Sebelumnya di Secret - Part 1
Aku hanya dapat duduk dan terisak sedangkan Dae Won sibuk
mengemasi barang-barang kami. Dia bilang kami harus meninggalkan kota ini.
Ibuku pasti sudah mengetahui keberadaan kami hingga kabur akan menjadi
satu-satunya pilihan. Kami membawa barang seadanya dan segera ke terminal bus.
Tak lupa dia juga menyamarkan penampilan kami agar tidak dikenali orang-orang.
Saat ini poster pencarian kami pasti telah beredar luas di mana-mana, bila
tidak hati-hati maka pasti kami akan tertangkap.
Di
tengah perjalanan, bus yang kami tumpangi terhenti karena ada pemeriksaan polisi.
Aku mulai was-was, aku takut kalau kami akan tertangkap. Dae Won memegang erat
tanganku, tangannya terasa lebih dingin di udara yang memang dingin ini. Dae
Won memberi aba-aba untuk turun dari bus diam-diam, aku mengikuti apa yang
diperintahkan olehnya. Keadaan yang mulai gelap sangat membantu kami pergi dari
bus tanpa terpergok oleh petugas kepolisian.
Udara
semakin dingin, kepalaku terasa pusing dan penglihatanku berkunang-kunang.
“Kau
demam!” ucap Dae Won panik sesaat setelah menyentuh dahiku. “Aku harus
membawamu ke rumah sakit…”
“Jangan…
kita bisa tertangkap bila pergi ke rumah sakit,” tolakku
“Tapi
kau sedang sakit, bagaimana bila terjadi sesuatu padamu?”
“Aku
akan baik-baik saja, ini mungkin hanya flu biasa. Pergilah ke toko dan belikan
obat herbal. Aku akan baik-baik saja setelah meminumnya,” pintaku. Dia menurut,
dia segera berlari mencari toko terdekat. Malang tak dapat ditolak, dari jauh
kulihat mobil patroli polisi melintas. Tidak… dia bisa tertangkap, aku tak mau
dia tertangkap. Kulangkahkan kakiku walau terasa berat, kepalaku sungguh
seperti akan pecah.
“Yeobo…
yeobo…” kukerahkan semua sisa suaraku, berharap dia dapat mendengarnya. Dia
berbalik melihatku,
“Tae
Rin~a…”
“Pergi…
pergilah…” pintaku. “Lari… pergilah jauh, jangan biarkan dirimu tertangkap,”
aku terjatuh di sisi jalan, aku kalah oleh keadaan lemahku ini. Apa yang tak
ingin kulihat, akhirnya kulihat juga. Kebahagiaan yang baru saja kutiti bersama
suamiku berakhir malam ini. Dia tertangkap oleh polisi patroli, mereka
memukulnya hingga tidak berkutik. Wajahnya dipukulkan ke aspal dan tangannya
segera diborgol. Di tengah kesakitan yang diterimanya, dia masih sempat
berteriak meminta pertolongan untuk istrinya.
“Istriku…
tolong bawa dia ke rumah sakit, dia sedang sakit, kumohon…” pelasnya.
***
Aku terbangun dengan aroma obat yang
menyengat. Kulihat sekantong infus mengalir tetes demi tetes ke dalam tubuhku
melalui selang berjarum. Kepalaku masih belum bisa mencerna apa yang baru saja
terjadi, aku seperti orang yang mengalami amnesia.
“Kau
sudah bangun…” ucap seseorang dengan datar. Suara itu… suara yang sejak tiga
bulan yang lalu tidak pernah lagi kudengar. Suara ibuku yang sejujurnya sangat
kurindukan.
“Ibu…”
lirihku.
“Kau
masih berani memanggilku ibu?”
“Maaf…”
“Kau
meninggalkan pesta pernikahanmu begitu saja demi seorang pembunuh, ibu sungguh
tidak mengerti apa yang ada di kepalamu,” ucap ibuku. Benar… Dae Won… aku baru
ingat, di mana dia? Terakhir kali kulihat para polisi itu memukulnya seperti
binatang.
“Suamiku…
di mana dia?”
“Berhentilah
menyebut namanya, Ibu sungguh tak tahan setiap kali kau menyebut nama pembunuh
itu!”
“Ibu…
kumohon, seumur hidupku aku telah menjadi anak yang berbakti kepadamu. Aku
mengikuti semua yang ibu inginkan. Aku bahkan tidak pernah meminta apa-apa
darimu, tapi kali ini aku sungguh ingin hidup bersamanya, biarkan kami
bersama…”
“Omong
kosong apa yang sedang kau bicarakan? Sadarlah Tae Rin… dia seorang pembunuh.
