“Ah Ra...”
“Uhm?”
“Sebenarnya apa tujuanmu kembali ke
Namwon?”
“Untuk
menemuimu,” gadis itu berkata yang sebenarnya, alam bawah sadarnya secara
spontan membuatnya berkata jujur meski dia ingin berbohong.
“Untuk
apa kau menemuiku?”
“.
. . .” gadis itu memilih diam, dia yakin bila sedikit saja dia membuka mulut
maka rahasianya akan terbongkar.
“Kenapa
kau masih menyimpan sapu tanganku? Saat mencari inhaler-mu waktu itu aku juga
melihat memo yang pernah kuberikan padamu sepuluh tahun yang lalu. Kau bahkan
melaminatingnya! Apa maksudnya semua ini, kenapa kau masih menyimpan
barang-barang yang seharusnya sudah lama kau buang?”
“Apa
aku tidak boleh menyimpan barang-barang pemberianmu?”
“Untuk
apa kau menyimpan sampah-sampah itu?”
“Mereka
bukan sampah! Apapun yang kau berikan padaku, bagiku itu bukan sampah!”
“Sepenting
itukah? Lalu apa artinya aku bagimu? Aku ‘kan hanya sahabatmu kau tidak perlu
berlebihan seperti itu.”
“Kau
bukan hanya sahabat bagiku, kau juga cinta pertaku!” mata gadis itu
berkaca-kaca. Akhirnya dia tidak dapat menahan kebohongannya lebih lama lagi.
“Apa?
Kau bercanda ‘kan?”
“Bagaimana
bisa aku bercanda dalam keadaan seperti ini?”
“Yaak...
Cho Ah Ra, bukannya dulu kau menolakku karena aku bukan tipe-mu?”
“Aku
berbohong saat itu, hiks...”
“Kenapa
kau lakukan?”
“Aku
terpaksa, aku punya alasan sendiri melakukannya...”
“Ah
iya, kau sahabat dengan segudang rahasia! Simpan saja ceritamu itu, jadikan
dongeng pengantar tidurmu saat kau tak bisa tidur sebab aku tidak percaya lagi
padamu. Semakin lama, kau membuatku semakin muak!”
“Seo
Joon...” Ah Ra menangis, ini pertama kalinya Seo Joon berkata sekasar itu
padanya.
“Kau
menghancurkan perasaanku saat itu dan sekarang dengan mudahnya kau bilang bahwa
kau berbohong, kau punya alasan sendiri melakukannya. Apa kau pikir hatiku ini
keramik yang bisa kau hancurkan kemudian dapat kau rekatkan kembali setelah kau
jujur bahwa kau terpaksa membohongiku?!”
“Maaf...
hiks,”
“Jangan
menangis, kau seharusnya tertawa setelah kau berhasil mempermainkan aku!”
“Aku
benar-benar minta maaf Seo Joon...”
“Aku
tidak bisa memaafkanmu, aku tidak akan melakukannya! Sekarang lebih baik kau
pergi, menghilanglah dari kehidupanku!”
“Kumohon
jangan seperti ini padaku, penyesalan terbesar yang kupikul selama sepuluh
tahun ini adalah membuatmu terluka saat itu. Aku datang bukan untuk merebutmu
darinya, aku hanya ingin memperbaiki kesalahpahaman di antara kita. Aku
benar-benar tulus minta maaf padamu.”
“Sudah
kubilang jangan minta maaf lagi, aku tidak akan memaafkanmu! Ketahuilah... aku
merasa menyesal... kenapa dulu aku mau menjadi sahabatmu!”
“Jika
dulu kau membiarkan aku tidak punya teman dan kesepian aku tak tahu apa yang
akan terjadi padaku. Kumohon jangan sesali persahabatan kita, jangan
membenciku, jangan tutup pintu maafmu untukku, hiks...”
“Aku
baru tahu kau ternyata sangat egois, kau masih mengharapkan aku memperlakukanmu
seperti teman setelah kau membuatku terlihat seperti pecundang!”
“Aku
salah... aku tahu aku bersalah padamu, tidak seharusnya dulu aku membuatmu
kecewa. Kini ingin memperbaiki semua pun sudah terlambat. Kau akan menikah dan
semua harapanku hilang.”
