Thursday 16 May 2019

FF One Shot - My Destiny


Hallo... I am back! berbeda dengan postingan-postingan sebelumnya, kali ini saya mencoba menulis karya islami. Memang masih jauh dari kata sempurna maka dari itu saran dan kritik yang membangun very needed!

So... happy reading!





Air matanya meleleh bersama perasaan bersalahnya, berulang kali bibir merahnya mengucapkan kata maaf disertai isakan kecil yang berusaha ditahannya. Tubuhnya bergetar, hatinya terlalu sakit menanggung beban yang dia rasakan. Dia bermunajat kepada Rabbnya, Tuhan Yang Esa penguasa seluruh alam semesta beserta isinya di sepertiga malam yang dingin. Meratap pilu, menangis tak berdaya, dan nyaris putus asa. Sesungguhnya dia tahu bahwa cobaan yang dia hadapi ini belumlah seberapa dibanding cobaan-cobaan yang ditanggung orang lain. Cobaan yang dihadapinya ini belum sebanding dengan cobaan yang dihadapi saudara-saudaranya di Palestina, Myanmar, maupun Cina.
“Ha Ryu?!” terdengar panggilan Ibunya dari balik pintu kamarnya. Buru-buru pemuda itu menyeka air matanya dan merapikan perlengkapan tahajjudnya.
“Ya Ibu…” jawabnya pelan. Dia membuka pintu dan berusaha tampil senatural mungkin di hadapan ibunya.
“Katanya kau ingin berpuasa sunnah, Ibu membangunkanmu takutnya kau ketiduran.”
“Ibu terima kasih…” ucap pemuda itu tulus.

Cho Ha Ryu pemuda berusia 33 tahun salah seorang lulusan terbaik MIT[1]. Dia pemuda yang cerdas, setelah menyelesaikan studi sarjananya di salah satu universitas terbaik di Korea, Universitas Seoul, dia melanjutkan jenjang magister dan doktoralnya di MIT berkat beasiswa yang dia dapatkan. Kini dia mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di almamaternya, Universitas Seoul sebagai dosen di jurusan Fisika sejak dua tahun lalu usai menyelesaikan studinya.
Wajahnya yang tampan, tubuh yang tinggi, dan ateltis membuat banyak orang justru menyangka dirinya aktor atau model. Tidak sedikit mahasiswi memilih mata kuliah yang dibawakannya karena terbius oleh ketampanannya semata-mata. Mengingat mata kuliahnya termasuk salah satu mata kuliah yang rumit, pastilah mahasiswa yang mengikuti kelasnya tidak sekedar coba-coba. Ditambah dengan statusnya yang masih lajang, jangankan mahasiswi, para dosen wanita pun banyak yang menyimpan harap padanya.
Dia terlahir dari ayah berkebangsaan Korea dan ibu asli Indonesia. Dia terlihat lebih mirip ayahnya, berkulit kuning dan bermata sipit. Satu-satunya warisan dari ibunya yang melekat pada dirinya hanyalah warna matanya yang cokelat. Mereka keluarga muslim, ayahnya menjadi muallaf sebelum meminang ibunya. Selain dirinya, keluarga Cho masih memiliki seorang putri bungsu yang tidak kalah rupawan dari Ha Ryu, Cho Ha Na. Berbeda dengan Ha Ryu, Ha Na telah menikah dan kini ikut suaminya yang melanjutkan studi doktornya di Universitas Harvard.