Dia membunuh ayahmu, bagaimana bisa kau hidup dengan iblis seperti dia!”
“Ibu
cukup! Delapan tahun dia membayar kesalahan itu di dalam penjara…”
“Itu
belum cukup! Satu nyawa melayang dengan hukuman hanya delapan tahun penjara,
itu belum cukup,” bentak Ibu padaku.
“Di
mana suamiku sekarang?” aku mengalihkan pembicaraan. Kurasa berdebat dengan ibu
mengenai masalah ini tidak akan berujung pangkal.
“Di
mana lagi selain di tempat paling cocok untuknya, penjara!” jawab Ibu lantang.
“Penjara?
Kesalahan apa lagi yang dia lakukan Bu? Menculikku? Jangan bercanda Bu, aku
ikut dengannya dalam keadaan sadarku. Tak ada paksaan ataupun ancaman, kumohon
jangan menyiksa pria malang itu lagi…” isakku. Aku bangkit, dengan sisa
tenagaku aku berusaha turun dari ranjang rawatku. Tanganku terhalang oleh selang
infus, akhirnya kulepas begitu saja, aku harus melepaskan suamiku. Dia tidak
bersalah, dia tak boleh dipenjara lagi.
“Kau
mau ke mana? Yaak… Lee Tae Rin kau jangan bodoh!” bentak Ibu dan mencoba
menahanku. Aku mencoba melawan meski dalam keadaan lemahku dan entah apa yang
terjadi, perutku tiba-tiba sakit. Sakit yang tak tertahankan hingga membuatku
tergeletak tak berdaya di lantai.
“Tae
Rin~a… kau kenapa?” Ibu terlihat panik. “Kenapa dengan perutmu?” aku hanya
dapat meringis mencoba menahan sakit. “Darah… darah…” Ibu jadi panik saat
melihat darah, bergegas Ibu menekan tombol darurat sehingga beberapa saat
kemudian dokter dan perawat datang.
Perih
itu kembali lagi… aku meringis lemah dan terbangun. Tiba-tiba saja kulihat Dae
Won duduk di sampingku. Kupejamkan mataku, bahkan di saat sakit yang terasa
nyata kurasakan, aku masih dapat bermimpi melihat Dae Won ada di sisiku.
“Ini
aku… aku bukan mimpimu,” bisiknya lembut. Segera kubuka mataku, memandangnya
lekat-lekat, dia menggenggam tanganku. Dia menggunakan borgol, hiks… dia
benar-benar nyata. Borgol di tangannya menjadi bukti bahwa aku berada di alam
nyataku. “Bagaimana perasaanmu
sekarang?” tanyanya lemah. Aku ingin bangun dan memeluknya, melihat wajahnya
penuh luka dan lebam aku benar-benar tak tahan untuk tidak menangis.
“Kenapa
mereka kejam sekali…” isakku.
“Aku
tidak apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Polisi tiba-tiba
memberitahuku bahwa keadaanmu kritis dan mengizinkan aku untuk menjengukmu… Tae
Rin~a… aku benar-benar takut terjadi sesuatu padamu, kau harus sehat!”
“Aku
tak tahu apa yang terjadi, aku bertengkar dengan ibu dan tiba-tiba saja perutku
sakit…” ceritaku terhenti saat melihat pintu kamarku terbuka, Dokter Han dan
seorang perawat masuk.
“Bagaimana
perasaanmu Tae Rin?” Tanya Dokter Han penuh keakraban. Beliau adalah dokter
keluarga kami.
“Aku
masih merasakan perih dan kehilangan begitu banyak tenaga,”
“Apa
yang terjadi pada istriku Dokter?”
“Aku
menyesal mengatakan ini pada kalian… tapi semalam Tae Rin mengalami keguguran. Kondisi
janin yang masih terlalu muda dan demam tinggi yang kau alami, membuat calon
bayimu tidak dapat bertahan. Kalian harus tabah,” tutup Dokter Han lalu
meninggalkan kami.
“Hiks…
hiks…” aku tak dapat berkata-kata lagi.
“Tae
Rin~a… kau harus kuat,” Dae won mencoba menenangkan aku.
“Aku
bahkan tidak tahu bahwa aku sedang hamil…” aku menangis sejadi-jadinya. Dae Won
memelukku, mencoba menenangkanku. Aku ingin marah, aku ingin melampiaskan
semuanya… tapi marah pada siapa? Ini salahku yang terlalu ceroboh pada kesehatanku.
