Sunday 27 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 4




             Waktu berjalan cepat, tak terasa aku telah menyelesaikan praktek mengajarku di sekolah. Kini saatnya menyusun skripsiku. Huft… memang nasibku sangat sial, mau tidak mau aku harus kembali mengandalkan Pak Lee sebagai dosen konsultan. Huh… kenapa dosen pembimbingku harus dia?!!!!!
            “Oh ya teman-teman… kemarin ada pemberitahuan dari Pak Lee, bagi mahasiswa di bawah bimbingannya, diharap mengumpulkan laporannya besok untuk dikoreksi dan lagi, jadwal konsult adalah besok lusa!” teriak temanku, Sung Hee, di depan kelas. “Dan satu lagi, jangan terlambat! Aku tidak mau gara-gara satu orang pembuat onar, kita semua kena getahnya!” dia melirik ke arahku, heh… enak saja, maksudmu pembuat onar itu aku?
            Keesokan sorenya Sung Hee menegurku, katanya aku belum mengumpulkan laporanku. Anak ini menyebalkan juga, apa dia asisten Pak Lee atur sana atur sini?
            “Pak Lee menanyakan laporanmu, kau belum mengumpulkannya?!”
            “Sudah!” balasku cuek,
            “Lalu kenapa Pak Lee bilang dia belum pernah melihatmu masuk ke ruangannya mengumpul laporanmu!” 
            “Memangnya ada syarat harus si pemilik yang mengumpulkan laporannya? Aku sudah titip pada yang lain. Kalau tidak percaya, periksa saja!” gadis itu terlihat kesal padaku. Oh… jadi dia menungguku masuk ke ruangannya? Cih… sampai kapanpun aku tidak akan termakan oleh permainanmu.
            Akhirnya tiba juga jadwal konsultasi, aku duduk paling buntut seperti biasa. Dosenku itu masuk dan melemparkan pandangan ke arahku, segera kutekuk wajahku sampai begitu dekat dengan buku yang kubaca. Dia memulai penjelasannya, aku mencatat sekenanya, prosedur penulisan, apa yang perlu dijelaskan dalam skripsiku, apa yang perlu kutambah dan yang perlu dikurangi.
Waktu dua jam konsultasi terasa begitu panjang bagiku, tapi untung saja sekarang saatnya bubar. Nama kami disebut satu persatu untuk mengambil laporan yang telah dikoreksi olehnya dan saat ini giliranku. Aku melangkah ke arahnya, berjalan seperti biasa. Tanpa ekspresi dan tidak basa-basi seperti gayaku selama ini.
“Kau banyak kesalahan dalam penulisan kalimat,” dia membuka laporanku dan menunjukkan letak kesalahanku. Aku mengangguk menerima kritikannya, baru saja ingin mengambil laporanku, dia menariknya kembali. “Kau menghindar ya?” kali ini dia membahas hal yang tidak berhubungan dengan skripsi. Aku bungkam, dia menungguku merespon,
“Pak, teman-teman yang lain sedang menunggu!” aku mengingatkannya,
“Kau yang membuatnya menunggu! Kalau kau menjawab, kau akan kulepas!” what? Lepas? Memangnya aku tahananmu. “Baiklah, temui aku di ruanganku nanti!” dia menarik laporanku dan menyimpannya di tumpukan paling bawah.
“Laporanku?” tanyaku, maksudku anda tidak memberikannya padaku?
“Nanti kau ambil setelah menemuiku di ruanganku!” ucapnya cuek. Jiah… aku memutar badan dan kembali ke bangkuku, tanganku mengepal lembaran kertas buram sampai remas saking jengkelnya.
Apa yang akan dikatakan Pak Lee? Kemarin sore aku langsung meninggalkan kampus tanpa mampir ke ruangannya, alhasil aku tak memperoleh laporanku. Dua hari lagi akan ada jadwal konsultasi dan aku harus menyelesaikan perbaikan laporanku itu. Huft… aku bingung sendiri, untung aku masih ingat sedikit letak kesalahanku yang ditunjukkan dosenku itu. Lama-lama di perpustakaan, aku jadi bosan. Kusudahi aktivitasku memperbaiki laporanku dan segera keluar dari ruangan ini.
Deg… aku berpapasan dengan Pak Lee di pintu! Dia mencengkram lenganku dan segera membawaku ke tempat yang sepi.
“Kenapa kau tidak menemuiku kemarin?” tanyanya dengan suara yang menakutkan.
“Aku buru-buru Pak, kemarin harus cepat pulang!”
“Jung Eun Hye, jangan anggap enteng laporanmu yang telah kukoreksi. Kalau kau ikut ujian meja dengan laporan yang amburadul kau akan dalam masalah. Bahkan aku tidak akan menandatangani izin ujian mejamu kalau sikapmu sok begini.” Dia mengancamku,
“Kenapa aku diperlakukan beda? Teman-temanku mendapatkan laporannya kemarin sore sedangkan aku harus menghadap bapak dulu baru bisa mengambilnya!” aku melawan, inilah aku si pembangkang, julukan darinya.
“…” dia diam, ditariknya napasnya dalam-dalam. “Maaf…” lirihnya pelan. “Aku hanya ingin menjelaskan apa yang kau dengar saat reuni itu.” Akhirnya dia mengakui tujuan sebenarnya memanggilku ke ruangannya.
“Aku sudah dengar dan sangat mengerti Pak, anda tidak perlu repot-repot menjelaskannya padaku. Permisi!” ucapku dingin dan bergegas meninggalkannya.
“Aku belum selesai bicara!” dia mencegatku,
“Tapi aku tidak mau bicara dengan Anda!” nadaku meninggi, “Kenapa Bapak tidak mengerti sih? Seandainya Anda ada di posisiku, aku yakin Anda pasti melakukan hal yang sama. Sakit Pak… sakit sekali saat mengetahui  kalau aku hanya dimanfaatkan. Terlebih lagi ternyata selama ini Anda hanya menganggapku anak-anak!” perlahan mataku berkaca-kaca, dia jadi tak jelas dalam penglihatanku.
“…” dia bisu, tak ada lagi yang dapat dikatakannya karena dia memang salah.
“Kita hanya terpaut empat tahun, apakah hal itu yang membuatku terlihat seperti anak kecil di mata Bapak? Apa itu tidak berlebihan?! Memang benar aku mahasiswi anda, tapi mahasiswi bukan berarti anak kecil kan’? I’m care to you but you think this is childish doing only!” kuhempaskan pegangannya dan meninggalkannya.
“Eun Hye…” sekali lagi dia mencegatku,
“Berhenti menyakitiku Pak! Aku sungguh tidak biasa dengan sakit seperti ini. Ya… ada benarnya juga anda mengatakanku anak kecil karena aku tidak mau disakiti!” kuhempaskan lagi pegangannya. “Seandainya saja aku tidak memliki perasaan apa-apa pada  anda mungkin rasanya tidak akan sesakit ini!” lirihku lalu pergi dari hadapannya. Kuseka air mataku yang sedari tadi mengalir dan membuatku malu.
Bodoh! Kau memang bodoh Jung Eun Hye! Kenapa kau sampai mengakui perasaanmu padanya? Tidakkah itu telah menjatuhkan harga dirimu? Dasar gadis tidak punya otak. Aku mengumpat diriku sendiri, kurasa saat ini dia sedang menertawaiku. Kuhempaskan tubuhku di ranjang, kutatap langit-langit kamarku, tapi kenapa wajah Pak Lee yang kulihat? Kurasa aku memang sudah gila.
“Eun Hye… boleh ibu masuk?” tanya ibuku setelah mengetuk pintu. Aku mengiyakan dan ibu pun masuk. Ibu duduk di sampingku sementara aku masih dalam posisi berbaring. “Bagaimana skripsimu? Apa ada masalah?” tanya ibu, kurasa itu hanya basa-basi.
“Bukan skripsiku yang bermasalah tapi dosen pembimbingnya!” jawabku jutek. “Beri tahu anak teman ibu itu supaya dia tidak mempersulitku dalam penyusunan skripsiku. Aku benci dia mendiskriminasikan aku dengan teman-teman yang lain. Mentang-mentang dia dosen jadi seenaknya menekanku!” ucapku kasar.
“Ibu tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Min Ho tapi apakah kalian tidak bisa menyelesaikan masalah kalian baik-baik?”
“Masalah apa Bu? Bukan aku yang bermasalah tapi dia yang bermasalah denganku, heran deh… kenapa dia sangat sentiment padaku!” posisiku berubah menjadi duduk.
“Mungkin kau hanya salah paham saja Nak!”
“Salah paham apanya? Menyita laporanku karena alasan tidak logis apakah dapat dikatakan salah paham? Ibu tentu tidak akan mengerti sebab bukan ibu yang merasakannya, aku takut ibu membencinya bila aku menceritakan semuanya.” Ops… aku keceplosan,
“Apa yang dilakukan Min Ho? Kenapa kau sampai bilang begitu?”
“Ah… sudahlah Bu, aku tidak ingin membahas ini!” kubaringkan kembali tubuhku dan membenamkan bantal ke wajahku. Perlahan kudengar langkah ibu menjauhi kamarku. Tak terasa ada sesuatu yang membasahi bantalku, aku menangis lagi.
Kurasa aku ingin berhenti saja berkuliah, aku sungguh tidak punya muka lagi bertemu Pak Lee. Berhenti di saat skripsiku hampir rampung? Ibuku bisa kena serangan jantung kalau aku melakukannya! Yah… tebal muka saja bila harus berhadapan dengan dosen itu. Hari ini aku meminta Si Yoon mengumpulkan laporan hasil revisiku, mana berani aku mengumpulkannya sendiri.
“Kenapa bukan kau sendiri yang mengumpulkannya?” tanpa kusadari Pak Lee berdiri di belakangku saat aku mengamati Si Yoon. Aku tersentak, apa yang harus kulakukan? Kuambil langkah seribu dan berlari secepat mungkin dari tempat itu. Sama saja bohong, meski hari ini aku menghindar tapi besok toh kami akan bertemu lagi karena jadwal konsultasi.
Malam ini ibu sibuk memasak sementara aku asyik memainkan game komputer, sebenarnya alasanku sedang mengetik skripsi tapi karena bosan makanya aku bermain game. Mataku tertuju pada sebuah folder bertuliskan ‘secret’ begitu aku kalah bermain dan menutup aplikasinya. Aku memang tidak dapat dibuat penasaran, segera kubuka folder itu tapi pakai password. Uh… aku menyesal mengajarkan ibu memasang password pada folder komputer.
Rasa penasaranku benar-benar membuatku tergelitik untuk membuka folder itu, apa yang dirahasiakan ibu sehingga folder ini dipasangi kunci. Kucoba menerka kira-kira apa yang biasa digunakan ibu sebagai kata kunci. ‘Fashion’ ketikku cepat karena ibu kan’ bekerja di kantor majalah fasion sebagai editor, ‘denied’ uh… itu kata yang muncul. Kucoba mengetik tanggal lahirku, tanggal lahir ibu, tanggal pernikahan ibu, nama ayah, nama kakek, nama nenek, argh… semua ditolak. Saat aku putus asa, kutekan tuts keyboard berentetan di bagian angkanya sehingga muncul 123456789 dan wow… begitu aku menekan ‘enter’ folder itu langsung terbuka. Ternyata ada untungnya juga kalau ibu pelupa, passwordnya gampang ditebak, ha…ha…ha…
Tawa kencangku langsung hilang begitu aku melihat isi folder itu, ini… ini… kan’ fotoku dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu. Tapi kenapa bisa ada pada ibu? Apa mungkin ibu pelakunya? Tidak mungkin, ibu mana berani mengerjaiku separah itu. Aku tidak ingin percaya kalau ibulah pelakunya, tapi ibu harus menjelaskan semua ini padaku. Aku beranjak ke dapur, kutatap ibuku dengan tatapan tidak bersahabat.
“Kau kenapa? Oh… sudah lapar? Ini makanannya juga sudah masak!” seru ibuku dengan senyuman polosnya seperti biasa.
“Kenapa foto itu bisa ada pada ibu?” tanyaku.
“Foto apa?!” kening ibu berkerut,
“Fotoku dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu!” jawabku lantang. Ibu terkejut, matanya membulat, “Jangan bilang ibulah yang memotret kami dan mengancam kami kalau foto itu akan disebarkan di situs kampus!” wajahku merapat ke wajah ibu, ibu sampai mundur saking dekatnya.
“Eun Hye… kau membuka folder milik ibu ya?” tanyanya gugup, aku mengangguk dengan ekspresi mengerikan. “Mianhe…” ibu nyengir sendiri, “Jangan marah ya… itu ibu lakukan cuma untuk lucu-lucuan!” kali ini aku yang tidak berkutik saking tidak menyangka ibuku akan memberi respon seperti ini, lucu-lucuan katanya!!!!
“Ibu!!!!” aku meronta kesal, “Kenapa ibu melakukannya?! Ibu tahu tidak aku begitu menderita mengikuti permainan ibu itu, aku harus menunggu di taman sampai kena diare segala. Belum lagi aku harus naik roller coaster dan kincir, ibu tahu aku sangat benci ketinggian apa lagi putaran, itu membuatku mual!!!”
“Iya… iya… maaf, ibu janji tidak akan mengulanginya!” bujuk ibu,
“Pak Lee… jadi dia tahu ibu pelakunya?”
“Iya… dia sendiri yang curiga pada ibunya dan akhirnya kami ketahuan!” jadi ibu dan bibi berkompot!
“Ibu… ini keterlaluan, apa ibu tidak berpikir masak-masak dulu sebelum melakukan hal gila ini? Aku sedang menyusun skripsi dan ibu malah menambah bebanku dengan permainan ini!”
“Iya… ibu tahu makanya ibu minta maaf!”
“Gampang sekali ibu bilang begitu…” suaraku hilang, aku menangis, ya… aku tidak tahan.
“Eun Hye…!” ibu panik, kuputar badanku dan beranjak ke kamarku. Kubanting pintu dan menangis keras. Kudengar ketukan pintu, ibu memintaku untuk keluar. Tidak… aku tidak bisa menerima semua ini, ibu ini sudah keterlaluan.