“Ha Ryu~a…” konsentrasi pemuda itu pecah saat seseorang memanggilnya. Dia mendongakkan kepalanya dan didapatinya Lee Hyun Bin tersenyum menghampirinya. Pria yang sejak dua tahun lalu menjadi muallaf itu adalah sahabat Ha Ryu sejak duduk di bangku SMA. Ha Ryu mencoba tersenyum walau terasa berat menarik sudut bibirnya untuk terangkat agar dapat mengukir senyum di wajahnya.
“Ada apa?”
“Kau ada acara selepas mengajar? Aku ingin mengundangmu makan,” ucap Lee Hyun Bin bersemangat.
“Maaf… tapi aku sedang berpuasa,” tolak Ha Ryu sopan.
“Wah… kebetulan sekali! Aku juga berpuasa dan aku sebenarnya mengajakmu untuk makan malam bersama. Kami mengadakan syukuran kecil-kecilan atas keberhasilan istriku meraih gelar spesialisnya,” jelas Hyun Bin. Ha Ryu tanpa sadar meremas bolpoint yang dipegangnya ketika Hyun Bin menyebut nama istrinya, terbayang di kepalanya seorang dokter wanita berkerudung.
“Benarkah? Wah… selamat, aku turut bahagia. Nusaibah telah berjuang selama lima tahun dan akhirnya dia berhasil,” dan dia malah kembali menyebut nama wanita itu dengan bibirnya sendiri, tak terperih lagi sakit yang dia tahan.
“Huft… benar. Dia sungguh kuat, aku jadi menyesal kenapa baru dua tahun yang lalu aku bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun sebelumnya agar dapat menemaninya berjuang.”
Lee Hyun Bin mempersunting istrinya ketika istrinya berada di semester keenam residensinya. Mereka bertemu secara tidak sengaja berkat bantuan Ha Na, adiknya Ha Ryu. Posisi Hyun Bin sebagai dosen di jurusan kedokteran membuatnya dapat akrab dengan Nusaibah lebih mudah. Dia jatuh hati saat pandangan pertamanya pada gadis itu. Matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, meski kulitnya tidaklah secerah gadis-gadis korea kebanyakan. Ya… Nusaibah lebih mirip dengan gadis dari Asia Selatan daripada gadis Asia Tenggara padahal dia asli orang Indonesia. Hanya tubuhnya yang mungil yang membuat orang percaya bahwa dia benar-benar dari Asia Tenggara.

Ha Ryu datang membawa sekeranjang buah, setelah sebelumnya dia sempat berpikir keras mencari alasan untuk tidak datang ke acara itu. Senyuman Nusaibah menjemputnya di ambang pintu. Benar kata sahabatnya Hyun Bin, senyuman Nusaibah itu seperti obat bius, dapat membuat orang yang melihatnya kehilangan akal sehatnya.
“Wah… Mas Ha Ryu terima kasih sudah bersedia mampir!” sambut wanita berkerudung itu. Dia menyambutnya dengan bahasa Indonesia, Ha Ryu memang dapat berbahasa Indonesia karena ibunya. Terkadang Hyun Bin iri kepadanya karena hal itu.
“Selamat atas keberhasilanmu!” ucap Ha Ryu tulus.
“Terima kasih!” lanjut Nusaibah.

Setelah menunaikan sholat maghrib berjamaah bersama teman-teman lain yang telah diundang, mereka pun menyantap hidangan yang telah disediakan.
“Kenapa kau tidak mengajak ayah dan ibumu juga?” tanya Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Sudah kuajak, hanya saja mereka menolak. Mereka merasa kaku saja berada di tengah-tangah anak muda,” jawab Ha Ryu.
“Bagimana bisa merasa kaku, Paman dan Bibi sangat berjiwa muda, tentu bergabung dengan kita bukanlah hal yang sulit!” timpal Nusaibah.
“Alah… itu alasannya saja. Dia pasti tidak ingin mendengar ceramah Ibunya yang mengingikan dia cepat mencari calon istri,” bantah Hyun Bin.
“Benar! Setiap kali ibumu bertemu dengan temanmu yang telah beristri, ibumu pasti mendesakmu untuk segera menikah juga ‘kan?!” Uhm Ki Joon – rekan sesama dosen di jurusan kedokteran – ikut menambahkan.
“Ah… kalian menyerangku!” keluh Ha Ryu dengan intonasi yang didramatisir. “Kalian hanya tidak tahu betapa aku ingin menikah. Hanya saja Allah belum mempertemukan aku dengan jodohku.”
“Kau terlalu berlebihan, pilihlah salah satu mahasiswi magistermu. Tidak mungkin tidak ada yang tertarik padamu!” seloroh Kim Dong Wan – rekan sesama dosen di jurusan kedokteran.
“Dia pasti mencari sesama muslim!” tebak Go Hye Jin – istri Kim Dong Wan dan teman sesama dokter Nusaibah.
“Nusaibah~ssi… kau mungkin dapat membantunya?” pinta Uhm Ki Joon.
“Ah… sudahlah, lanjutkan saja makan kalian. Tidak perlu memusingkan tentang jodohku!” tutup Ha Ryu. Mereka serempak tertawa melihat tingkah teman tertampan mereka. Sejenak Ha Ryu melirik ke arah Nusaibah dan secepatnya mengalihkan pandanganya lagi. 

