
“Iya… nak, tenanglah kau hanya mimpi. Semua sudah berlalu, tenanglah…” bujuk Ibu.
“Yoori semua sudah berlalu, kau hanya mimpi nak! Maaf ya… tadi Ayah tidak sengaja mematikan lampu waktu kau tidur” kata Ayah
“Ayah ini bagaimana, Ayah tahukan Yoori sangat takut pada gelap dan akan bermimpi buruk bila tidur dengan lampu dimatikan” kata Ibu protes. Ya… kegelapan sangat mengerikan bagiku, empat tahun terakhir ini aku selalu teriak bila lampu dimatikan, kegelapan sungguh menakutkan.
Ayah dan Ibu meninggalkan aku saat aku sudah tenang, tentu saja tanpa mematikan lampu. Ya … Tuhan sampai kapan aku terus begini? Sejenak telepon di kamarku berdering, aku melirik jam weker, sudah jam dua pagi! siapa yang menelponku di pagi buta begini?
“Ha… halo ...?” ucapku pelan di gagang telepon
“Yoori … ini aku Junsu.” kata orang di seberang, kenapa dia menelponku di pagi-pagi buta begini? dan dari mana dia tahu nomor telponku?
“Maaf sudah mengganggu tidurmu ya! aku hanya ingin mendengar suaramu!” tambahnya.
“Tidak apa-apa, aku juga tidak bisa tidur” balasku
“Apa kita bisa bertemu? Aku ada di depan rumahmu sekarang” katanya. Aku terkejut, lalu mencoba mengintip di balik jendela, dia memang ada tepat di depan pagar rumahku.
 Dia kembali tersenyum saat aku menghampirinya, kami mengobrol di tepi jalan. Entah mengapa aku berani sekali menemani pria asing berbicara berdua di tepi jalan, di saat semua orang terlelap tidur. Dialah pemuda yang sama sekali tidak membuatku takut.
“Aku tidak bisa tidur, jadi aku datang ke sini” kata Junsu, aku terus memandanginya yang tidak berhenti berceloteh. Dia terus bercerita tiada hentinya, dia benar-benar lucu, aku rasa aku mulai jatuh cinta padanya. Menjelang subuh Junsu baru pulang, tidak ada gurat kelelahan sedikitpun yang nampak di wajahnya.

Entah sejak kapan aku mulai bergantung pada Junsu, dia masuk kedalam kehidupanku tanpa aku duga-duga. Namun aku tidak boleh banyak berharap, aku sadar itu. Dia pemuda dengan masa depan yang cerah, sedangkan aku…, masa depanku hancur seusai upacara kelulusan SMU. Dia tidak tahu kalau aku wanita kotor, hina, dan tidak suci lagi, aku yakin dia pasti akan menjauhiku begitu dia tahu aku ini siapa.
Hari-hariku semakin indah sejak Junsu masuk ke dalam kehidupanku, kini aku tak bisa lagi tanpa dirinya. Aku benar-benar suka padanya, namun aku tahu diri, aku ini tidak pantas untuk pria baik-baik seperti dia. Suatu malam, seusai berkunjung ke psikiaterku, aku menunggu Junsu yang belum selesai praktek di rumah sakit, Aku masuk ke ruangan obat, aku melihat obat berbagai jenis, pasti sangat berat bagi Junsu harus menghapalkan setiap jenis obat dengan penyakitnya. Tiba-tiba lampu mati, aku tersentak kaget,
“Tolong…tolong…” aku berteriak seperti orang gila, aku sangat takut. Kejadian malam itu merambat memenuhi seluruh ruang di kepalaku. Ya… Tuhan aku begitu takut dengan kegelapan
“Tolong…tolong aku,” semua begitu gelap, tak satu pun sesuatu yang dapat aku lihat. Sama seperti malam itu, begitu gelap dan menakutkan. Aku mendengar pintu terbuka, siapa itu? pasti orang itu datang ingin menyiksaku lagi, pikirku.
“Tolong…” teriakku makin keras,
“Yoori ini aku, jangan menangis lagi, aku disini!” ucap orang itu,
“Tolong…,”  aku sepertinya tidak bisa diam
“Yoori … ini aku Junsu, sudah! tenanglah!”