Pagi ini aku tidak menyapa ibu sama sekali, aku langsung berangkat ke kampus tanpa sarapan. Alhasil aku tidak konsentrasi mengikuti pelajaran dengan perut lapar. Aduh, kapan Pak Lee menyelesaikan cermahnya sih? Kepalaku sudah pusing saking laparnya.
“Baiklah… tanggal ujian skripsi telah dikeluarkan, kalian hanya punya waktu sekitar dua minggu untuk memperbaiki pekerjaan kalian dan tentunya untuk menguasai apa yang telah kalian tulis.” Pak Lee menyelesaikan konsultasi kami. “Beberapa telah kutandatangani artinya mereka bisa mengajukan laporan mereka pada pembimbing pertamanya. Kuharap kalian dapat melakukan yang terbaik.” Dia kembali ke mejanya dan mulai memanggil nama kami satu per satu untuk mengambil laporan kami yang telah dikoreksi.
Sekali lagi dia berlaku tidak adil, namaku tidak disebutnya. Kalaupun laporanku masih salah, seharusnya dia tetap mengembalikannya.
“Kau terlalu menjengkelkan makanya dia tidak mengembalikan laporanmu!” ledek Sung Hee saat kelas telah bubar. Errrr… apa sih maunya orang-orang di sekitarku?! Aku berjalan penuh kejengkelan ke ruangan dosenku itu, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk dan membormbardir Pak Lee dengan protes.
“Kenapa aku tidak mendapat laporanku Pak? Kenapa anda terlalu menganaktirikan aku dengan teman-temanku yang lain? Kalaupun laporanku masih salah setidaknya kembalikan padaku agar aku dapat memperbaiku kesalahan itu. Pak… aku sedang banyak masalah sekarang, tolong jangan menambah bebanku lagi, aku bisa gila kalau terus-terusan seperti ini…” aku langsung bungkam saat dia menyodorkan laporan yang kuminta. Aku menarik napas dalam, aku kehabisan napas karena bicara terlalu cepat apalagi ditambah emosi. Baru saja ingin mengambilnya, dia menarik laporan itu ke arah lain. Kali ini aku tidak bicara, aku hanya menatapnya dengan protes.
“Ada masalah apa kau dengan ibumu?” tanyanya, oh… jadi ini alasannya?
“Bukan urusan anda!” aku mencoba mengambil laporanku itu namun sekali lagi dia menghindar.
“Ibumu menelponku dan terdengar begitu sedih kau perlakukan seperti ini!”
“Aku marah karena perbuatannya, aku merasa seperti orang bodoh dipermainkan seperti ini!”
“Aku juga merasa seperti orang bodoh diperlakukan seperti ini oleh ibuku tapi aku tidak sampai perang dingin dengan ibuku!”
“Kondisi Bapak dengan kondisiku berbeda!” balasku dengan kesal.
“Apanya yang berbeda? Kita sama-sama lelah dan seperti orang bodoh diperlakukan seperti ini. Oh… kita memang berbeda, kita berbeda pada respon yang kita berikan pada ibu kita. Respon yang kau berikan pada ibumu menunjukkan kalau kau memang masih anak-anak! Kau belum dapat berpikir dewasa.” Aku terlonjak mendengar perkataannya, aku tidak suka dikatakan seperti anak-anak.
“Terserah Bapak mau mengembalikan laporanku atau tidak, aku tidak peduli!” kualihkan pembicaraanku dan segera kutinggalkan ruangan itu. Kondisiku dan kondisimu berbeda, karena foto itu kita menjadi dekat, karena ulah ibuku kita jadi sering bersama. Kebersamaan itu membuatku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu. Itulah mengapa aku begitu marah pada ibu, aku marah karena ibu yang menjerumuskanku sehingga aku jatuh cinta padamu.
***
Ujian skripsi pun tiba, hari ini aku begitu gugup. Kulihat di pojokan teman-temanku sedang menghapal karya ilmiahnya itu, aku pribadi tidak akan bisa belajar dalam keadaan kaget seperti ini. Aku berdiri dari bangkuku dan berjalan menjauh dari rombonganku,
“Eh… kau mau ke mana?” tanya Si Yoon,
“Ke toilet, kenapa? Apa kau mau ikut?” tanyaku balik, dia menggeleng sambil nyengir. Kubasuh wajahku begitu sampai di toilet, aku gugup sekali sampai-sampai tanganku berkeringat. Kubuka tasku untuk mengambil handuk kecil, kulihat ada boneka di dalam. Perasaan aku tidak pernah memasukkan boneka, kulihat tulisan di boneka itu ‘Eun Hye… hwaiting!’ aku tersenyum, ibu ada-ada saja. Ya… aku dan ibuku sudah berbaikan, bagaimanapun marahnya aku pada ibu, aku tidak akan tahan mendiaminya meski hanya setengah hari. Aku sayang ibu karena yang kupunya hanya ibu, yang tertinggal hanya ibu, aku tidak mau menyia-nyiakan titipan Tuhan itu.
Aku berpapasan dengan Pak Lee di koridor, jantungku yang tadinya sudah berdegub kencang, kini sudah kehilangan iramanya. Sebentar lagi Eun Hye, sebentar lagi kau akan berpisah dengannya, jangan khawatir. Usai ujian skripsi ini kau akan lulus dan tidak perlu lagi berurusan dengannya. Aku melangkah serileks mungkin, aku tidak boleh gugup.
“Tidak perlu takut, pertanyaan yang muncul tidak akan lepas dari apa yang telah kau tulis di skripsimu!” dia menghampiriku dan sok memberikan wejangan padaku. Aku tidak menghiraukannya, kulanjutkan langkahku seakan dia tidak pernah muncul di hadapanku. “Hya…Jung Eun Hye!” dia menegurku, mungkin karena kesal. Masih seperti tadi, aku tetap melanjutkan langkahku dan tidak menganggapnya ada. Aku tak menyangka dia mengejarku bahkan mencengkram bahuku untuk menghentikan langkahku.
“Kau kenak-kanakan!” ledeknya,
“Aku tidak suka mendengar kata itu Pak!” balasku marah.
“Kalau bukan kekanak-kanakan lalu kau ingin dipanggil apa?” tanyanya sengit,
“Apa sih yang anda inginkan? Berhentilah menggangguku!”
“Mengganggu? Apa sikapku tadi mengganggumu?”
“Tentu!” ucapku tegas, “Terus terang setiap kali melihat anda yang kurasakan hanya sakit. Jadi ada baiknya anda tidak perlu sok menghiraukanku, anda pura-pura saja tidak melihatku bila kita berpapasan!”
“Jadi kau masih marah karena kata-kataku itu?”
“Pertanyaan bodoh!” aku berusaha melepas cengkraman dosenku itu namun dia sangat kuat.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba Si Yoon muncul dan memegang bahu Pak Lee, ditatapnya dosen kami itu dengan tatapan mengancam. Perlahan Pak Lee melepasku, aku tahu dia melakukan ini bukan karena takut pada Si Yoon melainkan dia tidak ingin terjadi keributan. Yu Jin menarik tanganku ke arahnya,
“Kau tidak apa-apa?” tanya sahabatku itu, aku mengangguk.
“Ayo kita pergi Eun Hye, sebentar lagi giliranmu!” ucap Si Yoon. Kami bertiga pun meninggalkan Pak Lee begitu saja.
Belum terlalu lama aku melangkah bersama kedua sahabatku itu, tiba-tiba kurasa ada yang menarik tubuhku dari belakang. Aku berbalik dan kulihat Pak Lee telah berada di hadapanku, bagitu dekat di depanku. Dengan gerakan cepat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan bibirnya seketika menyentuh bibirku. Mataku membesar karena terkejut, a…a…pa… apa yang dia lakukan? Setelah terkejutku hilang dan kesadaranku kembali, aku berusaha melepasnya namun dia malah mempererat pegangannya. Si Yoon, Yu Jin, apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian diam saja? Cepat tolong aku!
Perlahan ciumannya melemah dan akhirnya dia menjauhkan wajahnya dari wajahku. Dia menatapku, hanya menatap dan tidak bicara. Aku juga kehabisan kata, aku tidak tahu harus menggunakan kata apa di saat seperti ini.
“I love you!” ucapnya tiba-tiba. "Sudah lama ingin kukatakan tapi aku tidak berani..." Aku lebih kaget lagi, dia tidak mabuk kan?
“Ehmm….mm… Eun Hye, ayo!” Si Yoon membuyarkan keterkejutanku. Aku lemah saat ini, aku hanya mengikuti tarikan sahabatku dan melangkah menjauhi Pak Lee.
“Kau baik-baik saja kan?” tanya Yu Jin cemas melihatku yang termangu seperti orang yang kehilangan kesadaran.   
Pikiranku memang agak kacau memasuki ruang sidang namun syukurlah aku dapat melalui ujian skripsiku dengan baik. Aku keluar dengan senyuman yang mengembang membuat Si Yoon dan Yu Jin ikut tersenyum. Kini giliran Si Yoon, kuharap dia berhasil. Aku duduk bersandar, kubuka tasku mencari ponsel untuk memberi tahu ibu mengenai ujian skripsiku. Boneka yang dibuat ibu tersenyum manis kepadaku sehingga aku pun ikut tersenyum. Kuambil boneka itu dan membelainya lembut.
“Wah… bonekanya cantik!” tegur Yu Jin padaku, aku tersenyum,
“Ini jimat dari ibuku, sebelum berangkat tadi ibu bilang akan memasukkan jimat ke dalam tasku, tau-tau boneka ini yang dimaksud ibu.”
“Boleh kulihat?” tanya Yu Jin, tanpa basa-basi aku memberikan boneka itu. Kembali kucari ponselku untuk menghubungi ibu. Kutekan beberapa angka dan mulai menunggu panggilanku terhubung namun tidak diangkat. Mungkin ibu sedang sibuk, kuputuskan untuk mengirimkan pesan singkat saja. “Eun Hye… ada suratnya!” ucap Yu Jin.
“Oh… paling kata penyemangat dari ibuku agar aku tidak gugup!” balasku, aku sibuk mengetik pesan sehingga tidak begitu mempedulikan Yu Jin.
“Em… sepertinya bukan!” ucap Yu Jin agak aneh, aku berbalik ke arahnya, “Maaf, aku sudah membacanya, aku tidak tahu kalau…” perkataan Yu Jin terputus, dia memberiku kertas yang dimaksudkannya itu. Mengenai foto itu, Min Ho telah mengetahui bahwa pelakunya adalah kami usai kejadian di taman itu. Mengajakmu ke tempat hiburan adalah rencananya sendiri. Ibu tidak tahu apa maksudnya namun ibu menerka dia melakukan ini karena dia mengharapkanmu. Berhentilah marah padanya, tanpa kau sadari sebenarnya dia sangat memperhatikanmu.
Aku termangu, kenapa ibu menulis hal seperti ini. Kuingat kejadian saat di taman hiburan, naik roller coaster dan kincir, juga makan bersama jadi semua itu adalah scenario yang dibuat Pak Lee. Dia bisa saja terus berbohong atas nama si pelaku, membawaku ke manapun yang dia inginkan namun dia tidak melanjutkannya karena tahu aku sudah cukup pusing dengan skripsiku. Sontak aku berdiri, Yu Jin jadi terkejut saat melihatku.
“Kurasa Pak Lee ada di ruangannya sekarang!” ucap Yu Jin. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum simpul padaku seakan berkata ‘pergilah menemuinya sebelum terlambat’. Tak perlu dikomando lagi, aku segera mengikuti saran sahabatku itu. Aku berlari ke ruangan dosenku itu, kubuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tak ada siapa-siapa. Aku menelusuri koridor kampusku, kucari sudut demi sudut ruangan yang mungkin didatanginya. Aku lelah berputar-putar, aku kembali ke ruangannya namun dia tetap tidak ada. Apa dia sudah pulang, tidak… ini belum jam pulang. Aku kebingungan mencarinya, kutelpon saja? Ah… aku tidak punya nomornya, kuteruskan langkahku dengan wajah kebingunganku. Di persimpangan koridor tiba-tiba dia muncul, langkahku terhenti, untuk sejenak kami hanya saling memandang dalam diam.
“Kau mencariku? Kulihat kau masuk lalu keluar lagi dari ruanganku,” tanyanya. Ciuman di koridor tadi kurasa sudah cukup menjelaskan bagaimana perasaannya padaku, aku tidak perlu lagi bertanya apa-apa. Aku melangkah cepat ke arahnya dan segera memeluknya. Kurasakan ada keterkejutan dari responnya, namun tak lama kemudian dia membantuku mempererat pelukan kami.