Air matanya meleleh lagi, membasahi dan membuat jejak samar di pipinya. Berulang kali kalimat istighfar keluar dari bibir merahnya.
“Ya Allah… tolong aku, bunuh perasaan ini. Engkau Maha Pembolak-Balik Perasaan maka kumohon ubahlah perasaan ini,” isaknya. Senyuman Nusaibah masih terus melayang-layang di benaknya. Dia sadar dia telah berbuat dosa besar, dia mengharapkan wanita yang telah menjadi milik sahabatnya.
“Aku jadi menyesal kenapa baru dua tahun yang lalu aku bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun sebelumnya,” perkataan Hyun Bin, sahabatnya itu membuat hatinya semakin ngilu. Dia pun berharap demikian, andai dia yang lebih dulu bertemu gadis Asia Tenggara bernama Nusaibah itu, dia tentu tidak akan melepas kesempatan untuk meminangnya. 
Masih terekam jelas dalam ingatannya saat pertama kali dia melihat Nusaibah di rumah sakit. Saat itu Nusaibah sedang menangani dua bayi yang karena kelalaian rumah sakit sehingga bayi itu tertukar. Satu bayi laki-laki dan satu bayi perempuan lahir di waktu yang bersamaan dan bencana itu datang saat para bayi itu tidak mendapat name-tag ibunya masing-masing. Tak ada yang tahu bayi laki-laki maupun bayi perempuan milik siapa, masing-masing ibu takut menyusui bayi tersebut karena takut salah anak padahal tangisan para bayi telah menggema nyaring karena kelaparan.
Para dokter maupun perawat kelabakan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya cara adalah melakukan tes DNA namun tidak mungkin membuat para bayi kelaparan itu menunggu sampai tes itu selesai. Para ayah bayi-bayi tersebut mengancam akan memperkarakan hal ini ke pengadilan membuat keadaan semakin runyam.
“Para Ibu, tolong izinkan saya memeriksa kalian!” pinta Nusaibah kala itu. Kedua ibu bayi itu dibawanya ke dalam ruangan dan tidak berapa lama setelahnya para bayi dibawa masuk ke ruangan yang sama. Perlahan suara tangisan bayi reda sebab mereka telah diberi makan. Nusaibah berhasil meyakinkan para ibu untuk menyusui masing-masing bayi mereka.

Ha Na adiknya menceritakan kejadian itu di rumah saat keluarga mereka duduk bersantai setelah sholat isya.
“Kejadian tadi benar-benar horror! Aku bertanya pada Nusaibah ‘apa yang kau lakukan untuk meyakinkan kedua ibu itu. Bagaimana kau dapat membedakan orang tua bayi-bayi itu?’”cerita Ha Na kala itu. “Tahukah ayah, ibu, kakak, apa yang dilakukan Nusaibah? Dia memeras air susu kedua ibu itu. Ada yang alirannya deras dan ada yang alirannya biasa saja. Ibu yang aliran ASI-nya deras adalah ibu dari bayi laki-laki, sedangkan Ibu yang aliran ASI-nya biasa saja adalah ibu dari bayi perempuan. Aku bertanya padanya, ‘bagaimana kau bisa tahu? Kau bukan dokter kandungan. Kau resident bedah thorax anak’. Lalu Nusaibah menjawab, ‘Di dalam Al Quran telah dijelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dibanding perempuan.’ Itulah dasar yang dia pakai untuk membedakan kedua orang tua bayi. Dan hebatnya lagi setelah tes DNA keluar, apa yang dikatakan Nusaibah benar.
Nusaibah Nur Auliah, gadis itu membuktikan kebenaran Al Quran lewat tindakan medis yang dia lakukan. Dia berhasil memadankan ilmu sains dan ilmu yang terdapat dalam Al Quran. Berkat gadis itu, Ha Ryu semakin rajin mengikuti kajian-kajian tafsir Al Quran. Dia ingin tahu misteri apa lagi yang terdapat dalam Kitab Sucinya yang sejalan dengan disiplin ilmu yang dia geluti. Dulu dia melakukan sholat lima waktu hanya dikala dia sempat, namun sekarang dia hanya akan mengerjakan kesibukannya bila dia telah selesai melaksanakan sholat.
Ha Ryu benar-benar terpesona dengan kecerdasan gadis itu. Kehadiran Nusaibah sedikit banyak mengubah pola hidup Ha Ryu, dia semakin giat beribadah dan semakin menjaga sikapnya. Dia selalu mengikuti kajian agama pada komunitas yang direkomendasikan oleh Nusaibah. Diam-diam dia mulai memperhatikan Nusaibah, diam-diam dia mulai tertarik, sayang dia didahului oleh sahabat karibnya Lee Hyun Bin yang lebih cepat meminang gadis itu.

