Friday 4 November 2016

FF One Shot - Love Letter

I’m back after long time… ^^ baru-baru ini saya lagi ngikutin drama lama Answer Me  1997 serta on going drama Scarlet Heart Ryeo. Lagi kesem-sem sama actor Kang Ha Neul dan suka sekali tentang kisah perkenalan Ayah dan Ibunya Shiwon di Answer Me 1997. Karena dua pengaruh drama tersebut maka lahirlah cerpen Love Letter ini ^^. So… this isn’t original from me just remake but please enjoy and don’t forget to give me your respon or comment. Btw… thank you for reading.

   

Saat itu, tiga puluh tahun yang lalu, di akhir musim semi 1987. Sore itu langit kota Gyeongsang terlihat memerah, semburat jingga matahari tenggelam mewarnai indahnya kota. Meski suasananya begitu panas namun angin sepoi-sepoi bertiup menyejukkan keadaan. Para siswa SMU Gang An telah bubar sedari tadi meninggalkan rutinitas belajar yang melelahkan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.
Langkahku terhenti saat seorang pemuda menghadangku dengan sepedanya, tak ada senyum maupun kata sapaan terlontar dari bibir merahnya. Mata sipitnya yang sayu memandangku sebentar, dan langsung saja menyodorkan sebuah amplop merah jambu ke arahku.
“Untuk apa ini?” tanyaku heran.
“Itu untukmu!” jawabnya singkat, suaranya terdengar dingin dan berat. Hong Jong Hyun nama yang tertera sebagai pengirimnya saat kulihat amplop itu.
“Kau yang bernama Jung Hye Na, kelas 3B, SMU Gang An ‘kan?”
“Ya… kau benar!” jawabku. Dia menggunakan seragam yang berbeda denganku, itu artinya dia bukan siswa dari sekolahku. Lantas dari mana dia tahu tentangku? Dan lagi… name tag di seragamnya bertuliskan Kang Ha Neul, itu berarti amplop yang dia berikan padaku, bukanlah miliknya.
“Temanku menyukaimu, dia memintaku untuk menyampaikan surat itu padamu!” jawabnya lantang. Baru saja aku ingin membalas perkataannya, pemuda itu malah pergi, dia mengayuh sepedanya cepat meninggalkan aku yang tertegun di jalan kecil ini.

Begitulah aku bertemu dengannya, dia cukup dingin untuk remaja seumurannya. Dia membawakan surat cinta dari temannya untukku dan itu bukan sekali saja. Hal itu berlangsung beberapa kali.
“Ini untukmu!” ucapnya singkat, dia pergi begitu saja dengan sepedanya saat dia telah memastikan surat itu berada ditanganku.
“Ini untukmu!”
“Ini untukmu!”
“Ini untukmu!”
Hanya itu, sesingkat itu, setelah surat kuterima, dia pergi begitu saja. Suatu ketika, dia datang lagi. Dia berhenti menghadang jalanku, menyodorkan sepucuk surat bercover merah jambu,
“Ini untukmu!” ucapnya seperti biasa. “Kapan kau membalasnya? Temanku menanti balasan suratmu!” akhirnya… setelah sekian kali, diapun mengucapkan hal yang lain. “Pastikan untuk menulis balasannya, besok aku akan datang untuk mengambilnya darimu!”
“Tunggu…” hadangku saat baru saja dia akan mengayuh sepedanya, “Aku tak mengenal Hong Jong Hyun itu, bagaimana bisa aku menulis surat untuk seseorang yang tidak kukenal?”
“Dia tampan, kau tidak akan menyesal!” timpalnya.
“Bagaimanapun… aku ingin melihatnya!” aku bersikeras.

Sore itu… di bawah langit sore yang mulai memerah, pemuda si pengantar surat itu memberiku tumpangan sepedanya untuk menemui orang yang bernama Hong Jong Hyun. Aku duduk di belakang, memegang pinggangnya untuk menjaga keseimbangan, dan dia mengayuh sepedanya dengan sangat hati-hati.
 Dia membawaku ke tepi kota, di sebuah lapangan basket tempat para remaja penggemar olah raga di kotaku menghabiskan sorenya.
“Kau lihat pemuda berkaos biru di sana? Dia yang sedang mendrible bola, dialah orangnya!” jelasnya padaku. Aku memilih untuk melihatnya dari jauh, sekalipun tadi aku bertegas untuk melihat pria bernama Hong Jong Hyun itu, namun begitu akan berhadapan, entah kenapa nyaliku ciut.

“Kau sudah melihatnya, jadi pastikan kau membalas suratnya!” ucapnya saat mengantarku pulang. Di tengah perjalanan, langit yang tadinya indah berubah gelap. Hujan deras mengguyur kota begitu saja tanpa peringatan. Aku dan dia berteduh di bawah pohon beringin di sudut jalan. Lama kami terdiam menanti redanya hujan. Angin bertiup kencang disertai gemuruh, berulang kali aku menggosok telapak tanganku untuk menghangatkan tubuhku meski tidak membantu sama sekali.
“Pakai ini!” ucapnya memakaikan jaketnya kepadaku,
“Kau sendiri? Kau juga kedinginan ‘kan?”
“Bagaimana bisa aku membiarkan seorang wanita kedinginan?” jawabnya. Keheningan kembali menyeruak, entah kenapa dia sangat suka diam, berbeda denganku yang merasa diam justru membuat suasana menjadi kikuk.
“Ehm…. Kenapa kau bersedia menjadi kurir surat temanmu?” tanyaku memberanikan diri untuk mencairkan kebekuan di antara kami.
“Apa perlu kujawab?”
“Tentu saja! Saat seseorang bartanya padamu, kau harus menjawabnya!”
“Ayahku seorang pengantar surat, beberapa hari yang lalu beliau tertabrak motor dan pinggangnya terluka. Sebagai gantinya aku dan kakak laki-lakiku membantunya mengantarkan surat ke seluruh kota. Karena aku mengenal Jong Hyun, maka suratnya kujadikan antaran terakhir setiap kali dia mengirimnya ke pos.
“Oh… begitu… aku turut prihatin pada kondisi ayahmu, semoga beliau lekas sembuh.”
Hampir satu jam kami menunggu hingga hujan reda, baru setelahnya dia mengantarku sampai di depan rumah.
“Haneul~a terima kasih!” ucapku sambil melambaikan tangan kepadanya. Dia hanya menatapku sejenak, lalu pergi begitu saja. Aku mengerucutkan bibirku kecewa, seharusnya dia membalas ucapan terima kasihku, atau paling tidak memberi segaris senyum untukku. Dasar anak yang dingin.