“Berhentilah
mengoceh, kau benar-benar merepotkan di saat sedang mabuk. Ayo kita pulang, aku
sudah janji pada Bibi Han untuk mengantarmu pulang!” Seo Joon mengemasi
barang-barang Ah Ra dan menarik tangan gadis itu menuruni jalan bukit.
“Seo
Joon...” Ah Ra masih terisak sambil berjalan.
“Berhentilah
memanggil namaku, aku tidak ingin mendengar suaramu!” tegas Seo Joon. Begitu
tiba di tepi jalan, Ah Ra segera dimasukkan ke dalam taksi. Kali ini Seo Joon
mengancam pengemudi taksi itu untuk tidak mengantarkan Ah Ra ke tempat lain
selain alamat rumah yang telah disodorkannya.
“Jangan
datang ke pesta pernikahanku, aku benar-benar tidak ingin melihat dirimu lagi.
Bila kau melakukannya, aku sendiri yang akan menyeretmu pergi!” ancam Seo Joon
pada gadis itu.
♥♥♥
@Namwon 2006
Siang
itu keriuhan memenuhi setiap sudut sekolah, upacara perpisahan untuk kelas tiga
baru saja selesai. Hampir seluruh siswa mengabadikan momen itu dengan berfoto
bersama. Ah Ra memberesi lokernya, dia harus bersiap kembali ke Seoul hari itu
juga. Dia belum bertemu Seo Joon bahkan berharap tidak pernah bertemu lagi. Dia
terlalu malu dan merasa bersalah telah menyakiti hati sahabatnya itu sehingga
tidak memiliki nyali untuk berhadapan langsung dengannya.
“Aku tahu rahasia antara kau dan Pak
Guru Kim. Dia Pamanmu, anak tidak sah dari kakekmu, atau sederhananya akan
kukatakan dia anak haram kakekmu. Dia masuk dan menjadi guru di sekolah ini
pasti karena nepotisme. Apa jadinya bila seisi sekolah tahu siapa Pak Guru
sebenarnya, apa kau yakin kakekmu tidak akan terkena stroke?”
“Lalu bagaimana dengan karir ayahmu
sebagai seorang anggota kongres, apakah tidak akan rusak bila media
memberitakan bahwa ayahmu memiliki saudara dari hubungan tanpa pernikahan? Maka
dari itu sebaiknya kau diam dan turuti semua yang kukatakan. Buat Seo Joon
menjauh darimu, aku tidak akan memintamu menjauhinya karena dapat kutebak,
semakin kau menjauh maka dia akan semakin mendekat oleh sebab itu kau harus
membuat dia sendiri yang menjauhimu.”
Begitulah Jin Hee mengancamnya hingga dia tidak berkutik sama sekali. Dia
terpaksa mengorbankan perasaannya dan menyakiti Seo Joon.
“Ah
Ra...” Seo Joon memanggil gadis itu yang tengah jalan seorang diri, “Kau akan
pergi?” lanjutnya lagi.
“Aku
akan kuliah di Seoul,”
“Maukah
foto bersama untuk terakhir kalinya?”
“Maaf
Seo Joon, aku buru-buru. Ibuku menunggu di luar...”
“Ini
tidak akan menghabiskan sepuluh menit waktumu. Setidaknya sebelum berpisah, aku
ingin memiliki kenang-kenangan bersamamu,” bujuk Seo Joon. Ah Ra tak dapat
menolak, memang terlalu berlebihan bila untuk berfoto saja dia harus
menghindar.
“Ah
Ra... senyumlah sedikit, ini hari kelulusanmu tapi kau tampak tidak bahagia,”
tegur siswa yang dimintai Seo Joon untuk memotret mereka. Ah Ra seperti lupa
bagaimana cara tersenyum, sampai foto mereka diambil dia tak dapat
menyunggingkan segaris pun senyumnya. Foto dari kamera Polaroid itu tercetak,
Seo Joon kecewa melihat hasilnya sebab Ah Ra yang berada di sampingnya
benar-benar tidak tersenyum.
“Untukmu...”
Seo Joon menyodorkan foto itu pada Ah Ra.
“Bukannya
kau yang ingin...”
“Apa
artinya bila kau tak bahagia...”
♥♥♥
@Namwon 2016
Pagi
ini matahari bersinar cerah, Seo Joon nampak gagah dengan tuxedo hitamnya. Ah
Ra hanya dapat memandangnya dari balik jalan, sejauh yang dia bisa. Dia harus
menghormati permintaan Seo Joon, pesta ini miliknya dan pria itu berhak
memutuskan apa saja yang dia inginkan untuk pestanya termasuk ketidakhadiran Ah
Ra.
