Thursday 16 May 2019

FF One Shot - My Destiny


Hallo... I am back! berbeda dengan postingan-postingan sebelumnya, kali ini saya mencoba menulis karya islami. Memang masih jauh dari kata sempurna maka dari itu saran dan kritik yang membangun very needed!

So... happy reading!





Air matanya meleleh bersama perasaan bersalahnya, berulang kali bibir merahnya mengucapkan kata maaf disertai isakan kecil yang berusaha ditahannya. Tubuhnya bergetar, hatinya terlalu sakit menanggung beban yang dia rasakan. Dia bermunajat kepada Rabbnya, Tuhan Yang Esa penguasa seluruh alam semesta beserta isinya di sepertiga malam yang dingin. Meratap pilu, menangis tak berdaya, dan nyaris putus asa. Sesungguhnya dia tahu bahwa cobaan yang dia hadapi ini belumlah seberapa dibanding cobaan-cobaan yang ditanggung orang lain. Cobaan yang dihadapinya ini belum sebanding dengan cobaan yang dihadapi saudara-saudaranya di Palestina, Myanmar, maupun Cina.
“Ha Ryu?!” terdengar panggilan Ibunya dari balik pintu kamarnya. Buru-buru pemuda itu menyeka air matanya dan merapikan perlengkapan tahajjudnya.
“Ya Ibu…” jawabnya pelan. Dia membuka pintu dan berusaha tampil senatural mungkin di hadapan ibunya.
“Katanya kau ingin berpuasa sunnah, Ibu membangunkanmu takutnya kau ketiduran.”
“Ibu terima kasih…” ucap pemuda itu tulus.

Cho Ha Ryu pemuda berusia 33 tahun salah seorang lulusan terbaik MIT[1]. Dia pemuda yang cerdas, setelah menyelesaikan studi sarjananya di salah satu universitas terbaik di Korea, Universitas Seoul, dia melanjutkan jenjang magister dan doktoralnya di MIT berkat beasiswa yang dia dapatkan. Kini dia mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di almamaternya, Universitas Seoul sebagai dosen di jurusan Fisika sejak dua tahun lalu usai menyelesaikan studinya.
Wajahnya yang tampan, tubuh yang tinggi, dan ateltis membuat banyak orang justru menyangka dirinya aktor atau model. Tidak sedikit mahasiswi memilih mata kuliah yang dibawakannya karena terbius oleh ketampanannya semata-mata. Mengingat mata kuliahnya termasuk salah satu mata kuliah yang rumit, pastilah mahasiswa yang mengikuti kelasnya tidak sekedar coba-coba. Ditambah dengan statusnya yang masih lajang, jangankan mahasiswi, para dosen wanita pun banyak yang menyimpan harap padanya.
Dia terlahir dari ayah berkebangsaan Korea dan ibu asli Indonesia. Dia terlihat lebih mirip ayahnya, berkulit kuning dan bermata sipit. Satu-satunya warisan dari ibunya yang melekat pada dirinya hanyalah warna matanya yang cokelat. Mereka keluarga muslim, ayahnya menjadi muallaf sebelum meminang ibunya. Selain dirinya, keluarga Cho masih memiliki seorang putri bungsu yang tidak kalah rupawan dari Ha Ryu, Cho Ha Na. Berbeda dengan Ha Ryu, Ha Na telah menikah dan kini ikut suaminya yang melanjutkan studi doktornya di Universitas Harvard.