Sore itu, seperti janjiku padanya aku menanti kedatangannya dengan sepucuk surat balasan.10 menit, 20 menit, 30 menit berlalu dia yang kutunggu belum juga datang, dia terlambat, ini sudah lewat dari jam biasanya dia menemuiku.  Matahari sudah hampir tenggelam ke peraduannya, kuputuskan untuk pulang saja. Mungkin dia sedang berhalangan atau apalah.
“Jung Hye Na!” seseorang memanggilku dari arah belakang, aku tersenyum, aku tahu betul siapa pemilik suara ini. Aku berbalik, senyumku hilang,
“Kau sakit?” tanyaku spontan. Wajahnya pucat dan matanya memerah.
“Hanya flu,” jawabnya singkat. “Kau membawa suratnya?”  tanyanya lagi.
“…” aku mengambil surat itu dari dalam tas dan menyerahkan kepadanya. “Jaketmu juga sudah aku cuci, terima kasih…” ucapku pelan seraya menyerahkan bungkusan kantong plastik putih padanya.
“Uhm… terima kasih. Aku pergi!” ucapnya pelan. Aku menatap punggungnya hingga akhirnya dia menghilang ditelan jalan. Semua karena diriku, dia terkena flu karena kehujanan mengantarku pulang bahkan dia memberikan jaketnya padaku.

Di awal pagi, aku memberanikan diriku menunggu di gerbang SMU Kwangsan. Beberapa murid yang lewat menatapku, entah apa yang ada di benak mereka, seorang siswi berseragam beda berdiri seperti menunggu sesuatu di depan sekolah mereka.
“Maaf… apa kau mengenal Kang Haneul aku tak tahu dia berada di kelas berapa?” kuberanikan diri menghadang seorang siswa.
“Oh… iya, dia siswa kelas 3A. tapi aku tidak sekelas dengannya. Dia yang sekelas dengannya…” tunjuknya pada seorang siswa yang baru lewat.
“Maaf… apa kau mengenal Kang Haneul? Katanya dia sekelas denganmu,” buru-buru kuhadang siswa yang lewat itu.
“Ah iya, Si Nomor Satu itu, ada apa memangnya?” jawab siswa itu.
“Aku ingin menitipkan sesuatu untuknya, tolong berikan padanya.”
“Ehm… entahlah, kalau dia datang ke sekolah hari ini aku akan memberikannya. Soalnya kemarin dia tidak masuk sekolah karena flu berat,”
“Benarkah?” aku seperti tidak percaya pada perkataan siswa itu. Bukannya kemarin Haneul datang menemuiku untuk mengambil surat itu setelah pulang sekolah walaupun agak terlambat. Argh… entahlah, aku memang tidak memperhatikan apakah dia menggunakan seragam atau tidak sebab tertutup jaket.
Apa Haneul datang hanya untuk mengambil surat dariku? Dia bahkan tidak ke sekolah karena sakit tapi tetap menyempatkan diri untuk menemuiku kemarin sore. Apakah surat balasan untuk temannya itu begitu barharga? Ah… anak itu sangat loyal pada temannya.

Di awal musim panas Gyeongsang 1987, seperti kebiasaan menjelang ujian akhir, kami mulai pulang malam. Aku cukup merinding saat berjalan pulang melalui jalan-jalan kecil apalagi teman-temanku tadi bercerita tentang hantu yang biasa menampakkan diri di ujung jalan.
“Jung Hye Na!!!”
“Ibu…Ibu…Ibu…” tiba-tiba saja aku menjadi latah setelah dikagetkan oleh panggilan seseorang.
“Kau kenapa?” Kang Haneul, pria itu muncul secara tiba-tiba, memanggil namaku dan membuatku latah seketika.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membuatku kaget?!” aku memukul-mukul bahunya.
“Apa kau takut?” dia geli melihatku gemetar.
“Tidak! Siapa yang takut?!” kilahku, hal itu malah membuatnya tertawa.
“Naiklah… aku akan mengantarmu pulang,” tawarnya untuk tumpangan sepedanya.

Dia mengantarku sampai di depan rumah, aku dapat melihat wajahnya dari bantuan cahaya lampu jalan. Dia tidak pucat lagi, sepertinya kesehatannya telah kembali.
“Mana suratnya?” tanyaku sambil mengulurkan tangan untuk meminta.
“Surat?” dia malah balik bertanya bingung.
“Bukannya kau datang menemuiku untuk memberikan surat?”
“Apa kau sangat menanti surat balasan darinya?” dia terlihat kecewa.
“Lalu untuk apa kau menemuiku?” tanyaku.
“Untuk berterima kasih, kata temanku ada seorang siswi berseragam SMU Kang An menitipkan bubur abalone dan obat flu herbal untukku…”
“Ah… itu…” aku tertunduk malu, “Apa kau suka? Aku belum mahir memasak, makanya aku agak ragu…”
“Aku suka… masakanmu enak dan obat flu herbal darimu sangat manjur. Terima kasih,”

Malam itu aku tak dapat memejamkan mataku, pujian Haneul entah kenapa membuatku seakan melayang. Ini bukan pertama kalinya aku membantu seorang teman pria dan bukan pula untuk pertama kalinya seorang pria berterima kasih padaku. Tapi kenapa aku tidak merasakan hal yang sama saat teman-temanku mengucapkan terima kasih padaku? Ah… sudahlah, pertanyaan ini tak mungkin ada jawabannya.

“Jung Hye Na!” panggilan itu… suara itu… kurasa aku mulai terbiasa.
“Naiklah…” pintanya.
“Apa kau juga tak ada pelajaran tambahan?” tanyaku, hari ini guru yang akan memberi pelajaran tambahan berhalangan hadir hingga kami dapat pulang cepat.
“Ada!”
“Apa? Lalu kenapa kau bolos?”
“Entahlah… aku hanya lelah belajar, bagaimana kalau kita singgah makan es krim? Aku yang traktir,”
“Tentu saja! Kau yang mengajakku, maka kau yang harus traktir!” balasku. Aku dapat melihat senyumnya, padahal saat pertama kali berkenalan dengannya kupikir dia tidak dapat tersenyum.

Kami menikmati es krim di tepi jalan sambil memandang indahnya langit malam. Dia menunjukkan beberapa rasi bintang padaku meski aku tidak begitu mengerti.
“Haneul~a… bagaimana bisa temanmu menyukaiku padahal kami tidak saling mengenal?” pertanyaanku membuatnya berhenti berceloteh, sejenak dia menatapku kemudian mengalihkan pandangannya ke langit malam.
“Tahun lalu saat festival lomba seni dan sains bukannya sekolahku menjadi tuan rumah. Saat itu kau mewakili sekolahmu untuk pidato bahasa inggris, dia tergila-gila padamu saat melihatmu di podium apalagi kau berhasil menjadi juara pertama. Ah… padahal dia sendiri tidak dapat apa-apa,” 
“Benarkah? Hanya karena itu?” aku tertawa geli. “Lalu kau sendiri… apa kau juga menyukai seseorang?” pertanyaanku membuatnya terdiam sesaat,
“Entahlah… aku terlalu sibuk belajar hingga tidak pernah memikirkan hal itu,” jawabnya enteng.
“Kesimpulannya… kau tidak menyukai siapa-siapa?”
“Ah… aku tidak ingin membahas hal itu,” dia mengelak,
“Kenapa? Remaja seusia kita memang wajar jatuh cinta, temanmu saja sudah jatuh cinta lalu bagaimana denganmu?”
“Ayo kita pulang, ini sudah malam!” dia segera mengambil sepedanya,
“Jangan mengelak, kalau kau menyukai seseorang aku juga bersedia membantumu menyampaikan surat cintamu!”
“Diamlah, itu tidak perlu!”
“Jadi benar kau sedang jatuh cinta?” entah mengapa aku begitu penasaran. Dia memilih mengabaikanku, tidak menjawab pertanyaanku.
“Atau jangan-jangan kau… gay?”
“Yaak!” suaranya naik satu oktaf. 
Tiba-tiba,
“Awaas…” serunya, saat kusadari aku telah berada dalam dekapannya. Sebuah mobil melaju kencang dan hampir menyerempetku sehingga spontan dia melindungiku.
Jantungku berdegup kencang, seperti de javu, ini pertama kalinya aku begitu dekat dengan seorang pria bahkan sampai dapat mendengar degup jantungnya. Pandangan mataku beradu dengannya, untuk sepersekian detik napasku terhenti saking kagetnya. Aku pun tanpa sadar mendorongnya menjauh.
“A…ayo kita pulang!” pintaku dengan suaraku bergetar. Karena kejadian itu, kami hanya terdiam sepanjang jalan. Aku kehilangan segala ide untuk mencairkan suasana mungkin karena terlalu kaget.