Di
lain pihak, Seo Joon tersenyum ramah menyambut para tamu yang datang. Dia tahu
bila Ah Ra sebenarnya datang dan mentapnya dari kejauhan di seberang jalan.
Hanya saja dirinya pura-pura tidak menyadari keberadaannya, teman-teman SMA-nya
yang bertanya ‘Di mana Ah Ra?’ ‘Kenapa Ah Ra belum datang?’ hanya ditanggapi Seo
Joon dengan gelengan kepala ataupun dengan mengangkat bahunya tanda dia juga
tidak tahu.
“Nona...
apa kita sudah bisa berangkat?” tanya pengemudi taksi yang melihat Ah Ra masih
berdiri termangu memandang gedung yang mulai sepi setelah semua tamunya masuk
untuk memulai acara.
“Uhm...
kita kembali Seoul,” ucap gadis itu lirih.
♥♥♥
~ 6 Bulan
kemudian ~
“Ah
Ra... kau tidak lupa ‘kan hari ini kau ada janji?!” pekik Ibunya lewat
sambungan telepon.
“Iya
Ibu... sekarang aku sudah ada di depan Silla[1],
baru juga turun dari taksi!” jawab Ah Ra bermalas-malasan.
“Awas
saja kalau kau sampai kabur lagi! Jangan buat ibu malu, Ibu sudah bersusah
payah mengatur kencan ini dan jangan sampai ada masalah.”
“Iya...
ibu tenang saja!” bujuk Ah Ra.
“Tenang
apanya? Dua kencan sebelumnya kau kabur dengan alasan yang menggelikan, sakit
perut dan mules. Apa kau tidak bisa mengarang alasan yang lebih baik?”
“Baiklah...
kali ini aku akan menggunakan alasan yang lebih masuk akal...” balas Ah Ra
cuek.
“Apa?
Yaak... anak ini benar-benar keterlaluan! Hargailah usaha ibu sedikit saja. Ibu
benar-benar ingin melihatmu secepatnya menikah. Teman-teman ibu datang
membopong cucunya saat arisan sementara anak ibu... menikah pun belum!”
“.
. .” Ah Ra menjauhkan telinganya dari ponselnya. Telinganya jadi sakit setiap
kali mendengar ibunya mengomel di telepon.
“Ah
Ra!!! Jangan jauhkan ponselmu dari telingamu!” ancam ibunya. Ah Ra segera
melihat sekelilingnya, apa ibunya mengamatinya sembunyi-sembunyi? “Kali ini kau
tidak bisa kabur dengan alasan sakit lagi, kau akan berhadapan dengan seorang
dokter muda. Ibu sudah memberitahu bila kau mengaku sakit agar dia langsung
saja memeriksamu di tempat!”
Kali
ini Ah Ra tidak dapat berkutik, sepertinya ibunya sudah mengatur semua dengan
sempurna bahkan memperhitungkan alasan yang selalu digunakan Ah Ra untuk kabur
dari pria yang dikenalkan Ibunya lewat kencan buta. Gadis itu tidak perlu
menunggu lama karena pria yang dimaksud ibunya telah lebih dulu tiba.
“Maaf...
apa kau menunggu lama?” sapa gadis itu,
“Ah
tidak, aku juga baru sampai. Oh... kenalkan, aku Park Hyun Shik, senang bertemu
denganmu!” ucap pria jangkung itu.
“Aku
Cho Ah Ra...” balas gadis itu. Begitulah perkenalan mereka dimulai berlanjut
pada makan malam dan berkeliling di gallery hotel.
“Eonni...”
seseorang memanggil Ah Ra, gadis itu menoleh dan alangkah terkejutnya dia saat
tahu siapa wanita yang menyapanya. “Masih ingat padaku?” tanya wanita itu.
Wanita yang diketahuinya bernama Go Ah Ra, calon istri Seo Joon, ah... tidak
bukan lagi tapi telah menjadi istrinya Seo Joon.
“Ten...tentu...”
jawab Ah Ra gagap. Bibirnya bergetar, gadis itu tiba-tiba saja merasa menggigil
di sekujur tubuhnya. “Apa yang kau lakukan di sini...?” tanyanya basa-basi.
