Tuesday 15 December 2015

FF - When We’ll Be Together (Part 2)


Part 2

Sebelumnya di  When We'll be Together

Aku melihat beberapa pejabat pemerintahan dan pengusaha terkenal yang sedang asyik bercengkrama. Beberapa orang teman sekolahku pun terlihat berbincang-bincang di sudut ruangan. In Gook menipuku…! Aku baru saja akan berbalik meninggalkan pesta sebelum orang-orang melihatku namun tiba-tiba seseorang mendorongku masuk, seisi ruangan terkejut melihatku. Mereka berpakaian rapi dan resmi sementara aku… mengenakan kostum putri duyung. Teman In Gook yang mendorongku maju ke tengah pesta.
“In Gook… pesananmu sudah datang,” ucapnya. In Gook dan orang tuanya muncul dari balik tamu.
“Apa ini badut yang kau ceritakan?” tanya ibunya. In Gook mengangguk sambil tersenyum.
“Akhirnya kau datang juga. Aku sudah menepati janjiku, kau telah menjadi tamu teristimewaku malam ini,” dia tertawa melihat kostumku.
“Putri ikan… kostummu bagus sekali. Oh ya… kenapa ayah ikan tidak kau ajak sekalian?” tegur teman-temanku. Mereka menertawaiku, bahkan semua tamu ikut menertawaiku. Aku benar-benar dipermalukan, bodoh… kenapa aku begitu mudah ditipu. Aku menatap tajam pada seluruh tamu, untung saja Tuhan memberiku mata yang besar sehingga aku cukup menikam mereka dengan sorot mataku agar mereka tahu aku bukan gadis yang lemah. Mereka akhirnya berhenti tertawa.
“Kenapa kalian berhenti tertawa? Apa sudah lelah? Apa kalian pikir aku akan menangis atas perbuatan kalian, atau mungkin kalian berharap aku akan berlari meninggalkan pesta ini sambil menagis tersedu karena ejekan kalian ini. Kalau begitu simpan saja harapan kalian, karena air mataku enggan keluar untuk menangisi kalian semua,” Aku lalu mengambil semangkuk sup dan melemparkannya ke wajah In Gook.
“Maaf aku tidak dapat memberi banyak, hanya ini yang dapat kulakukan untukmu. Ini kado ulang tahun dariku. Kau memang hebat dapat menipuku mentah-mentah. Tapi untung saja aku tidak langsung percaya pada kata-katamu kemarin, mana mungkin pemuda kaya sepertimu tertarik padaku. Tenang saja ucapanmu tidak sampai kumasukkan ke hati, aku tahu diri posisiku di mana. Aku memang orang miskin namun terus terang saja, aku masih terlalu bagus untuk orang bejat sepertimu.” Aku lalu meninggalkan mereka, saat sampai di mulut pintu, aku berbalik,
“Oh ya… aku sampai lupa, selamat ulang tahun ya! Semoga kau panjang umur dan bahagia. Eh … tidak, orang sepertimu tidak pantas bahagia. Semoga perkataanku ini akan menjadi kutukan bagimu. Kau memang pantas mendapatkannya,” ucapku dan pergi meninggalkan pesta itu.

Di sepanjang jalan aku menangis, aku menangis bukan karena dipermalukan oleh mereka, aku menangis karena kasihan pada ayahku. Ayah telah bersusah payah membuatkan kostum ini bahkan sampai tidak tidur bermalam-malam, ternyata kerja kerasnya itu untuk dipermalukan oleh mereka.
“Jongsuk…” seseorang meneriakiku saat aku berjalan di tepi jalan,” Jongsuk… tunggu!” dia menarik tanganku. In Gook?
“Mau apa kau? Belum puas mempermalukanku?” bentakku. Dia melihat air mataku, Jangan salah paham ya… aku menangis bukan karena perbuatanmu mempermalukanku. Aku hanya kasihan pada ayahku yang tidak tidur beberapa malam demi membuatkan kostum ini untukku.”
“Apa?” dia kaget,” Maaf aku memang…”
“Kenapa kau minta maaf? Bukankah kau harus bangga karena berhasil menjebakku atau mungkin kau takut pada perkataanku tadi? Kau takut tidak akan bahagia?”
“Jongsuk… aku…”
“Pergi… aku tidak mau melihatmu lagi.” Aku berlari melewati aspal yang dingin itu seorang diri. Aku menangis saat berada di dalam bus, aku memang orang bodoh, bodoh, bahkan tipuan seperti itupun tidak akan mempan untuk anak-anak, namun aku malah tertipu.

Aku merasa berat melangkahkan kakiku memasuki rumah, apa yang akan kukatakan kepada ayah bila dia bertanya tentang pesta itu?
“Eh Jongsuk, bagaimana dengan pestanya? Kenapa kau pulangnya cepat sekali?” tanya ayah. Aku mencoba tersenyum, dengan sekuat tenagaku aku menyembunyikan sakit hatiku.
“Semua berjalan lancar, bahkan tak ada yang menyamai kostum buatan ayah di pesta itu. Terima kasih banyak ayah!”
“Benarkah?” ayahku tersenyum tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Tentu saja… teman-temanku bahkan ingin belajar dari ayah bagaimana cara membuat kostum sebagus ini kalau lain kali ada pesta kostum lagi!” aku sungguh tak dapat menahan air mataku lagi, aku menangis…
“Tapi kenapa kau malah menangis?” tanya ayah heran,
“Aku hanya terharu dan bahagia mempunyai ayah sebaik dirimu. Terima kasih!” aku memeluk erat ayahku seakan tidak mau melepaskannya.

Saat berjalan di koridor sekolah, semua murid berbisik dan menertawaiku. Pasti mereka menertawai kejadian di pesta ulang tahun In Gook semalam.
“Wa … kau masih punya muka ke sekolah ya? Kupikir kau tidak akan ke sekolah lagi,” tegur teman sekelasku.
“Untuk apa aku malu ke sekolah? Memangnya aku mencuri sesuatu jadi harus bersembunyi? Justru aku yang malu pada perbuatan kalian. Coba kalian pikir, begitu banyak tamu penting yang datang ke pesta itu dan kalian mempermalukan aku di hadapan mereka. Di pikiran mereka pasti mengatakan kalian ini adalah sekelompok anak badung yang hanya bisa menindas teman sendiri. Kalian memang bodoh! Kalian mencorengkan arang ke wajah kalian sendiri,” ucapku.

