sebelumnya di Rising Sun (Part 1)
“Junsu…”
teriakku lagi, tiba-tiba mobilnya menepi, aku tidak tahu apa dia berhenti
karena mendengar suaraku atau karena melihat pantulan bayanganku di kaca
spionnya, aku tidak peduli, aku hanya ingin dia berhenti. Aku langsung memeluknya,
erat… erat sekali saat dai keluar dari mobilnya. Aku merasa seluruh kasih
sayangku yang terpendam selama ini tumpah begitu aku memeluk Junsu.
Aku seakan membuka lembaran baru kehidupanku sejak Junsu datang mewarnai hari-hariku. Tuhan… tolong jangan lagi Kau ambil kebahagiaanku. Hari ini aku menunggu Junsu praktek di rumah sakit, sebentar lagi dai akan lulus, aku yakin tugasnya pasti semakin banyak. Aku melihat dia menangani seorang pasien wanita dengan bantuan dosen pembimbingnya. Dia kelihatan sangat serius dan tegang, tak menyangka dalam waktu dekat ini dia akan menjadi seorang dokter.
Aku seakan membuka lembaran baru kehidupanku sejak Junsu datang mewarnai hari-hariku. Tuhan… tolong jangan lagi Kau ambil kebahagiaanku. Hari ini aku menunggu Junsu praktek di rumah sakit, sebentar lagi dai akan lulus, aku yakin tugasnya pasti semakin banyak. Aku melihat dia menangani seorang pasien wanita dengan bantuan dosen pembimbingnya. Dia kelihatan sangat serius dan tegang, tak menyangka dalam waktu dekat ini dia akan menjadi seorang dokter.
“Sudah lama menunggu?” tanya Junsu
saat keluar dari ruang I.C.U. Aku hanya tersenyum. Junsu melepas kacamatanya,
aku terkejut melihat pelipisnya lebam, seperti bekas pukulan.
“Ada apa dengan pelipismu?” tanyaku terkejut
“Tidak apa-apa! cuma lebam karena terseruduk
pintu toilet” jawabnya
“Bibirmu juga luka, aku tidak percaya kalau
hanya terseruduk, pasti kamu habis dipukuli orang.” dia tersenyum karena kedapatan
bohong olehku
“Ayahmu marah dan memukulku” ucapnya
“Apa…? ayah memukulmu?” aku sangat terkejut
“Sudah… jangan kaget begitu, aku yang salah.
Sepertinya ayahmu tidak senang kalau aku mengujungimu terlalu larut malam namun
aku malah membela diri dengan mengatakan kalau aku rindu padamu, tidak peduli
malam atau pagi aku pasti datang menemuimu” sambungnya. Dia menambahkan kalau
sebenarnya ayah hanya terlalu menyayangiku sehingga ayah kelihatan belum rela
saat mengetahui ada orang lain yang menghiasi kehidupan putrinya saat ini. Ayah
hanya takut kehilangan aku.
“Gadis yang malang!” lirih Junsu
“Gadis di ruang I.C.U tadi?” tanyaku
“Ya… dia mencoba bunuh diri” jawab Junsu
“Kenapa dia mau bunuh diri?” tanyaku lagi
“Calon suaminya meninggalkan dia di tengah
pesta pernikahannya, lantaran calon suaminya tahu kalau wanita yang akan
dinikahinya sudah tidak suci lagi” jawabnya. Aku sangat kaget, kenapa Junsu
tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?
“Aku bisa mengerti bagaimana perasaan pria
itu, wajar kalau dia melakukan hal seperti itu. Setiap pria menginginkan sebuah
kesucian, ibaratnya seperti membeli kain. Setiap pembeli menginginkan kain yang
bersih dan tanpa noda, begitu pula seorang pria menginginkan kasucian dari
gadis yang dicintainya, kami akan merasa kecewa apabila gadis yang kami cintai
tidak suci lagi seperti yang kami harapkan!” ucap Junsu. Inilah yang aku
takutkan, aku takut dia kecewa. Jauh sebelum aku menerima cintanya, aku selau
bertanya bagaimana kalau ia tahu yang sebenarnya? bagaimana kalau aku bukan
perawan seperti yang dia mau?
“Junsu… seandainya kau yang berada diposisi
pria itu, apa yang akan kau lakukan?” tanyaku
“Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, tapi
sejujurnya aku seperti pria itu, aku tak akan menerima gadis itu.” jawab Junsu.