 
Sore ini dia datang lagi, bahkan lebih cepat dari biasanya. Dia berdiri tersandar di gerbang sekolahku, pandangannya kosong menatap tanah kering yang dipijaknya. Aku tidak suka melihat ekspresinya, entah kenapa aku merasa dia membawa berita buruk untuk kudengar.
“Haneul…” panggilku pelan dan itu membuatnya seakan kembali pada kesadarannya, dia menatapku sejenak kemudian membuka tasnya untuk mengeluarkan sepucuk surat beramplop merah jambu.
“Dia mengajakmu kencan… sabtu malam nanti,” ucapnya lemah.


Sabtu malam itu tiba, kulihat seorang remaja seusiaku berdiri di depan bioskop Gyeongsan. Anak laki-laki yang pernah ditunjukkan Haneul padaku, siswa berkaos biru yang sedang mendrible bola.
“Kau sudah datang…” ucapnya pelan saat menyadari kedatanganku. Dia menggaruk kepalanya yang menurutku tidaklah gatal. Ciri khas seseorang yang sedang berusaha mengurangi rasa gugupnya.
“Maaf aku terlambat,” jawabku lemah.
“Ah… tidak masalah, masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum filmnya diputar. Kita bisa membeli popcorn dan minuman dulu…”
Aku seperti merasakan kehadiran Haneul, sayangnya setelah melihat ke segala arah, aku tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa hatiku terasa kosong padahal Jong Hyun sudah begitu baik padaku.

Musim gugur Gyeongsang, 1987. Meski matahari bersinar cerah, dingin masih tak dapat kucegah. Kurapatkan mantel yang dibelikan kakakku dari Seoul. Musim gugur telah tiba sejak sebulan yang lalu, suhu sudah mulai menurun, pepohonan juga telah berganti warna. Sejak ajakan kencannya itu, Jong Hyun lah yang kini datang menjemputku saat pulang sekolah. Haneul… aku tak pernah lagi melihatnya. Aku tak lagi dapat mendengar suaranya, lucunya… setiap kali mendengar bunyi sepeda dikayuh, aku spontan berbalik dan berharap itu temanku, Haneul… ya… temanku, Haneul hanya temanku.  
Aku mungkin tak dapat menutup mata… bahwa pada kenyataannya dia masih sering mengunjungiku. Sayangnya dia hanya memandangku dari jauh, dia tak datang menyapaku lagi. Bila jemputan Jong Hyun tiba, maka diapun berbalik arah meninggalkan tempatnya berdiri mengamatiku.

Dalam perjalananku ke halte bus, seorang siswa berseragam SMU Kwangsan berhenti di hadapanku dengan sepeda tuanya. Mata sayunya menatapku sejenak kemudian terlihat sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya. Kang Haneul… kupikir aku tak dapat melihatmu lagi, betapa aku sangat merindukanmu. Kemana saja kau beberapa minggu ini? Apa karena Jong Hyun yang selalu datang padaku hingga kau memutuskan pertemanan kita. Atau karena kau terlalu sibuk belajar hingga tak punya waktu untuk bermain bersamaku? Siswa nomor satu sepertimu mungkin dapat melakukan itu.
“Ini untukmu…” ucapnya sambil menyodorkan sepucuk surat pink pastel.
“Untuk apa surat ini…” heranku dengan kening berkerut. “Bukannya Jong Hyun bertemu denganku setiap hari jadi untuk apa dia mengirimkan surat ini?” lanjutku.
“Itu bukan dari Jong Hyun, itu dariku!” jawabnya lantang.
“……” aku terperangah menatapnya.
“Mungkin kau butuh waktu untuk membalasnya, maka aku akan menunggu,” ucapnya sebelum dia menghilang dari pandangan mataku. Kutatap amplop pink pastel di tanganku, aku sungguh tak tahu harus bereaksi apa.

“Apa kita tak dapat menjadi pasangan? Kurasa aku benar-benar jatuh cinta kepadamu.” Begitulah tulisannya, hanya terdiri dari dua kalimat namun sanggup membuatku menitikkan air mata.

Malam itu, usai pelajaran tambahan, Jong Hyun menjemputku seperti biasa. Masih segar dalam ingatanku, wajah kecewanya saat meninggalkanku pergi. Aku berterus terang kepadanya, aku telah mencintai orang lain. Ini mungkin sulit baginya, ini pun sangat sulit bagiku, aku tak pernah berpikir untuk mempermainkan perasaannya. Namun hatiku berontak dan memohon untuk tidak berbohong kepadanya bahwa aku memang tidak memiliki perasaan apa-apa untuknya.

“Jung Hye Na!!!” seseorang memanggilku dari belakang, suaranya begitu familiar di telingaku. Malah jujur kuakui aku begitu merindukan panggilan itu. Suara yang tidak lagi kudengar sejak berminggu-minggu yang lalu, suara Kang Haneul.  
“Kau dari mana saja? Aku lama menunggumu di gerbang sekolah. Kau tahu… aku menolak Jong Hyun yang menjemputku dengan mobilnya demi dapat berboncengan dengan sepeda tua itu…” tiba-tiba saja suaraku menghilang teredam oleh kecupannya. Ya… dia mengecup bibirku, begitu lembut hingga terasa begitu hangat di tengah udara dingin malam ini.
Kau harus menyayangiku… kau harus membuatku bahagia, aku memutuskan bersamamu dan meninggalkan Jong Hyun meski aku tahu cinta kalian sama besarnya terhadapku. Maka jangan pernah menyakitiku, jangan pernah membuatku kecewa karena telah memilihmu.

“Kini… setelah 30 tahun berlalu Ibu masih menyimpan surat cinta dari ayah… ah… romantis sekali!” seru putri sulungku sambil menatap haru pada amplop lusuh yang kupegang, aku hanya tersenyum membelai rambutnya.
“Ibu… andai dulu ayah tidak memberi surat ini kepadamu, mungkin Ibu akan menikah dengan Paman yang bernama Jong Hyun itu, itu artinya aku tidak akan lahir!”
“Untungnya ayahmu seorang pemberani!” bisikku di telinganya. Kami berdua cekikikan hingga pintu tiba-tiba terbuka.
“Apa kalian sudah selesai?” Tanya suara itu,
“Dokter Kang… aku sayang padamu!” Ha Na berhambur memeluk ayahnya,
“Ada apa dengan putriku ini? Kenapa tiba-tiba dia manja begini?” Haneul bertanya padaku dan keheranan. Aku hanya menggeleng mengisyaratkan tidak tahu apa-apa.