“Aku takut, aku takut gelap…!” ucapku lagi
“Aku di sini bersamamu” balas Junsu
“Aku takut…” tiba-tiba suaraku tersekat, aku tak bisa lagi berteriak, bibirku seakan terkunci. Ada apa? aku sama sekali tidak bisa berbicara, ada sesuatu yang menutup bibirku. Selang beberapa menit lampu akhirnya hidup kembali. Saat melihat apa yang telah terjadi saat lampu hidup, aku lebih terkejut lagi. Junsu perlahan-lahan menjauhkan wajahnya dari wajahku, dia… baru saja mencuimku! Dia menghapus air mataku yang tergenang, dia lalu memeluk erat tubuhku, erat sekali… aku yang masih gemetaran, dengan jelas dapat mendengar degup jantungnya, kencang sekali!
“Maaf, semua salahku. Aku meninggalkan kamu sendirian di ruangan ini” ucapnya. Junsu lalu mengantarku pulang, kali ini dia tidak banyak bicara, aku pun hanya tertunduk. Dia menciumku pasti hanya ingin menenangkan aku, gumamku. Dia tidak mungkin punya maksud lain. Dia tidak mungkin mencintaiku.. Aku sampai didepan rumah, membuka pintu mobil dan turun. Kami hanya membisu, benar-benar tanpa ekspresi.
  “Han Yoori … aku cinta padamu!” ucap Junsu saat aku sedang membuka pagar, Junsu… dia bilang apa? aku berbalik ke arahnya, dia terus menatapku dari dalam mobil. Aku menunduk, aku memberi isyarat bahwa aku menolaknya. Dengan kecewa dia mengendarai mobilnya melaju meninggalkan aku, hiks… maafkan aku, aku tidak pantas untukmu. Aku juga sangat menyayangimu, namun kau dan aku tidak mungkin bersatu. Aku bukannya orang yang tidak tahu berterima kasih, namun aku tahu diri, aku ini wanita kotor.

   Sudah beberapa hari ini aku dan Junsu tidak bertemu, juga tidak saling telepon. Aku yakin dia pasti kecewa. Ingin sekali aku memberitahukannya tentang kenyataan yang sebenarnya, namun aku tidak berani. Suatu malam aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Junsu selalu bermain-main di pelupuk mataku, terus terang aku sangat merindukannya. Aku mendengar ada suara mesin mobil berhenti di depan rumahku, aku melirik ke jendela, ternyata Junsu. Cukup lama dia hanya berdiri memandang ke arah jendelaku, dia memandang dengan tatapan hampa. Dia tidak menyadari aku mengintipnya dari balik jendela. Sampai akhirnya aku melihat dia memencet sederet nomor di ponselnya dan beberapa detik kemudian ponselku berdering.
  Ponselku terus berdering, namun aku tidak berani mengangkatnya. Ya… Tuhan apa yang harus kulakukan, air mataku dalam sekejap membasahi pipiku. Aku begitu sayang padanya, namun aku tidak mau kecewakan dia, tiba-tiba ada pesan yang masuk,
  “Aku tidak bisa tidur, aku ingin bertemu denganmu, apa boleh?pesan ini dari Junsu. Aku sangat bingung, sesuatu bergejolak di dadaku, pulanglah…, pulang saja Junsu, pulang…
Cukup lama aku membuatnya menunggu, akhirnya dia membunyikan mobil, pasti mau pergi. Aku tidak mungkin dapat menggapainya lagi, aku memutuskan…mengejarnya. Aku berlari menuruni tangga hanya dalam beberapa langkah, membuka pintu rumah, membuka pagar, dan… Junsu telah pergi. Aku mengejarnya, aku berlari di atas aspal dingin dan keras tanpa menggunakan alas kaki, dengan menggunakan piyama aku berlari mengejarnya.
         “Junsu… Junsu…” suaraku menggema dalam udara dingin malam ini, aku mengeluarkan seluruh tenagaku memanggilnya dan mengejarnya dan tentu saja masih dalam keadaan berlari.