“Ah...
suamiku ada urusan di Seoul makanya aku ikut menemani, Eonni sendiri sedang apa
di sini?” wanita itu masih bertanya meski dia sudah melihat Hyun Shik di
samping Ah Ra.
“Aku
ada janji dengan temanku... kalau begitu aku pergi dulu...” Ah Ra bergegas
pergi menarik tangan Hyun Shik. Sejujurnya dia belum siap berhadapan dengan Seo
Joon saat ini, apa yang akan dia lakukan bila harus bertemu dengan pria itu?
Dia tidak yakin kalau dia dapat menahan air matanya nanti. Alasan kenapa dia
selalu kabur dalam kencan buta yang diatur ibunya adalah... karena dia memang
masih belum dapat melupakan cinta pertamanya itu.
“Sayang...
bicara dengan siapa?” seorang pria menyapa wanita yang bernama Ah Ra itu. Langkah
Ah Ra terhenti, dia segera berbalik sebab dia tahu suara pria itu bukanlah
suaranya Seo Joon. Benar saja... pria yang menyapa Go Ah Ra itu bukanlah Seo
Joon.
“Dia
siapa?” tanya Ah Ra memberanikan diri.
“Dia
suamiku...”
“Bagaimana
bisa? Lalu Park Seo Joon...”
“Eonni
belum tahu... kami batal menikah!”
♥♥♥
Ah
Ra menyandarkan kepalanya di jendela bus sambil memejamkan mata, perlahan
buliran bening dan hangat mengalir dari kedua sudut matanya. Pertemuannya
dengan Go Ah Ra membuat semua hal yang tidak diketahuinya menjadi jelas. Saat
itu juga dia memutuskan kembali ke Namwon untuk membuat perhitungan dengan Park
Seo Joon.
“Sebenarnya kami berdua tidak
menyetujui perjodohan ini, baik aku maupun Seo Joon Oppa tidak saling
mencintai. Kami memutuskan untuk membatalkannya dan berterus terang pada orang
tua masing-masing, hanya saja tiba-tiba Oppa berubah pikiran. Dia ingin menikah
sesuai jadwal yang telah direncanakan orang tua kami. Aku menolak, sebab aku
mencintai orang lain. Oppa memohon padaku, dia berjanji akan menceraikan aku
secepat yang dia bisa setelah pernikahan nanti. Saat kutanya apa alasannya dia
melakukan hal gila seperti ini, dia bilang ingin menghusir seorang wanita dari
kehidupannya. Dia melarangku bertanya siapa wanita itu, dia hanya bilang wanita
itu pantas mati.”
“Pernikahan kami dibatalkan tepat saat
kami berdiri di altar. Dia sendiri yang mengumumkan pada para tamu dan
sekaligus meminta maaf pada orang tua. Wanita yang telah menyakitinya...
kuharap dia tak akan hidup bahagia sebelum meminta maaf pada Oppa. Orang sebaik
dia... berani melakukan hal seperti ini pasti karena rasa sakit yang terlalu
dalam.”
@Namwon 2004
“Kau tak ikut menonton?” tanya Pak
Kim pada Ah Ra yang sedang memandang ke luar jendela.
“Aku tak punya teman...” jawab Ah Ra
pelan
“Kenapa aku merasa bahwa kau dan aku
mirip. Aku pun dulu tak punya teman... hanya saja mereka menjauhiku karena aku
tak punya ayah dan kau sebaliknya, mereka menjauh karena ayahmu terlalu hebat.”
“Paman... ibuku baru saja menelpon,
keadaan ayah semakin membaik. Semua karena bantuanmu. Andai bukan karena donor
sum-sum darimu, aku tak tahu apa yang akan terjadi.”
“Tak perlu berlebihan seperti itu,
bukannya kau juga sudah membantuku. Kau tak perlu pindah ke Namwon hanya untuk
merawatku pasca operasi pendonoran itu.”
“Tidak... apapun yang kulakukan
untuk Paman, itu belum seberapa dibanding bantuan Paman untuk ayahku.”
“Goooool!!!!” riuh suara para
penonton dan siswa di lapangan saat si kulit bundar berhasil bersemayam di
gawang lawan. Hal itu sukses menarik perhatian Ah Ra, dia kembali menoleh ke
jendela untuk menyaksikan keadaan di lapangan.