“Ayah… kenapa lama sekali? Aku bisa terlambat kalau begini!” putra bungsuku protes dari lantai bawah.
“Dengar adikmu sudah memberi peringatan, jangan buat di bad mood di hari penamatan SMP-nya,” ucap Haneul putrinya.
“Ha Jun kau cerewet sekali!” balas kakaknya yang segera menyusul ke bawah.

“Surat itu… kau masih menyimpannya?” tegur Haneul saat melihatku mengembalikan surat 30 tahun yang lalu ke tempatnya.
“Uhm… ini hartaku yang sangat berharga!” jawabku lantang.  



The End

Friday 1 April 2016

FF - My Time With You - Preview






“Hiks… syukurlah Bibi menemukanmu. Beberapa hari yang lalu Bibi pulang ke Daegu untuk mengikuti reuni akbar teman-teman SMA Bibi. Dari mereka lah Bibi tahu ibumu baru saja meninggal dan Bibi yakin kau sedang kesusahan. Bibi mencari alamat dan nomor teleponmu dengan berbagai cara yang Bibi bisa, dan akhirnya Bibi berhasil…” 

Nah… inilah kamarmu, Bibi harap kau suka,” 

“Bibi… kamar ini sangat bagus. Aku benar-benar berterima kasih,” 

“Ibu… kami pulang!!!”

“Itu putraku Dae Han. Ayo turun dan kuperkenalkan denganmu,” 

“Halo… namaku Yoo Jin Hee, senang bertemu denganmu Dae Han,” “Dae Han punya Kakak?”

“Hae Jin~a inilah Jin Hee yang Bibi ceritakan itu. Syukurlah dia mau menerima tawaran Bibi untuk tinggal bersama kita…” 

Oraenman ine [1]… selamat datang di rumah kami,”

“Oh… tunggu, apa kalian saling mengenal?”

“Saat SMA, kami sekelas!”

“Park Hae Jin… kenapa kau selalu muncul dalam pikiranku. Berhentilah mengganggu tidurku,” 
“Yoo Jin Hee… kau hebat, kau bisa jadi penulis puisi yang handal!” 
“Waah….”
“Suit…suit…”
“Bwahahaaa….”
“Heh… kau cukup berani, kau tahu siapa Hae Jin ‘kan? Anak buruh bangunan dan tukang cuci sepertimu yang masuk ke sekolah elit ini lewat rasa kasihan sponsor tentu tidak pantas untuk Hae Jin.”
“Kembalikan bukunya!” 
“Apa kau melindunginya?” 
“Sebentar lagi guru masuk, jangan buat keributan!… dan lagi, mungkin di rumahnya tidak ada cermin. Bagi kalian yang ingin berdonasi, sumbangkanlah kelebihan cermin di rumah kalian untuknya!” 

“Nasibmu benar-benar malang, di saat kau mendapat tumpangan di rumah orang, eh… malah kau harus seatap dengan orang yang telah mempermalukanmu,” 



[1] Lama tak berjumpa


Wednesday 30 March 2016

FF Secret - Part 2




Sebelumnya di Secret - Part 1

Aku hanya dapat duduk dan terisak sedangkan Dae Won sibuk mengemasi barang-barang kami. Dia bilang kami harus meninggalkan kota ini. Ibuku pasti sudah mengetahui keberadaan kami hingga kabur akan menjadi satu-satunya pilihan. Kami membawa barang seadanya dan segera ke terminal bus. Tak lupa dia juga menyamarkan penampilan kami agar tidak dikenali orang-orang. Saat ini poster pencarian kami pasti telah beredar luas di mana-mana, bila tidak hati-hati maka pasti kami akan tertangkap.

Di tengah perjalanan, bus yang kami tumpangi terhenti karena ada pemeriksaan polisi. Aku mulai was-was, aku takut kalau kami akan tertangkap. Dae Won memegang erat tanganku, tangannya terasa lebih dingin di udara yang memang dingin ini. Dae Won memberi aba-aba untuk turun dari bus diam-diam, aku mengikuti apa yang diperintahkan olehnya. Keadaan yang mulai gelap sangat membantu kami pergi dari bus tanpa terpergok oleh petugas kepolisian.

Udara semakin dingin, kepalaku terasa pusing dan penglihatanku berkunang-kunang.
“Kau demam!” ucap Dae Won panik sesaat setelah menyentuh dahiku. “Aku harus membawamu ke rumah sakit…”
“Jangan… kita bisa tertangkap bila pergi ke rumah sakit,” tolakku
“Tapi kau sedang sakit, bagaimana bila terjadi sesuatu padamu?”
“Aku akan baik-baik saja, ini mungkin hanya flu biasa. Pergilah ke toko dan belikan obat herbal. Aku akan baik-baik saja setelah meminumnya,” pintaku. Dia menurut, dia segera berlari mencari toko terdekat. Malang tak dapat ditolak, dari jauh kulihat mobil patroli polisi melintas. Tidak… dia bisa tertangkap, aku tak mau dia tertangkap. Kulangkahkan kakiku walau terasa berat, kepalaku sungguh seperti akan pecah.
“Yeobo… yeobo…” kukerahkan semua sisa suaraku, berharap dia dapat mendengarnya. Dia berbalik melihatku,
“Tae Rin~a…”
“Pergi… pergilah…” pintaku. “Lari… pergilah jauh, jangan biarkan dirimu tertangkap,” aku terjatuh di sisi jalan, aku kalah oleh keadaan lemahku ini. Apa yang tak ingin kulihat, akhirnya kulihat juga. Kebahagiaan yang baru saja kutiti bersama suamiku berakhir malam ini. Dia tertangkap oleh polisi patroli, mereka memukulnya hingga tidak berkutik. Wajahnya dipukulkan ke aspal dan tangannya segera diborgol. Di tengah kesakitan yang diterimanya, dia masih sempat berteriak meminta pertolongan untuk istrinya.
“Istriku… tolong bawa dia ke rumah sakit, dia sedang sakit, kumohon…” pelasnya.
***
  Aku terbangun dengan aroma obat yang menyengat. Kulihat sekantong infus mengalir tetes demi tetes ke dalam tubuhku melalui selang berjarum. Kepalaku masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, aku seperti orang yang mengalami amnesia.
“Kau sudah bangun…” ucap seseorang dengan datar. Suara itu… suara yang sejak tiga bulan yang lalu tidak pernah lagi kudengar. Suara ibuku yang sejujurnya sangat kurindukan.
“Ibu…” lirihku.
“Kau masih berani memanggilku ibu?”
“Maaf…”
“Kau meninggalkan pesta pernikahanmu begitu saja demi seorang pembunuh, ibu sungguh tidak mengerti apa yang ada di kepalamu,” ucap ibuku. Benar… Dae Won… aku baru ingat, di mana dia? Terakhir kali kulihat para polisi itu memukulnya seperti binatang.
“Suamiku… di mana dia?”
“Berhentilah menyebut namanya, Ibu sungguh tak tahan setiap kali kau menyebut nama pembunuh itu!”
“Ibu… kumohon, seumur hidupku aku telah menjadi anak yang berbakti kepadamu. Aku mengikuti semua yang ibu inginkan. Aku bahkan tidak pernah meminta apa-apa darimu, tapi kali ini aku sungguh ingin hidup bersamanya, biarkan kami bersama…”
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan? Sadarlah Tae Rin… dia seorang pembunuh. Dia membunuh ayahmu, bagaimana bisa kau hidup dengan iblis seperti dia!”
“Ibu cukup! Delapan tahun dia membayar kesalahan itu di dalam penjara…”
“Itu belum cukup! Satu nyawa melayang dengan hukuman hanya delapan tahun penjara, itu belum cukup,” bentak Ibu padaku.
“Di mana suamiku sekarang?” aku mengalihkan pembicaraan. Kurasa berdebat dengan ibu mengenai masalah ini tidak akan berujung pangkal.
“Di mana lagi selain di tempat paling cocok untuknya, penjara!” jawab Ibu lantang.
“Penjara? Kesalahan apa lagi yang dia lakukan Bu? Menculikku? Jangan bercanda Bu, aku ikut dengannya dalam keadaan sadarku. Tak ada paksaan ataupun ancaman, kumohon jangan menyiksa pria malang itu lagi…” isakku. Aku bangkit, dengan sisa tenagaku aku berusaha turun dari ranjang rawatku. Tanganku terhalang oleh selang infus, akhirnya kulepas begitu saja, aku harus melepaskan suamiku. Dia tidak bersalah, dia tak boleh dipenjara lagi.
“Kau mau ke mana? Yaak… Lee Tae Rin kau jangan bodoh!” bentak Ibu dan mencoba menahanku. Aku mencoba melawan meski dalam keadaan lemahku dan entah apa yang terjadi, perutku tiba-tiba sakit. Sakit yang tak tertahankan hingga membuatku tergeletak tak berdaya di lantai.
“Tae Rin~a… kau kenapa?” Ibu terlihat panik. “Kenapa dengan perutmu?” aku hanya dapat meringis mencoba menahan sakit. “Darah… darah…” Ibu jadi panik saat melihat darah, bergegas Ibu menekan tombol darurat sehingga beberapa saat kemudian dokter dan perawat datang. 