“Ha Ryu~a…” konsentrasi pemuda itu pecah saat seseorang memanggilnya. Dia mendongakkan kepalanya dan didapatinya Lee Hyun Bin tersenyum menghampirinya. Pria yang sejak dua tahun lalu menjadi muallaf itu adalah sahabat Ha Ryu sejak duduk di bangku SMA. Ha Ryu mencoba tersenyum walau terasa berat menarik sudut bibirnya untuk terangkat agar dapat mengukir senyum di wajahnya.
“Ada apa?”
“Kau ada acara selepas mengajar? Aku ingin mengundangmu makan,” ucap Lee Hyun Bin bersemangat.
“Maaf… tapi aku sedang berpuasa,” tolak Ha Ryu sopan.
“Wah… kebetulan sekali! Aku juga berpuasa dan aku sebenarnya mengajakmu untuk makan malam bersama. Kami mengadakan syukuran kecil-kecilan atas keberhasilan istriku meraih gelar spesialisnya,” jelas Hyun Bin. Ha Ryu tanpa sadar meremas bolpoint yang dipegangnya ketika Hyun Bin menyebut nama istrinya, terbayang di kepalanya seorang dokter wanita berkerudung.
“Benarkah? Wah… selamat, aku turut bahagia. Nusaibah telah berjuang selama lima tahun dan akhirnya dia berhasil,” dan dia malah kembali menyebut nama wanita itu dengan bibirnya sendiri, tak terperih lagi sakit yang dia tahan.
“Huft… benar. Dia sungguh kuat, aku jadi menyesal kenapa baru dua tahun yang lalu aku bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun sebelumnya agar dapat menemaninya berjuang.”
Lee Hyun Bin mempersunting istrinya ketika istrinya berada di semester keenam residensinya. Mereka bertemu secara tidak sengaja berkat bantuan Ha Na, adiknya Ha Ryu. Posisi Hyun Bin sebagai dosen di jurusan kedokteran membuatnya dapat akrab dengan Nusaibah lebih mudah. Dia jatuh hati saat pandangan pertamanya pada gadis itu. Matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, meski kulitnya tidaklah secerah gadis-gadis korea kebanyakan. Ya… Nusaibah lebih mirip dengan gadis dari Asia Selatan daripada gadis Asia Tenggara padahal dia asli orang Indonesia. Hanya tubuhnya yang mungil yang membuat orang percaya bahwa dia benar-benar dari Asia Tenggara.

Ha Ryu datang membawa sekeranjang buah, setelah sebelumnya dia sempat berpikir keras mencari alasan untuk tidak datang ke acara itu. Senyuman Nusaibah menjemputnya di ambang pintu. Benar kata sahabatnya Hyun Bin, senyuman Nusaibah itu seperti obat bius, dapat membuat orang yang melihatnya kehilangan akal sehatnya.
“Wah… Mas Ha Ryu terima kasih sudah bersedia mampir!” sambut wanita berkerudung itu. Dia menyambutnya dengan bahasa Indonesia, Ha Ryu memang dapat berbahasa Indonesia karena ibunya. Terkadang Hyun Bin iri kepadanya karena hal itu.
“Selamat atas keberhasilanmu!” ucap Ha Ryu tulus.
“Terima kasih!” lanjut Nusaibah.

Setelah menunaikan sholat maghrib berjamaah bersama teman-teman lain yang telah diundang, mereka pun menyantap hidangan yang telah disediakan.
“Kenapa kau tidak mengajak ayah dan ibumu juga?” tanya Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Sudah kuajak, hanya saja mereka menolak. Mereka merasa kaku saja berada di tengah-tangah anak muda,” jawab Ha Ryu.
“Bagimana bisa merasa kaku, Paman dan Bibi sangat berjiwa muda, tentu bergabung dengan kita bukanlah hal yang sulit!” timpal Nusaibah.
“Alah… itu alasannya saja. Dia pasti tidak ingin mendengar ceramah Ibunya yang mengingikan dia cepat mencari calon istri,” bantah Hyun Bin.
“Benar! Setiap kali ibumu bertemu dengan temanmu yang telah beristri, ibumu pasti mendesakmu untuk segera menikah juga ‘kan?!” Uhm Ki Joon – rekan sesama dosen di jurusan kedokteran – ikut menambahkan.
“Ah… kalian menyerangku!” keluh Ha Ryu dengan intonasi yang didramatisir. “Kalian hanya tidak tahu betapa aku ingin menikah. Hanya saja Allah belum mempertemukan aku dengan jodohku.”
“Kau terlalu berlebihan, pilihlah salah satu mahasiswi magistermu. Tidak mungkin tidak ada yang tertarik padamu!” seloroh Kim Dong Wan – rekan sesama dosen di jurusan kedokteran.
“Dia pasti mencari sesama muslim!” tebak Go Hye Jin – istri Kim Dong Wan dan teman sesama dokter Nusaibah.
“Nusaibah~ssi… kau mungkin dapat membantunya?” pinta Uhm Ki Joon.
“Ah… sudahlah, lanjutkan saja makan kalian. Tidak perlu memusingkan tentang jodohku!” tutup Ha Ryu. Mereka serempak tertawa melihat tingkah teman tertampan mereka. Sejenak Ha Ryu melirik ke arah Nusaibah dan secepatnya mengalihkan pandanganya lagi. 

