Friday 4 November 2016

FF One Shot - Love Letter

I’m back after long time… ^^ baru-baru ini saya lagi ngikutin drama lama Answer Me  1997 serta on going drama Scarlet Heart Ryeo. Lagi kesem-sem sama actor Kang Ha Neul dan suka sekali tentang kisah perkenalan Ayah dan Ibunya Shiwon di Answer Me 1997. Karena dua pengaruh drama tersebut maka lahirlah cerpen Love Letter ini ^^. So… this isn’t original from me just remake but please enjoy and don’t forget to give me your respon or comment. Btw… thank you for reading.

   

Saat itu, tiga puluh tahun yang lalu, di akhir musim semi 1987. Sore itu langit kota Gyeongsang terlihat memerah, semburat jingga matahari tenggelam mewarnai indahnya kota. Meski suasananya begitu panas namun angin sepoi-sepoi bertiup menyejukkan keadaan. Para siswa SMU Gang An telah bubar sedari tadi meninggalkan rutinitas belajar yang melelahkan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.
Langkahku terhenti saat seorang pemuda menghadangku dengan sepedanya, tak ada senyum maupun kata sapaan terlontar dari bibir merahnya. Mata sipitnya yang sayu memandangku sebentar, dan langsung saja menyodorkan sebuah amplop merah jambu ke arahku.
“Untuk apa ini?” tanyaku heran.
“Itu untukmu!” jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan berat. Hong Jong Hyun nama yang tertera sebagai pengirimnya saat kulihat amplop itu.
“Kau yang bernama Jung Hye Na, kelas 3B, SMU Gang An ‘kan?”
“Ya… kau benar!” jawabku. Dia menggunakan seragam yang berbeda denganku, itu artinya dia bukan siswa dari sekolahku. Lantas dari mana dia tahu tentangku? Dan lagi… name tag di seragamnya bertuliskan Kang Ha Neul, itu berarti amplop yang dia berikan padaku, bukanlah miliknya.
“Temanku menyukaimu, dia memintaku untuk menyampaikan surat itu padamu!” jawabnya lantang. Baru saja aku ingin membalas perkataannya, pemuda itu malah pergi, dia mengayuh sepedanya cepat meninggalkan aku yang tertegun di jalan kecil ini.

Begitulah aku bertemu dengannya, dia cukup dingin untuk remaja seumurannya. Dia membawakan surat cinta dari temannya untukku dan itu bukan sekali saja. Hal itu berlangsung beberapa kali.
“Ini untukmu!” ucapnya singkat, dia pergi begitu saja dengan sepedanya saat dia telah memastikan surat itu berada ditanganku.
“Ini untukmu!”
“Ini untukmu!”
“Ini untukmu!”
Hanya itu, sesingkat itu, setelah surat kuterima, dia pergi begitu saja. Suatu ketika, dia datang lagi. Dia berhenti menghadang jalanku, menyodorkan sepucuk surat bercover merah jambu,
“Ini untukmu!” ucapnya seperti biasa. “Kapan kau membalasnya? Temanku menanti balasan suratmu!” akhirnya… setelah sekian kali, diapun mengucapkan hal yang lain. “Pastikan untuk menulis balasannya, besok aku akan datang untuk mengambilnya darimu!”
“Tunggu…” hadangku saat baru saja dia akan mengayuh sepedanya, “Aku tak mengenal Hong Jong Hyun itu, bagaimana bisa aku menulis surat untuk seseorang yang tidak kukenal?”
“Dia tampan, kau tidak akan menyesal!” timpalnya.
“Bagaimanapun… aku ingin melihatnya!” aku bersikeras.

Sore itu… di bawah langit sore yang mulai memerah, pemuda si pengantar surat itu memberiku tumpangan sepedanya untuk menemui orang yang bernama Hong Jong Hyun. Aku duduk di belakang, memegang pinggangnya untuk menjaga keseimbangan, dan dia mengayuh sepedanya dengan sangat hati-hati.
 Dia membawaku ke tepi kota, di sebuah lapangan basket tempat para remaja penggemar olah raga di kotaku menghabiskan sorenya.
“Kau lihat pemuda berkaos biru di sana? Dia yang sedang mendrible bola, dialah orangnya!” jelasnya padaku. Aku memilih untuk melihatnya dari jauh, sekalipun tadi aku bertegas untuk melihat pria bernama Hong Jong Hyun itu, namun begitu akan berhadapan, entah kenapa nyaliku ciut.