Perih itu kembali lagi… aku meringis lemah dan terbangun. Tiba-tiba saja kulihat Dae Won duduk di sampingku. Kupejamkan mataku, bahkan di saat sakit yang terasa nyata kurasakan, aku masih dapat bermimpi melihat Dae Won ada di sisiku.
“Ini aku… aku bukan mimpimu,” bisiknya lembut. Segera kubuka mataku, memandangnya lekat-lekat, dia menggenggam tanganku. Dia menggunakan borgol, hiks… dia benar-benar nyata. Borgol di tangannya menjadi bukti bahwa aku berada di alam nyataku.  “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya lemah. Aku ingin bangun dan memeluknya, melihat wajahnya penuh luka dan lebam aku benar-benar tak tahan untuk tidak menangis.
“Kenapa mereka kejam sekali…” isakku.
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Polisi tiba-tiba memberitahuku bahwa keadaanmu kritis dan mengizinkan aku untuk menjengukmu… Tae Rin~a… aku benar-benar takut terjadi sesuatu padamu, kau harus sehat!”
“Aku tak tahu apa yang terjadi, aku bertengkar dengan ibu dan tiba-tiba saja perutku sakit…” ceritaku terhenti saat melihat pintu kamarku terbuka, Dokter Han dan seorang perawat masuk.
“Bagaimana perasaanmu Tae Rin?” Tanya Dokter Han penuh keakraban. Beliau adalah dokter keluarga kami.
“Aku masih merasakan perih dan kehilangan begitu banyak tenaga,”
“Apa yang terjadi pada istriku Dokter?”
“Aku menyesal mengatakan ini pada kalian… tapi semalam Tae Rin mengalami keguguran. Kondisi janin yang masih terlalu muda dan demam tinggi yang kau alami, membuat calon bayimu tidak dapat bertahan. Kalian harus tabah,” tutup Dokter Han lalu meninggalkan kami.
“Hiks… hiks…” aku tak dapat berkata-kata lagi.
“Tae Rin~a… kau harus kuat,” Dae won mencoba menenangkan aku.
“Aku bahkan tidak tahu bahwa aku sedang hamil…” aku menangis sejadi-jadinya. Dae Won memelukku, mencoba menenangkanku. Aku ingin marah, aku ingin melampiaskan semuanya… tapi marah pada siapa? Ini salahku yang terlalu ceroboh pada kesehatanku.
Aku masih terisak saat ibu masuk ke ruanganku, ini pertama kalinya ibu berhadapan langsung dengan Dae Won setelah persidangan delapan tahun silam.
“Ibu turut bersedih atas apa yang kau alami, bagaimana pun juga janin itu adalah calon cucuku tidak peduli siapa ayahnya…”
“Ibu… cukup, kurasa sudah saatnya ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi…” ucapku lantang.
“Tae Rin~a…” Dae Won sepertinya tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Aku sakit… hatiku sakit setiap kali mendengar orang-orang menyebutmu pembunuh,” air mataku mengalir, Dae Won menggeleng dan mengenggam tanganku layaknya sedang memohon.
“Aku telah kehilangan calon bayiku, Tuhan pasti sedang menghukumku karena tidak berani jujur. Entah apa lagi yang akan hilang dariku bila aku tetap diam.”
“Tidak…” tolak Dae Won.
“Ibu… Dae Won… tidak pernah membunuh siapapun…”
“Tae Rin… kita sudah sepakat untuk merahasiakan ini, kenapa kau melanggar janjimu?!” Dae Won masih berusaha membujukku.
“Aku yang membunuh ayah, akulah pelakunya!” ucapku lantang.
“Tidak… tidak… apa yang dia katakan bohong Nyonya, Tae Rin hanya sedang shock hingga bicara sembarangan seperti ini,”
“Kita tidak perlu diam lagi. Kurasa sudah saatnya dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi,” cegatku pada Dae Won.
“Apa maksudmu?!” ibu kaget dan kebingungan.
“Tidak… kau tidak melakukan apapun…” Dae Won mencoba meyakinkan Ibuku.
“Hiks… jangan lagi… berhentilah berbohong demi melindungiku Yeobo…” isakku. “Aku membunuh bajingan itu dengan tanganku sendiri, aku membunuhnya karena dia ingin memperkosaku,” lanjutku. Dae Won panik, dia memelukku berusaha untuk menutup mulutku. 
“Apa?” Ibu kehabisan kata-katanya. Aku berusaha melepas pelukan Dae Won agar tetap dapat bersuara,
“Aku tak prnah menganggapnya sebagai ayah, aku hanya punya satu ayah dan dia telah meninggal saat usiaku masih kecil,”