To be continued…


Monday 25 January 2016

FF - When We'll be Together (Part 5 / End)






Sebelumnya di When We'll be Together (Part 4) 


Golongan darah yang dipesan In Gook dari Busan telah sampai di RS yang menanganiku. Saat pergi membicarakan mengenai operasiku bersama In Gook, Dokter Lee berkata aku masih membutuhkan darah satu kantong lagi untuk operasi yang kemungkinan akan berlangsung sampai lima jam. Aku kembali terpuruk, awalnya aku sudah mendapat setidaknya sedikit sinar harapan namun semua itu sirna setelah mendengar keterangan Dokter Lee,
“Ayo … jangan patah semangat. Kita pasti menemukan sisa darah yang kau butuhkan. Ayo … berjuang! .” In Gook memberi semangat padaku yang tengah putus asa, dialah orang yang selalu optimis pada kesembuhanku. Setelah mengantarku ke RS dia kembali bekerja di tempat konstruksi bangunan. Dia pulang di saat larut malam. Dia terlihat sangat lelah dan kotor. Aku mengintipnya dari jendela kamarku, aku tiba-tiba merasa bersalah. Gara-gara aku dia seperti ini.  Aku lalu memasakkan makanan untuknya dan mengantarnya ke kamar In Gook. Tok … tok …, dia membuka pintu.
“Ini, aku bawakan makanan untukmu, kau pasti sangat lapar.”
“Sebenarnya aku sidah makan di tempat kerja, tapi … setelah melihat masakanmu aku jadi lapar lagi.”
“Eh … makan di teras saja, aku mau menemanimu makan tapi jangan di dalam, nanti orang berpikiran macam-macam.” diapun makan dengan lahap di teras depan kamarnya. Aku memandanginya lekat-lekat.
“Di tempat kerja kau makan apa?” tanyaku,
“Dua potong roti dan air mineral sebotol.”
“Hanya itu?” tanyaku kaget, dia hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan.” Kalau begitu habiskanlah makananmu, aku akan mengambilkan sepiring untukmu lagi.” tambahku.
“Ah … tidak perlu. Ini saja sudah banyak!” tolaknya. Aku benar-benar kasihan padanya. Dulu dia bisa makan enak, tidur nyenyak, dan belanja sepuasnya. Namun gara-gara aku dia harus kehilangan semuanya. Aku memandanginya dengan perasaan terharu. Beberapa waktu kemudian dia telah selesai makan.
“Terima kasih atas pengorbananmu untukku, aku benar-benar terharu atas ketulusanmu.”
“Aku senang dapat berjuang untukmu. Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bahagia”
“Apa kau yakin kita akan bahagia?”
“Aku yakin. Meski hanya sebuah harapan, namun aku akan terus mencoba meraih waktu di mana kita akan bersama.”
“Kau tahu … aku adalah orang yang tidak percaya pada cinta abadi. Di saat seperti ini, di mana orang hanya mementingkan diri sendiri, mustahil ada orang yang mau berjuang demi orang lain. Kalaupun ada si cinta abadi itu, itu hanya cinta ayahku pada ibuku meski beliau telah dikhianati. Namun begitu melihatmu, aku baru sadar ternyata kau telah mematahkan seluruh anggapanku selama ini. Melihat ketulusanmu, kurasa aku mulai mencintaimu.” ujarku,
“Apa …? jadi kau selama ini belum mencintaiku? Wah … kau curang sekali, padahal aku telah berjuang mati-matian untuk mengungkapkan cintaku. Tapi … tak  apa, asal kau punya perasaan untukku, itu sudah cukup.” Aku tertawa mendengarnya, sejenak kami terdiam. Udara malam benar-benar dingin, kurasa sudah saatnya aku kembali ke rumah, aku segera membereskan peralatan makan In Gook.
“Seo In Gook In Gook …” panggilku, dia menoleh padaku
“Ya …?” aku lalu mengecup bibirnya, lama … cukup lama.
“Itu hadiah untukmu karena telah bekerja keras untukku.” ucapku, setelah itu aku pergi. Dia masih bengong saat aku masuk ke rumah.