“Kau sudah melihatnya, jadi pastikan kau membalas suratnya!” ucapnya saat mengantarku pulang. Di tengah perjalanan, langit yang tadinya indah berubah gelap. Hujan deras mengguyur kota begitu saja tanpa peringatan. Aku dan dia berteduh di bawah pohon beringin di sudut jalan. Lama kami terdiam menanti redanya hujan. Angin bertiup kencang disertai gemuruh, berulang kali aku menggosok telapak tanganku untuk menghangatkan tubuhku meski tidak membantu sama sekali.
“Pakai ini!” ucapnya memakaikan jaketnya kepadaku,
“Kau sendiri? Kau juga kedinginan ‘kan?”
“Bagaimana bisa aku membiarkan seorang wanita kedinginan?” jawabnya. Keheningan kembali menyeruak, entah kenapa dia sangat suka diam, berbeda denganku yang merasa diam justru membuat suasana menjadi kikuk.
“Ehm…. Kenapa kau bersedia menjadi kurir surat temanmu?” tanyaku memberanikan diri untuk mencairkan kebekuan di antara kami.
“Apa perlu kujawab?”
“Tentu saja! Saat seseorang bartanya padamu, kau harus menjawabnya!”
“Ayahku seorang pengantar surat, beberapa hari yang lalu beliau tertabrak motor dan pinggangnya terluka. Sebagai gantinya aku dan kakak laki-lakiku membantunya mengantarkan surat ke seluruh kota. Karena aku mengenal Jong Hyun, maka suratnya kujadikan antaran terakhir setiap kali dia mengirimnya ke pos.
“Oh… begitu… aku turut prihatin pada kondisi ayahmu, semoga beliau lekas sembuh.”
Hampir satu jam kami menunggu hingga hujan reda, baru setelahnya dia mengantarku sampai di depan rumah.
“Haneul~a terima kasih!” ucapku sambil melambaikan tangan kepadanya. Dia hanya menatapku sejenak, lalu pergi begitu saja. Aku mengerucutkan bibirku kecewa, seharusnya dia membalas ucapan terima kasihku, atau paling tidak memberi segaris senyum untukku. Dasar anak yang dingin.

Sore itu, seperti janjiku padanya aku menanti kedatangannya dengan sepucuk surat balasan.10 menit, 20 menit, 30 menit berlalu dia yang kutunggu belum juga datang, dia terlambat, ini sudah lewat dari jam biasanya dia menemuiku.  Matahari sudah hampir tenggelam ke peraduannya, kuputuskan untuk pulang saja. Mungkin dia sedang berhalangan atau apalah.
“Jung Hye Na!” seseorang memanggilku dari arah belakang, aku tersenyum, aku tahu betul siapa pemilik suara ini. Aku berbalik, senyumku hilang,
“Kau sakit?” tanyaku spontan. Wajahnya pucat dan matanya memerah.
“Hanya flu,” jawabnya singkat. “Kau membawa suratnya?”  tanyanya lagi.
“…” aku mengambil surat itu dari dalam tas dan menyerahkan kepadanya. “Jaketmu juga sudah aku cuci, terima kasih…” ucapku pelan seraya menyerahkan bungkusan kantong plastik putih padanya.
“Uhm… terima kasih. Aku pergi!” ucapnya pelan. Aku menatap punggungnya hingga akhirnya dia menghilang ditelan jalan. Semua karena diriku, dia terkena flu karena kehujanan mengantarku pulang bahkan dia memberikan jaketnya padaku.

Di awal pagi, aku memberanikan diriku menunggu di gerbang SMU Kwangsan. Beberapa murid yang lewat menatapku, entah apa yang ada di benak mereka, seorang siswi berseragam beda berdiri seperti menunggu sesuatu di depan sekolah mereka.
“Maaf… apa kau mengenal Kang Haneul aku tak tahu dia berada di kelas berapa?” kuberanikan diri menghadang seorang siswa.
“Oh… iya, dia siswa kelas 3A. tapi aku tidak sekelas dengannya. Dia yang sekelas dengannya…” tunjuknya pada seorang siswa yang baru lewat.
“Maaf… apa kau mengenal Kang Haneul? Katanya dia sekelas denganmu,” buru-buru kuhadang siswa yang lewat itu.
“Ah iya, Si Nomor Satu itu, ada apa memangnya?” jawab siswa itu.
“Aku ingin menitipkan sesuatu untuknya, tolong berikan padanya.”
“Ehm… entahlah, kalau dia datang ke sekolah hari ini aku akan memberikannya. Soalnya kemarin dia tidak masuk sekolah karena flu berat,”
“Benarkah?” aku seperti tidak percaya pada perkataan siswa itu. Bukannya kemarin Haneul datang menemuiku untuk mengambil surat itu setelah pulang sekolah walaupun agak terlambat. Argh… entahlah, aku memang tidak memperhatikan apakah dia menggunakan seragam atau tidak sebab tertutup jaket.
Apa Haneul datang hanya untuk mengambil surat dariku? Dia bahkan tidak ke sekolah karena sakit tapi tetap menyempatkan diri untuk menemuiku kemarin sore. Apakah surat balasan untuk temannya itu begitu barharga? Ah… anak itu sangat loyal pada temannya.