“Si nomor punggung Sembilan lagi...
dia mencetak lagi...” gumam gadis itu.
“Oh... Park Seo Joon, dia memang
hebat,” sambung Pak Kim.
“Oh... jadi namanya Park Seo
Joon...”
♥♥♥
@Namwon 2016
Dari jauh Ah Ra melihat Seo Joon
yang sedang patroli. Polisi jangkung itu mengobrol dengan beberapa pejalan kaki
sambil tertawa akrab. Dia melihat jam tangannya dan berjalan pelan ke mobil
patrolinya, sepertinya jam kerjanya sudah berakhir. Ah Ra menyeberang jalan dan
menghampirinya. Seo Joon terkejut melihat Ah Ra yang tiba-tiba saja muncul di
hadapannya. Plaakkk... gadis itu sukses mendaratkan tamparannya untuk melepas
amarah yang ditahannya sedari tadi.
“Yaak...” Seo Joon yang ditampar
berusaha menahan emosinya dengan menguatkan rahangnya.
“Nappeum[2]!”
ucap gadis itu, perlahan air matanya menyeruak. “Apa sekarang kau sudah puas
setelah menghusirku dari kehidupanmu melalui pernikahan rekayasamu? Selamat...
kau berhasil membuat gadis yang pantas mati ini memohon maaf dan belas
kasihanmu sambil menangis dan merintih. Kuharap sekarang kau bisa hidup tenang
setelah dendam dalam dadamu telah terbayar lunas oleh air mataku! Kau
benar-benar kejam!” gadis itu berbalik pergi, dia menghapus air matanya dan
berjalan menjauhi Seo Joon. Dia kehabisan kata-kata berhadapan dengan pria itu,
sejujurnya dia sudah menyediakan banyak makian dan umpatan sejak di perjalanan
tapi semua itu hilang saat Seo Joon berdiri di hadapannya. Ciiittt.... bunyi
rem mobil mendadak, gadis itu hampir saja tertabrak.
“Yaak!! Kau mau mati ya?” bentak si
pengemudi pada Ah Ra.
“Apa kau bersedia membunuhku? Kalau
begitu lakukan saja! Aku juga sudah lelah dengan kehidupanku!” Ah Ra membalas
si pengemudi itu.
“Dasar gila!” umpat si pengemudi.
“Aku tidak gila! Tapi kurasa
sebentar lagi aku akan jadi gila... hiks...”
“Apa kau mabuk?!”
“Maaf... maafkan dia...” Seo Joon
segera menghampiri si pengemudi dan meminta maaf atas nama Ah Ra. Si pengemudi
terdiam saat seorang polisi menghampirinya, karena tak mau terlibat lebih jauh
dengan polisi diapun memilih langsung tancap gas dari tempat itu.
“Jangan menangis di tengah jalan
seperti ini...” Seo Joon menarik tangan Ah Ra untuk menepi.
“Lepaskan!” Ah Ra menolak pria itu.
“Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa aku pantas mati? Lalu kenapa kau
tiba-tiba peduli padaku?”
“Kau tahu dari mana?” tanya Seo
Joon, “Pertanyaan bodoh, tentu saja dari Ah Ra...” Seo Joon berbisik pada
dirinya sendiri.
“Yaak... kenapa kau sekejam itu?
Sungguh balasanmu ini membuatku sadar kalau dulu aku benar-benar menyakitimu.
Aku minta maaf untuk itu, kita sudahi permusuhan ini... kumohon
pertimbangkanlah hubungan baik yang dulu kita bina, bukannya kita sahabat?”
“Hubungan baik? apa kau yakin kita
bersahabat? Kau yang tidak bisa jujur padaku, kau yang menyembunyikan terlalu
banyak rahasia di belakangku, dengan sikapmu itu... aku sangsi bila kau masih
menganggapku sahabat.”
“Park Seo Joon... apa kau masih
penasaran apa yang kusembunyikan darimu? Apa kau masih bertanya-tanya kenapa
dulu aku menolakmu?”
“Tak perlu kau jawab sebab aku sudah
tahu... semua karena Pak Guru Kim...”
“Kau tahu dari mana?” Ah Ra
terbelalak kaget mendengar pengakuan Seo Joon.
“Huh... Cho Ah Ra, kau siswi jenius,
untuk hal sepele seperti ini... tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Kedekatanmu
dengannya pasti bukan karena hubungan guru dan murid biasa! Itu sudah jelas
terbaca!”