Ha Ryu meringis, tubuhnya terasa lemah dan kepalanya terus berdenyut. Matanya yang terpejam perlahan membuka meski terganggu oleh silaunya cahaya matahari. Dia menyadari dia berada di tempat yang tidak dia kenali, aroma obat yang pekat membuatnya menebak apakah dia berada di rumah sakit.
“Ha Ryu~ssi? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” wajah cemas Nusaibah menjadi pemandangan kedua yang dilihatnya setelah tadi melihat langit-langit ruangan.
“Di mana aku?” tanyanya lemah.
“Kau berada di ER[2] Rumah Sakit Universitas Seoul! Kau pingsan di kampus dan dibawa ke sini,”
“Benarkah? Astaga… Ibuku dan Ayahku… jangan sampai tahu.”
“Aku memang belum menghubungi Paman dan Bibi,”
“Bagaimana keadaanku? Apakah aku sudah bisa pulang? Aku sudah merasa baikan sekarang!”
“Istirahatlah dahulu, biarkan infusmu habis,”
“Nusaibah! Nusaibah!” terdengar seseorang memanggil Nusaibah. Suara yang baik Nusaibah maupun Ha Ryu sudah kenal dengan jelas.
“Yeobo! Kami di sini!” Nusaibah membuka sedikit tirai agar Hyun Bin dapat melihat keberadaan mereka.
“Apa yang terjadi? Aku benar-benar kaget saat ada yang menyampaikan kau pingsan di kampus!” sembur Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Entahlah… aku juga kaget kenapa bisa pingsan,” balas Ha Ryu.
“Sebenarnya apa yang sedang kau risaukan? Bila kau punya masalah ceritakanlah pada kami, siapa tahu kami dapat membantumu!” bantah Hyun Bin. Ha Ryu menatap Nusaibah seakan bertanya apa yang sedang dikatakan oleh suaminya itu.
“Dokter Emergency mengatakan tekanan darahmu sangat rendah dan detak jantungmu tidak beraturan. Kau bisa saja kelelahan fisik atau bahkan kelelahan mental,”
“Ayolah kawan, kau tak boleh menyimpan masalahmu sendiri…” bujuk Hyun Bin.
“Aku sungguh baik-baik saja! Aku tidak sedang bermasalah sehingga harus kelelahan seperti diagnosa dokter,” dusta Ha Ryu. Bagaimana mungkin dia akan berterus terang pada mereka.
Ha Ryu duduk melamun di atas ranjang empuknya. Akhir minggu yang cerah ini ingin dihabiskannya dengan beristirahat saja. Sebenarnya Hyun Bin mengajaknya untuk berkuda bersama beberapa teman dosen dari universitas namun ditolak olehnya sebab dia yakin sahabatnya itu akan mengajak serta istrinya ikut bersama. Dia tidak ingin hatinya kembali teriris menyaksikan interaksi pasangan itu. Hyun Bin dan Nusaibah memang tidak pernah berinteraksi berlebihan di hadapan orang-orang atau memamerkan kemesraan mereka sehingga dapat membuat orang lain iri. Hanya saja perasaan Ha Ryu sudah terlanjur sensitif, perasaan itu dapat sakit tiba-tiba walau hanya melihat Hyun Bin dan Nusaibah sekedar mengobrol.
“Aku tak boleh seperti ini… bagaimana bisa aku merasa sakit melihat kebahagiaan sahabatku?!” gumamnya pelan. Ha Ryu menarik napas panjang, diseretnya langkahnya yang terasa berat untuk menemui Ibunya di ruang tengah.
“Kau ingin teh juga?” tawar ibunya saat melihat putra kebanggaannya mendekat menghampirinya.
“Ibu… aku ingin menikah!” seru Ha Ryu lantang.
“Uhuk…” ayahnya yang baru saja menyesap teh hangat miliknya langsung tersedak mendengarkan Ha Ryu. “Benarkah? Alhamdulillah, siapa gadis beruntung itu Nak? Segeralah bawa kami bertemu dengannya!” ucap ayahnya antusias.
“Aku tidak tahu…” jawab Ha Ryu. Alis kedua orang tuanya berkerut bingung.
“Maksudmu… kau belum memiliki calon?” ibunya mencoba menebak dan entah mengapa ibunya selalu dapat menebak dengan benar. Ha Ryu mengangguk lemah. “Kau ingin kami mencarikan calon untukmu?” tebakan ibunya sekali lagi tepat. Ha Ryu mengangguk sekali lagi.
“Bagaimana dengan gadis yang pernah ibu ceritakan padaku saat aku masih belajar di Massachusetts?!” Ha Ryu mencoba mengingatkan ibunya pada tawaran ibunya kala dia masih menempuh studi doktornya.
“Sayang sekali dia telah menikah,” sesal Ibunya. Ha Ryu tertunduk, benar… kejadian itu sudah lima tahun yang lalu, wajar saja bila gadis itu telah mencari penggantinya. “Duduklah dulu… kita bicarakan ini baik-baik!” ajak ibunya. Ha Ryu baru sadar kalau sedari tadi dia ternyata terus berdiri saking tegangnya.
“Coba ceritakan mengapa kau terlihat begitu serius akhir-akhir ini? Kau seperti sedang menanggung masalah yang berat,” tanya ibunya.
“Aku… hanya merasa bahwa aku perlu secepatnya menikah,” Ha Ryu menjadi gugup.
“Tentu, kau seharusnya telah menikah di umurmu yang sekarang ini,” seru ayahnya.
“Dan… apakah sekarang kau sudah tidak keberatan bila kami membantu mencarikan pasangan untukmu?” tanya ibu berhati-hati.
“Uhm…” Ha Ryu mengangguk mantap.
“Apakah kau punya kriteria khusus untuk calon yang kau inginkan? Karena dulu kau menolak mentah-mentah calon yang ibu tawarkan hanya karena dia kurang pergaulan,”
“Tidak, kali ini aku tidak ingin macam-macam. Cukup dia seiman dengan kita dan dapat menyayangi ayah dan ibu seperti menyayangi orang tuanya sendiri. Kalau bisa, dia harus pandai membaca Al Quran dan selalu belajar untuk mengkajinya. Aku berharap dia juga gemar berpuasa sunnah dan sholat malam. Akan lebih baik lagi bila dia cerdas dan berpendidikan namun tetap santun dan rendah hati,”
“Nak… tadi kau bilang tidak ingin macam-macam, tapi aku lihat apa yang kau inginkan ini lebih dari macam-macam,” sela ayahnya. Ha Ryu tersadar, apa yang disebutkannya tadi adalah apa yang dilihat ada pada Nusaibah.
“Akan ibu usahakan!” ibunya menepuk pundak putranya untuk menenangkan meski jauh dalam lubuk hatinya dia bertanya-tanya di mana dia dapat menemukan gadis seperti itu. 