Di awal musim panas Gyeongsang 1987, seperti kebiasaan menjelang ujian akhir, kami mulai pulang malam. Aku cukup merinding saat berjalan pulang melalui jalan-jalan kecil apalagi teman-temanku tadi bercerita tentang hantu yang biasa menampakkan diri di ujung jalan.
“Jung Hye Na!!!”
“Ibu…Ibu…Ibu…” tiba-tiba saja aku menjadi latah setelah dikagetkan oleh panggilan seseorang.
“Kau kenapa?” Kang Haneul, pria itu muncul secara tiba-tiba, memanggil namaku dan membuatku latah seketika.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membuatku kaget?!” aku memukul-mukul bahunya.
“Apa kau takut?” dia geli melihatku gemetar.
“Tidak! Siapa yang takut?!” kilahku, hal itu malah membuatnya tertawa.
“Naiklah… aku akan mengantarmu pulang,” tawarnya untuk tumpangan sepedanya.

Dia mengantarku sampai di depan rumah, aku dapat melihat wajahnya dari bantuan cahaya lampu jalan. Dia tidak pucat lagi, sepertinya kesehatannya telah kembali.
“Mana suratnya?” tanyaku sambil mengulurkan tangan untuk meminta.
“Surat?” dia malah balik bertanya bingung.
“Bukannya kau datang menemuiku untuk memberikan surat?”
“Apa kau sangat menanti surat balasan darinya?” dia terlihat kecewa.
“Lalu untuk apa kau menemuiku?” tanyaku.
“Untuk berterima kasih, kata temanku ada seorang siswi berseragam SMU Kang An menitipkan bubur abalone dan obat flu herbal untukku…”
“Ah… itu…” aku tertunduk malu, “Apa kau suka? Aku belum mahir memasak, makanya aku agak ragu…”
“Aku suka… masakanmu enak dan obat flu herbal darimu sangat manjur. Terima kasih,”

Malam itu aku tak dapat memejamkan mataku, pujian Haneul entah kenapa membuatku seakan melayang. Ini bukan pertama kalinya aku membantu seorang teman pria dan bukan pula untuk pertama kalinya seorang pria berterima kasih padaku. Tapi kenapa aku tidak merasakan hal yang sama saat teman-temanku mengucapkan terima kasih padaku? Ah… sudahlah, pertanyaan ini tak mungkin ada jawabannya.

“Jung Hye Na!” panggilan itu… suara itu… kurasa aku mulai terbiasa.
“Naiklah…” pintanya.
“Apa kau juga tak ada pelajaran tambahan?” tanyaku, hari ini guru yang akan memberi pelajaran tambahan berhalangan hadir hingga kami dapat pulang cepat.
“Ada!”
“Apa? Lalu kenapa kau bolos?”
“Entahlah… aku hanya lelah belajar, bagaimana kalau kita singgah makan es krim? Aku yang traktir,”
“Tentu saja! Kau yang mengajakku, maka kau yang harus traktir!” balasku. Aku dapat melihat senyumnya, padahal saat pertama kali berkenalan dengannya kupikir dia tidak dapat tersenyum.