“. . .” Ah Ra tertunduk.
“Aku tidak menyalahkan apa yang
terjadi padamu, aku tidak pernah mau menyalahkan dirimu. Yang kusesali adalah
diriku yang bodoh, kenapa aku masih mengharapkanmu di saat aku sudah tahu
semuanya! Bodohnya lagi... sampai sekarang rasa itu masih sama. Dulu kau
mempermainkan perasaanku, dulu kau melukai hatiku, dulu kau membunuh harapanku.
Sepuluh tahun aku hidup bergelimang kekecewaan karena penolakanmu. Tapi kenapa
aku masih saja mengharapkanmu?! Aku tidak pernah menyangka bahwa aku
mencintaimu lebih dari yang kukira.”
“Seo Joon...” suara Ah Ra tercekat.
“Sepuluh tahun kurasa bukanlah waktu
yang singkat, seharusnya dalam rentang waktu selama itu aku sudah bisa
melupakanmu, tapi apa? Aku nyatanya tidak bisa melakukannya. Kuputuskan untuk
tetap bertahan, biarlah perasaan cintaku ini tetap hidup di dalam hatiku. Aku
hanya berharap suatu saat bisa jatuh cinta lagi pada wanita lain sehingga
perlahan-lahan aku bisa melupakanmu, tapi tiba-tiba kau kembali, kau datang
lagi ke kehidupanku. Kenapa? Kenapa kau harus datang di saat aku mulai terbiasa
tanpamu?”
“Kau datang dengan senyuman... kau
bertanya bagaimana keadaanku, kau benar-benar hidup dengan baik selama ini. Itu
membuatku marah! Di saat aku berjuang untuk menghapus kenanganmu... kau malah
hidup bahagia, bagiku itu tidak adil! Jahat bukan? Ya... aku begini karena
ulahmu juga!”
“Lima
tahun yang lalu... aku ke Seoul, di saat itu aku seperti orang yang hilang akal
karena begitu merindukanmu. Aku ingin menemuimu... aku ingin memintamu kembali
padaku, aku ingin memohon kepadamu untuk mencintaiku juga... aku benar-benar
ingin hidup bersamamu, tapi apa yang kulihat? Kau masih berhubungan dengan Pak
Guru Kim. Kalian bahkan mengajar di tempat yang sama! Dan yang paling membuat
hatiku ngilu... kalian memilih cincin pernikahan bersama. Saat itu... saat itu
aku merasa seperti orang bodoh, seperti orang yang mengharap salju turun di
bulan Juli, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin!”
“Tunggu...
selama ini kau menganggapku memiliki hubungan apa dengan Pak Kim?” Ah Ra mulai
bisa membaca jalan pikiran Seo Joon. “Apa kau masih mengira aku dan Pak Kim
saling menyukai?”
“Lalu
apa lagi?” balas Seo Joon.
“Yaak...
Park Seo Joon kupikir kau membenciku karena apa, ternyata karena hal ini. Kim
Jae Wook, Pak Guru kita, dia adalah pamanku. Ayahku mengidap leukemia dan Pak
Kim lah yang memberikan donor sum-sum. Hubungan kakek dan Pak Kim saat itu
masih kaku, aku menjadi penengah untuk mengakrabkan mereka. Kenapa aku
menyembunyikan kenyataan ini termasuk padamu... karena Pak Kim adalah anak
haram kakekku. Baek Jin Hee mengancamku akan menyebar cerita ini bila aku tidak
membuatmu menjauh dariku. Ayahku yang sedang dalam masa pemulihan pengobatan
kankernya, kakekku yang sedang berada dalam pengobatan strokenya... aku harus
melindungi mereka. Itulah pembelaanku untuk sakit hatimu sepuluh tahun yang
lalu.”
“Lima
tahun lalu Pak Kim menikah, dia memintaku memilihkan cincin yang cocok untuk
pernikahannya nanti, begitulah penjelasanku untuk sakit hatimu lima tahun lalu.
Aku tak akan menyalahkanmu untuk semua kesalahpahaman ini, semua karena ulahku
juga, ya... benar katamu, semua karena ulahku juga. Andai dulu aku lebih berani
berterus terang padamu mungkin kita tidak akan separah ini, saling menyakiti,
saling melukai.”