Sepertinya aku harus waspada lagi, In Gook pasti tidak akan tinggal diam setelah kupermalukan di pesta ulang tahunnya. Aku memilih diam saja di kelas saat istirahat siang tiba dari pada harus keluyuran. Setidaknya itu memperkecil kemungkinan musuh-musuhku menyerangku. Saat menoleh ke jendela, aku begitu terperanjat saat melihat ayahku di gerbang sekolah. Ada apa ayah ke sini?, tunggu… dengan siapa ayah bicara? Ha…? In Gook! Gawat… ayah pasti akan dikerjai dan dipermalukan. Aku segera menyusul mereka ke gerbang.
“Ayah… ada apa ke sekolahku?” aku menarik tangannya dan menjauhkannya dari In Gook.
“Ayah khawatir padamu Nak!”
“Khawatir kenapa?”
“Wajahmu saat pulang dari pesta sangat murung, ayah yakin pasti terjadi sesuatu.”
“Tidak terjadi apa-apa, aku sudah bilang tidak terjadi sesuatu ‘kan, kenapa ayah tidak percaya? Lagian siapa yang murung?” aku menyembunyikan ayahku,” Lagipula untuk apa ayah bicara dengan orang itu?” tanyaku.
“Semalam dia datang mengembalikan sapu tanganmu yang katanya terjatuh di depan rumahnya sekalian dia minta maaf namun dia tidak mau bilang minta maaf karena alasan apa, itulah sebabnya ayah curiga jangan-jangan terjadi sesuatu. Makanya ayah datang menemuinya.”
“Dia bilang apa?” tanyaku,
“Dia belum sempat bilang apa-apa lalu kau datang.”
“Ayah tidak perlu terlalu mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja. Lagipula kenapa dia harus  repot-repot mengembalikan barangku. Ayah pulanglah, di sini banyak orang jahat!” aku lalu mengantar ayah menahan bus untuk pulang. Syukurlah… In Gook belum cerita apa-apa.
“Hei… tunggu dulu!” tegurnya saat aku melaluinya begitu saja, memangnya dia pikir dia itu siapa menyuruhku menunggunya.” Jongsuk…!” sambungnya,
“Ada apa! Kenapa memanggil namaku, bukankah kau sering memanggilku anak ikan,” bentakku.
“Apa ayahmu belum tahu kejadian tadi malam?”
“Untuk apa ayah tahu, kau ingin membuatnya sedih? Susah payah ayah membuat kostum untukku namun ternyata putrinya hanya dijebak. Puas kau mempermalukan aku ‘kan?” emosiku benar-benar meledak, ingin sekali aku mengucek wajahnya. Karena terlalu emosi kepalaku jadi pusing.
“Kau…? hidungmu mengeluarkan darah!” ucap In Gook kaget. Gawat aku mimisan lagi. Aku segera ke toilet dan membersihkan darah dari hidungku. Aku juga sekalian membasuh kepalaku agar darahnya berhenti mengalir. Tanpa kusangka ternyata In Gook mengamatiku dari tadi.
“Kau sakit ya…?” tanyanya setelah aku membasuh rambutku.
“Iya dan sebentar lagi aku akan mati! Aku bersumpah, bila aku menjadi hantu, kaulah orang pertama yang kudatangi!” balasku. Dia kemudian membuka tasnya dan menyodorkan selembar handuk untukku. Aku tidak mau mengambilnya tapi tiba-tiba saja dia menggosokkan ke kepalaku yang basah.
“Apa yang kau lakukan? jangan menyentuhku!” aku mendorongnya menjauhiku.
“Keringkan dulu kepalamu!” dia memaksaku mengambil handuknya. Setelah mengeringkan rambutku, aku melemparkan handuk itu ke wajahnya dan pergi begitu saja tanpa berterima kasih.
“Apa aku sangat keterlaluan mempermalukanmu semalam ya?” tanyanya saat di koridor, aku sama sekali tidak menggubrisnya. Menurutmu bagaimana?
“Jongsuk… aku minta maaf,” dia menarik tanganku dan aku segera menepisnya.
“Minta maaf? Kau sakit ya… atau kau punya rencana lagi?”
“Aku kasihan pada ayahmu!” jawabnya.
“Dengar, ayahku tidak butuh belas kasihan apalagi dari orang sepertimu.” Hu… gampang sekali dia minta maaf setelah dia mempermalukan aku tanpa ampun di pestanya. Bruk… tiba-tiba aku ambruk setelah sempat pandanganku kabur. Aku pun tak sadarkan diri.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ruang kesehatan. Ada In Gook yang menunggu di sampingku.
“Eh… kau sudah sadar, kata dokter kau kelelahan dan harus banyak istirahat,” ucapnya.
“Untuk apa kau di sini?” tanyaku.
“Aku menemanimu,”
“Aku curiga kenapa kau begitu baik padaku!”
“Kau tidak suka kalau aku baik padamu ya?”
“Tidak suka… bahkan aku sangat tidak suka!” kali ini aku tidak boleh lengah, aku bukan keledai yang dapat melakukan kesalahan sampai dua kali. Pasti dia yang membawaku ke ruang kesehatan ini. Aduh… apa teman-temanku melihat ya? Saat di kelas semua temanku berbisik tak tentu arah, mereka pasti sudah salah paham.
“Ih… aku tidak rela kalau In Gook suka padanya!” bisikan mereka sampai ke telingaku. Keterlaluan…! seharusnya mereka tak perlu berbicara sekeras itu. Semua gara-gara si brengsek itu, tapi aku tidak bisa membuat perhitungan dengan dia, toh dia hanya ingin membantuku. Aku tidak punya alasan untuk marah padanya. Karena berhembus kabar bahwa In Gook suka padaku, semua siswi di sekolah memusuhiku.  Bahkan beberapa guru wanita sinis padaku.

Waktu piket adalah saat yang paling melelahkan bagiku. Karena terlalu merendahkan seorang gadis miskin sepertiku, tak seorang pun dari regu piketku yang mau membantuku. Mereka beralasan banyak sehingga menghindar dari tugas membersihkan kelas. Aku tak dapat berbuat banyak, protes pun percuma, tak ada yang peduli. Dari pada sakit hati pada mereka yang curang, lebih baik kukerjakan saja sendiri, tugas membersihkan kelas dengan ikhlas.
“Kenapa kau sendirian?” tiba-tiba Songsaenim yang sedang mengawas ruangan muncul di dalam kelasku.
“Teman-temanku sedang sibuk, jadi aku saja yang mengerjakannya sendiri,” ucapku.
“Ya sudah… kerjakan tugasmu dengan baik!”
“Ya Songsaenim!” seruku. Beberapa saat kemudian guruku pergi, kuhembuskan napasku saat kulihat tong sampah itu, aku juga yang harus membuangnya sendirian. Tempat sampah ini lumayan berat, aku sampai oleng saat mengangkatnya, grebb… tiba-tiba saja ada yang langsung membantuku,
“Kau?!” protesku saat melihat In Gook tiba-tiba sudah ada di dekatku,
“Biar aku membantumu!” ucapnya.
“Shireo…” tolakku. Buru-buru kudorong dia agar menjauh,” Tak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri!”
“Tapi tadi kau hampir jatuh ‘kan!”
“Apa pedulimu, aku jatuh atau tidak bukanlah urusanmu. Pergilah dariku, aku sungguh tidak ingin melihat wajahmu!”
“Jongsuk~a…” dia seperti memelas,
“Berhentilah mengekoriku. Apa maumu sebenarnya? Apa lagi yang kau rencanakan?” bentakku. Dengarkan Seo In Gook, apa tidak bisa kau memberiku sedikit ketenangan di sisa waktuku belajar di sekolah ini? Kita sudah kelas III, sebentar lagi akan berpisah satu sama lain, apa tidak bisa kau membiarkan aku belajar dengan tenang?” dia terdiam, Katakanlah apa yang kau harapkan dariku, apa kau ingin aku minta maaf karena kesalahan-kesalahan yang pernah kuperbuat padamu? Baiklah… aku minta maaf! Apa kau berharap aku berlutut? Baiklah… aku akan berlutut di hadapanmu!” aku pun berlutut,
“Apa yang kau lakukan, berdirilah…” In Gook terlihat kikuk,
“Cukup ‘kan? Apa lagi yang kau mau? Jadi sekarang berhentilah menggangguku!” pintaku kemudian kembali mengangkat tong sampah itu seorang diri.  