Beberapa hari kemudian setelah pulang berbelanja untuk kebutuhan dapur, aku segera ke gudang, tempatnya In Gook yang sudah kusihir jadi kamarnya. Entah mengapa ayah mencoba meleraiku untuk menemui In Gook. Tapi setelah melihat ke kamarnya, aku baru paham mengapa ayah melarangku menemuinya sekarang. Aku melihat ibunya membujuknya untuk pulan. Tiba-tiba aku merasa sedih membayangkan dia akan pergi meninggalkakan aku. Ayah membujukku untuk menyuruh In Gook pulang, tak baik katanya kalau membiarkan dia terlalu lama berseteru dengan orang tuanya. Memang benar kata ayah, aku tak boleh egois. In Gook bisa jatuh sakit kalau terus-terusan bekerja, aku harus membujuknya untuk pulang.
“Kau tak ingin lagi kalau aku menumpang di sini?” tanyanya
“Bukan bagitu, kasihan ibumu. Ayahku tidak setuju kalau kau bersitegang dengan orang tuamu. Kami merasa tidak enak pada orang tuamu, gara-gara kami kau lari dari rumah.”
“Aku melakukannya karena merasa mereka memang salah. Mereka sama sekali tidak mengerti perasaanku, mereka memandang orang miskin terlalu rendah dan aku tidak suka.”
“Kau ‘kan dapat memberikan mereka penjelasan. Jangan buat ibumu memohon padamu, itu tidak pantas karena beliau orang tuamu. Tolong sisakan sedikit harga diri untuk kami di hadapan orang tuamu, mereka pasti semakin membenci kami karena mengira kami telah menghasutmu.” lama aku berdebat dengannya agar dia mau kembali. Akhirnya dia mau pulang  dengan syarat ke pada orang tuanya agar merestui hubungannya denganku.
Akhir-akhir ini keadaanku semakin memburuk. Kepalaku selalu sakit bahkan rambutku mulai berguguran. Kantong mataku terlihat jelas, bahkan bibirku mulai pecah-pecah. Aku memutuskan memotong rambut karena rambutku semakin menipis. Aku jadi semakin jarang ke sekolah karena keadaanku yangtidak memungkinkan.
Yah, In Gook, dan para tetanggaku masih berusaha menacari donor darah untuk menutupi kekurangan darahku yang akan digunakan pada saat operasi nanti. Suatu hari Dokter Lee memberitahukan aku mengenai perkembangan penyakitku. Katanya tumor itu telah menyerang otak tempat penyimpanan memoriku. Bila dia melakukan operasi pengangkatan tumor maka dikhawatirkan seluruh ingatanku akan terhapus. Meski masih ada kemungkinan hal itu tidak akan terjadi namun kemungkinan itu sangat tipis.
“Kemungkinan ingatanmu tidak akan terhapus hanya berkisar 5% dan selebihnya kau akan kehilangan seluruh ingatanmu.”
“Hu … takdir benar-benar mempermainkan aku dokter, di saat aku punya kesempatan untuk operasi karena darah yang tersedia hampir cukup kau malah menghancurkan kesempatan itu dengan mengatakan seluruh ingatanku juga akan terhapus. Baiklah … batalkan saja rencana operasi itu karena ingatanku jauh lebih berharga dibanding nyawaku.” Ucapku dengan nada yang benar-benar putus asa.
Aku tak mau melupakan In Gook, ayah, tetanggaku yang menyayangiku, dan orang-orang yang aku cintai. Percuma saja aku hidup bila aku harus melupakan mereka. Aku dapat bertahan hidup dan berjuang melawan penyakit ini karena ada cinta dari mereka, bila aku kehilangan kenangan dari mereka maka itu pasti lebih mengerikan dibandingkan kematian.
Mereka yang telah berjuang bersamaku, tertawa dan menangus bersama, semua orang yang menyayangiku tak mungkin boleh aku lupakan. Kenangan bersama mereka justru yang membuatku dapat bertahan sampai detik ini. Ayah yang selalumenyayangiku, In Gook yang tulus berjuang demi diriku, dan paman serta bibi yang selalu mendukungku tak boleh hilang dari ingatanku. Aku menyayangi mereka, aku tak mau melupakan mereka!.
Suatu ketika In Gook membawakan berita yang mengejutkan, tanpa disangka ibunya memiliki hubungan darah yang sama denganku. Benar-benar kebetulan, kini donor darah yang kurang dapat ditutupi oleh ibunya In Gook. Itu keinginan In Gook, belum tentu ibunya setuju apalagi ibunya sangat membenciku.