Air matanya meleleh lagi, membasahi dan membuat jejak samar di pipinya. Berulang kali kalimat istighfar keluar dari bibir merahnya.
“Ya Allah… tolong aku, bunuh perasaan ini. Engkau Maha Pembolak-Balik Perasaan maka kumohon ubahlah perasaan ini,” isaknya. Senyuman Nusaibah masih terus melayang-layang di benaknya. Dia sadar dia telah berbuat dosa besar, dia mengharapkan wanita yang telah menjadi milik sahabatnya.
“Aku jadi menyesal kenapa baru dua tahun yang lalu aku bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun sebelumnya,” perkataan Hyun Bin, sahabatnya itu membuat hatinya semakin ngilu. Dia pun berharap demikian, andai dia yang lebih dulu bertemu gadis Asia Tenggara bernama Nusaibah itu, dia tentu tidak akan melepas kesempatan untuk meminangnya. 
Masih terekam jelas dalam ingatannya saat pertama kali dia melihat Nusaibah di rumah sakit. Saat itu Nusaibah sedang menangani dua bayi yang karena kelalaian rumah sakit sehingga bayi itu tertukar. Satu bayi laki-laki dan satu bayi perempuan lahir di waktu yang bersamaan dan bencana itu datang saat para bayi itu tidak mendapat name-tag ibunya masing-masing. Tak ada yang tahu bayi laki-laki maupun bayi perempuan milik siapa, masing-masing ibu takut menyusui bayi tersebut karena takut salah anak padahal tangisan para bayi telah menggema nyaring karena kelaparan.
Para dokter maupun perawat kelabakan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya cara adalah melakukan tes DNA namun tidak mungkin membuat para bayi kelaparan itu menunggu sampai tes itu selesai. Para ayah bayi-bayi tersebut mengancam akan memperkarakan hal ini ke pengadilan membuat keadaan semakin runyam.
“Para Ibu, tolong izinkan saya memeriksa kalian!” pinta Nusaibah kala itu. Kedua ibu bayi itu dibawanya ke dalam ruangan dan tidak berapa lama setelahnya para bayi dibawa masuk ke ruangan yang sama. Perlahan suara tangisan bayi reda sebab mereka telah diberi makan. Nusaibah berhasil meyakinkan para ibu untuk menyusui masing-masing bayi mereka.

Ha Na adiknya menceritakan kejadian itu di rumah saat keluarga mereka duduk bersantai setelah sholat isya.
“Kejadian tadi benar-benar horror! Aku bertanya pada Nusaibah ‘apa yang kau lakukan untuk meyakinkan kedua ibu itu. Bagaimana kau dapat membedakan orang tua bayi-bayi itu?’”cerita Ha Na kala itu. “Tahukah ayah, ibu, kakak, apa yang dilakukan Nusaibah? Dia memeras air susu kedua ibu itu. Ada yang alirannya deras dan ada yang alirannya biasa saja. Ibu yang aliran ASI-nya deras adalah ibu dari bayi laki-laki, sedangkan Ibu yang aliran ASI-nya biasa saja adalah ibu dari bayi perempuan. Aku bertanya padanya, ‘bagaimana kau bisa tahu? Kau bukan dokter kandungan. Kau resident bedah thorax anak’. Lalu Nusaibah menjawab, ‘Di dalam Al Quran telah dijelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dibanding perempuan.’ Itulah dasar yang dia pakai untuk membedakan kedua orang tua bayi. Dan hebatnya lagi setelah tes DNA keluar, apa yang dikatakan Nusaibah benar.
Nusaibah Nur Auliah, gadis itu membuktikan kebenaran Al Quran lewat tindakan medis yang dia lakukan. Dia berhasil memadankan ilmu sains dan ilmu yang terdapat dalam Al Quran. Berkat gadis itu, Ha Ryu semakin rajin mengikuti kajian-kajian tafsir Al Quran. Dia ingin tahu misteri apa lagi yang terdapat dalam Kitab Sucinya yang sejalan dengan disiplin ilmu yang dia geluti. Dulu dia melakukan sholat lima waktu hanya dikala dia sempat, namun sekarang dia hanya akan mengerjakan kesibukannya bila dia telah selesai melaksanakan sholat.
Ha Ryu benar-benar terpesona dengan kecerdasan gadis itu. Kehadiran Nusaibah sedikit banyak mengubah pola hidup Ha Ryu, dia semakin giat beribadah dan semakin menjaga sikapnya. Dia selalu mengikuti kajian agama pada komunitas yang direkomendasikan oleh Nusaibah. Diam-diam dia mulai memperhatikan Nusaibah, diam-diam dia mulai tertarik, sayang dia didahului oleh sahabat karibnya Lee Hyun Bin yang lebih cepat meminang gadis itu.