Hari ini merupakan hari kebersihan di sekolahku. Semua murid turun ke lapangan untuk bekerja bakti.
“Anak ikan… kepala sekolah minta tolong padamu membawakan gunting rumput di halaman belakang. Dia menunggu di kebun mawarnya, katanya mau dibersihkan,” tegur seorang temanku. Aku kesal sampaikan kapan mereka akan memanggilku dengan sebutan itu. Aku segera ke gudang dan mengambil gunting rumput dan menyusul kepala sekolahku yang sudah menuggu di kebun mawarnya. Saat menuju halaman belakang, beberapa teman In Gook malah berlari berlawanan arah dariku, sepertinya mereka dikejar seseorang. Saat tiba di kebun mawar kepala sekolah, aku benar-benar terkejut,
“Han Jongsuk… apa yang kau lakukan pada taman mawarku?” bentak kepala sekolahku.
“Aku tidak melakukan apa-apa Pak, aku cuma mau membawakan gunting rumput ini untuk Bapak,” ucapku khawatir.
“Siapa yang butuh gunting rumput!?” ucapnya penuh amarah. Irgh… pasti mereka, aku berbalik melihat teman-teman In Gook yang bersembunyi di belakang tembok dan mereka tertawa saat aku ditarik oleh kepala sekolah ke tempat hukuman, aku yakin. Akupun melihat In Gook muncul di tengah-tengah mereka. Bodoh… kenapa aku mudah sekali ditipu.
Aku dihukum membersihkan kolam renang yang akan dipakai latihan oleh anak-anak klub renang minggu depan. Aku mengumpat mereka habis-habisan, kurang ajar… mana kolamnya besar sekali. Tiba-tiba aku melihat In Gook, dia datang menghampiriku. Dia terlihat gemetar berada di samping kolam.
“Mau apa kau kemari? mau menertawaiku?” bentakku.
“Aku … minta maaf.” ucapnya.
“Minta maaf? gampang sekali kau bilang begitu! Kau membuat kepala sekolah marah padaku, membuat aku dihukum, dan dengan mudahnya kau datang minta maaf, kau memang iblis bertampang malaikat. Pergi …! pergi … pergi dari hadapanku!” bentakku
“Bukan aku yang melakukannya, aku juga kaget saat kepala sekolah membawamu pergi...”
“Kau tidak tahu apa-apa? saat aku dikerjai di toilet kau juga bersandiwara memarahi mereka seakan-akan kau tidak tahu apa-apa! kini kau mau menggunakan cara yang sama untuk menipuku? pergi …!”
“Aku sungguh tidak tahu apa-apa!”
“Kau muncul di antara mereka saat aku dibawa oleh kepala sekolah dan kau masih mau mengelak?”
“Aku penasaran kenapa mereka berkumpul di situ, akupun terkejut saat melihatmu ditarik kepala sekolah … lalu aku mulai sadar kalau kau dikerjai oleh mereka.”
“Aku tidak percaya pada ular sepertimu. Pergi …!” aku mengacungkan gagang pel yang kupegang ke arahnya. Dia mundur selangkah sambil menoleh melihat kolam di belakangnya.  
“Pergi kau, aku tidak mau melihatmu lagi …!”
“Tenanglah, jangan emosi begitu.” Bujuknya.
“Pergi …!” aku mencoba memukulnya dengan gagang pel dan dia langsung mengindar namun … dia malah terpeleset dan jatuh ke kolam. Beberapa saat dia muncul ke permukaan dan mencoba berenang ke tepi, tapi … bluk … bluk … dia tenggelam.
“Jongsuk  … aku tidak bisa bergerak. Kakiku kram sekali!”
“Bagus sekali aktingmu!” ejekku. Dia tenggelam lagi dan kali ini tidak muncul-muncul ke permukaan lagi. Gawat … jangan-jangan dia tidak bisa berenang. Aku melompat ke kolam dan mencarinya di dasar. Dia sudah tidak bergerak lagi, aku segera membawanya ke tepi dan membaringkannya.
“Hei … bangun! ayo jangan pura-pura lagi!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya namun dia masih belum bangun juga.
“Hei … kau bisa mati benaran kalau kau berpura-pura seperti ini.” Aku mulai takut, aku memegang lehernya namun tidak ada denyutan,. Aku lalu menaikinya dan menekan perutnya, banyak air yang keluar. Aku teringat pesan ayah, setelah menekan perut orang yang tenggelam maka harus menunggingkan kepalanya dan mulailah memberi napas buatan. Setelah melakukan semua itu, In Gook belum sadar juga, gawat … berulang kali kucoba namun tidak berhasil.
“In Gook … bangun! kau tidak boleh mati. Aku tidak mau masuk penjara!” aku mulai menangis. Aku memukul dadanya berkali-kali,” Bangun … aku tidak mau jadi pembunuh!” aku memukulnya lagi, aku mencoba memberinya napas buatan sekali lagi. saat sedang memberi napas untuknya, tiba-tiba matanya terbuka.” Ha …” aku kaget dan menjauhkan wajahku dari wajahnya. Saking kagetnya aku sampai terjungkal kembali ke kolam. Dia batuk-batuk dan memuntahkan banyak air. Ternyata aku keliru, aku baru ingat kalau ayah menyuruh menekan dadanya bukan perutnya. Aku kembali ke tepi, aku duduk sejenak dan mengambil napas dalam-dalam.
“Kau tidak bisa berenang namun masih pergi ke tepi kolam, dasar bodoh!”
“Siapa bilang aku tidak bisa berenang, tadi kakiku cuma kram” belanya.
“Kau sudah hampir mati tapi masih sempat berbohong! untung Tuhan masih memberimu kesempatan menebus dosa. Kalau memang tidak bisa berenang jangan gengsi mengakuinya.”
“Hei … tadi tali sepatuku terkait jadi aku tidak bisa bergerak!”
“Yang benar yang mana, kakimu kram atau tal sepatumu terkait. Lihat … sepatumu tidak bertali, bagaimana mungkin terkait” bentakku.
Esoknya In Gook tidak masuk sekolah, kudengar dari teman-temannya katanya dia terserang flu berat. Wajar … dia bahkan hampir mati kemarin. Sampai beberapa hari dia tidak masuk sekolah, hu … manja sekali.
“Hei … kenapa kau tidak menjengukku?” tegurnya suatu pagi padaku
“Kau sudah sembuh ya …? selamat datang ke sekolah!”
“Aku tanya kenapa kau tidak menjengukku? kemarin kau ‘kan hampir membunuhku!”
“Untuk apa? bukankah banyak temanmu yang datang menjengukmu?” balasku. Aku berjalan ke arah belakang untuk membuang sampah. Tak kusangka dia malah mengikutiku.
“Kenapa kau mengekoriku?” aku mulai kesal
“Aku ingin mengatakan sesuatu …” jawabnya
“Apa?!”
“Sepertinya … aku mulai menyukaimu!



To be continued …


FF - When We'll Be Together (Part 1)

Part 1
Namaku Han Jong Suk, aku berumur 18 tahun. Aku hidup berdua bersama ayahku yang bekerja sebagai pedagang ikan di pasar. Hidup kami pas-pasan sehingga tak ada yang perlu dibanggakan. Aku seorang siswi kelas III SMU, aku bersekolah di salah satu sekolah yang cukup terpandang di Seoul berkat beasiswa.
 Aku tidak punya banyak teman di sekolah karena aku orang miskin, mereka bahkan menghindariku karena ayahku tidak seperti ayah mereka yang bekerja di perusahaan besar, pengusaha handal, atau pejabat ternama. Mengenai hubungan asmara, jangan ditanya lagi, mana ada siswa yang yang menyukai ‘gadis ikan’ sepertiku, begitulah mereka biasa memanggilku.