“Kawanmu sudah ingin menikah…” Nusaibah memberitahukan suaminya di sela-sela waktu senggang mereka usai sholat isya.
“Ha Ryu?” tebak Hyun Bin. Nusaibah mengangguk menjawab pertanyaan suaminya.
“Ibunya baru saja menelponku. Dia meminta tolong mencarikan kriteria yang diminta oleh Ha Ryu.”
“Menurutmu bagaimana kriteria yang diinginkannya?”
“Huft… pantas saja dia melajang sampai saat ini. Terlalu tinggi, dia menginginkan duplikat Siti Aisyah, istri Baginda Nabi.”
“Ha…ha…ha… anak itu, apa dia masih terpesona pada kecerdasan Alexandra?”
“Alexandra? Siapa dia?” tanya Nusaibah penasaran.
“Dia junior Ha Ryu saat di MIT, gadis yang cantik, cerdas, dan mandiri. Ha Ryu sering bercerita betapa dia sangat mengagumi gadis itu, mereka sempat akrab saat bersama-sama menjadi relawan pencegahan HIV AIDS.” Hyun Bin bercerita panjang lebar mengenai gadis taksiran sahabatnya sehingga membuat istrinya tersenyum.
“Gadis yang hebat, lalu kenapa dia tidak meminangnya?” tanya Nusaibah.
“Dia atheis, tidak bertuhan. Dia teguh dalam pendiriannya dan Ha Ryu tak dapat membuatnya merubah prinsipnya,” jawab Hyun Bin. “Pada kenyataannya… memang akan sulit mencari wanita cerdas dan berakhlak meski pastinya tetap ada. Ketika kau menemukan wanita yang cerdas, bisa saja sifatnya tidak seperti yang kau harapkan. Sebaliknya… bila kau menemukan wanita yang berakhlak mulia, bisa saja kecerdasannya tidak mencapai yang kau inginkan,”
“Yeobo… sejujurnya aku tidak nyaman bila bertemu dengan Ha Ryu,” ucap Nusaibah. Hyun Bin menatapnya heran, dan untungnya meski tidak bertanya, istrinya paham arti tatapannya itu. Wanita yang sangat dicintainya itu pun menjelaskan alasannya. “Lima tahun yang lalu, setelah aku meraih gelar kedokteranku, Ibunya Ha Ryu menemuiku. Beliau memperkenalkan Ha Ryu padaku lewat foto, singkatnya Beliau ingin menjodohkan aku dengan putranya itu.”
“Apa?” Hyun Bin terlonjak kaget.
“Ha Na adalah sahabatku dan aku tidak menyangka selama ini dia selalu bercerita tentangku pada kedua orang tuanya. Lewat cerita-cerita yang selalu dilontarkan Ha Na, kedua orang tuanya jadi tertarik untuk mengenalku lebih jauh. Akhirnya kedua orang tuanya setuju untuk memperkenalkan aku pada Ha Ryu. Saat itu aku tidak menolak karena kedua orang tuaku juga sudah mendesakku untuk segera menikah. Sayangnya Ha Ryu menolakku dan kurasa aku sudah tahu apa alasannya setelah mendengar ceritamu tadi. Alexandra, gadis itulah yang menjadi alasannya.”
“Aku tidak nyaman bertemu Ha Ryu lebih karena rasa maluku. Aku seorang wanita, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku ditolak oleh seorang pria, bisa kau bayangkan bagaimana aku dapat menanggung rasa malu ini,”
“Apa Ha Ryu tahu tentang ini?”
“Kuharap dia tidak akan pernah tahu, entah di mana aku akan menyimpan wajahku bila dia sampai tahu kenyataan ini.”