Ha Ryu meringis, tubuhnya terasa lemah dan kepalanya terus berdenyut. Matanya yang terpejam perlahan membuka meski terganggu oleh silaunya cahaya matahari. Dia menyadari dia berada di tempat yang tidak dia kenali, aroma obat yang pekat membuatnya menebak apakah dia berada di rumah sakit.
“Ha Ryu~ssi? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” wajah cemas Nusaibah menjadi pemandangan kedua yang dilihatnya setelah tadi melihat langit-langit ruangan.
“Di mana aku?” tanyanya lemah.
“Kau berada di ER[2] Rumah Sakit Universitas Seoul! Kau pingsan di kampus dan dibawa ke sini,”
“Benarkah? Astaga… Ibuku dan Ayahku… jangan sampai tahu.”
“Aku memang belum menghubungi Paman dan Bibi,”
“Bagaimana keadaanku? Apakah aku sudah bisa pulang? Aku sudah merasa baikan sekarang!”
“Istirahatlah dahulu, biarkan infusmu habis,”
“Nusaibah! Nusaibah!” terdengar seseorang memanggil Nusaibah. Suara yang baik Nusaibah maupun Ha Ryu sudah kenal dengan jelas.
“Yeobo! Kami di sini!” Nusaibah membuka sedikit tirai agar Hyun Bin dapat melihat keberadaan mereka.
“Apa yang terjadi? Aku benar-benar kaget saat ada yang menyampaikan kau pingsan di kampus!” sembur Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Entahlah… aku juga kaget kenapa bisa pingsan,” balas Ha Ryu.
“Sebenarnya apa yang sedang kau risaukan? Bila kau punya masalah ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami dapat membantumu!” bantah Hyun Bin. Ha Ryu menatap Nusaibah seakan bertanya apa yang sedang dikatakan oleh suaminya itu.
“Dokter Emergency mengatakan tekanan darahmu sangat rendah dan detak jantungmu tidak beraturan. Kau bisa saja kelelahan fisik atau bahkan kelelahan mental,”
“Ayolah kawan, kau tak boleh menyimpan masalahmu sendiri…” bujuk Hyun Bin.
“Aku sungguh baik-baik saja! Aku tidak sedang bermasalah sehingga harus kelelahan seperti diagnosa dokter,” dusta Ha Ryu. Bagaimana mungkin dia akan berterus terang pada mereka.
Ha Ryu duduk melamun di atas ranjang empuknya. Akhir minggu yang cerah ini ingin dihabiskannya dengan beristirahat saja. Sebenarnya Hyun Bin mengajaknya untuk berkuda bersama beberapa teman dosen dari universitas namun ditolak olehnya sebab dia yakin sahabatnya itu akan mengajak serta istrinya ikut bersama. Dia tidak ingin hatinya kembali teriris menyaksikan interaksi pasangan itu. Hyun Bin dan Nusaibah memang tidak pernah berinteraksi berlebihan di hadapan orang-orang atau memamerkan kemesraan mereka sehingga dapat membuat orang lain iri. Hanya saja perasaan Ha Ryu sudah terlanjur sensitif, perasaan itu dapat sakit tiba-tiba walau hanya melihat Hyun Bin dan Nusaibah sekedar mengobrol.
“Aku tak boleh seperti ini… bagaimana bisa aku merasa sakit melihat kebahagiaan sahabatku?!” gumamnya pelan. Ha Ryu menarik napas panjang, diseretnya langkahnya yang terasa berat untuk menemui Ibunya di ruang tengah.
“Kau ingin teh juga?” tawar ibunya saat melihat putra kebanggaannya mendekat menghampirinya.
“Ibu… aku ingin menikah!” seru Ha Ryu lantang.
“Uhuk…” ayahnya yang baru saja menyesap teh hangat miliknya langsung tersedak mendengarkan Ha Ryu. “Benarkah? Alhamdulillah, siapa gadis beruntung itu Nak? Segeralah bawa kami bertemu dengannya!” ucap ayahnya antusias.
“Aku tidak tahu…” jawab Ha Ryu. Alis kedua orang tuanya berkerut bingung.
“Maksudmu… kau belum memiliki calon?” ibunya mencoba menebak dan entah mengapa ibunya selalu dapat menebak dengan benar. Ha Ryu mengangguk lemah. “Kau ingin kami mencarikan calon untukmu?” tebakan ibunya sekali lagi tepat. Ha Ryu mengangguk sekali lagi.
“Bagaimana dengan gadis yang pernah ibu ceritakan padaku saat aku masih belajar di Massachusetts?!” Ha Ryu mencoba mengingatkan ibunya pada tawaran ibunya kala dia masih menempuh studi doktornya.
“Sayang sekali dia telah menikah,” sesal Ibunya. Ha Ryu tertunduk, benar… kejadian itu sudah lima tahun yang lalu, wajar saja bila gadis itu telah mencari penggantinya. “Duduklah dulu… kita bicarakan ini baik-baik!” ajak ibunya. Ha Ryu baru sadar kalau sedari tadi dia ternyata terus berdiri saking tegangnya.
“Coba ceritakan mengapa kau terlihat begitu serius akhir-akhir ini? Kau seperti sedang menanggung masalah yang berat,” tanya ibunya.
“Aku… hanya merasa bahwa aku perlu secepatnya menikah,” Ha Ryu menjadi gugup.
“Tentu, kau seharusnya telah menikah di umurmu yang sekarang ini,” seru ayahnya.
“Dan… apakah sekarang kau sudah tidak keberatan bila kami membantu mencarikan pasangan untukmu?” tanya ibu berhati-hati.
“Uhm…” Ha Ryu mengangguk mantap.
“Apakah kau punya kriteria khusus untuk calon yang kau inginkan? Karena dulu kau menolak mentah-mentah calon yang ibu tawarkan hanya karena dia kurang pergaulan,”
“Tidak, kali ini aku tidak ingin macam-macam. Cukup dia seiman dengan kita dan dapat menyayangi ayah dan ibu seperti menyayangi orang tuanya sendiri. Kalau bisa, dia harus pandai membaca Al Quran dan selalu belajar untuk mengkajinya. Aku berharap dia juga gemar berpuasa sunnah dan sholat malam. Akan lebih baik lagi bila dia cerdas dan berpendidikan namun tetap santun dan rendah hati,”
“Nak… tadi kau bilang tidak ingin macam-macam, tapi aku lihat apa yang kau inginkan ini lebih dari macam-macam,” sela ayahnya. Ha Ryu tersadar, apa yang disebutkannya tadi adalah apa yang dilihat ada pada Nusaibah.
“Akan ibu usahakan!” ibunya menepuk pundak putranya untuk menenangkan meski jauh dalam lubuk hatinya dia bertanya-tanya di mana dia dapat menemukan gadis seperti itu. 