Delapan tahun yang lalu
            “Aku pulang…” ucapku lemah.
“Ah… kau sudah pulang… ibumu sedang keluar kota mungkin besok baru kembali,” aroma soju begitu pekat tercium, pria ini… ini masih terlalu sore untuk mabuk-mabukan.
“Yaak… kenapa kau hanya diam saja setiap kali kuajak bicara? Apa karena aku hanya ayah tirimu sehingga kau tidak perlu menghormatiku?” dia menarik tanganku.
“Lepaskan tanganmu, aku sangat lelah setelah ujian tadi,”
“Huh… untuk apa kuliah terlalu tinggi kalau akhirnya kau menghabiskan hidupmu menjadi budak suamimu kelak,”
“Itu masih lebih bagus dibanding menjadi parasit dalam keluarga orang lain…”
“Yaak… kau bicara apa? Kau menghinaku?”
“Apa aku menyebut namamu?”
“Ha… ha… tapi ternyata ibumu menyukai parasit sepertiku,”
“Kau bangga menjadi parasit? Hidupmu benar-benar menyedihkan. Aku tahu kau sengaja menikahi ibuku untuk membuat hidupmu tidak kekurangan. Kau bebas berfoya-foya dengan uang ibuku, berjudi dan mabuk-mabukan bersama pelacur di bar. Kau tahu… kau pria yang paling menyedihkan yang pernah kulihat!”
“Yaak…” pria itu mengayunkan tangannya hendak memukul.
“Tuan…” tiba-tiba Dae Won muncul membawa sebuah karton berisi buah. Kehadirannya menyelamatkan aku sementara, “Di mana saya harus menyimpan ini?” lanjutnya.
“Simpan saja di dapur bodoh, untuk apa bertanya lagi!” bentak pria itu. Aku segera masuk ke kamarku, sejujurnya aku malu ketahuan bertengkar dengan pria parasit itu. Dae Won tak perlu bertanya lagi di mana dia harus menyimpan buah karena memang dia tahu tempatnya, aku yakin dia melakukannya untuk melindungiku dari pukulan pria parasit itu.

Aku merasa lumayan segar setelah mandi, ujian di kampus tadi benar-benar menguras tenagaku. aku segera berpakaian saat kudengar ada bunyi mencurigakan di depan kamarku. Alangkah kagetnya aku saat mendapati pria itu sedang mengintip lewat lubang kunci pintu kamarku.
“Ahjussi… kurasa ini sudah keterlaluan. Jangan hanya karena kau mabuk lantas aku akan mengabaikan perbuatanmu itu!”
“Tae Rin~a… sejak kapan kau menjadi seorang gadis cantik? Padahal serasa baru kemarin kau berlarian menenteng bonekamu dengan rambut dikepang dua…” orang itu mulai berani menyentuhku.
“Yaak… jaga sikapmu!” ancamku.
“Kau bahkan lebih cantik di saat marah seperti ini…” tak disangka dia langsung memelukku dan berusaha menciumku.
“Lepaskan!” bentakku. Bagaimana pun, dia adalah seorang pria. Kekuatannya terlampau besar untuk kulawan. Aku meronta, berusaha berteriak namun dia menyumpal mulutku. Dia berhasil merobek bajuku, kepalaku beberapa kali dia pukulkan ke dinding. Sejenak penglihatanku kabur, kepalaku seperti akan pecah. Tidak… aku tidak boleh kehilangan kesadaran, semua akan berakhir bila aku pingsan.
“Nona… Nona… apa yang terjadi?” sayup-sayup kudengar seseorang menggedor-gedor pintu. Itu suara Dae Won. Pria brengsek di hadapanku ini ternyata telah mengunci semua pintu, dia memang telah merencanakan hal ini.
“Kau terlalu sombong, aku ingin lihat sampai kapan kau akan mengangkat kepalamu bila masa depanmu telah kuhancurkan,” pria itu mulai membelai wajahku, dengan sisa tenaga yang kupunya, kuraih vas bunga di dekatku dan memukulkannya ke kepalanya.
“Auww…” pria itu meringis, kepalanya mulai berdarah. Aku mencoba melepaskan diri, aku berusaha berlari membukakan pintu untuk Dae Won, berharap dia dapat menolongku. Ternyata alkohol membuat pria itu kebal pada pukulan, dia menjambak rambutku dan menamparku berkali-kali.
“Nona… buka pintunya!” di luar sana Dae Won masih terus berteriak. Aku terhempas di lantai, mataku tertuju pada gunting yang terjatuh di kaki lemari. Saat pria itu mendekat, kutancapkan gunting itu ke perutnya. Dia tersungkur, tak sampai di situ saja, kutusukkan gunting itu berkali-kali ke perutnya. Aku tak lagi menyadari darahnya yang terpercik ke wajahku, yang kuingat hanyalah aku ingin orang ini mati.

Dae Won berhasil masuk ke rumahku, kurasa dia masuk dengan memecahkan kaca jendela. Tapi semua sudah terlambat, pria di depanku sudah tidak bernyawa lagi. Aku membunuhnya… aku telah menjadi seorang pembunuh.
“Dae Won~ssi…” ucapku gemetar, “Aku membunuhnya, dia mencoba menodaiku,” Dae Won merebut gunting yang kugunakan untuk menusuk orang itu,
“Tidak… kau tidak pernah membunuhnya, akulah yang membunuhnya!” ucapnya padaku.

Dae Won pada akhirnya divonis atas tuduhan pembunuhan tak disengaja, dia kalap membunuh karena ketahuan mencuri. Begitulah scenario yang diakuinya demi menyelamatkan aku.  Dia dihukum dengan kurungan penjara selama dua belas tahun namun mendapat remisi atas kelakuan baiknya selama di penjara.

“Akulah yang membunuh suamimu Ibu, Dae Won justru melindungiku, dia menggantikan aku untuk menjalani hukuman penjara itu. Dia menukarkan kebebasannya selama delapan tahun demi kebebasanku. Ibu selalu bertanya… apakah aku sudah gila karena mencintai orang sepertinya, kurasa kini ibu tahu jawabannya…”
“Dimana lagi aku bisa mendapatkan seorang pria yang rela kehilangan masa depannya demi melindungi seorang pembunuh sepertiku,”
“Hik… hiks… Hu… hu…” ibu terduduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya.



The End

Tuesday 29 March 2016

FF Secret - Part 1




Mentari bersinar cerah pagi ini, aku menanti dalam cemas dan gugup. Delapan tahun telah berlalu dan entah mengapa hal itu masih terekam jelas dalam memoriku. Selang beberapa saat, seorang pria akhirnya keluar dari dalam tembok raksasa itu. Rambutnya lumayan panjang untuk ukuran seorang pria, matanya sayu menatap dunia luar yang baru dia dapati lagi setelah delapan tahun terkurung di balik dinginnya jeruji penjara.
“Dae Won~ssi…” sapaku pelan. Dia berbalik ke arahku, menatapku dingin, kemudian pergi menjauh.
Aku hanya dapat mengikutinya dari belakang, mengejar langkah kecilnya yang bagiku terlalu cepat mungkin karena dia cukup tinggi. Aku tak akan memaksanya, aku akan menunggunya hingga akhirnya dia mau menerimaku kembali. Setidaknya hanya sebagai rekan yang prihatin pada keadaannya.
“Berhentilah mengikutiku, apa kau tak punya kegiatan lain?” tegurnya. Mungkin karena dia sudah lelah melihatku yang terus mengekor di belakangnya.
“Kau mungkin belum makan apa-apa sejak pagi tadi, ayo makanlah bersamaku…” ajakku. Dia mengacuhkanku, diteruskan langkah jenjangnya sampai terdengar bunyi aneh dari perutnya. Aku tersenyum tertunduk, dia benar-benar sangat lapar pikirku.