Aku tidak peduli meski kau menganggapku anak-anak, tak apa, aku tak ingin marah lagi. Aku lebih peduli pada perasaanmu padaku, asal kau mencintaiku itu sudah lebih dari cukup. Aku akan berusaha menjadi wanita dewasa di depanmu, jadi kuharap kau bersedia untuk tetap membimbingku. 

~Hello Gangsa End~

Friday 25 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 3


Aku dan dosenku itu saling pandang karena semakin bingung. Beberapa saat kemudian kincir berputar, kami hanya terduduk pasrah di bangku. Apa mungkin istri Pak Lee pelakunya? Kami bertemu di rumah sakit waktu itu, tidak mungkin kalau hanya kebetulan. Tapi apa motifnya? Kalau memang dia ingin mempermalukan kami, dia tidak perlu menyuruh kami ke sana kemari, cukup menyebarkan langsung foto itu ke situs kampus.
Aku terduduk lemas di bangku sambil menunggu Pak Lee membeli makanan. Otakku berputar keras mencerna masalah yang sedang kami hadapi.
“Maaf aku kelamaan, tadi di sana harus antri!” ucap dosenku, dia menyodorkan sebuah bungkusan, di dalamnya sudah ada makanan dan minuman. Kami menikmati hidangan kami, sesekali dia memandangku. Apa ada yang salah dengan wajahku? Kupalingkan wajahku dan merabanya, tidak ada sisa makanan kok!
“Apa kau ada masalah? dari tadi kulihat kau murung,” tegurnya. Huft… kupikir ada yang salah dengan wajahku.
“Kapan sidang perceraian Bapak?!” aku keceplosan dan itu membuatnya tersedak.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” dia malah membalasku dengan pertanyaan.
“Aku hanya ingin tahu…” jawabku pelan dan datar.
“Minggu depan!” jawabnya.
“Bapak sudah mantap untuk berpisah kan?” tanyaku ragu, dia tak langsung menjawab. Dia menatapku tajam,
“Memangnya kenapa?” tanyanya.
“Pokoknya Bapak harus berpisah dengannya, pria seperti Bapak terlalu baik untuk wanita seperti dia!” dia tertawa mendengar penuturanku.
“Bukannya aku adalah dosen yang paling menjengkelkan, kejam, dingin, tidak profesional, krisis moral…”
“Pak!” aku buru-buru menghentikannya mengabsen julukan yang pernah kubuat untuknya. “Mianhe…” ucapku,
“Sudahlah… aku tidak mengharapkanmu meminta maaf padaku. Kuakui memang sikapku selama ini padamu terlalu mendiskriminasikanmu.” Beberapa saat kami larut dalam diam.
“Pak… apa benar anda membenciku karena aku mirip dengan istri anda?” tanyaku, kali ini aku tidak bisa diam lagi. Dia kelihatan kaget mendengarnya,
“Kau tahu dari mana?” tanyanya,
“Jadi memang benar kalau itu alasannya?!” ucapku dingin, “Dia telah mengkhianati kepercayaan anda, dia telah berbohong di belakang anda, menyakiti anda dan dia juga membuat ibu anda shock. Aku yakin betapa anda sangat membencinya, dan aku juga dapat mengukur bagaimana perasaan anda setiap kali melihat wajahku.”
“Eun Hye…” ucapnya penuh rasa bersalah, “Tentu tidak seperti itu…” sambungnya pelan.
                                                                        ***                
Hari ini aku seminar, beberapa mahasiswa yang sekelompok denganku terlihat tegang. Kuingat pesan Pak Lee tempo hari, aku tidak perlu gugup karena supervisor tidak akan menjatuhkan kami. Kulihat jam dinding, sudah jam sepuluh pagi. Hari ini ibuku menemani Bibi Lee menghadiri sidang perceraian anaknya, huft… semoga semua berjalan lancar.
Tepat pukul dua belas siang, sidang seminarku berakhir. Aku tak ingin berbohong, bagaimana pun aku sangat gugup tadi tapi untunglah semua berakhir dengan baik meski beberapa kata dalam proposalku masih mendapat revisi. Aku dan Si Yoon tersenyum puas dengan hasil yang kami raih hari ini, tapi… jangan langsung berbangga hati, sebab masih ada penelitian dan ujian skripsi yang tentunya akan lebih sulit dari persiapan seminar proposal ini.
Aku berpapasan dengan Pak Lee di koridor, wajahnya tidak cerah. Apa terjadi sesuatu selama persidangan?
“Emm… Si Yoon aku ingin konsultasi dengan Pak Lee, kau duluan saja!” ucapku berpamitan dengan sahabat kentalku itu. Buru-buru aku meninggalkannya sebab aku tak ingin mendengar protes, pertanyaan, atau apalah darinya sehingga menghambatku pergi.
“Pak apa saya boleh masuk?” tanyaku setelah mengetuk ruangan Pak Lee,
“Masuklah!” ucapnya. Perlahan kubuka pintu, tampak dengan jelas dia sedang memijat lehernya. “Bagaimana seminarmu?” tanyanya tanpa memperbaiki posisi duduknya.
“Bagaimana hasil persidangannya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya. Dia tersenyum getir,
            “Apa itu pantas kau tanyakan pada dosenmu?” tanyanya balik,
            “Tidak… memang tidak pantas kutanyakan pada dosenku, tapi kali ini aku bertanya atas nama teman!” balasku, sekali lagi segaris senyum menghiasi bibir merahnya,
            “Teman? Sejak kapan kita berteman?” dia menyebalkan juga,
            “Baiklah, kalau bukan teman terserahlah mau dianggap apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana hasilnya!” ucapku gregetan.
            “Kau ingin jawaban apa? Kami resmi berpisah atau malah rujuk?” candanya,
            “Pak!” tanpa sadar nadaku meningkat, “Aku tidak main-main, apa hasilnya?”
            “Apa kau berharap kami berpisah?” dia semakin memojokkan aku. Aku diam menatap marah padanya, dia pun membalas tatapanku dengan sikap cueknya.
            “Yes, I hope you both separate!” ya, aku ingin kalian berpisah jawabku lantang. Dia tertawa kecil,
            “Why?” kenapa, tanyanya. Dia memancingku untuk mengaku, dasar orang ini. Baiklah kau pikir aku mudah termakan perangkapmu,
            “Kalau Bapak enggan menjawabnya, tak masalah. Aku bisa menanyakannya pada ibu!” aku bergegas pergi dari ruangannya.
            “Yaa… Jung Eun Hye!” panggilannya menghentikan langkahku, aku berbalik menunggu apa yang ingin dikatakannya. “Is it hard to say…” perkataannya terhenti, dia terlihat gugup. “Forget it! Lupakanlah!” sambungnya.

