Waktu berjalan
cepat, tak terasa aku telah menyelesaikan praktek mengajarku di sekolah. Kini
saatnya menyusun skripsiku. Huft… memang nasibku sangat sial, mau tidak mau aku
harus kembali mengandalkan Pak Lee sebagai dosen konsultan. Huh… kenapa dosen
pembimbingku harus dia?!!!!!
“Oh ya teman-teman… kemarin ada
pemberitahuan dari Pak Lee, bagi mahasiswa di bawah bimbingannya, diharap
mengumpulkan laporannya besok untuk dikoreksi dan lagi, jadwal konsult adalah
besok lusa!” teriak temanku, Sung Hee, di depan kelas. “Dan satu lagi, jangan
terlambat! Aku tidak mau gara-gara satu orang pembuat onar, kita semua kena
getahnya!” dia melirik ke arahku, heh… enak saja, maksudmu pembuat onar itu
aku?
Keesokan sorenya Sung Hee menegurku,
katanya aku belum mengumpulkan laporanku. Anak ini menyebalkan juga, apa dia
asisten Pak Lee atur sana atur sini?
“Pak Lee menanyakan laporanmu, kau
belum mengumpulkannya?!”
“Sudah!” balasku cuek,
“Lalu kenapa Pak Lee bilang dia
belum pernah melihatmu masuk ke ruangannya mengumpul laporanmu!”
“Memangnya ada syarat harus si
pemilik yang mengumpulkan laporannya? Aku sudah titip pada yang lain. Kalau
tidak percaya, periksa saja!” gadis itu terlihat kesal padaku. Oh… jadi dia
menungguku masuk ke ruangannya? Cih… sampai kapanpun aku tidak akan termakan
oleh permainanmu.
Akhirnya tiba juga jadwal
konsultasi, aku duduk paling buntut seperti biasa. Dosenku itu masuk dan
melemparkan pandangan ke arahku, segera kutekuk wajahku sampai begitu dekat
dengan buku yang kubaca. Dia memulai penjelasannya, aku mencatat sekenanya,
prosedur penulisan, apa yang perlu dijelaskan dalam skripsiku, apa yang perlu
kutambah dan yang perlu dikurangi.
Waktu
dua jam konsultasi terasa begitu panjang bagiku, tapi untung saja sekarang
saatnya bubar. Nama kami disebut satu persatu untuk mengambil laporan yang
telah dikoreksi olehnya dan saat ini giliranku. Aku melangkah ke arahnya,
berjalan seperti biasa. Tanpa ekspresi dan tidak basa-basi seperti gayaku
selama ini.
“Kau
banyak kesalahan dalam penulisan kalimat,” dia membuka laporanku dan
menunjukkan letak kesalahanku. Aku mengangguk menerima kritikannya, baru saja
ingin mengambil laporanku, dia menariknya kembali. “Kau menghindar ya?” kali
ini dia membahas hal yang tidak berhubungan dengan skripsi. Aku bungkam, dia menungguku
merespon,
“Pak,
teman-teman yang lain sedang menunggu!” aku mengingatkannya,
“Kau
yang membuatnya menunggu! Kalau kau menjawab, kau akan kulepas!” what? Lepas?
Memangnya aku tahananmu. “Baiklah, temui aku di ruanganku nanti!” dia menarik
laporanku dan menyimpannya di tumpukan paling bawah.
“Laporanku?”
tanyaku, maksudku anda tidak memberikannya padaku?
“Nanti
kau ambil setelah menemuiku di ruanganku!” ucapnya cuek. Jiah… aku memutar
badan dan kembali ke bangkuku, tanganku mengepal lembaran kertas buram sampai
remas saking jengkelnya.
Apa
yang akan dikatakan Pak Lee? Kemarin sore aku langsung meninggalkan kampus
tanpa mampir ke ruangannya, alhasil aku tak memperoleh laporanku. Dua hari lagi
akan ada jadwal konsultasi dan aku harus menyelesaikan perbaikan laporanku itu.
Huft… aku bingung sendiri, untung aku masih ingat sedikit letak kesalahanku
yang ditunjukkan dosenku itu. Lama-lama di perpustakaan, aku jadi bosan.