Aku
masih terisak saat ibu masuk ke ruanganku, ini pertama kalinya ibu berhadapan
langsung dengan Dae Won setelah persidangan delapan tahun silam.
“Ibu
turut bersedih atas apa yang kau alami, bagaimana pun juga janin itu adalah
calon cucuku tidak peduli siapa ayahnya…”
“Ibu…
cukup, kurasa sudah saatnya ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi…” ucapku
lantang.
“Tae
Rin~a…” Dae Won sepertinya tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Aku
sakit… hatiku sakit setiap kali mendengar orang-orang menyebutmu pembunuh,” air
mataku mengalir, Dae Won menggeleng dan mengenggam tanganku layaknya sedang
memohon.
“Aku
telah kehilangan calon bayiku, Tuhan pasti sedang menghukumku karena tidak
berani jujur. Entah apa lagi yang akan hilang dariku bila aku tetap diam.”
“Tidak…”
tolak Dae Won.
“Ibu…
Dae Won… tidak pernah membunuh siapapun…”
“Tae
Rin… kita sudah sepakat untuk merahasiakan ini, kenapa kau melanggar janjimu?!”
Dae Won masih berusaha membujukku.
“Aku
yang membunuh ayah, akulah pelakunya!” ucapku lantang.
“Tidak…
tidak… apa yang dia katakan bohong Nyonya, Tae Rin hanya sedang shock hingga
bicara sembarangan seperti ini,”
“Kita
tidak perlu diam lagi. Kurasa sudah saatnya dunia tahu apa yang sebenarnya
terjadi,” cegatku pada Dae Won.
“Apa
maksudmu?!” ibu kaget dan kebingungan.
“Tidak…
kau tidak melakukan apapun…” Dae Won mencoba meyakinkan Ibuku.
“Hiks…
jangan lagi… berhentilah berbohong demi melindungiku Yeobo…” isakku. “Aku
membunuh bajingan itu dengan tanganku sendiri, aku membunuhnya karena dia ingin
memperkosaku,” lanjutku. Dae Won panik, dia memelukku berusaha untuk menutup
mulutku.
“Apa?”
Ibu kehabisan kata-katanya. Aku berusaha melepas pelukan Dae Won agar tetap
dapat bersuara,
“Aku
tak prnah menganggapnya sebagai ayah, aku hanya punya satu ayah dan dia telah
meninggal saat usiaku masih kecil,”
Delapan tahun
yang lalu
“Aku pulang…” ucapku lemah.
“Ah…
kau sudah pulang… ibumu sedang keluar kota mungkin besok baru kembali,” aroma
soju begitu pekat tercium, pria ini… ini masih terlalu sore untuk
mabuk-mabukan.
“Yaak…
kenapa kau hanya diam saja setiap kali kuajak bicara? Apa karena aku hanya ayah
tirimu sehingga kau tidak perlu menghormatiku?” dia menarik tanganku.
“Lepaskan
tanganmu, aku sangat lelah setelah ujian tadi,”
“Huh…
untuk apa kuliah terlalu tinggi kalau akhirnya kau menghabiskan hidupmu menjadi
budak suamimu kelak,”
“Itu
masih lebih bagus dibanding menjadi parasit dalam keluarga orang lain…”
“Yaak…
kau bicara apa? Kau menghinaku?”
“Apa
aku menyebut namamu?”
“Ha…
ha… tapi ternyata ibumu menyukai parasit sepertiku,”
“Kau
bangga menjadi parasit? Hidupmu benar-benar menyedihkan. Aku tahu kau sengaja
menikahi ibuku untuk membuat hidupmu tidak kekurangan. Kau bebas berfoya-foya
dengan uang ibuku, berjudi dan mabuk-mabukan bersama pelacur di bar. Kau tahu…
kau pria yang paling menyedihkan yang pernah kulihat!”
“Yaak…”
pria itu mengayunkan tangannya hendak memukul.
“Tuan…”
tiba-tiba Dae Won muncul membawa sebuah karton berisi buah. Kehadirannya
menyelamatkan aku sementara, “Di mana saya harus menyimpan ini?” lanjutnya.
“Simpan
saja di dapur bodoh, untuk apa bertanya lagi!” bentak pria itu. Aku segera
masuk ke kamarku, sejujurnya aku malu ketahuan bertengkar dengan pria parasit
itu. Dae Won tak perlu bertanya lagi di mana dia harus menyimpan buah karena
memang dia tahu tempatnya, aku yakin dia melakukannya untuk melindungiku dari
pukulan pria parasit itu.