Kami menikmati es krim di tepi jalan sambil memandang indahnya langit malam. Dia menunjukkan beberapa rasi bintang padaku meski aku tidak begitu mengerti.
“Haneul~a… bagaimana bisa temanmu menyukaiku padahal kami tidak saling mengenal?” pertanyaanku membuatnya berhenti berceloteh, sejenak dia menatapku kemudian mengalihkan pandangannya ke langit malam.
“Tahun lalu saat festival lomba seni dan sains bukannya sekolahku menjadi tuan rumah. Saat itu kau mewakili sekolahmu untuk pidato bahasa inggris, dia tergila-gila padamu saat melihatmu di podium apalagi kau berhasil menjadi juara pertama. Ah… padahal dia sendiri tidak dapat apa-apa,” 
“Benarkah? Hanya karena itu?” aku tertawa geli. “Lalu kau sendiri… apa kau juga menyukai seseorang?” pertanyaanku membuatnya terdiam sesaat,
“Entahlah… aku terlalu sibuk belajar hingga tidak pernah memikirkan hal itu,” jawabnya enteng.
“Kesimpulannya… kau tidak menyukai siapa-siapa?”
“Ah… aku tidak ingin membahas hal itu,” dia mengelak,
“Kenapa? Remaja seusia kita memang wajar jatuh cinta, temanmu saja sudah jatuh cinta lalu bagaimana denganmu?”
“Ayo kita pulang, ini sudah malam!” dia segera mengambil sepedanya,
“Jangan mengelak, kalau kau menyukai seseorang aku juga bersedia membantumu menyampaikan surat cintamu!”
“Diamlah, itu tidak perlu!”
“Jadi benar kau sedang jatuh cinta?” entah mengapa aku begitu penasaran. Dia memilih mengabaikanku, tidak menjawab pertanyaanku.
“Atau jangan-jangan kau… gay?”
“Yaak!” suaranya naik satu oktaf. 
Tiba-tiba,
“Awaas…” serunya, saat kusadari aku telah berada dalam dekapannya. Sebuah mobil melaju kencang dan hampir menyerempetku sehingga spontan dia melindungiku.
Jantungku berdegup kencang, seperti de javu, ini pertama kalinya aku begitu dekat dengan seorang pria bahkan sampai dapat mendengar degup jantungnya. Pandangan mataku beradu dengannya, untuk sepersekian detik napasku terhenti saking kagetnya. Aku pun tanpa sadar mendorongnya menjauh.
“A…ayo kita pulang!” pintaku dengan suaraku bergetar. Karena kejadian itu, kami hanya terdiam sepanjang jalan. Aku kehilangan segala ide untuk mencairkan suasana mungkin karena terlalu kaget.

 
Sore ini dia datang lagi, bahkan lebih cepat dari biasanya. Dia berdiri tersandar di gerbang sekolahku, pandangannya kosong menatap tanah kering yang dipijaknya. Aku tidak suka melihat ekspresinya, entah kenapa aku merasa dia membawa berita buruk untuk kudengar.
“Haneul…” panggilku pelan dan itu membuatnya seakan kembali pada kesadarannya, dia menatapku sejenak kemudian membuka tasnya untuk mengeluarkan sepucuk surat beramplop merah jambu.
“Dia mengajakmu kencan… sabtu malam nanti,” ucapnya lemah.


Sabtu malam itu tiba, kulihat seorang remaja seusiaku berdiri di depan bioskop Gyeongsan. Anak laki-laki yang pernah ditunjukkan Haneul padaku, siswa berkaos biru yang sedang mendrible bola.
“Kau sudah datang…” ucapnya pelan saat menyadari kedatanganku. Dia menggaruk kepalanya yang menurutku tidaklah gatal. Ciri khas seseorang yang sedang berusaha mengurangi rasa gugupnya.
“Maaf aku terlambat,” jawabku lemah.
“Ah… tidak masalah, masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum filmnya diputar. Kita bisa membeli popcorn dan minuman dulu…”
Aku seperti merasakan kehadiran Haneul, sayangnya setelah melihat ke segala arah, aku tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa hatiku terasa kosong padahal Jong Hyun sudah begitu baik padaku.

Musim gugur Gyeongsang, 1987. Meski matahari bersinar cerah, dingin masih tak dapat kucegah. Kurapatkan mantel yang dibelikan kakakku dari Seoul. Musim gugur telah tiba sejak sebulan yang lalu, suhu sudah mulai menurun, pepohonan juga telah berganti warna. Sejak ajakan kencannya itu, Jong Hyun lah yang kini datang menjemputku saat pulang sekolah. Haneul… aku tak pernah lagi melihatnya. Aku tak lagi dapat mendengar suaranya, lucunya… setiap kali mendengar bunyi sepeda dikayuh, aku spontan berbalik dan berharap itu temanku, Haneul… ya… temanku, Haneul hanya temanku.  
Aku mungkin tak dapat menutup mata… bahwa pada kenyataannya dia masih sering mengunjungiku. Sayangnya dia hanya memandangku dari jauh, dia tak datang menyapaku lagi. Bila jemputan Jong Hyun tiba, maka diapun berbalik arah meninggalkan tempatnya berdiri mengamatiku.