Hyun Bin tertegun di dalam toilet, dia membasuh wajahnya dan menatap lurus ke arah cermin. Pikirannya melayang entah membumbung sampai ke mana. Tangannya bergetar, “Bagaimana seandainya dulu Ha Ryu menerima perjodohan itu?” gumamnya dalam hati. Hyun Bin memang pernah bertanya dalam hati, Ha Na dan Nusaibah adalah sahabat dekat, mengapa Ha Na tidak memperkenalkan Nusaibah terlebih dulu pada kakaknya yang notabene masih menyandang status singel. 

Alexandra Natalie Petrova, gadis itu berkebangsaan Rusia walau memiliki darah Amerika dari ibunya. Itulah satu nama yang dulu menjadi standar gadis pilihan Cho Ha Ryu. Gadis yang memiliki kecerdasan yang tinggi dibuktikan dengan keberhasilannya menjadi salah satu mahasiswi peraih cumlaude Magister Engineer. Shasha, panggilan akrab gadis itu, juga aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan salah satunya adalah kesetaraan gender yang selalu dia perjuangkan. Kemampuannya berbahasa, pergaulannya yang luas, dan kemandiriannya membuat banyak hati terpikat padanya. Di saat Ha Ryu sedang kagum-kagumnya pada juniornya yang lebih muda dua tahun darinya itu, ibunya menelpon dari Korea untuk menawarkannya seorang calon yang sungguh berada di luar ekspektasinya.
“Aku akan menikah dengan gadis seperti itu? Seburuk apa wajahnya sehingga di usianya yang ke duapuluh lima dia bahkan belum pernah berkencan. Tak ada satupun pria yang tertarik padanya, tak ada satupun pria yang ingin mengencaninya, bagaimana mungkin ibu menginginkan aku bersamanya. Tidak, aku menolaknya! Jelas sekali dia wanita yang tidak punya pergaulan.”

Saat itu pemikiran Ha Ryu masih terkontaminasi dengan paham liberal, dia bahkan sampai lupa pada hakikat dirinya sebagai muslim. Dia lama hidup di negara yang menuhankan kebebasan tanpa pernah sadar bahwa setiap kebebasan itu ada batas dan aturannya. Ha Ryu hanya terpesona pada kecantikan fisik dan kecerdasan intelektual lawan jenisnya tanpa pernah memperhitungkan keindahan akhlak.
Shasha telah berkencan dengan beberapa pemuda kaya dan terpandang bahkan dengan beberapa tokoh yang terkenal. Saat itu hampir seluruh pemuda di kampusnya menginginkan gadis itu untuk berkencan dengannya. Menjadi suatu kehormatan bila dapat menaklukkan hati gadis yang menjadi pujaan dan rebutan pria-pria ternama.
“Usianya baru dua puluh lima tahun, dia gadis yang cantik dan juga cerdas. Dia tidak pernah ke club malam, dia tidak pernah minum minuman beralkhol, hebatnya lagi dia menjaga dirinya sehingga tidak pernah berkencan dengan siapapun…” begitulah dulu penjelasan ibunya yang malah membuat Ha Ryu mengerutkan kening, “Alangkah menyedihkannya wanita itu” komentarnya kala itu.     