Sepertinya aku sudah tahu apa yang akan terjadi bila Junsu tahu apa yang
menimpaku empat tahun yang lalu. Ternyata aku memang tidak punya masa depan
lagi.
“Junsu… jangan pernah kau temui aku lagi” ucapku,
dia nampak sangat terkejut, aku segera ke jalan menceagat taksi, aku tak punya
keberanian menceritakan yang sebenarnya pada Junsu, sungguh ... aku tidak
punya! hiks.
Awalnya kupikir aku akan bahagia bersama Junsu
tanpa kaitan dengan masa laluku, sungguh membuatku terpukul disaat orang yang
kucintai meminta sesuatu dariku yang tidak akan pernah dapat aku berikan,
kesucian ... , kasucian baginya sangat penting, ibaratnya sebuah lambang
kesetiaan untuk orang yang terkasih. Ku memang kotor…
Sudah beberapa hari aku tidak pernah bertemu
denganya, aku juga tidak mau menerima teleponnya. Saat ini, hal yang paling aku
takutkan adalah kehilangan Junsu, namun aku lebih takut bila dia kelak kecewa
padaku setelah mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Pagi ini ponselku terus
berbunyi, sudah enambelas panggilan dari Junsu yang tidak aku jawab. Apa dia
tidak punya telinga? Aku kan sudah mengatakan jangan menghubungi aku lagi.
Ponselku terus bebunyi sampai akhirnya ada 27 panggilan yang tidak terjawab,
dan semuanya dari Junsu.
“Aku sudah bilangkan? Jagan hubungi aku lagi!”
bentakku padanya lewat telepon saat menerima panggilannya yang ke 28, aku tidak
bisa ... sungguh aku terpaksa membentaknya, maafkan aku Junsu.
“Kenapa… apa alasannya? apa kau marah padaku? apa
aku berbuat salah padamu?”
“Jangan tanya kenapa! yang jelas lebih baik
bagimu maupun bagiku bila kita tidak berhubungan lagi!”
“Aku tidak akan menuruti kata-katamu tanpa ada
penjelasan yang jelas darimu!”
“Junsu… dengarkan aku! jauhi aku, aku mohon!” aku
lalu mematikan ponselku. Pertanyaan Junsu terus menghantuiku ‘ kenapa? ‘
membuatku semakin teriris, ingin sekali aku menjawabnya ‘ karena aku wanita
kotor, aku bukan perwan lagi ‘ namun mulutku seakan terkunci, jawaban itu
terasa berat keluar dari mulutku.
Hari ini aku berkunjung lagi ke psikiaterku,
aku takut kalau nanti bertemu Junsu, aku harus menghindar dengan cara apa? Ibu
tidak dapat menemaniku, Ibu dan Ayah ada acara penting dengan teman bisnis
mereka jadi aku harus pergi sendiri.
“Apa kau masih sering bermimpi buruk?” tanya
psikiaterku, aku menggeleng tanda tidak pernah lagi. Dia tersenyum lalu
menyuruhku menunggu sebentar di ruangannya dan dia keluar. Tiba-tiba ruangan
menjadi gelap, aku terkejut,
“Junsu ... Junsu . . tolong aku, aku takut!” tak
sadar aku berteriak memanggil nama Junsu,” tenang . . aku disini, aku akan
menjagamu!” suara itu menggema di telingaku, seakan Junsu sedang berada di
dekatku, kata-kata itu pernah dia ucapkan saat aku ketakutan waktu itu. Lampu
akhirnya menyala dan psikiaterku masuk,
“Kau masih trauma dengan keadaan gelap, kalau
boleh menyarankan, seseorang bernama Junsu mungkin bisa membantumu, tadi aku
mendengar kau menyebut namanya begitu lampu dimatikan.” ujarnya. Aku memang
masih takut dengan kegelapan, entah bagaimana caranya aku bisa terlepas dari
rasa takut itu, sedangkan Junsu tidak bersamaku lagi.
Usai pemeriksaan, aku pulang. Aku berjalan
dengan sangat berhati-hati, agar bila bertemu Junsu aku bisa langsung
menghindar. Sejauh ini aku aman, mungkin dia tidak mempunyai jadwal di rumah
sakit lagi. Ting ... bunyi pintu lift terbuka, aku berdiri menunggu sampai
pintunya terbuka sempurna. Deg ... jantungku seakan berhenti berdetak ketika
menyadari Junsu ada di dalam lift yang akan kutumpangi.