Suatu pagi aku sedang bersih-bersih kelas karena kebetulan waktunya aku piket. Air bekas mengepel lantai yang hitam dan bau, kubuang melalui celah jendela. Beberapa waktu kemudian seorang siswa berdiri di depan kelasku dengan pakaian yang basah kuyub. Seo In Gook, bodoh sekali dia berpenampilan seperti itu! Dia melihatku memegang ember dan kain pel dan seketika itu pula dia menghampiriku.
“Kau yang melempar air ke luar jendela?” tanyanya.
“Iya,” jawabku
“Lihat hasil perbuatanmu!” ucapnya marah
“Kau basah karena air itu? Salahmu sendiri kenapa berada di bagian belakang sekolah padahal kau tahu ‘kan tempat itu sering dijadikan tempat pembuangan air kotor!” dia kehabisan kata-kata
“Wah… apa kalian tidak mencium bau amis? Semacam bau ikan begitu,” ucapnya meledekku, seisi kelaspun tertawa dan mulai menambahi olokan In Gook. Aku segera meninggalkan kelas, menghindari ejekan mereka yang membuat telingaku merah.
Seo In Gook… dia siswa terpopuler di sekolahku. Orangnya kharismatik, ganteng, dan kaya. Ayahnya seorang pejabat Bank Nasiaonal Korea Selatan, banyak siswi yang bermimpi dapat berkencan dengannya. Jangankan siswi, guru-guru wanita pun banyak yang terpesona olehnya. Karena begitu banyak wanita yang mengejarnya, maka suatu aib baginya  bila tidak menggonta-ganti pasangannya dalam seminggu. Dan… aku benar-benar sial membuat masalah dengannya pagi-pagi begini. Aku pasti akan dikerjai habis-habisan. Aku baru tahu kalau ternyata dia sementara ‘ditembak’ saat aku membuang air pel itu ke jendela, pantas dia marah sebesar itu karena aku telah menggagalkan penambahan pasokan pacar barunya.    
Ternyata apa yang kutakutkan terjadi, mereka benar-benar mengerjaiku, jadilah kehidupan sekolahku seperti mimpi buruk yang menakutkan. Teman-teman sekelasku mematahkan kaki kursiku sehingga saat duduk aku terjatuh, parahnya lagi kejadian itu terjasdi saat guruku mulai mengajar. Aku terpaksa ke gudang belakang untuk mengambil bangku cadangan. Saat tiba pelajaran olahraga, bajuku direndam lumpur oleh teman-teman sekelasku. Guru olahragaku akhirnya menghukumku membersihkan toilet karena aku tidak memakai seragam saat mengikuti pelajarannya.
Saat jam makan siang, mereka masih saja mengerjaiku. Mereka menyandung kakiku senhingga makananku tumpah berserakan di lantai. Lockerku pun sengaja mereka isi dengan sampah, laci meja di kelasku diisi bangkai tkus, bahkan tugas seniku dihancurkan. Lukisan alamku akhirnya menjadi kertas dengan warna yang tidak karuan, kurasa mereka sengaja menyiramkan ait agar catnya meleleh. Namun semua ku lalui tanpa banyak protes karena aku tahu kalau aku melawan, pasti dampaknya akan semakin buruk. Setiap hari mereka mengerjaiku dengan cara yabg sangat keterlaluan, namun aku mencoba bersabar.
Suatu saat seusai istirahat siang, seorang temanku menangis tersedu karena kehilangan ponselnya yang baru. Tim guru memutuskan melakukan penggeledahan di kelasku. Akhirnya ponsel itu ditemukan di dalam tasku, para guru memandang tidak percaya padaku dan aku pun dibawa ke ruang kepala sekolah. Mereka benar-benar keterlaluan, aku pasti dijebak.
Aku berjalan lunglai… apa yang harus kukatakan pada ayah? Wali kelasku menitipkan surat panggilan untuk ayahku. Kalau ayah tidak datang besok, maka aku akan dikeluarkan dari sekolah. Beberapa mobil sport mini melewatiku di sebuah jalan kecil, mereka adalah In Gook dan kawan-kawannya.
“Wei … dasar pencuri!”
“Tidak punya uang untuk beli ponsel baru ya… jadi mencuri ponsel teman?”
“Kau ‘kan punya banyak ikan, suruh saja ayahmu menjualnya dan membelikanmu ponsel baru,” mereka menghinaku, menertawai, dan melempariku dengan kaleng minuman mereka. Dasar anak-anak kurang ajar, lihat saja aku pasti akan membalas kalian.
                                                  
“Apa…? Kau mencuri ponsel!” ayahku sangat kaget saat aku menyodorkan surat panggilan itu,” Ayah merasa tidak pernah mengajarimu mencuri!” sambunganya.
“Maaf, aku dijebak” ucapku lemah
“Siapa yang berani memfitnah putriku, biar kupotong lidahnya!” ayahku sangat murka.
“Ayah … jangan keras-keras, nanti tetangga mendengar! Mereka memang jahat, tapi aku tidak peduli, asalkan ayah mempercayaiku aku pasti melaluinya dengan kuat.”
Esoknya ayah datang memenuhi panggilan itu, cukup lama ayahku bicara dengan wali kelasku. Sampai waktu istirahat tiba aku cemas menunggunya. Beberapa anak terlihat berkumpul di lantai darurat sekolah.
“In Gook bagaimana aktingku kemarin?”
“Bagus sekali, kau akan mendapatkan banyak tawaran film kalau kau ikut casting.” jawab In Gook tersenyum.
“Akhirnya gadis ikan itu sadar kalau melawan In Gook sama saja dia cari mati,” sambung siswa yang lain.
“Semoga saja dia dikeluarkan, gara-gara dia acaraku hancur. Padahal aku sudah hampir mengutarakan perasaanku pada In Gook tiba-tiba dia membuang air lewat jendela,” kata seorang siswi. In Gook lalu merangkulnya,
“Tapi bukannya sekarang kau telah resmi menjadi pacarku?”
“Bagaimanapun aku masih sakit hati!”
“Tenanglah … ‘ayah ikan’ sedang bicara dengan wali kelas, pasti sekarang dia sedang dipermalukan.” kata seorang siswa.
“Ayah ikan…?” In Gook keheranan
“Ayahnya si gadis ikan … kita sebut saja ayah ikan, he … he …” jawab siswa itu.
“Ayah ikan dan anak ikan… cocok sekali,” merekapun menertawai aku dan ayahku. Mereka tidak sadar aku mendengarkan pembicaraan mereka dari balik pintu. Beberapa saat kemudian ayahku keluar dari ruang guru. Wajahnya terlihat lelah, aku segera menghampirinya.
 “Tenanglah … kau tiadak akan dikeluarkan. Dewan guru memaafkan salahmu kali ini,” ucap ayah. Aku menggandeng tangannya dan mengantarnya keluar. Tiba-tiba In Gook dan kawan-kawannya menghampiri kami di koridor,
“Wah … paman, bagaimana keputusan dewan guru?” tanya In Gook khawatir
“Jongsuk  dimaafkan,”  jawab ayahku tanpa bisa menyembunyikan rasa senangnya. 
Wah… syukurlah, kami juga tidak percaya anak paman mencuri ponsel. Dia ‘kan makan ikan dan ikan kaya akan protein yang baik untuk otak jadi tidak mungkin anak ikan … eh Jongsuk berlaku bodoh begitu,” kata teman yang lain.
“Kalian benar, aku memang tidak pernah mendidik putriku menjadi pencuri, menurutku putriku pasti dijebak.”
“Wah… siapa yang tega menjebak anak ikan… eh Jongsuk?” sebagian dari mereka cekikikan di belakang. Mereka sangat keterlaluan.
“Paman, bukannya sekarang ikan lagi mahal, bagaimana kalau paman menjualnya dan membelikan putri paman ponsel baru?”
“Kebetulan aku punya gantungan ponsel ikan, nanti akan kuberikan pada putrid anda,” sambung In Gook, mereka cekikikan di depan ayahku.
“Ayah ayo pulang sekarang!” bujukku
“Iya paman, kasihan ‘kan kalau toko ikan paman tutup nanti kalian mau makan apa?” tanya yang lain.
“Makan ikan saja … supaya sehat!” sambung In Gook. Mereka pun terbahak-bahak di depan kami, ayahku kebingungan. Ia tidak tahu mengapa teman-temanku tertawa.
 “Wah… Jongsuk, teman-temanmu sangat baik. Mereka sangat memperhatikan keluarga kita. Terima kasih atas perhatian kalian ya!” ucap ayahku pada mereka, mereka malah terbahak-bahak.
“Sudahlah ayah, mereka hanya mengejek kita.” aku menatap mereka dalam-dalam memberikan ancaman kalau aku akan membalas mereka. Lalu aku mengantar ayahku sampai ke gerbang sekolah.
Aku segera menemui In Gook dan ganknya, kebetulan temanku yang mengaku kehilangan ponsel kemarin sedang asyik memainkan ponselnya. Aku segera merampasnya dan membantingnya ke lantai dan menginjaknya.
“Kau …” ucapannya terputus saat aku memegang rahangnya.
“Aku sudah terlanjur basah difitnah sebagai pencuri ponselmu, lebih baik aku hancurkan saja biar semua impas. Aku yang rugi bila tidak menghancurkan ponselmu.” Aku melirik ke arah In Gook.” Kau puas menghina ayahku? Kuperingatkan… aku seperti kebanyakan orang yang lebih menerima bila kau menghinaku, tapi aku tidak akan tinggal diam kalau kau mulai menghina keluargaku!” aku menarik kerah bajunya dan mendorongnya. Mereka terdiam melihatku, kali ini aku tidak akan tinggal diam. Aku akan membalas semua perbuatan kalian kepadaku.
Suatu pagi aku dipanggil ke ruang kepala sekolah, In Gook menuduhku menghancurkan mobilnya.
“Aku tidak pernah melakukannya Pak! mereka telah menfitnahku!” belaku di depan kepala sekolah
“Apa…? Di depan mataku sendiri kau memecahkan kaca mobilku, kau menggores mobilku dengan paku kemudian mengempeskan bannya, lalu kau bilang kau tidak melakukannya bahkan kau bilang aku memfitnahmu!” In Gook naik darah,
“Apa buktinya aku melakukannya?” tantangku
“Teman-temanku melihatmu!” balas In Gook
“Kau bisa saja bersekongkol dengan mereka untuk menjebakku lagi ‘kan? Seperti yang kalian lakukan kemarin saat memfitnahku mencuri ponsel.”
“Berani-beraninya kau mengelak!” bentak In Gook padaku,
“Jangan membentakku! Apa kalian punya bukti kalau kalian melihatku menghancurkan mobilnya? Pak kepala, kalau kali ini anda tidak adil lagi padaku aku bisa melaporkan mereka pada polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Kurasa anda tahu apa dampak laporan itu pada nama baik sekolah ini?” ancamku. Kepsek tidak dapat berbuat banyak tanpa bukti yang kuat, akhirnya kasus ini ditutup.