Aku
merasa lumayan segar setelah mandi, ujian di kampus tadi benar-benar menguras tenagaku.
aku segera berpakaian saat kudengar ada bunyi mencurigakan di depan kamarku.
Alangkah kagetnya aku saat mendapati pria itu sedang mengintip lewat lubang
kunci pintu kamarku.
“Ahjussi…
kurasa ini sudah keterlaluan. Jangan hanya karena kau mabuk lantas aku akan
mengabaikan perbuatanmu itu!”
“Tae
Rin~a… sejak kapan kau menjadi seorang gadis cantik? Padahal serasa baru
kemarin kau berlarian menenteng bonekamu dengan rambut dikepang dua…” orang itu
mulai berani menyentuhku.
“Yaak…
jaga sikapmu!” ancamku.
“Kau
bahkan lebih cantik di saat marah seperti ini…” tak disangka dia langsung
memelukku dan berusaha menciumku.
“Lepaskan!”
bentakku. Bagaimana pun, dia adalah seorang pria. Kekuatannya terlampau besar
untuk kulawan. Aku meronta, berusaha berteriak namun dia menyumpal mulutku. Dia
berhasil merobek bajuku, kepalaku beberapa kali dia pukulkan ke dinding.
Sejenak penglihatanku kabur, kepalaku seperti akan pecah. Tidak… aku tidak
boleh kehilangan kesadaran, semua akan berakhir bila aku pingsan.
“Nona…
Nona… apa yang terjadi?” sayup-sayup kudengar seseorang menggedor-gedor pintu.
Itu suara Dae Won. Pria brengsek di hadapanku ini ternyata telah mengunci semua
pintu, dia memang telah merencanakan hal ini.
“Kau
terlalu sombong, aku ingin lihat sampai kapan kau akan mengangkat kepalamu bila
masa depanmu telah kuhancurkan,” pria itu mulai membelai wajahku, dengan sisa
tenaga yang kupunya, kuraih vas bunga di dekatku dan memukulkannya ke
kepalanya.
“Auww…”
pria itu meringis, kepalanya mulai berdarah. Aku mencoba melepaskan diri, aku
berusaha berlari membukakan pintu untuk Dae Won, berharap dia dapat menolongku.
Ternyata alkohol membuat pria itu kebal pada pukulan, dia menjambak rambutku
dan menamparku berkali-kali.
“Nona…
buka pintunya!” di luar sana Dae Won masih terus berteriak. Aku terhempas di
lantai, mataku tertuju pada gunting yang terjatuh di kaki lemari. Saat pria itu
mendekat, kutancapkan gunting itu ke perutnya. Dia tersungkur, tak sampai di
situ saja, kutusukkan gunting itu berkali-kali ke perutnya. Aku tak lagi
menyadari darahnya yang terpercik ke wajahku, yang kuingat hanyalah aku ingin
orang ini mati.
Dae
Won berhasil masuk ke rumahku, kurasa dia masuk dengan memecahkan kaca jendela.
Tapi semua sudah terlambat, pria di depanku sudah tidak bernyawa lagi. Aku
membunuhnya… aku telah menjadi seorang pembunuh.
“Dae
Won~ssi…” ucapku gemetar, “Aku membunuhnya, dia mencoba menodaiku,” Dae Won
merebut gunting yang kugunakan untuk menusuk orang itu,
“Tidak…
kau tidak pernah membunuhnya, akulah yang membunuhnya!” ucapnya padaku.
Dae
Won pada akhirnya divonis atas tuduhan pembunuhan tak disengaja, dia kalap
membunuh karena ketahuan mencuri. Begitulah scenario yang diakuinya demi
menyelamatkan aku. Dia dihukum dengan
kurungan penjara selama dua belas tahun namun mendapat remisi atas kelakuan
baiknya selama di penjara.
“Akulah
yang membunuh suamimu Ibu, Dae Won justru melindungiku, dia menggantikan aku
untuk menjalani hukuman penjara itu. Dia menukarkan kebebasannya selama delapan
tahun demi kebebasanku. Ibu selalu bertanya… apakah aku sudah gila karena
mencintai orang sepertinya, kurasa kini ibu tahu jawabannya…”
“Dimana
lagi aku bisa mendapatkan seorang pria yang rela kehilangan masa depannya demi
melindungi seorang pembunuh sepertiku,”
“Hik…
hiks… Hu… hu…” ibu terduduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya.
The End