Tanpa mendapat aba-aba, aku berlari sekencang
mungkin menghindari pertemuan itu. Dan, tentu saja Junsu mengejarku, dia
berulang kali memanggil namaku dan memintaku berhenti. Aku berlari sekuat
tenaga namun dia berhasil menghentikan aku.
“Kenapa kau ini… kenapa kau menghindar? apa
aku berbuat salah padamu? katakan bila memang iya, jangan menggantungkan
pertanyaanku!” bentaknya,
“Lepaskan ...” aku memohon padanya. Dia
mencengkram bahuku, dia pasti tidak mau melepaskan aku begitu saja.
“Kau tidak akan kemana-mana tanpa menjelaskan
semua padaku. Aku salah apa padamu, ayo jawab!”
“Kau tidak salah apa-apa!”
“Lalu kenapa kau tak mau bertemu denganku? kenapa
kau tak mau menjawab teleponku, kenapa kau pergi saat melihatku?”
“Aku tidak bisa menjawabnya Junsu, kumohon
mengertilah!”
“Aku tidak bisa mengerti aku hanya ingin
alasan.”
“Junsu ...!” aku kehabisan kata-kata, aku
menangis terisak sampai tidak bisa bernapas.
“Aku bukan perawan lagi ... aku bukan wanita
suci seperti yang kau mau, aku diperkosa empat tahun yang lalu. Mahkotaku
sebagai wanita telah hilang, aku bukan wanita yang pantas untukmu” akhirnya
keluar juga, akhirnya aku mengatakan yang sebenarnya. Seketika Junsu melepas
pegangannya, dia mundur dan menjauhiku. Kulihat dia kelihatan sangat kecewa.
“Kau tidak perlu menemuiku lagi” ucapku
berbalik meninggalkan Junsu
“Jadi ... hanya karena masalah itu kau
mati-matian menghindariku? ,kupikir karena apa!” ucap Junsu dengan sinisnya.
Aku tidak mengerti dengan arah pembicaraannya. Kuhentikan langkahku dan menoleh
padanya
“Aku tidak habis pikir kenapa kau berpikiran
pendek seperti itu, kau memutuskan masalah tanpa berunding dulu denganku. Aku
sudah tahu apa yang terjadi padamu, Ibumu yang telah menceritakan semuanya
padaku. Dengar! aku mencintaimu lebih dari apa yang kau kira, aku menyayangimu
tanpa memandang bagaimana masa lalumu, dan banyak lagi alasan yang dapat
membuatmu menjauhiku” Junsu perlahan-lahan menghampiriku yang masih
kebingungan, saat dia tepat berada di hadapanku,
“Aku hanya ingin bilang aku cinta padamu!” Junsu
memelukku yang diam terpaku seakan tidak percaya dengan kejadian yang saat ini
sedang aku alami, ini bagaikan mimpi.
“Kau telah kutangkap dan tak akan kulepas
lagi, jangan pernah mencoba pergi dariku karena aku pasti akan mendapatkanmu.
Kemanapun kau pergi kau tak akan pernah lepas dariku karena kau adalah milikku!”
ucapnya sambil mempererat pelukannya. Tuhan… bila ini memang nyata, kumohon
biarkan terus begini. Namun bila ini hanya mimpi, tolong jangan pernah
bangunkan aku. Aku juga sangat mencintaimu Junsu!
Hari ini adalah hari kelulusan Junsu dari
Universitas Seoul, tak terasa telah setahun kami bersama. Aku benar-benar
bahagia dengannya, aku berharap Tuhan tidak akan mengambilnya dariku. Nasibnya
memang mujur, setelah lulus dia mendapat tawaran bekerja di sebuah rumanh sakit
yang cukup terkenal di Seoul. Suatu hari aku dan dia janjian makan malam,
karena terlalu sibuk mengurus pasiennya, aku akhirnya menunggu Junsu di
ruangannya.
“Kenapa ada pistol di mejamu?” tanyaku
“Oh… tadi ada polisi yang terluka karena harus
dioprasi, jadi pistolnya diamankan di ruanganku, tapi sebentar lagi akan
dikembalikan ke kantor polisi kok!” dia lalu meninggalkan aku sebentar. Aku
yang agak jenuh menunggu, membuka-buka album foto Junsu, foto-foto saat
kelulusan SMU-nya. Aku tertawa melihat dia berpose bersama teman-temannya.
Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah gambar Junsu yang cukup besar. Di gambar
itu kebetulan kancing atas bajunya tidak terpasang sehingga kalung yang menghiasi
lehernya terlihat jelas. Kalung matahari itu…
“Maaf membuatmu menunggu lama!” kata Junsu
saat memasuki ruangan. Aku yakin dia pasti sangat terkejut melihatku berlinang
air mata.
“Kau kenapa?” tanyanya
“Kau ... kaulah orang itu, kaulah orang yang
menghancurkan masa depanku malam itu! kaulah orang bejat itu!” uacapku, dia
nampak terkejut.
“Kau pemilik kalung matahari itu, kalung yang
tak sengaja kurampas dari orang yang memperkosaku, aku tidak akan pernah lupa
pada kalung itu.” suaraku bergetar, aku benar-benar seperti tertimpa gunung.
“Malam itu seseorang tiba-tiba menyumpal
mulutku dari belakang, lalu dia membawaku ke tempat yang gelap lalu ... lalu
dia memperkosaku, dan orang itu adalah kau! ayo jawab Junsu!” Junsu menunduk
dia tidak berani menjawab pertanyaanku,
“Ayo jawab Junsu!” sekali lagi aku
membentaknya.
“Iya ... akulah orang itu!”
“Ya ... Tuhan!” aku menangis sejadi-jadinya
“Tapi aku menyesal ...” sela Junsu
“Bohong...! aku tidak percaya, apapun yang kau
katakan aku tidak percaya. Kau menghancurkan aku dan masa depanku, kenapa? kenapa
kau lakukan itu? apa salahku?”
“Saat itu aku terpengaruh oleh obat yang
diberikan teman-temanku seusai upacara kelulusan SMU, aku tak menyangka akan
diberikan obat peranngsang yang awalnya kupikir hanya vitamin saja”
“Aku benci kamu Junsu ... aku telah bersumpah
akan membenci orang yang telah menghancurkan aku, seumur hidupku!”
“Aku hormati keputusanmu, aku memang pantas
dibenci”
“Kau tidak hanya pantas dibenci, kau juga
harus mati!” aku benar-benar kalap saat ini, pistol yang tergeletak di meja Junsu
segera kuambil dan kuarahkan kepadanya, tapi dia malah tersenyum
“Lakukanlah! bila itu dapat mengobati sakit
hatimu padaku, kematianku saja belum dapat membayar apa yang telah aku lakukan
padamu. Namun satu hal yang harus kau ketahui, aku akan tetap mencintaimu, kau
adalah Han Yoori yang akan tetap menjadi wanita pilihanku”
“Bohong ...” tiba-tiba aku menarik pelatuk
pistol itu, suara tembakan menggema di seluruh penjuru rumah sakit, dan di saat
itu pula Junsu tak dapat menahan keseimbangan tubuhnya akibat peluru yang telah
bersarang di dadanya. Junsu terjatuh bersimbah darah, jas putih yang ia kenakan
berubah merah seketika saat ia tergeletak tak sadarkan diri di lantai
ruangannya. A ... aku telah membunuhnya, hiks ... Junsu ...!
Aku terus menunduk saat berada di kantor
polisi. Aku gemetar, keringat dinginku terus mengalir. Junsu ... apa yang
terjadi padamu saat ini? Ayah dan Ibu ku menemui aku di kantor polisi, Ibu tak
henti-hentinya menangis.
“Ayah dan Ibu sudah tahu kalau yang merusak
hidupmu adalah Junsu, dia sudah mengakui perbuatannya pada kami” ucap ayah
“Bahkan Ayahmu sempat memukulnya sampai
wajahnya memar namun dia sama sekalii tidak melawan” ucap Ibuku lagi di
diselingi tangisannya. Jadi ... saat aku melihat wajah Junsu yang memar
ternyata itu akibat keterusterangannya pada Ayah? tapi dia malah memberiku
alasan lain, alasan yang membuatku lebih tenang, Junsu… maaf! hiks.