Kusudahi aktivitasku memperbaiki laporanku dan segera keluar dari ruangan ini.
Deg…
aku berpapasan dengan Pak Lee di pintu! Dia mencengkram lenganku dan segera
membawaku ke tempat yang sepi.
“Kenapa
kau tidak menemuiku kemarin?” tanyanya dengan suara yang menakutkan.
“Aku
buru-buru Pak, kemarin harus cepat pulang!”
“Jung
Eun Hye, jangan anggap enteng laporanmu yang telah kukoreksi. Kalau kau ikut
ujian meja dengan laporan yang amburadul kau akan dalam masalah. Bahkan aku
tidak akan menandatangani izin ujian mejamu kalau sikapmu sok begini.” Dia
mengancamku,
“Kenapa
aku diperlakukan beda? Teman-temanku mendapatkan laporannya kemarin sore
sedangkan aku harus menghadap bapak dulu baru bisa mengambilnya!” aku melawan,
inilah aku si pembangkang, julukan darinya.
“…”
dia diam, ditariknya napasnya dalam-dalam. “Maaf…” lirihnya pelan. “Aku hanya
ingin menjelaskan apa yang kau dengar saat reuni itu.” Akhirnya dia mengakui
tujuan sebenarnya memanggilku ke ruangannya.
“Aku
sudah dengar dan sangat mengerti Pak, anda tidak perlu repot-repot
menjelaskannya padaku. Permisi!” ucapku dingin dan bergegas meninggalkannya.
“Aku
belum selesai bicara!” dia mencegatku,
“Tapi
aku tidak mau bicara dengan Anda!” nadaku meninggi, “Kenapa Bapak tidak
mengerti sih? Seandainya Anda ada di posisiku, aku yakin Anda pasti melakukan
hal yang sama. Sakit Pak… sakit sekali saat mengetahui kalau aku hanya dimanfaatkan. Terlebih lagi
ternyata selama ini Anda hanya menganggapku anak-anak!” perlahan mataku
berkaca-kaca, dia jadi tak jelas dalam penglihatanku.
“…”
dia bisu, tak ada lagi yang dapat dikatakannya karena dia memang salah.
“Kita
hanya terpaut empat tahun, apakah hal itu yang membuatku terlihat seperti anak
kecil di mata Bapak? Apa itu tidak berlebihan?! Memang benar aku mahasiswi
anda, tapi mahasiswi bukan berarti anak kecil kan’? I’m care to you but you think this is childish doing only!”
kuhempaskan pegangannya dan meninggalkannya.
“Eun
Hye…” sekali lagi dia mencegatku,
“Berhenti
menyakitiku Pak! Aku sungguh tidak biasa dengan sakit seperti ini. Ya… ada
benarnya juga anda mengatakanku anak kecil karena aku tidak mau disakiti!”
kuhempaskan lagi pegangannya. “Seandainya saja aku tidak memliki perasaan
apa-apa pada anda mungkin rasanya tidak
akan sesakit ini!” lirihku lalu pergi dari hadapannya. Kuseka air mataku yang
sedari tadi mengalir dan membuatku malu.
Bodoh!
Kau memang bodoh Jung Eun Hye! Kenapa kau sampai mengakui perasaanmu padanya?
Tidakkah itu telah menjatuhkan harga dirimu? Dasar gadis tidak punya otak. Aku
mengumpat diriku sendiri, kurasa saat ini dia sedang menertawaiku. Kuhempaskan
tubuhku di ranjang, kutatap langit-langit kamarku, tapi kenapa wajah Pak Lee
yang kulihat? Kurasa aku memang sudah gila.
“Eun
Hye… boleh ibu masuk?” tanya ibuku setelah mengetuk pintu. Aku mengiyakan dan
ibu pun masuk. Ibu duduk di sampingku sementara aku masih dalam posisi berbaring.
“Bagaimana skripsimu? Apa ada masalah?” tanya ibu, kurasa itu hanya basa-basi.