“Kau akan pindah ke Jepang? Kenapa?” Ha Ryu kaget saat tahu Hyun Bin tengah mengurus registrasi kepindahannya.
“Nusaibah mendapat tawaran S2 dan dia sangat antusias untuk belajar lebih dalam lagi mengenai bedah anak. Aku tidak ingin mengecewakannya dan kurasa aku memang tidak dapat mengecewakannya, maka aku mendukung keinginnnya.” jawab Hyun Bin.
“…” Ha Ryu tertegun
“Hei kawan… Tokyo tidaklah jauh. Bila kau merindukanku, kau boleh mengunjungiku,” canda Hyun Bin.
Ha Ryu termenung, batinnya bergejolak, apakah ini jawaban dari Allah atas setiap doanya selama ini? Dia memohon agar dapat membunuh perasaannya pada Nusaibah, wanita yang tidak mungkin akan halal baginya. Hatinya perih jika membayangkan dia tidak akan bertemu lagi dengan wanita itu namun dia harus kuat, sakit memang harus dilawan dengan sakit agar kelak sakit itu tidak akan mampu menyakiti lagi. Dia harus melepaskan Nusaibah agar dia dapat membuka hati untuk wanita lain.
Ha Ryu harus rela melepaskan apa yang memang tidak tercipta untuknya. Di atas segalanya, dia tidak akan mungkin merusak kebahagiaan sahabatnya demi nafsunya semata. Dia berterima kasih pada Nusaibah yang selama ini telah mengajarkannya arti keikhlasan. Yang selama ini tidak pernah lelah menjawab setiap pertanyaan Ha Ryu yang ingin mengenal lebih dalam tentang agamanya. Kini agama baginya benar-benar dijadikan pedoman dalam menjalani hidupnya bukanlah sekedar pelengkap semata dalam kartu idenditasnya.
Hyun Bin menatap istrinya yang tertidur pulas di bangku pesawat. Dia teringat bagaimana raut wajah kehilangan yang nampak begitu jelas pada Ha Ryu saat melepas kepergiannya bersama Nusaibah saat di bandara tadi.
“Maafkan aku kawan, semata-mata ini kulakukan untuk melindungi perasaan istriku,” desisnya dalam hati.
“Dan kau wanita tercantikku… terima kasih karena telah memberikan aku kesempatan untuk menjadi pendampingmu. Tidak akan pernah kusia-siakan kepercayaan yang telah kau berikan padaku. Aku janji akan terus menjaga dan menyayangimu sampai akhir usiaku!” dia membelai wajah Nusaibah. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur kepada Rabbnya yang telah mempertemukannya dengan Nusaibah.
Hyun Bin teringat amplop kecil yang diberikan Go Hye Jin – rekan Nusaibah yang juga spesialis Obgyn - tadi sebelum berangkat ke bandara. Matanya yang sipit membulat penuh saat melihat isi amplop tersebut, sebuah foto hasil ultrasonografi milik istrinya.
“Selamat kau akan menjadi ayah, kau juga seorang dokter jadi tidak perlu kujelaskan apa yang dikatakan foto ini!” tulis Go Hye Jin pada selembar kertas.
Hyun Bin berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak melompat kegirangan atau bahkan berteriak bahagia. Dia juga menahan dirinya untuk tidak memeluk istrinya karena takut membangunkannya dari tidur. Dilihatnya kembali foto USG itu, usia janinnya sekitar tujuh minggu.
“Maka nikmat Tuhanmu mana lagi yang ingin kau dustakan?” dia berbisik mengucapkan Surah Ar Rahman ayat ke 13.