Seusai sekolah aku menunggui mereka di parkiran sekolah, In Gook mengendarai mobil barunya. Tok-tok, aku mengetuk pintu mobilnya, dia membukanya sedikit
“Bagaimana, kau puas ‘kan dengan hasil kerjaku?” tanyaku.” Kalau kau masih usil padaku… maka aku akan membuatmu menyesal dilahirkan ke dunia ini. Kejadian kemarin hanya gertakan, aku bisa saja menghancurkan yang lain selain mobilmu. Itu balasan atas sakit hatiku karena kau telah menghina ayahku,” ucapku. Memang benar aku yang menghancurkan mobilnya. Bahkan aku melakukannya di depan In Gook dan kawan-kawannya serta menangtangnya sendiri untuk melaporkannya kepada Kepsek. Mereka tidak punya bukti karena kamera CTV di parkiran telah kurusak.
 Beberapa hari berlalu namun tidak terjadi apa-apa, tak ada jebakan maupun keusilan In Gook dan teman-temannya untukku. Namun aku tidak boleh lengah karena karena mereka pasti tidak akan tinggal diam. Suatu hari saat tugas piketku tiba, aku pergi membuang sampah di halaman belakang sekolah. Tiba-tiba ada sebuah tas melayang ke arahku. Setelah menengadah, aku melihat In Gook memanjat pagar. Hari ini dia datang terlambat sehingga dia lewat belakang karena tidak mau dihukum.
Dia terkejut saat dia melihatku. Dia tidak bisa langsung melompat karena banyak kawat berduri di sekitar pagar. Dia kebingungan mau melompat dari sisi mana, entah mengapa aku jadi iba melihatnya. Aku segera ke gudang dan mengambil tangga lipat untuk membantunya. Awalnya dia enggan melewati tangga itu,
“Kenapa... kau curiga ini jebakan? Kalau begitu ya sudah…” aku melipat tangga itu lagi setelah tadi merenggangkannya.
“Eh… baiklah!” cegatnya. Akupun mengulurkan tangga itu ke arahnya lagi. Perlahan-lahan dia menuruni anak tangga itu, aku baru menyadari kalau anak tangga yang ke tujuh, mornya lepas.
“Jangan diinjak!” ucapku tiba-tiba sehingga dia kaget saat menginjak anak tangga yang ke tujuh. Bruk… dia dan tangga itu jatuh menimpaku. Deg… deg... jantungku berdegup kencang, ini pertama kalinya aku berada sedekat ini dengan seorang pria dalam delapan belas tahun sejarah hidupku.
“Jantungmu berdegup kencang sekali,” ucapnya,” Aww… kepalaku sakit sekali,” dia kemudian duduk di sampingku dan memegangi kepalanya yang tertimpa tangga.
“Kau mau apa?” tanyanya saat aku menarik tangannya.
“Biar kuobati,” jawabku. Aku lalu membawanya ke gudang dan mencari pisau yang tak terpakai,” Kau mau apa?” dia terkejut saat melihatku memegang pisau.” Kamu mau apa? Jangan mendekat!” ancamnya.
“Aku cuma mau mengobati luka di kepalamu!”
“Tapi kenapa pakai pisau?” tanyanya kaget
“Sudah… tenang saja.”  aku lalu memgang kepalanya dan menekankan pisau itu ke benjolannya.
“Aw … sakit sekali!”
“Memang sakit, tapi ini akan membantumu mengempeskan benjolan di kepalamu. Aku belajar ini dari ayahku dan cara ini sangat manjur,”
“Oh … dari si ayah ikan, ha … ha … ha …” dia terbahak.
“Aku bisa saja mengalungkan sabetan pisau ini ke lehermu kalau kau masih menghina ayahku.”  ancamku.
“Maaf…” dia tiba-tiba berhenti bicara. Begitulah, pagiku kuhabiskan dengan membantunya mengobati lukanya.   