“Kawanmu sudah ingin menikah…” Nusaibah memberitahukan suaminya di sela-sela waktu senggang mereka usai sholat isya.
“Ha Ryu?” tebak Hyun Bin. Nusaibah mengangguk menjawab pertanyaan suaminya.
“Ibunya baru saja menelponku. Dia meminta tolong mencarikan kriteria yang diminta oleh Ha Ryu.”
“Menurutmu bagaimana kriteria yang diinginkannya?”
“Huft… pantas saja dia melajang sampai saat ini. Terlalu tinggi, dia menginginkan duplikat Siti Aisyah, istri Baginda Nabi.”
“Ha…ha…ha… anak itu, apa dia masih terpesona pada kecerdasan Alexandra?”
“Alexandra? Siapa dia?” tanya Nusaibah penasaran.
“Dia junior Ha Ryu saat di MIT, gadis yang cantik, cerdas, dan mandiri. Ha Ryu sering bercerita betapa dia sangat mengagumi gadis itu, mereka sempat akrab saat bersama-sama menjadi relawan pencegahan HIV AIDS.” Hyun Bin bercerita panjang lebar mengenai gadis taksiran sahabatnya sehingga membuat istrinya tersenyum.
“Gadis yang hebat, lalu kenapa dia tidak meminangnya?” tanya Nusaibah.
“Dia atheis, tidak bertuhan. Dia teguh dalam pendiriannya dan Ha Ryu tak dapat membuatnya merubah prinsipnya,” jawab Hyun Bin. “Pada kenyataannya… memang akan sulit mencari wanita cerdas dan berakhlak meski pastinya tetap ada. Ketika kau menemukan wanita yang cerdas, bisa saja sifatnya tidak seperti yang kau harapkan. Sebaliknya… bila kau menemukan wanita yang berakhlak mulia, bisa saja kecerdasannya tidak mencapai yang kau inginkan,”
“Yeobo… sejujurnya aku tidak nyaman bila bertemu dengan Ha Ryu,” ucap Nusaibah. Hyun Bin menatapnya heran, dan untungnya meski tidak bertanya, istrinya paham arti tatapannya itu. Wanita yang sangat dicintainya itu pun menjelaskan alasannya. “Lima tahun yang lalu, setelah aku meraih gelar kedokteranku, Ibunya Ha Ryu menemuiku. Beliau memperkenalkan Ha Ryu padaku lewat foto, singkatnya Beliau ingin menjodohkan aku dengan putranya itu.”
“Apa?” Hyun Bin terlonjak kaget.
“Ha Na adalah sahabatku dan aku tidak menyangka selama ini dia selalu bercerita tentangku pada kedua orang tuanya. Lewat cerita-cerita yang selalu dilontarkan Ha Na, kedua orang tuanya jadi tertarik untuk mengenalku lebih jauh. Akhirnya kedua orang tuanya setuju untuk memperkenalkan aku pada Ha Ryu. Saat itu aku tidak menolak karena kedua orang tuaku juga sudah mendesakku untuk segera menikah. Sayangnya Ha Ryu menolakku dan kurasa aku sudah tahu apa alasannya setelah mendengar ceritamu tadi. Alexandra, gadis itulah yang menjadi alasannya.”
“Aku tidak nyaman bertemu Ha Ryu lebih karena rasa maluku. Aku seorang wanita, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku ditolak oleh seorang pria, bisa kau bayangkan bagaimana aku dapat menanggung rasa malu ini,”
“Apa Ha Ryu tahu tentang ini?”
“Kuharap dia tidak akan pernah tahu, entah di mana aku akan menyimpan wajahku bila dia sampai tahu kenyataan ini.”