Suatu saat aku terbaring lemah di RS dan Nyonya Seo menemuiku untuk membicarakan hal yang penting menurutnya,
“Aku akan menyumbangkan berapapun darahku yang kau butuhkan asal kau berjanji tak akan lagi menemui putraku.” ucapnya, aku mencoba bicara dengan sisa tenagaku.
“Saat ini aku sudah siap untuk mati jadi bila anda tak mau menyumbangkan darah untukku, aku tidak peduli. Nyonya … terus terang saja, saat ini aku benar-benar jatuh cinta pada putra anda dan bila memang anda ingin aku pergi darinya maka itu tidak akan lama lagi. kenapa anda tidak mau bersabar sedikit saja? Tolong jangan pisahkan kami, kalau itu terjadi sama saja anda membunuhku perlahan-lahan.”          
“Dasar gadis miskin, tidak thau diri!. Kau mana pantas untuk putraku, selain miskin kau juga penyakitan … sampai kapanpun aku tak akan sudi mengizinkan kau bersama putraku meski hanya sesaat!.”
“Nyonya kasihanilah aku, aku tidak akan terlalu lama bersama putra anda, setelah semua usai anda tidak pusing lagi memikirkan masalah putra anda.” kata dokter emosiku harus harus stabil, aku akan langsung down bila aku tak dapat mengendalikan emosiku. Tiba-tiba saja penglihatanku kabur dan wajahku terasa panas terbakar. Sakit … sakit sekali! ibunya In Gook ngeri melihat keadaanku bahkan dia sangat jijik apalagi saat aku muntah-muntah dan mimisan.
“Aku tak habis pikir kenapa putraku menyukai wanita penyakitan seperti kamu. Dia sudah buta, kamu betul-betul membuatku mual.” bentaknya, Ayahku tiba-tiba masuk ke ruang inap.
“Nyonya … silahkan pergi!” bentaknya. Aku tahu, ayah pasti mendengarkan pembicaraanku dengan ibunya In Gook. Ayah lalu menekan tombol darurat untuk memanggil dokter supaya menanganiku.
         
Beberapa hari setelah keadaanku mulai membaik, dokter mengizinkan aku untuk pulang. Sekolahku benar-benar terbengkalai, aku terancam tidak dapat mengikuti ujian akhir karena keadaanku yang semakin memburuk. Untung ada In Gook yang membantuku menyalinkan semua pelajaran.
“In Gook, kau tak boleh meninggalkan aky ya?!” aku merengek padanya
“Kau melarangku untuk meninggalkanmu namun kamu sendiri yang malah ingin meninggalkan aku, apa itu tidak jahat?”
“In Gook …” aku merengek lagi.
“Aku akan membujuk ibu untuk menyumbangkan darahnya untukmu bagaimanapun caranya. Kau pasti akan sembuh.” ucapnya. Hiks … aku tak akan pernah sembuh, aku tak akan membiarkan Dokter Lee menghapus ingatanku.
Semakin lama keadaanku semakin parah. Rambutkupun semakin banyak berguguran. Wajahku bahkan sudah seperti mayat, penyakit ini benar-benar mengerikan. Dokter Lee mendesak untuk segera dilakukan opersai. Menurut hasil foto tengkorak kepalaku, tumor hampir menyerang otak besar. Hal itu ditandai dengan memuntahkan semua makanan dari perut karena otak tak dapat bekerja sebagaimana mestinya sebab pengaruh tumor ganas tersebut.
“Apa yang harus kulakukan …?” In Gook terisak di samping ranjang inapku. Dia mungkin mengira aku masih tertidur pulas.
“Dia akan lumpuh perlahan-lahan bila bila tumor itu merusak otak besarnya, jadi sebelum terlambat maka kita harus segera melakukan operasi.” ucap Dokter Lee yang berada di samping In Gook, dia … melanggar janjinya.
“Di mana kami harus mencari darah Dok? Jongsuk tak mungkin dioperasi tanpa transfuse darah ‘kan?” keluh ayah,
“Ada satu hal lagi, Jongsuk  sebenarnya menolak diopersi …” Dokter Lee tak dapat melanjutkan ucapannya.