Dia makan dengan lahap semangkuk sup udon, aku hanya dapat terkesima melihatnya. Dalam hatiku terbit seberkas rasa kasihan, dia pasti tak pernah makan makanan seperti ini selama di penjara.
“Apa kau sudah memiliki tujuan?” tanyaku pelan. Sebisa mungkin aku harus mengontrol bahasaku, aku tak boleh membuatnya merasa tersinggung. Dia terdiam sejenak, namun pada akhirnya menjawab.
“Ada teman yang memintaku membantunya di pelabuhan Incheon…”
“Syukurlah…” ucapku tulus.
***

“Aku pulang…” ucapku datar saat tiba di rumah. Ibu menyambutku dengan wajah masam disertai tatapan yang tidak bersahabat.
“Kau dari mana?” Tanya Ibu spontan.
“Aku baru pulang kerja,” jawabku bohong.
“Bohong!” tuduh Ibu, “Tadi Ibu menelpon sekolah tempatmu mengajar, mereka bilang kau izin hari ini tidak masuk!”
“Ibu sudah mulai menyelidikiku?”
“Itu karena kau tidak dapat dipercaya lagi. Apa jangan-jangan kau menjemput iblis itu, bukannya hari ini dia keluar dari penajara?”
“Iya… aku menjemputnya!” jawabku jujur. Kurasa tak ada lagi yang dapat kusembunyikan. Ibu sudah tidak percaya lagi padaku, bagaimanapun aku berusaha berkilah, pasti akan ketahuan juga. Plaaaakkk, tamparan Ibu mendarat tepat di pipiku. Seketika aktivitas beberapa pelayan yang sedang menjamu tamu terhenti. Mereka mungkin cukup kaget melihat pertengkaran Ibu dan Putrinya. Ibu serta merta menarik tanganku dan membawaku ke dalam ruangan yang lebih tertutup.
“Hiks…” ibu mulai terisak, “Apa yang ada di kepalamu Tae Rin~a… kau seperti berkhianat kepada Ibumu ini. Bagaimana bisa kau masih menanti pria iblis itu, pria yang telah membunuh ayahmu!” isak ibuku. Aku tertunduk, kali ini juga ikut menangis, sudah kucoba membuang perasaan itu namun entah kenapa malah rasa itu semakin membesar dan tak dapat kutahan lagi.
“Maafkan aku, aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa…,” sesalku.

Cho Dae Won, pria itu dulu bekerja di restorant kecil milik ibuku. Dia rajin dan ulet juga sangat ramah pada teman-teman dan para pelanggan. Meski dia diam-diam menyimpan hati untukku, aku berpura-pura tidak tahu. Dae Won tahu siapa dirinya, dia paham bila dirinya hanyalah anak sebatang kara yang tidak punya keluarga dan hidup dari belas kasihan orang tuaku.
Dia tak pernah sekalipun menggangguku juga mencoba menunjukkan perasaannya padaku. Yang kutahu dia hanya selalu diam-diam memandangku. Apalagi ibu telah menjodohkanku dengan anak sahabatnya, jadilah dia semakin mengubur dalam-dalam perasaannya itu. Mungkin dia tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya itu namun aku dapat membaca dengan jelas lewat mata sendunya.
Pria seperti itulah yang kuharapkan, yang mencintaiku dengan caranya sendiri tanpa berharap adanya balasan. Namun aku cukup pengecut, aku tak mau mengecewakan ibu, aku hanya dapat pasrah saat ibu melakukan apa saja yang dikehendakinya atasku, termasuk dengan perjodohan itu.
***
Aku berjalan mengitari pasar ikan di pinggiran Kota Incheon sambil memegang kertas berisi alamat. Sejujurnya kakiku sudah sangat letih, hampir sejam aku mencari, bertanya dari satu orang ke orang yang lain namun tak dapat juga kutemukan. Aku tertunduk putus asa, mungkin hari itu adalah hari terakhir aku bertatap muka dengannya.
“Tae Rin~ssi…” tiba-tiba saja seseorang menegurku. Dia Seo Hyun Min, sahabat Dae Won. Ada, ya... harapan itu kembali ada, kupikir aku tak akan lagi bertemu dengannya. Hyun Min membawaku ke tempatnya, tempat pelelangan ikan. Kulihat jelas Dae Won yang sedang bekerja mengangkat kotak-kotak berisi ikan ke atas truk. Kakinya sempat tersodok kotak ikan yang akan diangkatnya, dia meringis namun ditahannya. Sepertinya dia tak punya waktu untuk sekedar memperhatikan lukanya.
“Dae Won~a… ada yang mencarimu!” teriak Hyun Min padanya. Seketika Dae Won menoleh ke arah kami, ekspresinya datar atau mungkin dapat kukatakan dia jengkel.

“Berhari-hari aku mencarimu dengan alamat yang dulu kau berikan padaku, tapi ternyata itu alamat palsu,” lirihku. Mungkin dia begitu tak ingin bertemu lagi denganku. Dia gelagapan karena kebohongannya terbongkar.
“Apa yang kau inginkan? Untuk apa mencari mantan narapidana sepertiku. Ibumu pasti tak mengizinkan kau datang menemuiku, berhentilah menjadi gadis keras kepala. Masa depanmu masih panjang dan cerah, jangan kau hancurkan dengan mengikuti pria sepertiku. Kau dan aku tidak ada urusan lagi, kejarlah mimpimu dan tak perlu memikirkan keadaanku.”
“Dae Won~ssi… aku membuatkan sup rumput laut untukmu. Mungkin kau lupa, tapi aku masih ingat hari ini kau berulang tahun,” ucapku sambil menyodorkan tas bekal berisi sup rumput laut.
“Bila aku menerimanya, apakah kau tak akan menemuiku atau mencariku lagi?”
“Uhm…” aku mengangguk lemah. “Aku mungkin tidak dapat menemuimu lagi,”
“Baiklah, aku akan menerima pemberianmu jadi pergilah sekarang!”
“Aku… aku akan menikah…” lirihku. Dae Won tertegun, dia menatapku cukup lama. “Aku mencarimu hanya untuk mengatakan itu…” perlahan kukeluarkan undangan pernikahanku dan kusodorkan padanya. “Kuharap kau mau datang, sejujurnya aku tak akan tenang bila kau tak memberikan doa restu untukku,”
“…..” Dae Won masih tertegun memandang sepucuk undangan pernikahan di hadapannya.
“Dae Won~ssi… aku benar-benar minta maaf dan sangat berterima kasih,” tutupku. Aku pergi meninggalkannya yang masih tertegun, secepatnya  aku harus menghilang dari pandangannya. Aku tidak ingin dia melihatku menangis, aku harus terlihat kuat di hadapannya. Masih kuingat saat aku mengunjunginya di dalam penjara. Dengan lantang dan tegas aku memintanya untuk menikahiku setelah dia lepas nanti namun sepertinya dia sama sekali tidak tertarik akan hal itu.  
***
Aku menenteng kantongan yang berisi beberapa botol soju, malam ini teman-temanku datang untuk merayakan malam terakhir masa lajangku karena besok aku akan resmi menjadi seorang istri. Entah dorongan apa yang membuatku pergi membeli cemilan untuk mereka, padahal bisa saja aku meminta tolong pada pelayan di resto. Ah… mungkin karena sejujurnya aku tak ingin ada perayaan ini, aku tak pernah ingin melepas masa lajangku dengan orang yang benar-benar tidak kuhendaki.
Aku berjalan dengan langkah sekecil mungkin seakan tak pernah berharap untuk tiba di rumahku. Mungkin aku bisa mejadi gila dengan pertentangan batin ini, kurasa aku benar-benar akan menjadi gila. Tiba-tiba saja aku seperti melihat fatamorgana, Dae Won sedang berdiri di ujung jalan menatapku dengan mata sendunya.
“Tidak… itu bukan dia, aku hanya terlalu merindukannya sampai merasa melihatnya hadir di hadapanku,” batinku. Perlahan namun pasti aku mendekat ke arahnya bahkan mulai melaluinya begitu saja. “Benar… dia hanya fatamorgana, dia hanya ilusiku,” lirihku.
“Tae Rin~ssi…” ucapnya pelan. Langkahku terhenti, aku menoleh ke arahnya, apakah dia nyata? Tadi aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Aku berbalik dan mencoba menyentuhnya, bila dia memang hanya ilusiku maka dia akan menghilang begitu saja saat aku menjangkaunya. Hiks… hiks… air mataku menetes saat kupastikan dia benar-benar Dae Won yang kurindukan. Bukan lagi bayangan, bukan fatamorgana, ataupun ilusi yang selama ini sering kualami. Kupeluk dia, menumpahkan rasa yang telah kupendam selama ini.
“Aku… sangat merindukanmu,” bisikku, kueratkan pelukanku, aku sungguh tak ingin lepas darinya.

