Langit
terlihat begitu cerah, pagi ini matahari bersinar seakan tersenyum turut
merayakan pesta pertunanganmu. Tirai-tirai putih bergoyang tertiup angin,
semerbak wangi mawar menghiasi taman kala ini. Lantunan musik merdu menambah
manisnya perayaan ini. Adikku tiba dengan gaun putih berliannya, dia nampak
cantik dengan balutan gaun yang senada dengan perhiasan yang dia kenakan. Kau
menyambutnya dengan senyuman, kau terlihat tampan dengan balutan blazer
hitammu.
Kau
sematkan sebuah cincin di jari manisnya, adikku nampak sangat bahagia.
Begitupun saat dia memasangkan cincin serupa di jari manismu, kau tersenyum
begitu indah. Kupegang dadaku, entah dari mana datangnya perih itu, seharusnya
aku bahagia, hari ini adalah hari pertunangan adikku dan dirimu. Seandainya
saja aku yang lebih dulu bertemu denganmu, mungkinkah saat ini aku yang berdiri
di sampingmu, menyematkan cincin itu untukmu? Cincin yang kupilihkan untuk
acara pertunanganmu.
“Unni…
itu dia, Lee Sung Min Oppa!” bisik adikku saat pertama kali memperlihatkan kau
padaku kala itu pada festival budaya di Namsang. Kau tersenyum menyambut
kedatangan kami, aku sempat tergetar, adikku mendapatkan pria yang tampan
bisikku dalam hati.
“Anyeong
hasyeo, aku Shin Seo Ah, kakaknya Seo Ra!” sapaku padamu.
“Anyeong
haseyeo, aku Lee Sung Min!” balasmu. Suaramu begitu lembut, kau mengajak kami
mengelilingi kota Namsan yang baru saja kami kunjungi untuk pertama kalinya
sebab kami baru pindah dari Busan. Pertemuan pertama kita berlalu dan
menyisahkan kenangan manis di hatiku, aku bahagia adikku mendapatkan pria baik
sepertimu, sungguh aku tulus bahagia untuk kalian.
Aku
tak menyangka secara kebetulan kita bekerja di tempat yang sama, bahkan berada
di devisi yang sama. Keseringan bertemu dan bercengkrama denganmu membuat
perasaan itu muncul, perasaan yang tak seharusnya ada sebab kau milik adikku.
Namun apalah dayaku, hatiku terlanjur memilihmu. Cinta memang misteri, kita tak
akan pernah tahu pada siapa cinta itu akan menjatuhkan pilihan.
“Ayo
kita meramal!” ajak temanku saat kita mengunjungi bazaar bersama-sama,
kebetulan saat itu ada stand peramal. “Kapan aku akan bertemu jodohku?” tanya
temanku itu pada sang peramal. Aku dan kau tersenyum, pertanyaan yang kurasa
menggelikan itu memang kerap menjadi pertanyaan utama setiap orang. “Lalu siapa
yang akan menjadi pendamping Shin Seo Ah?” pertanyaan temanku berbelok untukku.
“Kenapa
aku?” protesku,
“Biar
saja, kita sudah terlanjur masuk di stand ini. Kalau tidak meramal semua, kita
akan rugi!” balas temanku. Kulihat sang peramal mulai berkomat-kamit membaca
mantra. Bola kristal di depannya bercahaya, beberapa saat kemudian sang peramal
tersenyum,
“Seorang
pria bernama Lee Sung Min!” ucapnya. Aku tersentak, apa peramal ini sedang
mengerjaiku?
“Kalian…?”
temanku itu menatap horor padaku dan Sung Min.
“Mungkin
anda keliru…” sela Sung Min, aku mengangguk mendukungnya.
“Tidak!
Jelas sekali kalau kalian berjodoh!” balas peramal itu.
Aku
menelusuri jalan dengan langkah lemahku, kau mengiringku di samping. Apa yang
barusan terjadi membuatku shock, namun tak kupungkiri ada sepercik perasaan
bahagia.
“Em…
kejadian tadi…” kau mencoba membuka percakapan, “…tak perlu sampai Seo Ra
tahu!”
“Uhm…
tentu saja, hal lucu seperti ini tidak perlu sampai menyakiti hati adikku. Apa
kau percaya pada ramalan itu? Aku pribadi, dari dulu dan entah sampai kapan
tidak pernah percaya pada ramalan!”
“Entahlah…
aku tak dapat memutuskan!” balasmu.
Aku
tak pernah percaya pada ramalan, itu sudah tercetus dari bibirku di hadapanmu dan
kau pun telah mendukung pernyataanku. Secara tidak langsung aku mendapat
jawaban tentang perasaanku, kau menolakku. Memang, tak ada alasan kau berpaling
dari adikku, gadis ceria, polos, dan baik sepertinya cukup menjadi tempat kau
menyandarkan bahtera cintamu. Itulah yang kusesalkan sebab bagaimana pun,
hatiku menginginkamu.
“Unni…
Sung Min Oppa mengajakku bertunangan!” penuturan adikku sekejap mengoyak
perasaanku. Untuk beberapa saat aku kehilangan kata-kata, aku kaget, sekiranya
seperti ada seribu jarum yang seketika menusuk jantungku. “Unni… katakanlah
sesuatu, apa yang harus kulakukan?” desak adikku.
“Oh…”
aku tersadar lagi dari alam bawah sadarku, perlahan air mataku menetes,
“Unni…
kenapa kau menangis?” tanya adikku.
“Ah…
tidak, ini air mata kebahagiaan, adikku akan bertunangan. Unni ikut bahagia
sampai tak terasa menangis,” dustaku. Yah… aku berdusta, aku menangis bukan
karena turut bahagia, aku menangis karena menyadari Sung Min benar-benar bukan
untukku.