Siang ini setelah olahraga, aku benar-benar kepanasan. Teman-temanku duluan menggunakan kamar mandi jadi terpaksa aku harus mengantri. Setelah tiba giliranku, aku mulai melepas baju dan membasuh badanku dengan air. Seusai mandi aku mencari bajuku… tunggu dulu di mana bajuku? Padahal aku menggantungnya di dekat pintu. Gawat… pasti ada lagi yang usil padaku. Aku berteriak memanggil teman-temanku namun ternyata toilet sudah kosong. Untung saja aku punya handuk cadangan. Aku keluar perlahan mencari bajuku, sial… di mana mereka menyembunyikannya? Mana waktu istirahat sudah hampir usai. Tidak mungkin aku keluar ke koridor hanya dengan menggunakan handuk. Tolong… seseorang tolonglah aku. Bruk… tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan beberapa orang siswa terjatuh, ternyata mereka berdesakan untuk mengintipku. Kalian…! seseorang lalu mengambil ponselnya dan memotretku hanya dengan menggunakan handuk.
“Apa yang kalian lakukan? Pergi! Pergi!” kelewatan, kalian benar-benar kurang ajar.
“Hei… apa yang kalian lakukan di toilet wanita?” tanya In Gook yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Dia terbelalak melihatku karena aku hanya menggunakan handuk.” Kenapa kau tidak berpakaian?” tanyanya, dia juga melihat teman-temannya memotretku      “Hentikan! Kenapa kalian kurang ajar begini?” bentaknya pada teman-temannya. Dia berlari ke arahku dan memelukku untuk menutupi tubuhku dari teman-temannya,
“Pergi kalian, pergi!” dia melepas jasnya dan memasangkannya untukku. Dia lalu mengambil semua ponsel temannya serta menyuruh mereka keluar. Dia mendapat seragamku di dalam tempat sampah, untung saja terbungkus plastik sehingga tidak kotor meski kusut. Aku pun segera memakai seragamku, sementara dia menungguku di luar.
Aku perlahan-lahan keluar dari kamar mandi. Dia menungguku sambil mengotak-atik ponsel-ponsel milik temannya.              
“Oh… kau sudah selesai, aku juga sudah menghapus gambarmu di ponsel mereka…” ucapnya, plaaak…! Aku menamparnya.
“Kau pikir aku tidak tahu apa rencanamu? Kau sengaja menyusun kejadian ini ‘kan dan berpura-pura muncul sebagai dewa penolong di hadapanku sehingga membuatku merasa simpati padamu. Kau salah, aku tidak sebodoh yang kau kira. Kau benar-benar rendah Seo In Gook!” aku pergi meninggalkannya, kali ini mereka benar-benar keterlaluan.

Usai sekolah aku sengaja lewat halaman belakang. Aku malas bertemu In Gook dan genknya di parkiran sekolah. Tapi… aku malah melihat mereka berkumpul di koridor belakang sekolah sehingga aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka,
“Bodoh…! Kalian memang bodoh! Aku memang berniat membalasnya namun tidak pernah terlintas di pikiranku untuk mengerjai dia seperti itu.” ucap In Gook.
“Tapi…” ucap salah seorang dari mereka.
“Tapi apa? Kali ini kalian benar-benar keterlaluan, bercanda pun ada batasnya, mengerti! Bagaimana kalau dia menuntut kalian atas tuduhan pencabulan pada polisi? Kalian mau dipenjara?” tambah In Gook
“Kenapa kau membelanya, bukankah kita memang ingin mengerjainya?” tanya pacarnya.
“Pasti kau yang menyembunyikan bajunya. Pokoknya aku tidak mau tahu, besok kalian harus minta maaf padanya!”
“Untuk apa minta maaf…?” protes pacarnya.
“Karena kalian sudah sangat keterlaluan!”  balas In Gook.
“Kenapa kau membelanya, aku ini pacarmu namun teganya kau menyuruhku minta maaf pada musuhku,”
“Baiklah, kau kuputuskan!”
“Apa?”
“Kau kuputuskan, sudah jelas? Lagipula hari ini adalah hari ke lima kita pacaran, kau tahu sendiri ‘kan aku ini bagaimana? Aku hanya bertahan dengan wanita maksimal lima hari,”
“In Gook… kau keterlaluan,” gadis itu mulai menangis.
“Aku tidak mau tahu apa-apa, besok kalian harus minta maaf.” Dia meninggalkan teman-temannya begitu saja. Jadi… dia benar-benar tidak tahu apa-apa, padahal aku sudah menamparnya.
Semalaman aku memikirkan masalah ini, apa aku harus minta maaf pada In Gook? Ayahku menganjurkan agar aku minta maaf karena salah paham padanya, tapi… apa dia mau menerima maafku?
Esoknya aku menemui In Gook saat istirahat siang, dia terlihat cuek di hadapanku. Tuh ‘kan… dia pasti masih marah.
“Aku minta maaf!”
“Untuk apa?” tanyanya,
“Masalah kemarin…”
“Bukannya aku telah menyusun kejadian itu untuk menjebakmu?”
“Aku tahu, aku salah paham padamu!”
“Sudahlah…!” dia berlalu meninggalkan aku
“In Gook…!” aku mengejarnya dan tanpa kusadari aku memegang tangannya,” Aku benar-benar minta maaf!” tambahku.
“Baik aku memaafkanmu. Setidaknya kita impas sekarang. Terima kasih kau sudah menolongku mengobati kepalaku dan aku menolongmu dari keusilan mereka. Sekarang lepaskan tanganku, aku tidak mau orang-orang nanti salah paham.” Aku segera melepaskan tangannya dan membiarkannya meninggalkan aku. Beberapa saat kemudian teman-temannya datang dan meminta maaf padaku atas perbuatan mereka tak terkecuali pacarnya In Gook, eh… mantannya.
Beberapa hari berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Kuharap ini berlangsung sampai upacara penamatan nanti. Aku malas kalau berurusan dengan mereka lagi. Saat pulang ke rumah usai sekolah aku berpapasan dengan In Gook di jalan,
“Mau pulang? Ayo kuantar!” tawarnya padaku sambil membuka pintu mobilnya.
“Tidak perlu, aku naik bus saja. Haltenya juga sudah dekat.”
“Kau takut aku menjebakmu lagi?”
“Bukan begitu… lagi pula siapa yang takut. Tidak apa-apa… aku naik bus saja!”
“Ayolah, aku berniat baik padamu tapi kenapa kau tolak?” dia terus memaksaku sampai akhirnya aku tidak bisa menolak lagi. Mobilnya melaju kencang di atas aspal, aku agak gugup berada di sampingnya. Dia memang sangat keren, wajar kalau dia sangat popular di sekolah, apa lagi dia anak orang kaya. Tiba-tiba dia singgah di sebuah butik, dia menyuruhku menunggu sebentar. Setelah beberapa saat dia kembali sambil membawa bungkusan.
 “Maaf membuatmu menunggu, aku singgah mengambil kostum bajak lautku,” ucapnya sambil menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankannya.” Oh ya… malam minggu nanti kau ada acara tiadak? Datanglah ke pesta ulang tahunku, acaranya sangat seru… aku mengadakan pesta kostum lihat saja kostumku bajak laut. Lagi pula yang datang hanya teman-teman sekolah,” dia menyodorkan sepucuk undangan padaku.” Aku ingin kau datang karena kau akan menjadi tamu teristimewaku malam itu, aku berjanji!” dia tersenyum ke arahku.
“Maaf aku …”
“Jangan katakan kau tidak bisa datang. Aku benar-benar tulus mengundangmu. Aku baru menyadari bahwa sebenarnya kau ini gadis yang baik. Meski kita bermusuhan, kau masih mau menolongku saat aku terlambat ke sekolah. Padahal kalau dipikir-pikir kau bisa saja melaporkan aku ke kepala sekolah.”
“Waktu itu aku hanya kasihan melihatmu,”
“Karena itulah aku mulai tertarik padamu. Meski sakit hatimu sangat besar padaku namun kau masih mau menolongku di saat aku butuh bantuan,” dia menghentikan mobilnya tepat di depan pasar ikan.” Aku benar-benar berharap kau mau datang!” dia memohon padaku. Aku turun dari mobilnya dan mengucapkan terima kasih.
         