            Kata ibuku Pak Lee telah resmi bercerai dengan istrinya itu, entah kenapa aku bergitu bahagia mendengarnya. Kusadari dulu aku begitu membencinya, aku mana mau peduli dengan urusan pribadinya, tapi kali ini berbeda. Aku harus tahu semua yang terjadi padanya, aku selalu ingin menjadi yang terbaik di matanya, semua harus sempurna dan aku tak ingin terlihat cacat di hadapannya. Aku takut ini adalah cinta, dia dosenku, selamanya dia hanya akan menganggapku sebagai muridnya.
            Aku melangkah pelan ke ruangan Pak Lee, aku tidak tahu mesti beralasan apa bila bertemu dengannya, yang jelas saat ini aku ingin melihatnya. Ya… aku merasakan rindu. Belum sempat mengetuk pintu, dosenku itu sudah duluan keluar dari ruangannya. Hasilnya kami berpapasan di mulut pintu.
            “Ada apa?!” tanyanya heran, aku blank, tak tahu harus beralasan apa kali ini. Dia terus menatapku menunggu jawaban dariku, astaga… kemana kemampuan mengarangku yang hebat. Biasanya aku paling jago berbicara dalam keadaan terjepit.
            “Mmm… bagaimana dengan foto-foto itu Pak? Kenapa tidak ada kabar dari si pelaku?” fuih… meski tidak masuk akal, hal ini bisa dijadikan alasan juga kok.
            “Oh…” responnya betul-betul enteng, dilanjutkannya langkahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
            “Oh apanya Pak?” tanyaku menyusulnya.
            “Tidak perlu khawatir, aku sudah mengetahui pelakunya jadi semua sudah beres sekarang!”
            “Lho… bagaimana Bapak tahu? Apa nomornya Bapak lacak? Bukannya pakai privat number Pak?!”
            “Kau ini kalau bertanya jangan berentetan kayak peluru begitu. Kau tak perlu tahu bagimana aku menemukan pelakunya, sekarang kau hanya perlu konsentrasi pada penelitian dan skripsimu. Ingat bulan depan kau sudah harus menyusun semuanya.” Dia terlihat buru-buru, pantas jawabannya sekenanya saja.
            Oh ya… sudah terlambat, aku harus segera ke sekolah tempatku praktek. Segera kucegat taksi dan tanpa kusadari taksi yang kutumpangi berjalan di belakang mobil Pak Lee. Kulihat dosenku itu memasuki sebuah café di tepi jalan, ha… apa aku tidak salah lihat? Dia menemui wanita itu, mantan istrinya! Untuk apa lagi dia menemui wanita itu, bukannya mereka telah bercerai? Aku jadi tidak fokus saat di kelas, sulit menjelaskan pelajaran karena terus terpikir dengan apa yang kulihat barusan. Aku hanya memberi tugas pada murid-muridku, untung saja mereka sangat patuh.
            Hari ini aku berkunjung ke rumah Bibi Lee, ibu menyuruhku membawa barangnya yang ketinggalan di rumahku kemarin. Aku sungguh gugup, inikan hari libur, jelas dosenku ada di rumah. Huh… kenapa aku harus sering bertemu dengannya di saat perasaanku telah berubah? Kenapa bukan di saat aku masih benci padanya? Aku mengatur napasku dalam-dalam sebelum mengetuk pintu, oke… setelah merasa lebih tenang, aku pun mulai mengetuk dan mengucapkan salam. Sejenak kudengar suara kunci terbuka dan perlahan pintu pun tergeser.
            “Oh… kau sudah datang, masuklah!” ucap Pak Lee. Hah… memang dia tahu aku akan datang? Aku melangkahkan kakiku ke dalam, kulihat suasananya, rapi tapi sangat sepi.
            “Aku membawa pesanan Bibi, kemarin tertinggal di rumahku!” ucapku saat dia mempersilakanku duduk.
            “Ibuku sedang keluar, katanya ada urusan dengan ibumu!” ucapnya dari arah dapur, sepertinya dia sedang membuatkan minuman untukku. Heh… ada urusan dengan ibu? Terus untuk apa ibu menyuruhku ke sini mengembalikan barang kalau memang nanti akan ketemu bibi juga?! Aku berpikir sejenak, air mukaku berubah begitu menyadari kebodohanku. Ibu… kenapa sih dia genit sekali!!!  
            “Kau akan pergi dengan kostum seperti ini?” tanya Pak Lee begitu muncul membawa segelas jus jeruk untukku.
            “Pergi ke mana Pak?!” tanyaku dengan kening berkerut. Pak Lee malah membalas dengan tatapan yang tidak jauh beda denganku.
            “Jadi kau tidak tahu kita akan ke acara eunion teman kuliahku?!” tanyanya.
            “What??? Bapak yang reuni, kok aku juga ikut?” tanyaku kaget. Dosenku itu termenung sejenak, dia tersenyum sinis setelahnya.
            “Ya sudah… pulanglah, kali ini kau telah menjadi korban ibuku. Maaf ya… atas nama ibuku! Aku jadi tidak enak padamu.” Oh… jadi ini sudah diatur? Bukan cuma Bibi Lee yang mengelabuiku, tapi ibuku yang genit itu juga. Heran deh… kenapa mereka malah jadi genit di usia yang tidak muda lagi, kena puber yang ke berapa sih mereka? Reuni teman kuliah ya? Hm… jadi penasaran melihat teman-teman dosenku ini, seperti apa ya mereka. Tunggu, teman kuliah kan? Berarti mantan istrinya juga datang! Tidak bisa, aku tidak boleh melepasnya sendiri, dia pasti akan dijadikan objek sindiran oleh wanita itu.
            “Pak, aku mau ikut!” putusku cepat, keningnya kembali berkerut menatapku.
            “Kau yakin?!” tanyanya. Aku mengangguk kencang. Dia kembali memandangku, “Dengan kostum seperti ini?” kutatap penampilanku, kaos oblong dan jeans, aku nyengir sendiri karena malu. “Kita ke butik!” ucap dosenku lantang, hah…butik? Harus kutolak atau terima saja? Tidak enak dia membelikanku baju, aku kan bisa pulang ganti baju! Tapi… memang aku punya pakaian formal? Pakaian formalku hanyalah pakaian mengajar! Hiks… aku menyesal tidak pernah memperhatikan penampilan dan mengabaikan perkembangan fashion.
            “Kalau bagitu ambil titipan ini dulu Pak!” aku menyodorkan barang ibunya yang kubawa, belum sempat dipegang baik-baik oleh dosenku, aku telah melepas peganganku. Alhasil barang itu jatuh ke lantai. Beberapa lembar kain yang menyerupai baju jatuh, kubantu Pak Lee memungutnya. Kami termangu sendiri melihat barang yang kubawa ini, ini kan baju formal untuk acara seperti reuni. Kami tersenyum geli saat menyadari kami benar-benar bodoh, sumpah… aku benar-benar tidak berpikir ibu-ibu kami telah menyusun semua ini.
^hellogangsa^
            Dengan langkah mantap aku memasuki ruang reuni bersama dosenku. Busana pilihan ibu lumayan juga, girly skirt selutut dengan renda halus, kemeja putih, dipadankan dengan blazer ungu halus yang senada dengan roknya. Kulihat sudah lumayan yang datang, ada Yun Jae Oppa, kakaknya Yu Jin juga. Pak Lee membawaku berkenalan dengan beberapa temannya yang berkumpul di sudut ruang. Dia memperkenalkan aku sebagai teman, bukan lagi mahasiswinya. Yah… aku anak dari teman ibunya, kurasa lumayan dari pada harus mendengarnya mengatakan ‘ini muridku’.
            “Apa kalian punya hubungan special?!” goda seorang temannya, kurasa dia bekerja di bank sebab aku ingat dia yang mengurus adaministrasi pembayaran uang semesterku. Pak Lee tersenyum renyah, dia tidak mengiyakan ataupun menyalahkan pertanyaan temannya. Lama kami bercengkrama sampai tamu yang tak kuharapkan datang, ya mantan istri dosenku. Keadaan memang lumayan kaku saat kami berhadapan, semua temannya mengerti bahwa Pak Lee baru saja bercerai dengan wanita itu.
            Bukan Pak Lee namanya bila harus larut dalam keadaan tidak menyenangkan seperti saat ini, buktinya dia bisa menguasai keadaan dan kembali pada percakapan normal yang baru saja kami lalui. Seperti reuni kebanyakan, mereka bercengkarama, melepas rindu, dan juga bercerita mengenang kejadian saat mereka masih bersama. Huft… kapan aku juga reuni? Sepertinya aku harus memikirkannya dari sekarang, aku akan menggalang teman-teman SMU-ku untuk reunian.
            “Pak… aku ke toilet dulu!” bisikku pada Pak Lee, dia mengangguk. Huf… kupandangi wajahku di cermin usai mencuci tangan, apa benar aku mirip dengan wanita itu? Aku lumayan risih saat beberapa teman Pak Lee menatapku lekat-lekat sembari membandingkan aku dengan mantan istri dosenku itu. Alah… tak perlu memikirkan itu Eun Hye, kau lebih cantik dan tentu saja lebih muda dari wanita itu. Ditambah lagi kau masih perawan, itu nilai jualmu yang tertinggi.
            Aku kembali ke tengah pesta, aku tidak melihat Pak Lee. Clingak-clinguk aku mencari keberadaannya, setelah kulihat sosoknya sedang berdialog dengan Yun Jae Oppa di sudut ruang, baru aku merasa tenang.
            “Bagaimana masalahmu bersama Hye Sun?” tanya Yun Jae Oppa pelan. Langkahku terhenti beberapa jarak di belakang Pak Lee, aku mengurungkan niat untuk menghampiri mereka. Aku tidak mau mengganggu percakapan mereka.
            “Sudah kuselesaikan, tolong jangan beritahu ibuku, masalah ini hanya kau, aku, dan dia yang tahu.” Sepertinya mereka membicarakan hal yang serius.
            “Dia minta berapa?” tanya Yun Jae Oppa.