Hyun Bin tertegun di dalam toilet, dia membasuh wajahnya dan menatap lurus ke arah cermin. Pikirannya melayang entah membumbung sampai ke mana. Tangannya bergetar, “Bagaimana seandainya dulu Ha Ryu menerima perjodohan itu?” gumamnya dalam hati. Hyun Bin memang pernah bertanya dalam hati, Ha Na dan Nusaibah adalah sahabat dekat, mengapa Ha Na tidak memperkenalkan Nusaibah terlebih dulu pada kakaknya yang notabene masih menyandang status singel. 

Alexandra Natalie Petrova, gadis itu berkebangsaan Rusia walau memiliki darah Amerika dari ibunya. Itulah satu nama yang dulu menjadi standar gadis pilihan Cho Ha Ryu. Gadis yang memiliki kecerdasan yang tinggi dibuktikan dengan keberhasilannya menjadi salah satu mahasiswi peraih cumlaude Magister Engineer. Shasha, panggilan akrab gadis itu, juga aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan salah satunya adalah kesetaraan gender yang selalu dia perjuangkan. Kemampuannya berbahasa, pergaulannya yang luas, dan kemandiriannya membuat banyak hati terpikat padanya. Di saat Ha Ryu sedang kagum-kagumnya pada juniornya yang lebih muda dua tahun darinya itu, ibunya menelpon dari Korea untuk menawarkannya seorang calon yang sungguh berada di luar ekspektasinya.
“Aku akan menikah dengan gadis seperti itu? Seburuk apa wajahnya sehingga di usianya yang ke duapuluh lima dia bahkan belum pernah berkencan. Tak ada satupun pria yang tertarik padanya, tak ada satupun pria yang ingin mengencaninya, bagaimana mungkin ibu menginginkan aku bersamanya. Tidak, aku menolaknya! Jelas sekali dia wanita yang tidak punya pergaulan.”