Ayah menemukan undangan ulang tahun In Gook di atas meja belajarku, ayah sangat senang membacanya.
“Wah … ini pertama kalinya kau mendapat undangan ulang tahun dari temanmu kau mau datang ‘kan?” tanya ayah
“Aku juga tidak tahu, tapi mungkin aku tidak akan datang!”
“Kenapa tidak… bukankah kau diundang?”
“Ayah… dia anak orang kaya, aku pasti tidak cocok dengan pestanya apalagi pestanya pesta kostum aku ‘kan tidak punya baju? Sudahlah… aku akan membantu ayah bekerja di pasar saja. Bukankah kalau malam minggu banyak pesanan yang datang?” ucapku. Ayah nampak kecewa dengan ucapanku. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi, toh… memang aku tidak pantas ke pesta itu.
Beberapa malam ayah tidak tidur, aku tidak tahu dia mengerjakan apa. dia menyembunyikannya dariku. Dan… alangkah terkejutnya diriku saat ayah memberikan kostum pputri duyung padaku. aku benar-benar terharu saat ayah bilang kalau ayah ingin aku ke pesta itu sebab selama ini aku tidak pernah mendapatkan undangan pesta dari teman-temanku.
“Jadi ayah tidak tidur beberapa malam ini karena membuatkan kostum ini untukku?”
“Iya … pakailah ke pesta itu dan bersenang-senanglah bersama temanmu.”
“Ayah kenapa kau begitu baik padaku padahal ibuku sangat jahat padamu.”
“Jangan bicara seperti itu pada mendiang ibumu. Apapun yang terjadi kalian adalah keluargaku yang sangat aku sayangi.”
“Jangan buat aku semakin sulit untuk meninggalkanmu,” ucapku
“Memangnya kau mau ke mana? Kau tak akan ke mana-mana. Kau akan tetap di sini menemani ayah selamanya,” kupeluk ayahku, hatiku menangis memikirkan nasibnya, sungguh aku sangat tersanjumg mempunyai ayah yang sangat penyayang seperti dia. Aku putuskan menghadiri pesta ulang tahunnya In Gook. Aku tak mau mengecewakan ayah yang telah bersusah payah membuatkan kostum untukku.
Ayah mengantarku ke pesta In Gook dengan menggunakan mobil pinjaman dari temannya. Ayah sangat antusias membantuku, dia tidak ingin kostumku rusak bila aku menumpangi bus. Aku turun dari mobil tepat di depan rumah mewah In Gook.
      “Ayo cepatlah masuk… nanti kau terlambat!” perintah ayah. Saat aku memasuki ruangan pesta aku benar-benar terkejut. Aku melihat beberapa pejabat pemerintahan dan pengusaha terkenal yang sedang asyik bercengkrama. Beberapa orang teman sekolahku pun terlihat berbincang-bincang di sudut ruangan. In Gook menipuku…! 



To be continued …

Monday 14 December 2015

FF I am Holding Back the Tears (Part 2)


Part 2

Sebelumnya di Holding Back The Tears (Part 1) 


Drrrrrrrtttttt, ponselku bergetar, ketika kuangkat ternyata dari Yoo Chun. Dia mengajakku minum the di sebuah kedai teh di kawasan Gangnam.
“Sore ini begitu dingin, bagaimana kalau kuajak kau minum the hijau, kau pasti suka!” ajaknya. Dia memgang tanganku dan menuntunku berjalan menelusuri kedai teh yang ditujunya. Ya ampun… apakah ini hanya kebetulan lagi?
Tak terasa musim dingin telah tiba, hampir setahun aku bersahabat dengan Yoo Chun. Semakin lama aku semakin sadar kalau sebenarnya jauh sebelum pertemuan kami yang pertama, Yoo Chun telah mengenalku dengan sangat jelas.
“Bagaimana? Teh di sini enak ‘kan?” tanyanya antusias.
“Kau tahu, aku seperti dipermainkan oleh nasib. Aku mencoba menjahit luka yang telah ditorehkan Jae Joong padaku dengan cara melupakan semua kenanganku dengannya. namun luka itu terbuka kembali setelah kedatanganmu dalam kehidupanku. Kau mengingatkan aku dengan semua hal yang ingin kulupakan.” kataku lirih.
“Apa…?” dia terlihat terkejut,
“Jae Joong sangat menyukai teh hijau, di saat orang-orang lebih memilih menikmati cokelat atau susu panas di musim dingin, kami malah memilih menyantap teh hijau!”
“Maaf, apakah kau benar-benar ingin melupakan orang itu? apa yang telah dia perbuat padamu sehingga kau ingin melupakannya?”
“Dia melakukan sesuati yang tidak termaafkan! Aku tak mau mengenang orang itu lagi! terlalu dalam luka yang dia torehkan padaku,”
“Tak baik bila membenci orang terlalu berlebihan. Bukankah Tuhan selalu memberikan maaf bagi umatnya yang telah berbuat salah? Kenapa kita sebagai pengikut-Nya tidak mencoba memaafkan orang yang telah bersalah pada kita?”
“Aku bukan Tuhan! Aku hanya manusia biasa yang lemah dan punya air mata. Bagaimana pun juga keikhlasan untuk memaafkan seseorang ada batasnya. Dia membohongiku…dia penipu!” nada suaraku meninggi.
“Atas dasar apa kau mengatakannya penipu?”
“Dia tidak hadir di pesta pernikahan kami, dia meninggalkan aku sendirian di tengah keramaian acara! Aku menunggunya, aku tetap menunggunya meski malam semakin larut, meski semua tamu sudah pergi, meski mawar-mawar itu melayu. Tapi apa yang kudapat? Kekecewaan, ya… hanya rasa kecewa. Danau itu saksinya!”
“Apa kau tidak berpikir, mungkin dia tidak datang karena telah terjadi sesuatu?”
“Tidak. Dia memang hanya ingin mempermainkan aku, dia sama sekali tidak mencintaiku!”
“Dia sangat mencintaimu!” ucap Yoo Chun,
“Dia tidak mencintaiku!” balasku sengit sampai tak kusadari memukul meja sehingga beberapa pengunjung memperhatikan kami.
“Dia sangat mencintaimu, percayalah! Dia tidak datang saat itu pasti karena telah terjadi sesuatu!”
“Dari mana kau tahu? Kau bukan dia!”
“Aku mengenal dia dengan sangat jelas!”
“Oh… jadi kau orang yang dikirim Jae Joong untuk membuatku menderita lagi? kalau boleh tahu dia mana dia sekarang? Apakah dia masih dapat tidur nyenyak dan makan lahap setelah dia mempermainkan aku?” tanyaku sinis, sudah kuduga dia pasti ada hubungan dengan Jae Joong.
“Dia tidak bisa tidur dan makan setiap kali dia teringat olehmu! Keadaannya juga sangat menyedihkan. Kalau kau ingin bertemu, akan kubawa kau menemuinya. Aku yakin kau juga sangat rindu padanya…”
“Kau gila? Dengan semua perbuatannya, kau pikir masih ada rindu untuknya?” aku bergegas meninggalkan Yoo Chun di kedai itu. Bodoh… begitu mudahnya aku tertipu denga Yoo Chun yang ternyata mengenal Jae Joong dengan sangat jelas. Pantas semua tindakannya membuatku teringat dengan Jae Joong.