Kuputuskan untuk pergi dengannya, meninggalkan semua yang kumiliki di kota ini demi memulai hidup baru dengannya. Kutahu ibu akan murka dengan langkahku ini, namun aku siap, aku siap menghadapi apa yang akan terjadi. Aku percaya, selama aku bersama Dae Won… aku akan baik-baik saja.
Setelah menikah dan mencatatkan pernikahan, kehidupan baruku akhirnya dimulai di sini, di ujung Kota Namwon. Kami tinggal di sepetak rumah dengan perabot seadanya. Dae Won bekerja sebagai buruh pabrik perkebunan teh dengan upah yang minim. Aku menjadi ibu rumah tangga biasa, mengurus suami dan menjaga rumah. Sungguh kehidupan yang sangat jauh dari bayanganku sebelumnya.
Aku melepas kehidupan mewah yang ditawarkan calon suamiku yang bekerja sebagai jaksa di Seoul dan lebih memilih hidup bersama seorang buruh pabrik di sebuah kota kecil. Buruh pabrik yang juga seorang mantan narapidana kasus pembunuhan, pembunuh ayahku. Ibuku menyebutnya iblis, bagiku dia malaikat. Ibuku sangat membencinya sebaliknya aku sangat mencintainya. Entah berapa besar sudah kebencian ibuku pada kami, aku tak ingin memikirkannya dan juga tak ingin terbebani.

Memasuki musim gugur, cuaca semakin dingin. Aku pasti akan berbaring dalam pelukan suamiku dan berbagi selimut dengannya agar tetap merasa hangat. Kami belum mampu membeli penghangat listrik dan lagi penghangat dengan perapian belum sempat diselesaikan suamiku.
“Kenapa memandangku terus?” tanyaku merasa risih,
“Apa kau tak menyesal menikah dengan pria miskin sepertiku?”
“Apa yang harus kusesali, aku hanya kehilangan kehidupan mewah dari ibuku namun aku tidak kehilangan cinta dari pria yang kukasihi. Uang mungkin dapat membeli kemewahan namun tak dapat membeli kebahagiaan untukku,”
“Aku bahkan tak dapat membelikan pemanas listrik untukmu, di tengah cuaca dingin seperti ini aku hanya dapat memberi selembar selimut lusuh untuk menghangatkanmu,” lirihnya. Aku menggeleng tidak setuju,
“Kau memberikanku pelukan, hal yang tidak akan bisa diberikan siapapun untuk menghangatkanku,”
“Ah… istriku ternyata pandai menggombal…” ucapnya sambil menarik hidungku. Brr… aku mengigil kedinginan, “Kau kedinginan?” tanyanya. Aku mengangguk, tanganku bahkan terasa kebas saking dinginnya. Dae Won mempererat pelukannya hingga bahkan denyut jantungnya dapat terasa olehku.

Pagi ini aku berbelanja di pasar, kemarin Dae Won menerima upah dan aku ingin memasakkan makanan kesukaannya, sup kacang kedelai. Entah mengapa, aku merasa ada yang aneh pada orang-orang di sekelilingku. Mereka terus melihat ke arahku seperti sedang mengamatiku.
“Benar, dia orangnya!” seru salah seorang paman sambil memegang selembar poster. Aku jadi risih melihat mereka yang memandangku seperti pencuri. Kupercepat kegiatan belanjaku dan bergegas pulang. Di perjalanan, aku berhenti di sebuah pos jaga polisi. Mataku tertuju pada poster yang tertempel di dinding pos itu.
“Aku diculik?” heranku, ya… poster itu memajang gambarku sebagai korban penculikan dan… astaga, jantungku seperti mau lepas saat kulihat dengan jelas gambar Dae Won terpajang sebagai penculiknya.
“Ibu… ini sudah sangat kelewatan!” geramku.
Aku segera menyusul Dae Won ke pabrik tempat kerjanya, aku takut terjadi sesuatu padanya. Di poster itu menjelaskan bahwa Dae Won adalah narapidana kasus pembunuhan dan kini sedang menculikku. Aku berlari kencang saat kulihat kerumunan buruh di halaman pabrik, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada suamiku. Dan benar saja, saat tiba di sana, Dae Won telah terkapar di tanah dengan luka memar di wajahnya.
Yeobo[1]yeobo…” aku segera membantunya duduk, kupeluk dia yang tengah kesakitan.
“Ternyata kau seorang pembunuh, kau bahkan menculik nona ini dan kabur ke desa kami!”
“Aku tidak diculik! Bagaimana bisa ada seorang seorang suami yang menculik istrinya!” lawanku pada mereka.
Agassi[2]… kau pasti diancam olehnya hingga tidak berani melawan. Kami akan membantumu pulang ke rumah orang tuamu,”
“Aku tidak akan ke mana-mana, aku akan tetap bersama suamiku!” tolakku.
“Dia seorang pembunuh Agassi… kau bisa dalam bahaya bila terus bersamanya!”
“Berhentilah mengatainya pembunuh! Dia bukan pembunuh! Dia tidak pernah membunuh siapapun!” isakku sedih,
“Tae Rin~a… ayo kita pergi,” ucap Dae Won. Dengan sisa tenaganya dia bangkit dan membawaku meninggalkan kerumunan buruh itu. Sepertinya dia memang sengaja membawaku kabur agar aku tidak banyak bicara lagi di hadapan para warga.



[1] Panggilan  untuk suami
[2] Nona



To be continued…