Dalam perjalananku ke halte bus, seorang siswa berseragam SMU Kwangsan berhenti di hadapanku dengan sepeda tuanya. Mata sayunya menatapku sejenak kemudian terlihat sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya. Kang Haneul… kupikir aku tak dapat melihatmu lagi, betapa aku sangat merindukanmu. Kemana saja kau beberapa minggu ini? Apa karena Jong Hyun yang selalu datang padaku hingga kau memutuskan pertemanan kita. Atau karena kau terlalu sibuk belajar hingga tak punya waktu untuk bermain bersamaku? Siswa nomor satu sepertimu mungkin dapat melakukan itu.
“Ini untukmu…” ucapnya sambil menyodorkan sepucuk surat pink pastel.
“Untuk apa surat ini…” heranku dengan kening berkerut. “Bukannya Jong Hyun bertemu denganku setiap hari jadi untuk apa dia mengirimkan surat ini?” lanjutku.
“Itu bukan dari Jong Hyun, itu dariku!” jawabnya lantang.
“……” aku terperangah menatapnya.
“Mungkin kau butuh waktu untuk membalasnya, maka aku akan menunggu,” ucapnya sebelum dia menghilang dari pandangan mataku. Kutatap amplop pink pastel di tanganku, aku sungguh tak tahu harus bereaksi apa.

“Apa kita tak dapat menjadi pasangan? Kurasa aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.” Begitulah tulisannya, hanya terdiri dari dua kalimat namun sanggup membuatku menitikkan air mata.

Malam itu, usai pelajaran tambahan, Jong Hyun menjemputku seperti biasa. Masih segar dalam ingatanku, wajah kecewanya saat meninggalkanku pergi. Aku berterus terang kepadanya, aku telah mencintai orang lain. Ini mungkin sulit baginya, ini pun sangat sulit bagiku, aku tak pernah berpikir untuk mempermainkan perasaannya. Namun hatiku berontak dan memohon untuk tidak berbohong kepadanya bahwa aku memang tidak memiliki perasaan apa-apa untuknya.

“Jung Hye Na!!!” seseorang memanggilku dari belakang, suaranya begitu familiar di telingaku. Malah jujur kuakui aku begitu merindukan panggilan itu. Suara yang tidak lagi kudengar sejak berminggu-minggu yang lalu, suara Kang Haneul.  
“Kau dari mana saja? Aku lama menunggumu di gerbang sekolah. Kau tahu… aku menolak Jong Hyun yang menjemputku dengan mobilnya demi dapat berboncengan dengan sepeda tua itu…” tiba-tiba saja suaraku menghilang teredam oleh kecupannya. Ya… dia mengecup bibirku, begitu lembut hingga terasa begitu hangat di tengah udara dingin malam ini.
Kau harus menyayangiku… kau harus membuatku bahagia, aku memutuskan bersamamu dan meninggalkan Jong Hyun meski aku tahu cinta kalian sama besarnya terhadapku. Maka jangan pernah menyakitiku, jangan pernah membuatku kecewa karena telah memilihmu.

“Kini… setelah 30 tahun berlalu Ibu masih menyimpan surat cinta dari ayah… ah… romantis sekali!” seru putri sulungku sambil menatap haru pada amplop lusuh yang kupegang, aku hanya tersenyum membelai rambutnya.
“Ibu… andai dulu ayah tidak memberi surat ini kepadamu, mungkin Ibu akan menikah dengan Paman yang bernama Jong Hyun itu, itu artinya aku tidak akan lahir!”
“Untungnya ayahmu seorang pemberani!” bisikku di telinganya. Kami berdua cekikikan hingga pintu tiba-tiba terbuka.
“Apa kalian sudah selesai?” Tanya suara itu,
“Dokter Kang… aku sayang padamu!” Ha Na berhambur memeluk ayahnya,
“Ada apa dengan putriku ini? Kenapa tiba-tiba dia manja begini?” Haneul bertanya padaku dan keheranan. Aku hanya menggeleng mengisyaratkan tidak tahu apa-apa.

“Ayah… kenapa lama sekali? Aku bisa terlambat kalau begini!” putra bungsuku protes dari lantai bawah.
“Dengar adikmu sudah memberi peringatan, jangan buat di bad mood di hari penamatan SMP-nya,” ucap Haneul putrinya.
“Ha Jun kau cerewet sekali!” balas kakaknya yang segera menyusul ke bawah.

“Surat itu… kau masih menyimpannya?” tegur Haneul saat melihatku mengembalikan surat 30 tahun yang lalu ke tempatnya.
“Uhm… ini hartaku yang sangat berharga!” jawabku lantang.  



The End