“Bukan
skripsiku yang bermasalah tapi dosen pembimbingnya!” jawabku jutek. “Beri tahu
anak teman ibu itu supaya dia tidak mempersulitku dalam penyusunan skripsiku.
Aku benci dia mendiskriminasikan aku dengan teman-teman yang lain.
Mentang-mentang dia dosen jadi seenaknya menekanku!” ucapku kasar.
“Ibu
tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Min Ho tapi apakah kalian tidak bisa
menyelesaikan masalah kalian baik-baik?”
“Masalah
apa Bu? Bukan aku yang bermasalah tapi dia yang bermasalah denganku, heran deh…
kenapa dia sangat sentiment padaku!” posisiku berubah menjadi duduk.
“Mungkin
kau hanya salah paham saja Nak!”
“Salah
paham apanya? Menyita laporanku karena alasan tidak logis apakah dapat
dikatakan salah paham? Ibu tentu tidak akan mengerti sebab bukan ibu yang
merasakannya, aku takut ibu membencinya bila aku menceritakan semuanya.” Ops…
aku keceplosan,
“Apa
yang dilakukan Min Ho? Kenapa kau sampai bilang begitu?”
“Ah…
sudahlah Bu, aku tidak ingin membahas ini!” kubaringkan kembali tubuhku dan
membenamkan bantal ke wajahku. Perlahan kudengar langkah ibu menjauhi kamarku.
Tak terasa ada sesuatu yang membasahi bantalku, aku menangis lagi.
Kurasa
aku ingin berhenti saja berkuliah, aku sungguh tidak punya muka lagi bertemu
Pak Lee. Berhenti di saat skripsiku hampir rampung? Ibuku bisa kena serangan
jantung kalau aku melakukannya! Yah… tebal muka saja bila harus berhadapan
dengan dosen itu. Hari ini aku meminta Si Yoon mengumpulkan laporan hasil
revisiku, mana berani aku mengumpulkannya sendiri.
“Kenapa
bukan kau sendiri yang mengumpulkannya?” tanpa kusadari Pak Lee berdiri di
belakangku saat aku mengamati Si Yoon. Aku tersentak, apa yang harus kulakukan?
Kuambil langkah seribu dan berlari secepat mungkin dari tempat itu. Sama saja
bohong, meski hari ini aku menghindar tapi besok toh kami akan bertemu lagi
karena jadwal konsultasi.
Malam
ini ibu sibuk memasak sementara aku asyik memainkan game komputer, sebenarnya
alasanku sedang mengetik skripsi tapi karena bosan makanya aku bermain game.
Mataku tertuju pada sebuah folder bertuliskan ‘secret’ begitu aku kalah bermain
dan menutup aplikasinya. Aku memang tidak dapat dibuat penasaran, segera kubuka
folder itu tapi pakai password. Uh… aku menyesal mengajarkan ibu memasang
password pada folder komputer.
Rasa
penasaranku benar-benar membuatku tergelitik untuk membuka folder itu, apa yang
dirahasiakan ibu sehingga folder ini dipasangi kunci. Kucoba menerka kira-kira
apa yang biasa digunakan ibu sebagai kata kunci. ‘Fashion’ ketikku cepat karena
ibu kan’ bekerja di kantor majalah fasion sebagai editor, ‘denied’ uh… itu kata
yang muncul. Kucoba mengetik tanggal lahirku, tanggal lahir ibu, tanggal
pernikahan ibu, nama ayah, nama kakek, nama nenek, argh… semua ditolak. Saat
aku putus asa, kutekan tuts keyboard berentetan di bagian angkanya sehingga
muncul 123456789 dan wow… begitu aku menekan ‘enter’ folder itu langsung
terbuka. Ternyata ada untungnya juga kalau ibu pelupa, passwordnya gampang ditebak,
ha…ha…ha…
Tawa
kencangku langsung hilang begitu aku melihat isi folder itu, ini… ini… kan’
fotoku dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu. Tapi kenapa bisa ada pada
ibu? Apa mungkin ibu pelakunya? Tidak mungkin, ibu mana berani mengerjaiku
separah itu. Aku tidak ingin percaya kalau ibulah pelakunya, tapi ibu harus
menjelaskan semua ini padaku. Aku beranjak ke dapur, kutatap ibuku dengan
tatapan tidak bersahabat.