Saat itu pemikiran Ha Ryu masih terkontaminasi dengan paham liberal, dia bahkan sampai lupa pada hakikat dirinya sebagai muslim. Dia lama hidup di negara yang menuhankan kebebasan tanpa pernah sadar bahwa setiap kebebasan itu ada batas dan aturannya. Ha Ryu hanya terpesona pada kecantikan fisik dan kecerdasan intelektual lawan jenisnya tanpa pernah memperhitungkan keindahan akhlak.
Shasha telah berkencan dengan beberapa pemuda kaya dan terpandang bahkan dengan beberapa tokoh yang terkenal. Saat itu hampir seluruh pemuda di kampusnya menginginkan gadis itu untuk berkencan dengannya. Menjadi suatu kehormatan bila dapat menaklukkan hati gadis yang menjadi pujaan dan rebutan pria-pria ternama.
“Usianya baru dua puluh lima tahun, dia gadis yang cantik dan juga cerdas. Dia tidak pernah ke club malam, dia tidak pernah minum minuman beralkhol, hebatnya lagi dia menjaga dirinya sehingga tidak pernah berkencan dengan siapapun…” begitulah dulu penjelasan ibunya yang malah membuat Ha Ryu mengerutkan kening, “Alangkah menyedihkannya wanita itu” komentarnya kala itu.     

“Kau akan pindah ke Jepang? Kenapa?” Ha Ryu kaget saat tahu Hyun Bin tengah mengurus registrasi kepindahannya.
“Nusaibah mendapat tawaran S2 dan dia sangat antusias untuk belajar lebih dalam lagi mengenai bedah anak. Aku tidak ingin mengecewakannya dan kurasa aku memang tidak dapat mengecewakannya, maka aku mendukung keinginnnya.” jawab Hyun Bin.
“…” Ha Ryu tertegun
“Hei kawan… Tokyo tidaklah jauh. Bila kau merindukanku, kau boleh mengunjungiku,” canda Hyun Bin.
Ha Ryu termenung, batinnya bergejolak, apakah ini jawaban dari Allah atas setiap doanya selama ini? Dia memohon agar dapat membunuh perasaannya pada Nusaibah, wanita yang tidak mungkin akan halal baginya. Hatinya perih jika membayangkan dia tidak akan bertemu lagi dengan wanita itu namun dia harus kuat, sakit memang harus dilawan dengan sakit agar kelak sakit itu tidak akan mampu menyakiti lagi. Dia harus melepaskan Nusaibah agar dia dapat membuka hati untuk wanita lain.
Ha Ryu harus rela melepaskan apa yang memang tidak tercipta untuknya. Di atas segalanya, dia tidak akan mungkin merusak kebahagiaan sahabatnya demi nafsunya semata. Dia berterima kasih pada Nusaibah yang selama ini telah mengajarkannya arti keikhlasan. Yang selama ini tidak pernah lelah menjawab setiap pertanyaan Ha Ryu yang ingin mengenal lebih dalam tentang agamanya. Kini agama baginya benar-benar dijadikan pedoman dalam menjalani hidupnya bukanlah sekedar pelengkap semata dalam kartu idenditasnya.
Hyun Bin menatap istrinya yang tertidur pulas di bangku pesawat. Dia teringat bagaimana raut wajah kehilangan yang nampak begitu jelas pada Ha Ryu saat melepas kepergiannya bersama Nusaibah saat di bandara tadi.
“Maafkan aku kawan, semata-mata ini kulakukan untuk melindungi perasaan istriku,” desisnya dalam hati.
“Dan kau wanita tercantikku… terima kasih karena telah memberikan aku kesempatan untuk menjadi pendampingmu. Tidak akan pernah kusia-siakan kepercayaan yang telah kau berikan padaku. Aku janji akan terus menjaga dan menyayangimu sampai akhir usiaku!” dia membelai wajah Nusaibah. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Rabbnya yang telah mempertemukannya dengan Nusaibah.
Hyun Bin teringat amplop kecil yang diberikan Go Hye Jin – rekan Nusaibah yang juga spesialis Obgyn - tadi sebelum berangkat ke bandara. Matanya yang sipit membulat penuh saat melihat isi amplop tersebut, sebuah foto hasil ultrasonografi milik istrinya.
“Selamat kau akan menjadi ayah, kau juga seorang dokter jadi tidak perlu kujelaskan apa yang dikatakan foto ini!” tulis Go Hye Jin pada selembar kertas.
Hyun Bin berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak melompat kegirangan atau bahkan berteriak bahagia. Dia juga menahan dirinya untuk tidak memeluk istrinya karena takut membangunkannya dari tidur. Dilihatnya kembali foto USG itu, usia janinnya sekitar tujuh minggu.
“Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang ingin kau dustakan?” dia berbisik mengucapkan Surah Ar Rahman ayat ke 13.

♥♥♥






[1] Massachusetts Institute of Technology
[2] Emergency Room