“Kenapa kau melakukan itu Yoori? padahal Junsu
berjanji akan membayar semua perbuatannya.” kata Ayah yang kelihatannya sangat
kecewa. Bagaimanapun orang tuaku tidak menyalahkan aku sepenuhnya, aku sama
sekali tidak tahu apa-apa sebelumnya. Penyesalan menghinggapi perasaanku, semua
sudut-sudut di kepalaku terisi oleh permintaan maaf pada Junsu. Masih teringat
jelas saat Junsu tersenyum mengizinkan aku menembaknya, Junsu . . maaf!
Tidak sampai sehari aku berada di kantor
polisi, ternyata keluarga Junsu mencabut tuntutannya. Semuanya atas permintaan Junsu
sesaat sebelum dia masuk ruang oprasi. Aku seperti akan gila kembali, depresi ...
atas semua perbuatanku. Wajah Junsu tak bisa hilang dari ingatanku, saat dia
tersenyum selalu ada di pelupuk mataku.
Sudah hampir seminggu Junsu terbaring tak
sadarkan diri di ruang I.C.U entah sudah berapa banyak air mata yang telah
kutumpahkan sabagai tanda penyesalanku atas perbuatanku padanya, air mataku
sudah terasa kering.
“Han Yoori ...” suara itu terdengar lemah, aku
segera mengangkat kepalaku, Junsu kau sudah sadar! Aku menangis lagi, tapi kali
ini air mata kebahagiaan.
“Jangan menangis lagi, selama ini kau sudah
banyak menangis akibat perbuatanku. Meski perasaan bersalah selalu menghantuiku
sejak kejadian itu dan membuatku tersiksa, namun aku tahu penderitaan yang kau
alami jauh lebih berat dariku.” kata Junsu dengan suara terbata-bata. Aku
menggeleng, menyuruhnya berhenti berbicara, keadaannya masih sangat lemah.
“Kau tahu ... tangisanmu malam itu selalu
menghantuiku, teriakan minta tolongmu benar-benar menyiksaku. Siang malam aku
tak dapat tenang memikirkan nasibmu. Sungguh aku benar-benar menyesal. Sampai
kuputuskan untuk mencarimu dan meminta maaf padamu. Empat tahun yang lalu aku
mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa yang mengatakan memiliki pasien yang depresi
akibat pemerkosaan, dan ternyata itu adalah kamu. Aku meminta alamat dan nomor
teleponmu namun tak berani menemuimu dan keluargamu. Saat itu yang dapat
kulakukan hanyalah bejar giat sebagai dokter agar kelak bisa menyembuhkanmu!”
“Ja ... jadi kau menjadi dokter karena aku?” tanyaku
terkejut
“Ya, setiap malam aku mengunjungi rumahmu, dan
setaip malam juga aku mendengarmu menangis histeris akibat kejadian malam itu.
Hal itu semakin membuat hatiku teriris. Sampai kuputuskan dan kuberanikan diri
mendekatimu di swalayan itu. Percayalah aku perlahan-lahan jatuh cinta padamu
sejak kita mulai berkenalan. Sungguh di luar dugaanku, aku malah jatuh cinta
pada orang yang telah kuhancurkan hidupnya,” ucapnya lagi. Cukup Junsu ... jangan
bicara bicara lagi, aku percaya ... aku percaya padamu.
“Maafkan aku ... aku sangat berdosa padamu,
maaf ...!” aku mentutup bibir Junsu dengan kedua jariku, aku tak mengizinkan
dia bicara lagi. Aku memeluknya yang terbaring lemah dengan nafas yang sangat
berat
“Aku telah memaafkanmu, aku percaya kau sangat
menyesal. Tak mungkin kau bersusah payah mencariku bila kau sama sekali tidak
peduli padaku.” ucapku.
Inilah akhir dari kisahku, berawal dari sebuah
kehancuran yang membuat duaku seakan tenggelam, Tuhan mengirimkan seorang
malaikat dalam wujud seorang pemuda yang bertanggung jawab. Ibu selalu bilang
padaku, Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk setiap umatnya, awalnya aku
tidak percaya mana mungkin pemerkosaan itu adalah yang terbaik untukku, namun
aku sadari ternyata tanpa kejadian itu, aku tak akan mengenal Junsu.
Kisahku
berakhir disebuah gereja kecil dengan balutan wedding dress yang sangat indah disertai janji suci untuk saling
menjaga dan setia. Tuhanlah yang menjadi saksinya. Akhirnya matahari masa
depanku kembali lagi dan akan bersinar untuk selamanya. Junsu datang memberi
masa depan yang indah.
Rising
Sun End