“Kau
kenapa? Oh… sudah lapar? Ini makanannya juga sudah masak!” seru ibuku dengan
senyuman polosnya seperti biasa.
“Kenapa
foto itu bisa ada pada ibu?” tanyaku.
“Foto
apa?!” kening ibu berkerut,
“Fotoku
dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu!” jawabku lantang. Ibu terkejut,
matanya membulat, “Jangan bilang ibulah yang memotret kami dan mengancam kami kalau
foto itu akan disebarkan di situs kampus!” wajahku merapat ke wajah ibu, ibu
sampai mundur saking dekatnya.
“Eun
Hye… kau membuka folder milik ibu ya?” tanyanya gugup, aku mengangguk dengan
ekspresi mengerikan. “Mianhe…” ibu nyengir sendiri, “Jangan marah ya… itu ibu
lakukan cuma untuk lucu-lucuan!” kali ini aku yang tidak berkutik saking tidak
menyangka ibuku akan memberi respon seperti ini, lucu-lucuan katanya!!!!
“Ibu!!!!”
aku meronta kesal, “Kenapa ibu melakukannya?! Ibu tahu tidak aku begitu
menderita mengikuti permainan ibu itu, aku harus menunggu di taman sampai kena
diare segala. Belum lagi aku harus naik roller coaster dan kincir, ibu tahu aku
sangat benci ketinggian apa lagi putaran, itu membuatku mual!!!”
“Iya…
iya… maaf, ibu janji tidak akan mengulanginya!” bujuk ibu,
“Pak
Lee… jadi dia tahu ibu pelakunya?”
“Iya…
dia sendiri yang curiga pada ibunya dan akhirnya kami ketahuan!” jadi ibu dan
bibi berkompot!
“Ibu…
ini keterlaluan, apa ibu tidak berpikir masak-masak dulu sebelum melakukan hal
gila ini? Aku sedang menyusun skripsi dan ibu malah menambah bebanku dengan
permainan ini!”
“Iya…
ibu tahu makanya ibu minta maaf!”
“Gampang
sekali ibu bilang begitu…” suaraku hilang, aku menangis, ya… aku tidak tahan.
“Eun
Hye…!” ibu panik, kuputar badanku dan beranjak ke kamarku. Kubanting pintu dan
menangis keras. Kudengar ketukan pintu, ibu memintaku untuk keluar. Tidak… aku
tidak bisa menerima semua ini, ibu ini sudah keterlaluan.
Pagi
ini aku tidak menyapa ibu sama sekali, aku langsung berangkat ke kampus tanpa
sarapan. Alhasil aku tidak konsentrasi mengikuti pelajaran dengan perut lapar.
Aduh, kapan Pak Lee menyelesaikan cermahnya sih? Kepalaku sudah pusing saking
laparnya.
“Baiklah…
tanggal ujian skripsi telah dikeluarkan, kalian hanya punya waktu sekitar dua
minggu untuk memperbaiki pekerjaan kalian dan tentunya untuk menguasai apa yang
telah kalian tulis.” Pak Lee menyelesaikan konsultasi kami. “Beberapa telah
kutandatangani artinya mereka bisa mengajukan laporan mereka pada pembimbing
pertamanya. Kuharap kalian dapat melakukan yang terbaik.” Dia kembali ke
mejanya dan mulai memanggil nama kami satu per satu untuk mengambil laporan
kami yang telah dikoreksi.
Sekali
lagi dia berlaku tidak adil, namaku tidak disebutnya. Kalaupun laporanku masih
salah, seharusnya dia tetap mengembalikannya.
“Kau
terlalu menjengkelkan makanya dia tidak mengembalikan laporanmu!” ledek Sung
Hee saat kelas telah bubar. Errrr… apa sih maunya orang-orang di sekitarku?!
Aku berjalan penuh kejengkelan ke ruangan dosenku itu, tanpa mengetuk pintu aku
langsung masuk dan membormbardir Pak Lee dengan protes.