“Apa …? Jongsuk  menolak dioperasi? memangnya kenapa Dok?” tanya In Gook,
“Ayo katakana Dok!” desak ayah,
“Bi … bila kami mengangkat tumor yang telah menyerang otak kecilnya maka besar kemungkinan seluruh ingatannya akan terhapus.”
“Apa …?” ayah dan In Gook terkejut. 

Aku memandangi foto ibu yang terpajang di ruang tamuku. Aku bergumam, aku akan segera menyusulmu dan akan membuat perhitungan denganmu. Kau tak akan kumaafkan karena telah menghianati ayahku. ketukan pintu membuatku tersadar dari lamunanku. Ternyata In Gook yang datang membawa berita bahagia, itu menurutnya.
“Ibuku telah setuju mendonorkan darahnya untukmu. Kita dapat melakukan operasi secepatnya bahkan besok pun bisa!!!.” ucapnya
“Kau bohong!”
“Aku mana mungkin bohong untuk hal sebesar ini!”
“Kau pasti sudah berjanji yang tidak-tidak pada ibumu, mana mungkin dia begitu saja setuju untuk menyumbangkan darahnya demi aku. Kau janji apa pada ibumu? ayo jawab!” In Gook hanya terdiam,
“Asal kau bisa sembuh itu saja sudah cukup ‘kan?”
“Tidak! kau dengar sendiri kata dokter ‘kan? bila aku melakukan operasi maka ingatanku juga akan terhapus seluruhnya. Aku tak mau …! kalian begitu berharga, aku tak mau melupakan kenangan bersama kalian.”
“Jong Suk, kenangan itu bisa kau ganti bila kau sembuh nanti, tapi nyawamu … tak akan bisa terganti!”
“Percuma saja aku sembuh bila harus kehilangan kamu. Aku yakin kau berjanji pada ibumu untuk meninggalkan aku makanya ibumu bersedia membantuku. Iya ‘kan?”
“Itu … kau salah. Aku tidak berjanji apa-apa!”
“Bohong! aku benci kamu. Kau ternyata tidak mencintaiku seperti perkataanmu selama ini.” Aku masuk ke kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku menangis terisak sampai sulit untuk bernapas.
“Kau jangan egois seperti ini. Bila kau tidak peduli pada kesehatanmu, maka kasihanilah kami yang telah banyak berjuang untukmu. Apa kau tidak takut mati? ingatanmu yang terhapus itu dapat kita isi bersama-sama, kita akan menggantinya bersama-sama.” Dia berbicara padaku dari balik pintu.
“Bersama-sama katamu? kau akan pergi dariku setelah berjanji pada ibumu untuk meninggalkan aku, dan kau bilang mau mengembalikan ingatanku bersama-sama kamu.”
Aku … sebenarnya takut mati juga, masih banyak hal yang belum aku kerjakan. Aku masih ingin membantu ayah mencucikan bajunya, menjahitkan bajunya yang sobek, menyetrikakan bajunya, memasakkan makanan untuknya serta memijat bahunya sepulang ia melaut karena pasti ayah sangat kelelahan. Aku juga ingin melewati indahnya masa saling mencintai bersamamu. Aku ingin lulus dari SMU dan, aku ingin menjadi suster yang akan mendampingimu bila nanti kau menjadi seorang dokter. Aku ingin menikah denganmu dan membesarkan anak-anak kita bersama-sama. Masih banyak … bahkan terlalu banyak hal yang ingin aku kerjakan. Aku juga tidak ingin mati, tidak ingin!.
Aku membuka pinti dan segera memeluk In Gook. Aku menangis sejad-jadinya dalam pelukannya. Aku terkejut melihat darah di kemeja putih In Gook. Aku melepas pelukanku dan mundur menjauhinya, darah … banyak darah!.
“Jong Suk, darah!” tegurnya. Banyak darah yang keluar dari hidungku, aku mimisan parah. In Gook lalu menggendongku dan memberitahukan ayah bahwa aku sakit lagi. Dia lali membawaku ke rumah sakit.
Keesokan harinya, aku begitu terkejut melihat keadaanku. Rambutku sudah tidak ada lagi bahkan aku sudah berpakaian operasi lengkap. In Gook menghampiriku yang tengah kebingungan.