            “Sepuluh juta won.” Jawab dosenku. Hah… sepuluh juta? Memang masalah apa yang mereka bicarakan? Aku jadi tergelitik untuk mengetahui lebih dalam arah pembicaraan. Pak Lee menyembunyikan sesuatu di balik perceraiannya dengan mantan istrinya, dan tentu saja ini dirahasiakan dari ibunya.
“Keterlaluan, dia yang bersalah malah dia yang mendapat kompensasi.” Yun Jae Oppa jadi sedikit emosi. “Uang sebanyak itu kau dapat dari mana?!”
“Aku punya tabungan sewaktu di Inggris, kau tahu kan’ aku part time mengajarkan bahasa korea di tempat pelatihan bahasa asing.” Oh… jadi wanita itu minta ganti rugi, huh… dasar tidak tahu malu, seharusnya dia itu bersujud minta maaf pada Pak Lee. Apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan, bukannya minta kompensasi. Aku jadi panas sendiri. Oh… jadi yang kulihat kemarin di café… ini alasannya. “Aku tak ingin ibuku tahu masalah ini, ibuku sudah terlalu shock dengan perselingkuhan Hye Sun di depan matanya sendiri. Aku tidak ingin menambah bebannya dengan menceritakan masalah ini.” Jadi begini cerita sebenarnya, Pak Lee… maafkan aku yang berburuk sangka padamu. Kupikir kau ingin rujuk dengan wanita itu.
            “Lalu bagaimana dengan Eun Hye. Benar kalian tidak ada hubungan apa-apa?!” tanya Yun Jae Oppa. Mereka mengalihkan pembicaraan ke arah yang sangat sensitive bagiku.
            “Memangnya kenapa?” tanya balik dosenku.
            “Dia sahabat baik adikku, dan akupun telah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku tidak ingin kau mempermainkannya!” balas Yun Jae Oppa. Pak Lee membisu, dia tidak merespon sama sekali. “Dia sangat mirip dengan Hye Sun, teman-teman menebak kau jalan dengannya karena dia mirip dengan mantan istrimu.”
            “…” sekali lagi tidak ada respon dari Pak Lee. Hatiku tengah mengembang sekarang, tertiup hembusan yang menyesakkan, kalau terus begini akan pecah nanti. Aku menunggu jawaban dosenku, aku ingin tahu bagaimana perasaannya padaku.
            “Aku tidak akan bohong kalau dia memang mirip dengan Hye Sun, bahkan bila aku merindukan Hye Sun, aku cukup melihatnya.”
            “Min Ho!” suara Yun Jae Oppa berubah kaget,
            “Aku bukan orang yang munafik, aku tidak ingin berkata ‘tidak’ bila yang kurasakan berkata ‘iya’, terus terang aku memanfaatkannya untuk membalas Hye Sun.” Prangg… hatiku yang mengembang tadi meledak setelah mendengar pengakuan Pak Lee.
            “Min Ho…” Yun Jae Oppa terdengar begitu kecewa.
            “Aku tahu perbuatanku salah…”
            “Lalu kenapa kau lakukan?!” protes Oppa
            “Aku tidak punya pilihan lain!” dia menghembuskan napas begitu berat. “Tenang saja… aku akan mengakhiri semua, Eun Hye gadis yang baik, tidak pantas dia kujadikan bahan permainan antara aku dan Hye Sun.”
            “Cepatlah hentikan, kau bisa jatuh cinta kalau terlalu lama bermain. Dia gadis yang kurasa dapat memikatmu!”
            “Ha…ha…” dia tertawa kecil, “Dia muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!” kurasakan ada sesuatu yang menusuk dadaku, rasanya sakit sekali sampai aku tak tahan untuk tidak menangis. Jadi begini penilaian anda terhadapku selama ini? Anak-anak, yah… aku hanya anak-anak!
            “Eun Hye~ah!” Oppa keget melihatku dengan mata yang sembab, tentu saja Pak Lee berbalik memastikan apa yang dilihat oleh sahabatnya. Matanya membulat saat melihatku di belakangnya,
            “Aku harus pulang Pak!” ucapku dingin. Aku berbalik dan menyeka air mataku, aku berjalan secepat mungkin sebab aku tak ingin menangis di tengah teman-temannya. Di parkiran aku berhasil dicegat olehnya,
            “Apa yang kau dengar?” tanyanya khawatir.
            “Semuanya!” jawabku sinis. Wajahnya berubah pucat, “Permisi Pak!” lanjutku setelah menghempaskan pegangannya.
            “Tunggu…!” dia kembali mencegatku,
            “Apa lagi?!” bentakku, ya… aku marah, kurasa wajar aku membentaknya.
            “Aku tahu aku salah…” dia terlihat panik, “Kuharap kau tidak marah…” apa? Tidak marah? Aku bukan Dewa yang Maha Pemaaf, aku manusia, MANUSIA!
            “Tenang saja Pak, anak-anak sepertiku tidak begitu mengerti dengan pembicaraan kalian tadi!” balasku dingin. Aku segera mencegat taksi dan buru-buru meninggalkan lokasi itu. Tangisanku pecah di dalam taksi itu, sesekali si supir melirik padaku. Aku tidak dapat menahan sakit hatiku, maaf pak supir, aku membuatmu risih dengan tangisanku.
            Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar. Kukunci pintuku rapat-rapat, setelah itu kubenamkan wajahku ke bantal lalu menangis sejadi-jadinya. ‘Dia muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!’ Perkataan Pak Lee tak mau pergi, terus terngiang di telingaku. Sakit sekali rasanya aku dipanggil anak-anak! Kalau memang kau menganggapku anak-anak, kenapa kau memanfaatkan aku untuk membuat mantan istrimu cemburu? Kau memanfaatkan anak-anak Pak, ini pelanggaran! Isakanku semakin keras, untung saja semua redam di dalam bantal. Kudengar suara bel, ada orang yang datang.
            “Oh… Min Ho!” suara ibu bagitu keras sehingga aku bisa tahu siapa yang datang.
            “Apa Eun Hye ada?”
            “Heh… bukannya dia pergi bersamamu, apa dia tidak bersedia menemanimu ke reunian itu? Wah… keluyuran ke mana lagi anak itu!” aku baru sadar kalau kepulanganku tidak diketahui ibuku.
            “Oh… jadi dia belum pulang?”
            “Belum! Biar bibi telpon dia!”
            “Tidak perlu Bi, dia bersedia menemaniku ke reuni teman-temanku kok! Tapi tadi terjadi kesalahpahaman makanya dia pulang duluan! Kupikir dia langsung ke rumah.”
            Beberapa saat kemudian kudengar suara mesin mobil menjauh dari depan rumahku, kulihat lewat jendela kamarku, Pak Lee telah pergi. Aku baru berani membuka pintu kamarku, kurasa aku perlu ke toilet untuk cuci muka.
            “Hah… Eun Hye, kau sudah pulang. Tadi Min Ho mencarimu!” ibuku terperanjat melihatku saat kami berpapasan di depan kamarku. Aku tak merespon ibuku, “Biar ibu telpon Min Ho dan bilang kalau kau sudah pulang.” Ibuku membalik badannya dan mencari ponselnya di lemari, aku berlomba mendahului ibu. Baru saja ibu akan memencet nomor, jariku sudah bermain menutup hp lipatnya.
            “Aku bersumpah kalau ibu menelponnya, aku akan bunuh diri!” ucapku tegas. Ibu terhenyak memandangku, matanya melotot dan mulutnya membulat. Kuambil ponselnya dan kubawa pergi. Waktu SMP dulu, aku pernah minum racun serangga gara-gara ibu membuang anak kucing yang kupungut di jalan sehingga sampai saat ini bila aku ingin membungkam ibuku, aku pasti mengancamnya dengan ancaman bunuh diri.
***
            Di kampus, aku seperti bermain petak umpet dengan Pak Lee. Setiap melihatnya, aku pasti lari bersembunyi. Aku tidak ingin bicara lagi dengannya, aku tidak mau tahu lagi tentang dirinya. Aku kembali pada masa di saat aku sangat membencinya.
            “Katakan saja kalau kau perlu bantuanku, aku tidak akan menolak bila kau memintaku untuk memukulnya!” ucap Si Yoon berapi-api. Dia tahu masalah yang kuhadapi,
            “Kalau kau di drop out bagiamana?” tantangku,
            “Aku akan memakai topeng sehingga dia tidak akan mengenaliku!” Kugetok kepalanya, kapan sih anak ini berpikiran dewasa.
            “Di mana Song Yu Jin? Pasti dia yang menyebarkan berita ini padamu!” kurasa Yun Jae Oppa sudah bicara dengan adiknya, dan melalui adiknya, temanku yang berotak tumpul ini tahu permasalahanku.
            “Mau sampai kapan kau menyembunyikan masalah ini seorang diri?! Kau pasti sangat menderita, apa kau tak mau berbagi? Kau punya teman, tak perlu gengsi bila kau butuh bantuan!” balas Si Yoon, aku terdiam. Perlahan dadaku panas dan merembes sampai ke mataku, yah… menangis lagi deh.
            “Pinjam pundakmu!” ucapku terisak, dia segera duduk di sampingku dan menyodorkan pundaknya. Kini aku menangis di pundak sahabatku, terisak sampai sulit bernapas. Terus terang saja ini pertama kali bagiku, pertama kali keangkuhan hatiku tunduk pada sebuah istilah yang sering di sebut cinta. Ya… ini pertama kali aku jatuh cinta. Pertama kali aku merasakan rindu pada lawan jenis, pertama kali merasa berdebar-debar saat berhadapan dengan pria. Pertama kali ingin selalu tampil sempurna di hadapan seorang pria, pertama kali merasa berbunga-bunga bila berpapasan dengan seorang pria. Sayangnya aku salah orang, aku salah mencintai orang. Dia hanya menganggapku alat, bahkan lebih parahnya, baginya alat itu ternyata hanyalah anak-anak.