“Kenapa
aku tidak mendapat laporanku Pak? Kenapa anda terlalu menganaktirikan aku
dengan teman-temanku yang lain? Kalaupun laporanku masih salah setidaknya
kembalikan padaku agar aku dapat memperbaiku kesalahan itu. Pak… aku sedang
banyak masalah sekarang, tolong jangan menambah bebanku lagi, aku bisa gila
kalau terus-terusan seperti ini…” aku langsung bungkam saat dia menyodorkan
laporan yang kuminta. Aku menarik napas dalam, aku kehabisan napas karena
bicara terlalu cepat apalagi ditambah emosi. Baru saja ingin mengambilnya, dia
menarik laporan itu ke arah lain. Kali ini aku tidak bicara, aku hanya
menatapnya dengan protes.
“Ada
masalah apa kau dengan ibumu?” tanyanya, oh… jadi ini alasannya?
“Bukan
urusan anda!” aku mencoba mengambil laporanku itu namun sekali lagi dia
menghindar.
“Ibumu
menelponku dan terdengar begitu sedih kau perlakukan seperti ini!”
“Aku
marah karena perbuatannya, aku merasa seperti orang bodoh dipermainkan seperti
ini!”
“Aku
juga merasa seperti orang bodoh diperlakukan seperti ini oleh ibuku tapi aku
tidak sampai perang dingin dengan ibuku!”
“Kondisi
Bapak dengan kondisiku berbeda!” balasku dengan kesal.
“Apanya
yang berbeda? Kita sama-sama lelah dan seperti orang bodoh diperlakukan seperti
ini. Oh… kita memang berbeda, kita berbeda pada respon yang kita berikan pada
ibu kita. Respon yang kau berikan pada ibumu menunjukkan kalau kau memang masih
anak-anak! Kau belum dapat berpikir dewasa.” Aku terlonjak mendengar
perkataannya, aku tidak suka dikatakan seperti anak-anak.
“Terserah
Bapak mau mengembalikan laporanku atau tidak, aku tidak peduli!” kualihkan
pembicaraanku dan segera kutinggalkan ruangan itu. Kondisiku dan kondisimu
berbeda, karena foto itu kita menjadi dekat, karena ulah ibuku kita jadi sering
bersama. Kebersamaan itu membuatku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu.
Itulah mengapa aku begitu marah pada ibu, aku marah karena ibu yang
menjerumuskanku sehingga aku jatuh cinta padamu.
***
Ujian
skripsi pun tiba, hari ini aku begitu gugup. Kulihat di pojokan teman-temanku
sedang menghapal karya ilmiahnya itu, aku pribadi tidak akan bisa belajar dalam
keadaan kaget seperti ini. Aku berdiri dari bangkuku dan berjalan menjauh dari
rombonganku,
“Eh…
kau mau ke mana?” tanya Si Yoon,
“Ke
toilet, kenapa? Apa kau mau ikut?” tanyaku balik, dia menggeleng sambil
nyengir. Kubasuh wajahku begitu sampai di toilet, aku gugup sekali
sampai-sampai tanganku berkeringat. Kubuka tasku untuk mengambil handuk kecil,
kulihat ada boneka di dalam. Perasaan aku tidak pernah memasukkan boneka,
kulihat tulisan di boneka itu ‘Eun Hye… hwaiting!’ aku tersenyum, ibu ada-ada
saja. Ya… aku dan ibuku sudah berbaikan, bagaimanapun marahnya aku pada ibu,
aku tidak akan tahan mendiaminya meski hanya setengah hari. Aku sayang ibu
karena yang kupunya hanya ibu, yang tertinggal hanya ibu, aku tidak mau
menyia-nyiakan titipan Tuhan itu.
Aku
berpapasan dengan Pak Lee di koridor, jantungku yang tadinya sudah berdegub
kencang, kini sudah kehilangan iramanya. Sebentar lagi Eun Hye, sebentar lagi
kau akan berpisah dengannya, jangan khawatir. Usai ujian skripsi ini kau akan
lulus dan tidak perlu lagi berurusan dengannya. Aku melangkah serileks mungkin,
aku tidak boleh gugup.