Hari ini entah dorongan apa yang kurasakan sehingga kakiku membawaku kembali ke danau itu. Meski hampir dua tahun aku tidak melihat danau ini, namun danau ini tetap tidak berubah. Termasuk kenangan bersama Jae Joong…
“Bagaimana… kau suka tempatnya?” tanya Jae Joong kala itu. Dia memelukku dari belakang, aku sangat sulit untuk melupakannya.
“Uhm… indah sekali, dari mana kau tahu tempat seindah ini?”
“Aku tidak sengaja menemukannya lalu kupikir akan sangat sempurna bila pernikahan kita dilangsungkan di sini. Apa kau sudah dapat ide?”
“Iya, bagaimana kalau altarnya di sudut sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sudut. Jae Joong tersenyum,
“Bagus! Pintu masuknya dihiasi dengan beruang ya, aku merasa beruang itu seperti aku dan kau lah madunya. Beruang sangat menyukai madu dan aku sangat menyukaimu!”
Aku menangis mengingat semua kenangan bersamanya. Aku sulit mempercayai kata-katanya, kalau memang dia mencintaiku, kenapa dia pergi? Aku berjalan menelusuri pepohonan di sepanjang danau, setelah itu ke taman bermain di tepi kota. Aku duduk di sebuah bangku di bawah pohon, di tempat inilah Kim Jae Joong melamarku pertama kali. Saat itu aku duduk sendirian, tiba-tiba seseorang menempelkan sekaleng jus di pipiku. Begitu menoleh, ternyata orang itu Jae Joong.
“Sudah lama menunggu? Maaf ya aku datang terlambat, tadi aku ada urusan mendadak!” sesalnya sambil menyogokku dengan sekaleng jus.
“Tak apa… kau hanya terlambat sejam!” ledekku, dia tersenyum malu. “Tenanglah, aku juga ditemani oleh anak-anak itu jadi menunggumu sejam tidak terasa bagiku,” aku membuka kaleng jus dan memasukkan sedotan lalu meminumnya. Jae Joong terus menatapku,
“Kau sangat menyukai anak-anak?” tanyanya,
“Iya, mereka sangat lugu.” jawabku
“Aku yakin kelak kau akan menjadi seorang ibu yang baik,” pujinya.
“Dan aku yakin kau tidak akan menjadi ayah yang baik sebab kau sering lelet!” ledekku. Sekali lagi dia tersenyum malu, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya,
“Aku terlambat karena harus mencari ini dulu…” dia membuka sebuah kotak kecil yang dikeluarkan dari sakunya tadi, ternyata isinya sebuah cincin berlian,
“Maukah kau menikah denganku?” pintanya.

Air mataku mengalir lagi, Jae Joong… hiks, kenapa kau menghilang begitu saja tanpa membawa serta semua kenanganmu yang sangat menyakitkan.
“Ternyata kau di sini, tadi aku mencarimu di danau,” Yoo Chun muncul tiba-tiba sehingga aku sedikit terkejut.
“Mau apa lagi kau datang ke sini?” tanyaku ketus,
“Apa kau masih marah?” tanyanya balik, huh… sungguh menyebalkan. “Hei… ini tempat di mana kau dilamar oleh Jae Joong ‘kan?” lanjutnya.
“Berhentilah menyebut namanya!”
“Kau sampai menangis terharu saat Jae Joong memasangkan cincin lamarannya di jarimu ‘kan?”
“Aku bilang berhentilah menyebut namanya!”
“Jae Joong lalu menyeka air matamu dan memelukmu, bagaimana perasaanmu saat itu?”
“Aku sudah bilang jangan sebut namanya lagi, apa kau tidak punya telinga?” aku marah pada pemuda di hadapanku ini.
“Kenapa, apa kau tidak ingin mengingat kenangan itu? Lalu untuk apa kau mengunjungi tempat ini lagi? Kau bilang kau ingin mengubur semua kenanganmu, lalu apa artinya usahamu bila kau masih mengunjungi tempat-tempat sakral kalian?” untuk pertama kalinya Yoo Chun membentakku. Aku kaget melihat ekspresinya,
“Kau munafik!” lanjutnya memakiku.
Keterlauan! Dia sangat keterlaluan, ingin sekali aku menamparnya namun hatiku mengiyakan makiannya. Aku memang munafik. Aku memilih meninggalkan Yoo Chun dari pada harus bertengkar dengannya.
“Kau mau ke mana? Akan kubawa kau menemui Jae Joong sekarang!” dia menarik tanganku dengak kasar dan memaksaku masuk ke mobilnya.
“Lepaskan!” kataku berulang-ulang namun dia sama sekali tidak peduli, Yoo Chun bertindak seperti orang kesetanan.
Setelah cukup lama, akhirnya mobilnya berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Dia keluar dari mobil dan memegang tanganku seakan menuntunku menelusuri tempat yang dipenuhi pepohonan kering. Makam? Kenapa dia membawaku ke makam? Jangan-jangan…
Yoo Chun menghentikan langkahnya tepat di sebuah makam, telunjuknya mengarahkan penglihatanku pada batu nisan di depannya. Jelas sekali di mataku nisan itu bertuliskan Kim Jae Joong. Awalnya aku tidak percaya pada apa yang kulihat, aku mendekat bahkan duduk di depan nisan itu, kuraba perlahan batu keras itu dan air mataku akhirnya mengucur saat kupastikan nisan itu mencetak huruf Kim Jae Joong.
“Jae Joong…!” hiks, aku menangis sesenggukan sambil memeluk nisan itu, Jae Joong-ku terbaring di bawahnya. Kulihat tanggal kematiannya, persis dengan tanggal pernikahan kami dua tahun yang lalu. Jae Joong… maafkan aku, maaf…
“Dua tahun yang lalu saat dalam perjalanan menuju pesta pernikahan kalian, Jae Joong mengalami kecelakaan. Keadaannya kritis dengan kemampuan bertahan hidup di bawah 20%. Di pihak lain, seorang pemuda bernama Park Yoo Chun koma akibat tumor otak yang dideritanya. Otak kecilnya mengalami kerusakan dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan melakukan transplantasi. Jae Joong yang tidak punya harapan hidup lagi, dijadikan donor untuk Yoo Chun, otak kecil milik Jae Joong ditransplantasikan pada Yoo Chun dan akhirnya Yoo Chun dapat hidup sampai detik ini. Dia hidup dengan memori milik Jae Joong.” Yoo Chun bercerita dengan suara berat,
“Yoo Chun tetap hidup dengan memori milik Jae Joong? Berarti …” kata-kataku terputus, napasku jadi tidak beraturan,
“Ya… akulah Jae Joong yang terperangkap dalam tubuh Yoo Chun,” air matanya menetes perlahan. “Saat itu aku tidak bisa menerima semua yang dilakukan tim medis padaku, menurutku mereka sangat kejam. Namun aku sadar ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Yoo Chun dan ingatanku. Saat pertama kali kubuka mata usai operasi itu, hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah dirimu! Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Aku masih sulit percaya peda penjelasan Yoo Chun, benarkah dia adalah Jae Joong-ku? Aku berdiri memegang wajahnya, kuperhatikan garis-garis wajahnya dengan seksama, benarkah Jae Joong hidup di dalamnya?
“Aku benar-benar frustasi memikirkan keadaanmu, apa yang terjadi padamu saat aku tidak menghadiri pernikahan kita? Saat aku kembali ke danau itu, semuanya telah tiada. Aku bukannya ingin mempermainkanmu, aku bukannya ingin menyakitimu, aku malah sangat mencintaiku. Namun takdir lah yang membuatku harus meninggalkanmu.” Air matanya mengalir, kami berdua pun menangis.
“Aku mencarimu begitu aku keluar dari rumah sakit, namun kau sudah pergi entah ke mana, tak ada kabar yang tertinggal. Sampai akhirnya setahun kemudian Yoo Mi memperkenalkan kita. Saat itu aku senang, senang sekali sebab aku berhasil menemukanmu sampai ingin menangis rasanya. Sayangnya keadaan tidak seperti dulu lagi, kau terlanjur sakit hati dan benci padaku, kau bahkan ingin melupakan kenangan kita… aku sungguh sedih!” lanjutnya lagi.
“Maafkan aku… aku tidak tahu apa-apa!” isakku.
“Jangan benci padaku, kumohon! Aku tak bisa bila tanpamu,” lirihnya. Aku memeluk dirinya, aku memeluk Jae Joong yang begitu lama aku rindukan. Akhirnya aku mengerti kenapa dia menatapku dengan tatapan aneh saat pertama kali kami bertemu dan kenapa dia tahu semua tentang kenanganku bersama Jae Joong. Terakhir aku baru mengerti mengapa Yoo Chun terlihat seperti Jae Joong. Semua memang sudah diatur dengan rapi oleh Tuhan.


I am Holding Back the Tears

End