“Setelah
semua terbuka, setelah kita mengetahui kenyataan yang ada, kuharap kita bisa
saling memaafkan. Jalanilah kehidupanmu dengan tenang, singkirkanlah rasa
bencimu padaku. Aku tak ingin melihatmu menderita karena menanggung kebencian
itu. Bila memang sulit... pelan-pelan saja, setidaknya itu akan membantuku
menjalani hidupku dengan tenang juga.”
“Bebahagialah
Park Seo Joon... aku tulus mendoakanmu. Ah ya... satu lagi, jangan berprasangka
buruk padaku hanya karena aku diam dan baik-baik saja. Kau tak pernah tahu
berapa banyak rindu yang kutampung seorang diri selama kau jauh dariku,”
Ah Ra melangkah mundur dan berbalik arah meninggalkan Seo Joon yang bungkam.
Baginya
tak ada lagi yang dapat dimulai dengan cinta pertamanya itu. Oleh sebab itu dia
memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan cara baik-baik. Kebencian yang
dirasakan oleh Seo Joon sudah teramat dalam, mustahil merubahnya kembali
menjadi rasa sayang. Ponselnya berdering, dia menatap layarnya, dari ibu. Ah Ra
meringis...
“Iya
Ibu...”
“Yaaaak
Cho Ah Ra!!! Kau kabur lagi!!!” ibu mengoceh. Ah Ra menjauhkan telinganya dari
ponsel.
“Kenapa ibu menelpon di saat tidak tepat
begini?” keluh gadis
itu.
“Yaaak,
jangan jauhkan teleponmu, dengarkan Ibu!!” perintah ibu yang sepertinya sudah
hapal sekali kebiasaan putrinya. “Sampai kapan kau akan membuat ibu malu
seperti ini? Park Hyun Sik... apa kurangnya dia? Kau meninggalkannya begitu
saja...”
“Ah
ya... Park Hyun Sik, aku lupa. Aku berjanji aku akan meminta maaf padanya
begitu aku tiba di Seoul nanti. Aku benar-benar harus pergi Bu, ada urusan mendadak
yang harus kuselesaikan,”
“Memangnya
kau di mana sekarang?”
“Aku
sekarang di Namwon...”
“Apa
yang kau lakukan di sana? Urusan penting apa lagi di sana? Anak ini... ibu
hanya ingin melihatmu segera menikah apa susahnya bagimu? Memangnya pria
seperti apa yang kau cari? Pengusaha, guru, dan yang terakhir dokter... tapi
kau meninggalkan mereka semua dan kabur. Yaaak... katakan pada ibu pria seperti
apa yang kau inginkan agar ibu bisa mencarikannya untukmu!”
“Ibu
kumohon hentikanlah, sampai kapan ibu akan mengatur kencan buta untukku,”
“Sampai
kau menemukan pria yang kau inginkan! Ibu yang seharusnya memohon padamu,
sampai kapan kau mau kabur di setiap kencan buta yang ibu atur untukmu?
“Hiks....”
gadis itu menangis,
“Yaak...
Cho Ah Ra kenapa kau menangis?”
“Pria seperti apa yang kuinginkan? Ibu
tak perlu bersusah payah, toh dia telah menolakku,” jerit gadis itu dalam hati.
“Ibu
maaf... ibu sudah bersusah payah mengatur kencan itu untukku tapi yang ada aku
malah selalu merusaknya, aku janji... aku tidak akan membuat ibu malu lagi. Ini
yang terakhir kalinya aku kabur, aku janji. Aku akan menemui Park Hyun Sik dan
meminta maaf secara resmi padanya. Ibu terima kasih untuk...” pembicaraan Ah Ra
terputus saat ada yang merebut ponselnya. Park Seo Joon, pria itu merebut
ponsel Ah Ra dan langsung menyambung obrolan mereka.
“Anyeong haseyeo Ommoni[3]...
Saya Park Seo Joon, temannya Ah Ra saat di SMU Namwon dulu, apa anda masih
ingat?”
“Seo
Joon... apa yang kau lakukan? Kembalikan ponselku!” perintah Ah Ra. Gadis itu
mencoba merebut ponselnya kembali namun Seo Joon menggenggam tangannya seraya
menghalangi usaha gadis itu.