“Tidak
perlu takut, pertanyaan yang muncul tidak akan lepas dari apa yang telah kau
tulis di skripsimu!” dia menghampiriku dan sok memberikan wejangan padaku. Aku
tidak menghiraukannya, kulanjutkan langkahku seakan dia tidak pernah muncul di
hadapanku. “Hya…Jung Eun Hye!” dia
menegurku, mungkin karena kesal. Masih seperti tadi, aku tetap melanjutkan
langkahku dan tidak menganggapnya ada. Aku tak menyangka dia mengejarku bahkan
mencengkram bahuku untuk menghentikan langkahku.
“Kau
kenak-kanakan!” ledeknya,
“Aku
tidak suka mendengar kata itu Pak!” balasku marah.
“Kalau
bukan kekanak-kanakan lalu kau ingin dipanggil apa?” tanyanya sengit,
“Apa
sih yang anda inginkan? Berhentilah menggangguku!”
“Mengganggu?
Apa sikapku tadi mengganggumu?”
“Tentu!”
ucapku tegas, “Terus terang setiap kali melihat anda yang kurasakan hanya
sakit. Jadi ada baiknya anda tidak perlu sok menghiraukanku, anda pura-pura
saja tidak melihatku bila kita berpapasan!”
“Jadi
kau masih marah karena kata-kataku itu?”
“Pertanyaan
bodoh!” aku berusaha melepas cengkraman dosenku itu namun dia sangat kuat.
“Lepaskan
dia!” tiba-tiba Si Yoon muncul dan memegang bahu Pak Lee, ditatapnya dosen kami
itu dengan tatapan mengancam. Perlahan Pak Lee melepasku, aku tahu dia
melakukan ini bukan karena takut pada Si Yoon melainkan dia tidak ingin terjadi
keributan. Yu Jin menarik tanganku ke arahnya,
“Kau
tidak apa-apa?” tanya sahabatku itu, aku mengangguk.
“Ayo
kita pergi Eun Hye, sebentar lagi giliranmu!” ucap Si Yoon. Kami bertiga pun
meninggalkan Pak Lee begitu saja.
Belum
terlalu lama aku melangkah bersama kedua sahabatku itu, tiba-tiba kurasa ada
yang menarik tubuhku dari belakang. Aku berbalik dan kulihat Pak Lee telah
berada di hadapanku, bagitu dekat di depanku. Dengan gerakan cepat dia
mendekatkan wajahnya ke wajahku dan bibirnya seketika menyentuh bibirku. Mataku
membesar karena terkejut, a…a…pa… apa yang dia lakukan? Setelah terkejutku
hilang dan kesadaranku kembali, aku berusaha melepasnya namun dia malah
mempererat pegangannya. Si Yoon, Yu Jin, apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian
diam saja? Cepat tolong aku!
Perlahan
ciumannya melemah dan akhirnya dia menjauhkan wajahnya dari wajahku. Dia
menatapku, hanya menatap dan tidak bicara. Aku juga kehabisan kata, aku tidak
tahu harus menggunakan kata apa di saat seperti ini.
“I
love you!” ucapnya tiba-tiba. "Sudah lama ingin kukatakan tapi aku tidak berani..." Aku lebih kaget lagi, dia tidak mabuk kan?
“Ehmm….mm…
Eun Hye, ayo!” Si Yoon membuyarkan keterkejutanku. Aku lemah saat ini, aku
hanya mengikuti tarikan sahabatku dan melangkah menjauhi Pak Lee.
“Kau
baik-baik saja kan?” tanya Yu Jin cemas melihatku yang termangu seperti orang
yang kehilangan kesadaran.
Pikiranku
memang agak kacau memasuki ruang sidang namun syukurlah aku dapat melalui ujian
skripsiku dengan baik. Aku keluar dengan senyuman yang mengembang membuat Si
Yoon dan Yu Jin ikut tersenyum. Kini giliran Si Yoon, kuharap dia berhasil. Aku
duduk bersandar, kubuka tasku mencari ponsel untuk memberi tahu ibu mengenai
ujian skripsiku. Boneka yang dibuat ibu tersenyum manis kepadaku sehingga aku
pun ikut tersenyum. Kuambil boneka itu dan membelainya lembut.