            “Ini…” seseorang menyodorkan tissue ke arahku, Yu Jin berdiri di hadapanku dan menatapku iba. Untung saja aku masih punya sahabat, setidaknya aku masih punya sandaran yang dapat menopangku di saat aku akan jatuh.



to be continued...

FF Hallo Gangsa! - Part 2


Pesta berakhir sempurna dan perjamuan pun dimulai. Dari jauh kulihat aura Pak Lee benar-benar beda, dia seperti ingin marah namun ada kesedihan yang ikut terpancar dari matanya. Jadi… ini alasan mengapa mereka ingin bercerai? Keterlaluan sekali wanita itu, sepertinya dia sengaja memperlihatkan kemesraannya di depan Pak Lee.
“Oppa… ini!” kuhampiri Pak Lee yang tidak berdaya, kusodorkan segelas anggur untuknya. “Anda harus berpura-pura, balas dia Pak!” bisikku dan segera kurangkul lengannya.
“Kau kenapa?!” dia jadi heran dan mencoba menepis tanganku,
“Pak… aku mengerti bagaimana perasaan anda, jangan mau kalah darinya, dia sengaja memanas-manasi anda dan anda tidak boleh tinggal diam,” bisikku.
“Jadi kau ingin bilang balas dia dengan kemesraan kita?” tanyanya, aku mengangguk mantap. Dia tersenyum, “Lebih baik aku cari gadis lain!” dia melepas rangkulanku. Dasar tidak tahu berterima kasih, memangnya di sini ada yang mau membantumu? Beberapa saat kemudian Pak Lee kembali ke arahku,
“Ayo kita pulang!” ajaknya, “Ibuku menelpon untuk mengantarmu pulang!”
“Tidak… aku masih ingin di sini, aku masih ingin minum anggur!” aku ketagihan anggur di pesta ini, rasanya enak sekali.
“Kalau kebanyakan minum, kau bisa mabuk!” bujuknya.
“Tidak akan, kalau bapak mau pulang, pulang saja duluan.” Kuseruput segelas dan minta yang baru lagi.
“Jung Hye Na… ayo!” dia menarikku namun segera kutepis pegangannya. Kami sukses menarik perhatian beberapa orang karena perdebatan kami ini termasuk wanita itu.
“Min Ho~a!” wanita itu dan pasangannya menghampiri kami, “Kau datang juga?” tanyanya. Cih… padahal dia sedari tadi bermesraan untuk membuat Pak Lee cemburu dan dia malah bertanya ‘kau datang juga?’
“Nde, bagaimana kabarmu?” balas Pak Lee,
“Seperti yang kau lihat,” wanita itu memandangku dari atas sampai bawah, “Ini gandengan barumu?” tanyanya.
“Wah… ajumma, sopanlah kalau bicara..” tegurku.
“Ajumma?” wanita itu kaget, “Kau buta ya, apa kau tidak bisa melihat wajahku? Justru kau lah yang harus sopan, seenaknya saja memanggilku ajumma!” Pak Lee tertawa geli di sampingku.
“Oh… jadi aku salah ya? Maaf… soalnya wajah anda terlihat lebih tua dengan dandanan seperti ini!”
“Kau…” dia mencoba menyentuhku namun Pak Lee buru-buru melindungiku,
“Cukup! Sepertinya dia sudah mabuk makanya bicaranya sembarangan begini!” bela dosenku itu. “Ayo kita pergi!” kali ini aku tidak bisa melawan saat dia menarik tanganku, kepalaku sudah terasa berat.
Duk…duk…duk… suara heels-ku menggema di jalan beraspal, rasanya sakit sekali. Kulepas pegangan Pak Lee dan melepas sendalku. Aku terduduk di aspal, menarik napas dalam-dalam.
“Bapak bodoh!” ucapku di luar kendali, langkah dosenku itu terhenti oleh perkataanku. “Sudah tahu dipermainkan oleh wanita itu tapi masih diam saja!” hiiik, aku cegukan.
“Ayo pulang!” dia kembali dan menarik tanganku. Aku sempat berdiri namun tidak jalan bersamanya, kutepis tangannya dan segera duduk di bangku taman.
“Tahu tidak Pak, anda dosen popular di kampus, sekali tunjuk saja, banyak mahasiswi yang mau jadi teman kencan bapak. Bapak ini masih muda, cerdas, berkarir cemerlang, dan satu kelebihan lain yaitu bapak tampan. Tapi kenapa mesti terpuruk oleh satu wanita yang jelas-jelas telah melukai perasaan bapak.” Kepalaku terasa pusing.
“Kau sudah mabuk, makanya kubilang jangan banyak minum!”
“Ayo Pak duduklah di sampingku!” aku mengayunkan tanganku dan memanggilnya ke dekatku, “Aku mau konsultasi skripsi!” heh… mana nyambung! Untuk beberapa saat aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi begitu kubuka mata, dosen tampan itu telah duduk di sampingku. Kupandangi wajahnya dari samping, garis-garis dan lekukan di setiap wajahnya, dia betul-betul berkharisma.
“Hye Sun…” dia mulai bicara, suaranya terdengar berat. “Dia teman kuliahku dulu, sesaat setelah aku menikahinya, aku mendapat besiswa ke Oxford oleh pemerintah Korea. Aku begitu bimbang mesti memutuskan apa dan berkat dorongannya juga dorongan ibuku akhirnya aku mantap pindah ke Inggris untuk mengejar pendidikanku. Sayang dia tak dapat kutinggal sendiri, dia bermain kesetiaan di belakangku. Ibuku sendiri yang mendapatinya bermesraan dengan kawan lamaku. Ibu minta kami berpisah, dia tak tahan punya menantu seperti Hye Sun.”
“Apa bapak masih mencintainya?” tanyaku sedih mendengar ceritanya,
“…” tak ada jawaban darinya, duggg… aku memukul bahunya,
“Lupakan dia, wanita seperti itu tak layak dicintai! Aku bukannya sok pintar menggurui bapak, tapi yang perlu anda tahu… ada wanita yang pantas mendapat kasih sayang dan ada pula yang tidak. Dan… salah satunya adalah Hye Sun. Anda tidak perlu khawatir, anda pasti dapat menemukan penggantinya. Anda anak yang penurut, tentu Tuhan akan memberi yang terbaik untuk anda, dan Hye Sun bukanlah yang terbaik itu.” Aku segera berdiri, kuangkat gaunku yang kepanjangan dan terasa lebih panjang karena kubuka heels-ku.
“…” dia terbengong memandangku, hikkk… aduh aku cegukan lagi, aku memutar tubuhku dan tepat berdiri di depannya. Kubungkukkan sedikit badanku untuk mengimbangi dirinya yang sedang duduk.
“Jangan menyerah Pak, tetaplah semangat!!” seruku sambil memegang pundaknya. Dia tersenyum, wah… aku jadi deg-degan. “Ayo kita pulang!” ajakku, baru saja akan berbalik, gaunku terinjak olehku sehingga aku terdorong ke depan dan…
Buru-buru kutarik tubuhku saat menyadari aku mencium bibirnya, aduh… bodohnya aku. Kutarik tubuhku tanpa persiapan sehingga tubuhku oleng ke belakang, sigap dia menahanku dan kini aku berada dalam pelukannya. Hiiikkk… aku cegukan lagi,
“Ampun Pak! Ampun! Jangan marahi aku!” aku menjauh dari pelukannya, aku duduk di aspal sambil menangis.
“Hei… apa yang kau lakukan? Ayo berdiri, banyak orang yang melihatmu!” perintahnya.
“Ampun Pak, jangan pukul aku lagi!” isakku.
“Kau bicara apa? Memangnya kapan aku pernah memukulmu?!” dia jadi gelagapan sebab beberapa orang yang lalu-lalang memperhatikan kami.
“Ih… ganteng-ganteng kok kasar!” cibir mereka,
“Jung Eun Hye!” dia marah dan langsung membopongku ke mobilnya, sejurus dengan itu, aku kehilangan kesadaranku.
^hellogangsa^
Aku dan Si Yoon sedang menuju perpustakaan mencari beberapa sumber untuk skripsi kami, tiba-tiba dari arah yang berlawanan kulihat Pak Lee jalan dengan wajah yang sungguh menakutkan.
“Wah… sepertinya dia mengeluarkan asap!” ucap sahabatku itu saat menyadari kedatangan dosen killer itu. “Yaa… apa kau buat masalah lagi dengannya? Kelihatannya dia menuju arahmu!” pertanyaan Si Yoon itu membuatku teringat peristiwa semalam, deg… pasti aku akan dipanggang kali ini. Melihat dia semakin dekat, aku memutuskan kabur, ya… segera kubalik badanku dan lari terbirit-birit mencari persembunyian.
Lama aku bersembunyi di dalam semak-semak, setelah kupastikan singa itu tidak mengejarku lagi, akupun keluar dari semak itu. Aduh… gatal sekali, di dalam ada ulat bulu pasti kena kulitku tadi. Aku masih asyik menggaruk tanganku yang gatal dan tiba-tiba sepasang kaki muncul di depanku. Perlahan kudongakkan kepalaku dan mataku bertemu dengan sepasang mata yang akhir-akhir ini sering muncul dalam mimpi burukku.
“Hallo Pak!” sapaku dengan senyum ketakutan.
“Hallo!” balasnya dengan senyum mengerikan. “Cepat berdiri!” perintahnya, suaranya seperti halilintar. Dia menyodorkan ponselnya padaku, jadi ada yang menelponku toh… astaga… mestinya bilang dari tadi, kan aku tidak perlu bersembunyi seperti buronan.
“WHATTTTT?!!!!” pekikku dengan suara yang melengking, kulihat gambar di ponsel itu, dia ingin memperlihatkan foto saat ciuman kecelakaan kami semalam. “Pak… maksudnya apa? Kenapa Bapak mengabadikannya? Bagaimana kalau ada yang lihat? Ah… atau Bapak mau meyebarkannya sehingga menjadi skandal…” buru-buru dosen itu menyumpal mulutku.
“Diam!” bisiknya sambil mengamati keadaan sekitar, “Untuk apa aku mengabadikan kejadian itu? Kau pikir aku bisa memotret dalam keadaan spontan seperti semalam? Justru aku yang ingin protes padamu! Kupikir kau yang melakukan semua ini untuk memerasku tapi rupanya kau sama shock-nya denganku.”