“Maaf
sebelumnya bila saya lancang tapi bolehkah anda berhenti mengatur kencan buta
lagi untuk Ah Ra? Saya mencintai putri anda sejak SMU dulu dan itu tidak
berubah sampai sekarang. Saya seorang polisi, Ibu tidak masalah ‘kan dengan
menantu seorang polisi?”
“Seo
Joon~a apa yang kau lakukan?!” Ah Ra bergidik.
“.
. . .” entah apa yang dikatakan ibu, Ah Ra tak dapat mendengar.
“Uhm...
maaf sudah membuat anda kaget, secepatnya saya akan menemui Ibu di Seoul untuk
membicarakan semua ini,”
“.
. . .”
“Kenapa
Ah Ra tidak cerita? Entahlah! Tapi terima kasih Ibu atas pengertiannya, aku
akan menutup teleponnya lebih dulu. Selamat malam!” Seo Joon memutuskan
sambungan teleponnya dan mengembalikan ponselnya pada Ah Ra.
“Mulai
saat ini jangan lagi menghadiri kencan buta itu sebab sudah ada aku untukmu!” perintah
Seo Joon. Ah Ra kaget terdiam dan hanya bisa menatap takjub pada pria yang saat
ini sedang menggenggam tangannya.
♥♥♥
“Apa
kau yakin akan pulang malam ini? Bermalam saja!” bujuk Seo Joon pada gadis yang
sedang berjalan di sebelahnya.
“Tidak...
ibu akan benar-benar marah bila aku tidak kembali malam ini juga. Bus terakhir
akan berangkat satu jam lagi, tak masalah bila aku tiba tengah malam di Seoul,”
jelas Ah Ra. Langkah mereka terhenti saat tiba di bukit kelinci. Ah Ra meminta
pada Seo Joon untuk dibawa ke bukit itu sebelum kembali ke Seoul. “Aku selalu
rindu dengan pemandangan malam di bukit ini. Bintangnya bertabur seperti
berlian,”
“Aku
juga sering ke tempat ini bila kesepian dan merindukanmu...”
“Mulai
saat ini, telepon aku bila kau rindu padaku. Jangan biarkan dirimu kesepian!”
“Ah
Ra~ya... mulai saat ini kau berjanjilah padaku, tak akan ada lagi rahasia yang
kau sembunyikan sebab aku pria yang mudah salah paham,”
“Hi
hi hi... aku janji. Dan kau ‘pria yang mudah salah paham’ juga harus berjanji
bila ada yang membuatmu gelisah dan bertanya-tanya... maka kau harus
menyampaikannya padaku. Sebab aku adalah wanita yang tidak sensitif,” ucap Ah
Ra. Mereka berdua tertawa cekikikan.
“Kalau
begitu... izinkan aku mengaku padamu, hal ini telah kusembunyikan selama
sepuluh tahun dan jujur membuatku gelisah selama ini,” Seo Joon serius menatap
Ah Ra.
“Apa?”Ah
Ra pun jadi tegang menanti pengakuan Seo Joon.
“Sore
itu... saat pertama kali kau membawaku ke bukit ini, di saat kau tertidur,
aku... aku....” Seo Joon jadi gagap, ucapannya jadi terbata-bata.
“Kau
menciumku?” Ah Ra menebak sendiri.
“Bagaimana
kau tahu?”
“Hehehee...
Park Seo Joon, bagaimana aku bisa tertidur di samping orang yang kusukai, yang
ada aku malah gugup. Aku hanya berpura-pura memejamkan mataku,”
“Jadi...”
“Uhm...
itu artinya kegelisahanmu selama sepuluh tahun ini jadi sia-sia...” tawa Ah Ra.
Tiba-tiba saja sebuah bintang jatuh terlihat jelas di langit malam. Ah Ra
terkejut,
“Kau
lihat? Kau lihat bintang yang jatuh? Kenapa tidak ada pemberitahuan di berita?”
Ah Ra jadi heboh sendiri. “Wuah... akhirnya aku bisa melihat bintang jatuh
bersamamu, ini seperti mimpi. Aku sudah mengharapkan ini sejak sepuluh tahun
yang lalu dan sekarang menjadi kenyataan,” gadis itu berceloteh sendiri. Seo
Joon hanya dapat memandang takjub pada gadis itu, dia juga tidak menyangka
bahwa hari ini akhirnya tiba, hari di mana Ah Ra dapat membalas perasaannya.
The End