“Wah…
bonekanya cantik!” tegur Yu Jin padaku, aku tersenyum,
“Ini
jimat dari ibuku, sebelum berangkat tadi ibu bilang akan memasukkan jimat ke
dalam tasku, tau-tau boneka ini yang dimaksud ibu.”
“Boleh
kulihat?” tanya Yu Jin, tanpa basa-basi aku memberikan boneka itu. Kembali
kucari ponselku untuk menghubungi ibu. Kutekan beberapa angka dan mulai
menunggu panggilanku terhubung namun tidak diangkat. Mungkin ibu sedang sibuk,
kuputuskan untuk mengirimkan pesan singkat saja. “Eun Hye… ada suratnya!” ucap
Yu Jin.
“Oh…
paling kata penyemangat dari ibuku agar aku tidak gugup!” balasku, aku sibuk
mengetik pesan sehingga tidak begitu mempedulikan Yu Jin.
“Em…
sepertinya bukan!” ucap Yu Jin agak aneh, aku berbalik ke arahnya, “Maaf, aku
sudah membacanya, aku tidak tahu kalau…” perkataan Yu Jin terputus, dia
memberiku kertas yang dimaksudkannya itu. Mengenai
foto itu, Min Ho telah mengetahui bahwa pelakunya adalah kami usai kejadian di
taman itu. Mengajakmu ke tempat hiburan adalah rencananya sendiri. Ibu tidak
tahu apa maksudnya namun ibu menerka dia melakukan ini karena dia
mengharapkanmu. Berhentilah marah padanya, tanpa kau sadari sebenarnya dia
sangat memperhatikanmu.
Aku
termangu, kenapa ibu menulis hal seperti ini. Kuingat kejadian saat di taman
hiburan, naik roller coaster dan kincir, juga makan bersama jadi semua itu
adalah scenario yang dibuat Pak Lee. Dia bisa saja terus berbohong atas nama si
pelaku, membawaku ke manapun yang dia inginkan namun dia tidak melanjutkannya
karena tahu aku sudah cukup pusing dengan skripsiku. Sontak aku berdiri, Yu Jin
jadi terkejut saat melihatku.
“Kurasa
Pak Lee ada di ruangannya sekarang!” ucap Yu Jin. Aku menoleh ke arahnya, dia
tersenyum simpul padaku seakan berkata ‘pergilah menemuinya sebelum terlambat’.
Tak perlu dikomando lagi, aku segera mengikuti saran sahabatku itu. Aku berlari
ke ruangan dosenku itu, kubuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tak ada
siapa-siapa. Aku menelusuri koridor kampusku, kucari sudut demi sudut ruangan
yang mungkin didatanginya. Aku lelah berputar-putar, aku kembali ke ruangannya
namun dia tetap tidak ada. Apa dia sudah pulang, tidak… ini belum jam pulang.
Aku kebingungan mencarinya, kutelpon saja? Ah… aku tidak punya nomornya,
kuteruskan langkahku dengan wajah kebingunganku. Di persimpangan koridor
tiba-tiba dia muncul, langkahku terhenti, untuk sejenak kami hanya saling
memandang dalam diam.
“Kau
mencariku? Kulihat kau masuk lalu keluar lagi dari ruanganku,” tanyanya. Ciuman
di koridor tadi kurasa sudah cukup menjelaskan bagaimana perasaannya padaku,
aku tidak perlu lagi bertanya apa-apa. Aku melangkah cepat ke arahnya dan
segera memeluknya. Kurasakan ada keterkejutan dari responnya, namun tak lama
kemudian dia membantuku mempererat pelukan kami.
Aku
tidak peduli meski kau menganggapku anak-anak, tak apa, aku tak ingin marah
lagi. Aku lebih peduli pada perasaanmu padaku, asal kau mencintaiku itu sudah
lebih dari cukup. Aku akan berusaha menjadi wanita dewasa di depanmu, jadi
kuharap kau bersedia untuk tetap membimbingku.
~Hello Gangsa End~