“Enak saja! Apa untungnya aku melakukan semua itu, yang ada malah nama baikku yang akan rusak!” balasku, “Mana mau aku terlibat skandal dengan seekor singa!” bisikku.
“Lalu siapa yang melakukannya?!” tanyanya,
“Molla!” jawabku, tiba-tiba ponselnya bergetar, ada pesan yang masuk. ‘Ikuti perintahku kalau kau tidak ingin foto ini menyebar ke situs kampus!’ aku dan Pak Lee saling memandang, kami…kami dalam masalah sekarang.
Aku terus memandangi Si Yoon yang sedang asik mengetik di perpustakaan. Aku curiga dia yang melakukan ini padaku, ah… tidak pada kami. Dari mana pelaku itu tahu kalau aku dan Pak Lee adalah warga kampus sehingga mengancam akan menyebarkan foto itu di situs kampus.
“Kau kenapa memandangiku seperti itu?” tanyanya risih, “Kau tidak diapa-apakan oleh Pak Lee kan’?”
“Kau yang melakukan semua ini!” tuduhku,
“Melakukan apa?!” tanyanya tidak mengerti,
“Jangan bohong! Apa yang kau inginkan sebenarnya?” aku menarik kerah bajunya,
“Yaa… Jung Eun Hye, jangan buat keributan di sini!” tegur penjaga perpustakaan padaku. Segera kulepas kerah baju sahabatku itu,
“Kau kenapa sih? Ceritakan padaku, apa kau dapat masalah?” tanya Si Yoon sambil memperbaiki posisi kemejanya. Aku masih belum percaya padanya, kutatap dia dengan tatapan penuh kebencian. “Yaa… jangan menatapku begitu, aku tidak mengerti sama sekali!” di depan pintu perpustakaan, kulihat Pak Lee memberi aba-aba agar aku segera menghampirinya.
Pelaku itu meminta kami untuk ke taman kota saat ini juga, apa boleh buat, kami pun menurut. Kami ikuti saja apa maunya namun tetap berusaha mencari tahu siapa dia sebenarnya. 10 menit, 20 menit, 30 menit, kami hanya bengong menunggu, tak ada instruksi apapun dari si pelaku, apa tujuannya dia menyuruh kami ke taman? Baru saja ingin mengeluh pada dosenku itu, eh… dia malah tidur! Bisa-bisanya dia tidur di saat seperti ini! Dia roboh terkena angin, buru-buru kutahan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Aduh… berat juga, kepalanya isinya apa sih, seperti batu saja!
Huft… satu jam kami menunggu namun tak ada respon dari si pelaku. Kulirik Pak Lee yang tidur nyenyak di bahuku, hu… dasar, dia sih enak molor nah aku pegal gara-gara menopang kepalanya yang seberat anak gajah. Perlahan matahari senja menyinari arahku, kuambil bukuku dan menutupi wajah Pak Lee yang terkena cahaya. Aku tahu dia tidak tidur semalam, soalnya kudengar ibuku ngobrol dengan Bibi tadi pagi kalau dosenku ini sibuk menyediakan materi akreditasi.
“Hoaaaammmm…” Pak Lee terbangun dengan gaya anggunnya, tangan dan bahuku pegal gara-gara dia. “Eh… aku ketiduran ya?” tanyanya.
“Iya… nyenyak sekali malah! Sampai ada ilernya, tuh… ada pulau Jeju di pipi Bapak!” balasku sinis.
“Haaaa…??” dia segera memalingkan wajahnya, mengucek-ngucek pipinya seperti sedang membersihkan sesuatu.
“Ayo Pak kita pulang! Sepertinya si pelaku kelupaan mau melakukan apa pada kita!” aku melangkah pelan, sepertinya tidak ada respon dari dosen itu. Ya ampun… dia masih sibuk membersihkan wajahnya, “Pak!!! Aku cuma bercanda, tidak ada iler kok!” ucapku. Seketika dia kembali ke posisi normal. Dia memperbaiki stelan-nya dan berdiri.
“Kajja!” ucapnya penuh wibawa, aku mengekor di belakang.
“Nona… ayo beli es krim!” tiba-tiba seorang penjual es krim menyelonong dari belakang. Aku menggeleng, sebenarnya sih lapar tapi aku baru ingat kalau aku lupa bawa dompet. Penjual itupun mengayuh gerobaknya meninggalkan kami, dasar… orang di depanku ini tidak punya perasaan sedikitpun. Setidaknya tawari aku meski sekedar basa-basi.
“Pak… tolng es krimnya, 2 ya!” tiba-tiba dosenku itu menghentikan si penjual es krim! Wah… kutarik kembali kata-kataku, ternyata dia masih punya perasaan meski aku adalah mahasiswi yang sering membuatnya jengkel. Setelah membeli es krimnya, aku menunggu diberikan olehnya, tapi sedari tadi dia tidak pernah menoleh. Sebenarnya dia niat tidak sih memberikan es itu padaku?
“Pak, nanti es itu meleleh kalau tidak segera di makan!” tegurku.
“Nanti kalau sudah sampai rumah baru dimasukkan ke kulkas!” balasnya.
“Memangnya es itu untuk siapa?” tanyaku.
“Untukku dan ibuku!” jawabnya cuek. What? Aku yang di sini tidak kebagian? Huh… kutarik lagi kata-kataku, singa tetap singa, tidak akan pernah punya perasaan. Aku jalan lebih cepat darinya, huh… menyebalkan sekali harus berdekatan dengan orang seperti itu.
Yaa… Jung Eun Hye! Kau mau?” dia memanggilku. Aku terus melangkah tanpa meresponnya. “Yaa…” dia buru-buru menarik tanganku, “Ini untukmu!” dia menyodorkan es itu padaku. “Aku hanya bercanda tadi, ini sebagai ucapan terima kasihku karena kau mau meminjamkan bahumu saat aku tertidur!” dia tersenyum. Ya ampun… manis sekali. Aduh… sejak kapan aku jadi lost of control seperti ini? Buru-buru kuambil es yang dia sodorkan agar tidak terlalu lama melihat senyumnya.
“Pak…” panggilku saat dia berjalan mendahuluiku. “Sore ini cuacanya begitu bagus, bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu!” ajakku. Aku melihat sebuah bangku di bawah pohon dan merapat ke sana. Dosenku itu tak punya pilihan, dia mengikuti tawaranku. Setelah menikmati es itu bersamanya, perlahan kurasakan ada suatu keanehan di perutku. Aduh… lama-lama aku jadi mules. Tubuhku kini bergetar disertai keringat dingin yang mengucur.
“Kau kenapa?” tanyanya bingung
“Perutku sakit Pak!” jawabku dengan suara yang tertahan. “Di mana toilet? Aku butuh toilet sekarang!” nadaku meninggi karena menahan sesuatu yang sebentar lagi akan keluar. Dia jadi panik, segera dia menelusuri taman dengan penglihatannya,
“Ah… itu di sana!” kuikuti arah jari telunjuknya, lumayan jauh. Kalau tidak cepat aku bisa…

Fuih… akhirnya lega, semua telah keluar. Usai mencuci tangan sebersih mungkin, aku segera keluar. Di depan Pak Lee menungguku dengan sabar,
“Sudah?” tanyanya, heh… apa perlu kujawab?
“Kalau belum, bagaimana mungkin aku ada di depan bapak sekarang?!”
“Kau ini… jawab dengan sopan apa salahnya?!” dia menatapku dengan tajam. “Ya sudah, kita pulang sekarang. Aneh, untuk apa si pelaku menyuruh kita ke taman kalau tidak melakukan apa-apa!” ucapnya. Baru setengah jalan menuju tempat parkir mobilnya, perutku kembali sakit. Aduh… ada apa ini? Kenapa dengan perutku?
Aku menarik napas panjang di depan westafel, kucuci tanganku sebersih mungkin. Apa tadi aku salah makan? Ini sudah ketiga kalinya aku ke toilet, Pak Lee sampai jengkel melihatku.
“Memangnya kau makan apa tadi? kenapa jadi bolak-balik ke toilet?!” dosenku itu mendengus kesal saat berjalan di depanku.
“Ah… mungkin karena es krim itu!” tebakku.
“Aku juga makan tapi baik-baik saja!” balasnya, benar juga, tapi seingatku memang tidak ada yang salah dengan makananku hari ini kecuali es krim itu. Aduh… sakit lagi, kuremas perutku dan berbalik ke toilet. “Yaa… kau mules lagi?” Pak Lee meneriakiku namun aku tak membalas.
Setelah mencuci tangan, aku keluar toilet. Dia pasti meninggalkanku, siapa sih yang tahan menemani orang yang terkena diare? Wow… aku terkejut saat kulihat dia masih menunggu di depan toilet, di tangannya ada sebuah bungkusan,
“Ini obat! Minumlah!” perintahnya, oh… dia sudah beli obat? Setelah menelan sebutir pil, perasaanku jadi sedikit lebih baik. Kali ini kami jadi pulang, tidak lagi tersendat dengan aktivitasku ke toilet. Beberapa lama kemudian aku merasa aneh lagi, kali ini tidak mules tapi mual!
“Pak! Berhenti!” ucapku tiba-tiba. Setelah mobil berhenti aku turun dan hoekkk… aku muntah di tepi jalan. Hoooeeekkk… berulang kali aku meringis, aku kenapa?
“Kau baik-baik saja?” tanya Pak Lee khawatir, aku menggeleng, tentu saja aku tidak baik! Hoooeeekkk sekali lagi aku muntah namun yang keluar hanya air. Air mataku mengucur, aku ingat ibuku, ibu pasti menangis melihatku seperti ini. Ibu sangat takut kalau aku sakit, ibu trauma dengan orang sakit, ayahku meninggal karena sakit sebabnya.
“Jangan menangis!” bujuk Pak Lee, dia mengambil tissue dan membantuku membersihkan wajahku yang kotor. “Ayo kita ke rumah sakit!” Pak Lee memapahku ke mobil dan membawaku ke rumah sakit.