Sanggupkah
aku bertahan melihat kebahagiaan kalian? Atau haruskah aku pergi memberi
kesempatan untuk hatiku melupakan rasa sakit yang dirasakannya? Sungguh terasa
sesak sampai aku tak dapat menarik napasku lagi.
“Ada
apa antara Unni dan Sung Min Oppa?” pertanyaan adikku menyentakku, “Kudengar
kalian pernah meramal dan hasilnya kalian berjodoh. Apa Unni musuhku? Musuh
dalam selimutku?”
“Saeng…”
aku tercekat. Dari mana dia tahu?
“Unni…
Oppa milikku, aku yang bertemu dengannya duluan. Aku sangat sayang padanya. Jangan
ambil dia dariku!” tangisnya. Ternyata kabar ramalan itu sampai ke telinganya
dari teman-teman kantorku. Beberapa hari adikku tak mau bertegur denganku.
Rasanya sakit sekali, aku memang salah, aku bersalah karena telah jatuh cinta
pada namja-mu tapi tolong maafkan aku.
Air
mata yang menetes saat aku mengadu padamu justru menjadi boomerang bagiku.
Serta merta kau melamar adikku untuk menghapus kekhawatirannya, juga untuk
membersihkan namaku. Kini pernikahan kalian tinggal menghitung waktu, dan
kurasa memang aku harus merelakanmu, sebab sejak awal kau memang bukan milikku.
“Apa
benar ini Nona Shin Seo Ah?” tanya seseorang yang tak kukenal dari ponselku.
“Benar…
maaf ini siapa?” tanyaku berbalik.
“Ini
dari Rumah Sakit Seoul, kami ingin mengabarkan bahwa Lee Sung Min dan Shin Seo
Ra mengalami kecelakaan. Kebetulan nomor kontak pertama di ponsel milik Tuan
Lee adalah nomor anda.”
“Mwo!!!!????”
Sekali
lagi aku menangis, pesta pernikahan yang seharusnya kalian rayakan berubah
menjadi acara perpisahan. Adikku tak tertolong sedangkan kau dalam keadaan
koma. Dunia terasa seketika berhenti berputar, aku kehilangan seseorang yang
sangat aku sayangi secara tiba-tiba. Berhari-hari aku terpuruk, sungguh aku
telah kehilangan semangat hidupku. Adikku yang cantik kini terbenam dalam
lapisan tanah yang dingin sedangkan kau entah kapan akan kembali membuka mata.
***
“Unni…
jangan menangis. Aku baik-baik saja, kini kutitip Oppa padamu…” aku tersentak,
kuamati sekelilingku, hanya ada aku dan kau yang terbaring kaku di ruangan ini.
Apa aku bermimpi, berhalusinasi? Tapi yang tadi terasa begitu nyata. Perlahan
kurasakan ada sesuatu yang bergerak menyentuh jemariku, terasa hangat dan
lemah. Saat kulihat, ternyata tanganmu yang berusaha menggenggam jemariku.
“Sung
Min~a…” air mataku merembes saat kulihat kau membuka matamu untuk pertama
kalinya setelah dua tahun tertidur.
“Mianhe…”
ucapan maaf itulah yang pertama kali keluar dari bibir tipismu saat kau
menatapku. Minta maaf untuk apa? Kejadian ini bukanlah kehendakmu, kau tak
salah apa-apa.
Kau
bercerita tentang kejadian itu, kejadian yang sangat memilukan itu. Di saat itu
adikku marah mengetahui akulah orang pertama dalam nomor kontak daruratmu.
Meski kau telah menjelaskan alasannya namun adikku terlanjur kecewa. Aku adalah
rekan kerjamu itulah alasannya mengapa aku menjadi yang pertama. Ternyata
alasan itu tidak membuat adikku langsung percaya, dia justru semakin yakin kita
telah mengkhianatinya. Karena perselisihan itulah kau yang saat itu sedang memegang
kemudi, tidak menyadari berada di jalur yang berlawanan dengan sebuah truk.
Dalam hitungan detik peristiwa mengerikan itu pun terjadi.
“Lupakanlah…
apa yang terjadi biarlah menjadi kenangan. Aku telah kehilangan adikku dan aku
telah menerimanya…” setidaknya aku tidak kehilanganmu.
“Aku
yang membunuhnya… aku yang membuatnya kecewa, andai ia tidak tahu perasaanku
padamu, mungkin semua ini tidak akan terjadi…”
“Apa
maksudmu?” tanyaku,
“Cintaku
padanya terkikis karena kelembutanmu…” kulepas genggamanmu, “Perhatiannya
padaku tak berarti apa-apa lagi di saat aku bertemu kehangatanmu…”
“Sung
Min~a… sadarkah kau pada apa yang kau katakan?!” aku mulai emosi, “Lalu kenapa
kau ingin menikahinya bila dia tidak berarti apa-apa lagi untukmu!”
“Agar
dia tak lagi berpikiran buruk padamu. Agar kau tak menangis lagi di hadapanku.
Aku tak tahan melihatmu terisak karena kesalahanku maka kuputuskan untuk
membuatnya percaya bahwa kau tidak bersalah.”
“Kenapa
kau lakukan itu…” tangisanku semakin kencang, aku kembali memegang tanganmu.
“Aku
bertemu dengannya, dia sangat cantik… dia bilang jagalah Unni-ku dan jangan
buat dia menangis…” ucapmu. Benarkah? Aku juga mendengar dia bilang begitu
padaku.
*L.O.V.E*
“Lee
Sung Min, apa kau percaya pada ramalan?”
“Kurasa
aku percaya…”