“Kenapa seperti ini? aku ‘kan sudah bilang tidak ingin dioperasi.”
“Dengar … dengarkan aku dulu.” Dia mencoba menenangkan aku, Jong Suk, dengarkan aku!” aku langsung terdiam saat nada bicaranya meninggi, dia memegang kedua pipiku.
“Aku mencintaimu … aku sungguh mencintaimu,” air matanya mengalir tetes demi tetes di hadapanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti bila kau tak berada di sisiku lagi. aku ingin kau sembuh, aku ingin kita tetap bersama. Bukankah kita telah berjanji untuk tetap bersama? maka kasihanilah aku … kumohon kasihanilah aku yang begitu takut kehilangan dirimu.” Dia lalu memelukku dan menangis terisak di bahuku.
“Tapi… aku tak mau kehilangan ingatan”
“Aku bisa membantumu memulihkan ingatanmu kembali.”
“Tidak … kau pasti akan pergi dariku, ibumu mendatangiku dan bilang dia akan membantuku asal aku bersedia meninggalkanmu. Kau tidak boleh pergi … aku tak mau hidup lagi kalau harus terpisah darimu. Biarkan sajaaku menghabiskan sisa waktuku dengan mencintai dan mengenang kalian, ayah, kamu, dan semuanya.!”
“Aku tak mau kau pergi selamanya. Aku janji sksn terus menemanimu … kau percayalah padaku. Apa kau tak kasihan pada ayahmu ? kasihanilah dia … dia hanya memilikimu di dunia ini. Dia pasti sendiri bila kau pergi meninggalkannya.” isak In Gook. Sesaat kemudian Dokter Lee datang dengan beberapa suster berkostum operasi lengkap.
“In Gook …” aku mulai ketakutan
“Kita harus memulainya sekarang, tim dokter yang akan membantuku telah menunggu di ruang operasi.” ucap Dokter Lee.
“In Gook …” aku menarik tangannya namun dia buru-buru menepis peganganku.
“Kau akan baik-baik saja, kau akan tersenyum melihatku begitu kau sadar usai operasi. Aku akan menunggu sampai kau sadar.”
“Beri tahukan ayah untuk memberikan aku buku bersampul biru begitu aku sadar dari operasiku, buku itu kuletakkan dalam lemari pakaianku di bawah lipatan bajuku.” Suster mencoba menenangkan aku. Saat aku memasuki ruangan operasi dan aku dipindahkan ke meja operasi, aku sudah memasrahkan semua pada Tuhan. 
Aku sudah rela kehilangan ingatanku. Suster itu menyuntikkan sebotol kecil cairan ke selang infusku, bersamaan dengan itu dia juga memasukkan sekantong darah ke tubuhku. Sekantong darah yang membuat In Gook dan keluargaku bekerja keras selama ini mencarinya, sekantong darah itu pula yang membuat In Gook berjanji entah apa pada ibunya. 
Aku yakin dia hanya ingin melakukan yang terbaik untukku. Kini aku harus merelakannya. Meskipun nanti dia pergi, aku yakin ayahku pasti akan selalu bercerita tentang kebaikannya pada kami. Aku tidak akan melupakannya meski ingatanku hilang nantinya, pasti banyak orang yang akan membantuku mengingatnya termasuk buku bersampul biruku.
“Tenanglah … kau masih memiliki kemungkinan 15% untuk tidak kehilangan ingatan, maka memohonlah pada Tuhan untuk membantumu, aku jauga akan berusaha dan berjuang keras melakukan yang terbaik untukmu. Ingatlah … bila kau tetap berpandangan yang positif, maka semua keputusasaan akan berubah menjadi harapan!” Dokter Lee memberiku semangat dan dorongan. Beberapa saat kemudian aku mulai mengantuk, kepalaku pusing dan akhirnya yang tersisa hanyalah kegelapan.
   
Aku membuka mata saat pagi menjelang. Aku tak tahu sudah berapa lama kau terbaring di ranjang ini, yang jelas pasti cukup lama karena seluru tubuhku terasa pagal. Aku melihat seorang pria paruh baya yang tenganterlelap kelelahan di sampingku. Gerakanku membuatnya terjaga, dia serta merta terbangun dan aku melihat ekspresi yang lain di wajahnya.