Aku sulit percaya pada hasil pemeriksaan dokter, dia bilang aku seperti ini karena makan obat pencuci perut, what? Kapan aku makan obat pencuci perut? Karena Pak Lee memberi obat diare maka obat-obat itu mengalami kontraksi sehingga aku muntah-muntah.
“Apa kau sembelit sampai makan obat pencuci perut segala?!” tegur dosenku itu.
“Tidak kok!” aku jadi kelimpungan, “Aku tidak pernah mengkonsumsi obat seperti itu meski dalam keadaan terpaksa!”
“Lalu kenapa dokter itu bilang…” perkataan Pak Lee terhenti saat melihat istrinya juga berada di RS. Sejenak kami saling bertatapan, seulas senyum sinis tersungging di bibir mungil wanita itu.
“Apa kalian datang memeriksakan kehamilan sepertiku?!” pertanyaannya seperti petir yang menghantam, aku saja yang mendengar begitu sakit hati apa lagi Pak Lee. Dari arah belakangnya datang seorang pria yang kuingat jelas dialah pria yang menjadi pasangan wanita ini di pesta kemarin, teman baik Pak Lee, sesuai penuturannya.
“Aku sakit jadi Oppa mengantarku ke dokter. Kami belum punya ikatan sah jadi mana mungkin kami melakukan hal yang memalukan seperti yang kau lakukan!” balasku.
“Kau…” wanita itu marah dan mengayunkan tangannya ke arahku. Buru-buru Pak Lee menangkisnya sebelum telapak tangan wanita itu menyentuh pipiku.
“Dia berkata benar!” ucap dosenku.
                                                                   
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, aku tidak tahu harus membahas hal apa di saat seperti ini. Memandangnya dengan tatapan iba, ya… hanya itu yang dapat kulakukan.
“Aku baik-baik saja, kau tak perlu memandangku dengan pandangan kasihan seperti itu!” dia menyadari kalau aku menatapnya,
“Iya… aku percaya, Bapak tidak apa-apa. Bapak pasti pasti terluka dan kurasa itu wajar, namun bapak tidak akan terpuruk. Pak Lee adalah orang yang kuat, untuk masalah seperti ini tidak akan menguras pikiran Bapak!” dia tersenyum meski pahit.
***
            Teeeeeeeeeeetttt, bel tanda kuliah usai berbunyi, beberapa mahasiswa berhamburan keluar kelas termasuk aku dan Si Yoon. Aku berjalan dengan langkah malas-malasan di sampingnya.
            “Yaa… apa kau baik-baik saja?!” Si Yoon menghancurkan lamunanku.
            “Kenapa bertanya seperti itu?!” aku malah balik bertanya,
            “Sepanjang perkuliahan tadi, Pak Lee sama sekali tidak menyindirmu, kau sudah tidak membuat masalah lagi dengannya?”
            “Yaa… jadi kau suka kalau aku bermasalah dengannya?” nadaku meninggi,
            “Aduh… bukan begitu, aku hanya heran, akhir-akhir ini kau telah berubah dan aku senang dengan kembalinya kau ke alam sadarmu itu!”
            “Yaa… jadi selama ini menurutmu aku mabuk?” Errr… anak ini benar-benar membuat tekanan darahku meningkat. Syut… tiba-tiba Yu Jin muncul di hadapan kami, gadis itu tersenyum begitu manis.
            “Aku punya sesuatu untukmu!” ucapnya padaku. Perlahan dia membuka lembaran bukunya dan memberiku selembar foto. Aku mengambilnya dan melihat isi gambar foto itu.
“Itu foto Oppaku bersama teman-temannya saat kuliah dulu, lihat gadis yang digandeng oleh Pak Lee, itulah istrinya!” jelasnya.
            “Lalu?!” tanyaku heran, sebenarnya aku sudah tidak mood membahas wanita itu tapi Yu Jin muncul dan melakukannya untukku.
            “Lalu apanya?” gadis itu bertanya balik, “Lihat baik-baik gadis yang di sampingnya, sangat mirip denganmu!” seloroh Yu Jin.
            “Ha…? Mana? Coba kulihat!” Si Yoon tidak mau kalah, dia segera mengambil lembaran foto itu dari tanganku.
            “Benar, hanya saja gadis ini lebih putih!” Si Yoon membenarkan perkataan pacarnya itu. Ah masa aku mirip dengan ajumma itu? Enak saja, aku kan lebih cantik dan lebih muda dari nenek sihir itu. “Wah… kemungkinan alasannya Pak Lee tidak suka padamu karena kau mirip istrinya ini!” sambung Si Yoon.
            “Jung Eun Hye!” tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang, aku menoleh, ternyata Pak Lee. Dia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, sepertinya pelaku pemerasan itu menghubunginya lagi.

            Kali ini kami diperintahkan ke Dunia Hiburan, memangnya mau melakukan apa di tempat seperti itu? Sepanjang jalan aku termenung mengingat perkataan Si Yoon dan Yu Jin barusan. Aku mulai mengetahui alasan Pak Lee tidak menyukaiku memang dari kakaknya Yu Jin, katanya aku mirip dengan orang yang tidak disukainya. Tapi aku tak pernah menyangka kalau orang itu adalah istrinya.
Kutatap wajahku di cermin dompetku dan kubayangkan wajah istri Pak Lee, memang ada kemiripan. Jadi ini alasannya mengapa dia sentiment padaku? Selama ini dia selalu berkata pedas padaku, wajahnya tidak pernah ramah bila berhadapan denganku, bahkan tidak segan dia menyindirku di depan teman-temanku, semua karena aku mirip dengan wanita yang telah menghancurkan perasaannya.
            “Kau kenapa?Apa tidak enak badan lagi?” dia bertanya mungkin karena heran mengapa aku yang notabene gadis cerewet menjadi diam dan tidak membuatnya kesal.
            “Tidak apa-apa, cuma kepikiran seminar minggu depan!” ucapku berbohong.
            “Jangan khawatir, seminar proposal itu bukan untuk menjatuhkan mahasiswa. Justru seminar ini untuk membantu kalian memperbaiki proposal yang kalian sodorkan bila masih ada kesalahan.” Aku senyum paksa mendengarnya, huft… apakah kau membenciku seperti besarnya rasa bencimu pada istrimu?
            Dalam waktu singkat, aku dan  Pak Lee tiba di tempat tujuan. Kadang aku berpikir, si pelaku yang memegang file foto kami apakah ingin memeras kami atau hanya ingin mempermainkan kami. Kali ini kami menunggu lagi, menunggu sampai hampir satu jam.
            “Apa Bapak tidak punya bayangan orang yang sedang mempermainkan kita? Kurasa kita hanya dipermainkan!” aku mendengus kesal. “Lebih baik kita acuhkan saja dia!” 
            “Lalu bagaimana bila foto itu disebarkan ke situs kampus?” tanya Pak Lee
            “Yah… siap tanggung malu saja!” jawabku cuek,
            “Kau gampang bicara seperti itu karena kau hanya mahasiswi, nah aku dosen di sana, bagaimana kalau aku dikeluarkan?!”
            “Cari pekerjaan lain saja!”
            “Kau pikir gampang cari pekerjaan di zaman sekarang ini?”
            “Aku tahu memang sulit tapi mau bagaimana lagi…” ucapanku terpotong saat melihat Pak Lee merogoh kantong celananya, sepertinya dia dapat pesan dari si pelaku.
            “Ayo ke tempat roller coaster,” serunya. Aku mengikut, buru-buru kami ke tempat itu. Aku melihat ada selembar foto di bangku roller coaster, itu… itu foto kami! Shit… pelakunya telah mencetaknya, baru saja ingin masuk mengambilnya, langkahku ditahan oleh penjaga.
            “Ini tiketnya Pak!” dari belakang Pak Lee menyodorkan dua lembar tiket, ya… betul juga, pantas aku ditahan untuk masuk. Akhirnya kami masuk dan mengambil foto itu,
            “Silahkan!” ucap penjaga sambil membukakan pintu kereta, ta…tapi… kami tidak ingin naik. Karena pengunjung di belakang sudah berdesakan, mau tidak mau kami akhirnya mengikuti permainan itu. Beberapa menit berputar-putar di atas kereta raksasa, naik dan turun dengan kecepatan gila-gilaan membuatku benar-benar ketakutan. Blazer yang dipakai Pak Lee jadi kusut akibat kuremas untuk sekedar mengurangi ketakutanku.
            “Kau baik-baik saja?” tanyanya saat melihatku berjalan sempoyongan, aku sedikit pusing.
            “Ya… aku baik-baik saja Pak!” jawabku lemah. Sekali lagi ponsel dosenku itu bergetar, aku memandangnya dengan tatapan minta ampun.
            “Kincir!” ucapnya. Aduh… jangan lagi! pekikku tidak berdaya. Kami membeli tiket masuk dan segera mencari jejak si pelaku, kulihat ada selembar foto tertempel di dinding sebuah kincir. Kami masuk dan segera mengambil foto itu, ha… ini kan foto saat di rumah sakit! 


to be continued...