“Jongsuk  … kau sudah sadar Nak?!” serunya, aku tersenyum.
“Ayah …!” ucapku. Mata pria itu lalu berkaca-kaca.” Ehm … apakah anda ayahku?” kenapa aku berada di sini? Aku siapa, kenapa aku tak bisa ingat apa-apa?” tanyaku, kepalaku terasa kosong.
“Namamu Jongsuk  … Han Jongsuk  yang artinya kesucian! Putriku satu-satunya.” Jawab pria itu. Dia lalu memelukku dengan tubuh yang bergetar, pria ini sepertinya begitu bahagia melihatku sadar. Dia terus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan untuk hidup.
“Ayah … memangnya ada apa denganku? apa aku habis sakit keras?” pria itu tidak menjawab pertanyaanku, dia terus saja memelukku dan menangis haru.
Setelah beberapa minggu aku memulihkan kesehatanku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku pulang. Aku bertemu dengan orang-orang yang benar-benar asing di mataku. Ayah bilang mereka adalah tetangga-tetangga yang sangat menyayangiku. Meski aku merasa asing di tengah-tengah mereka, namun entah mengapa aku merasa dekat dan akrab dengan.
Ayah memutarkan sebuah rekaman untukku. Sebuah sekolah yang besar dengan seluruh murid dan gurunya berkumpul di sebuah ruangan.
“Jongsuk  semangat! Kau pasti bisa melalui semua ini … berjuanglah!” ucap salah seorang siswanya.
“Kau pasti sembuh. Cepatlah sembuh karena di sini kami sangat merindukanmu. Kami ingin kamu masuk sekolah lagi!” seru yang lain.
“Hei anak ikan … kami tahu kamu bukan gadis yang lemah. Kamu pasti dapat melewati dan melawan penyakitmu. Kami yang selalu menindasmu di sekolah saja dapat kau hadapi tanpa rasa takut, masa’ sih hanya karena penyakit seperti itu kau malah kalah. Kau harus sembuh!” ucap seorang lagi. Aku tersenyum, mereka telah memberi semangat yang hebat untukku. Apa di sekolah aku dipanggil anak ikan ya?
“Ayah … apa mereka teman-temanku?” tanyaku.
“Ya … mereka teman-temanmu di sekolah.” Setelah itu beberapa orang guru juga memberi semangat yang sama untukku. Dan …
“Jongsuk  … kau pasti sembuh! aku akan menunggumu sampai kau sembuh dan menemanimu mengujungi tempat-tempat yang kau sukai. Aku akan menjadi seorang dokter yang hebat agar aku dapat mengobati pasien yang mengidap penyakit yang sama denganmu. Agar kelak mereka dapat berbahagia bersama pasangannya. Aku akan terus menunggu saat di mana kita akan bersama. Berjuanglah!” entah mengapa ucapan pemuda itu membuatku sangat tersentuh.
“Kau ingat dia?” tanya ayah, aku menggeleng.
“Siapa dia?” tanyaku
“Namanya Seo In Gook. Dialah teman terdekatmu. Dia yang mengusahakan darah untuk operasimu dan selalu menyemangati serta membantumu di saat kau putus asa.”
“Kenapa dia tidak menjengukku di saat aku masih dirawat di rumah sakit?”
“Karena dia harus berangkat ke Amerika, dia akan melanjutkan sekolahnya di sana. Dia berjanji pada ibunya, setelah menolongmu dia akan meninggalkanmu.”
“Seo In Gook …? Nama itu kenapa membuat aku bergetar dan jantungku bergetar? Apa dulu kami sangat dekat? apa pentingnya dia bagiku?”
“Dia sangat penting! Kau bahkan rela mati daripada harus melupakannya. Dia pun begitu, perasaan cintanya padamu melebihi keinginannya untuk melepasmu. Dia sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan perasaannya untuk melepasmu.”
“Aku tak ingat apa-apa tentangnya, sama sekali tidak ingat tapi setelah mendengar cerita ayah aku yakin dulu kami sangat dekat.”

Aku tersenyum melihat rekaman itu, kalau memang dulu aku hampir mati, kini aku bersyukur tidak jadi pergi. Karena … aku tak mau melepas mereka yang menyayangiku.

End …