♥♥♥






[1] Massachusetts Institute of Technology
[2] Emergency Room

Thursday 24 August 2017

FF My First Love - Part 5 (End)


“Ah Ra...”
“Uhm?”
“Sebenarnya apa tujuanmu kembali ke Namwon?”
“Untuk menemuimu,” gadis itu berkata yang sebenarnya, alam bawah sadarnya secara spontan membuatnya berkata jujur meski dia ingin berbohong.
“Untuk apa kau menemuiku?”
“. . . .” gadis itu memilih diam, dia yakin bila sedikit saja dia membuka mulut maka rahasianya akan terbongkar.
“Kenapa kau masih menyimpan sapu tanganku? Saat mencari inhaler-mu waktu itu aku juga melihat memo yang pernah kuberikan padamu sepuluh tahun yang lalu. Kau bahkan melaminatingnya! Apa maksudnya semua ini, kenapa kau masih menyimpan barang-barang yang seharusnya sudah lama kau buang?”
“Apa aku tidak boleh menyimpan barang-barang pemberianmu?”
“Untuk apa kau menyimpan sampah-sampah itu?”
“Mereka bukan sampah! Apapun yang kau berikan padaku, bagiku itu bukan sampah!”
“Sepenting itukah? Lalu apa artinya aku bagimu? Aku ‘kan hanya sahabatmu kau tidak perlu berlebihan seperti itu.”
“Kau bukan hanya sahabat bagiku, kau juga cinta pertaku!” mata gadis itu berkaca-kaca. Akhirnya dia tidak dapat menahan kebohongannya lebih lama lagi.
“Apa? Kau bercanda ‘kan?”
“Bagaimana bisa aku bercanda dalam keadaan seperti ini?”
“Yaak... Cho Ah Ra, bukannya dulu kau menolakku karena aku bukan tipe-mu?”
“Aku berbohong saat itu, hiks...”
“Kenapa kau lakukan?”
“Aku terpaksa, aku punya alasan sendiri melakukannya...”
“Ah iya, kau sahabat dengan segudang rahasia! Simpan saja ceritamu itu, jadikan dongeng pengantar tidurmu saat kau tak bisa tidur sebab aku tidak percaya lagi padamu. Semakin lama, kau membuatku semakin muak!”
“Seo Joon...” Ah Ra menangis, ini pertama kalinya Seo Joon berkata sekasar itu padanya.
“Kau menghancurkan perasaanku saat itu dan sekarang dengan mudahnya kau bilang bahwa kau berbohong, kau punya alasan sendiri melakukannya. Apa kau pikir hatiku ini keramik yang bisa kau hancurkan kemudian dapat kau rekatkan kembali setelah kau jujur bahwa kau terpaksa membohongiku?!”
“Maaf... hiks,”
“Jangan menangis, kau seharusnya tertawa setelah kau berhasil mempermainkan aku!”
“Aku benar-benar minta maaf Seo Joon...”
“Aku tidak bisa memaafkanmu, aku tidak akan melakukannya! Sekarang lebih baik kau pergi, menghilanglah dari kehidupanku!”
“Kumohon jangan seperti ini padaku, penyesalan terbesar yang kupikul selama sepuluh tahun ini adalah membuatmu terluka saat itu. Aku datang bukan untuk merebutmu darinya, aku hanya ingin memperbaiki kesalahpahaman di antara kita. Aku benar-benar tulus minta maaf padamu.”
“Sudah kubilang jangan minta maaf lagi, aku tidak akan memaafkanmu! Ketahuilah... aku merasa menyesal... kenapa dulu aku mau menjadi sahabatmu!”
“Jika dulu kau membiarkan aku tidak punya teman dan kesepian aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku. Kumohon jangan sesali persahabatan kita, jangan membenciku, jangan tutup pintu maafmu untukku, hiks...”
“Aku baru tahu kau ternyata sangat egois, kau masih mengharapkan aku memperlakukanmu seperti teman setelah kau membuatku terlihat seperti pecundang!”
“Aku salah... aku tahu aku bersalah padamu, tidak seharusnya dulu aku membuatmu kecewa. Kini ingin memperbaiki semua pun sudah terlambat. Kau akan menikah dan semua harapanku hilang.”
“Berhentilah mengoceh, kau benar-benar merepotkan di saat sedang mabuk. Ayo kita pulang, aku sudah janji pada Bibi Han untuk mengantarmu pulang!” Seo Joon mengemasi barang-barang Ah Ra dan menarik tangan gadis itu menuruni jalan bukit.
“Seo Joon...” Ah Ra masih terisak sambil berjalan.
“Berhentilah memanggil namaku, aku tidak ingin mendengar suaramu!” tegas Seo Joon. Begitu tiba di tepi jalan, Ah Ra segera dimasukkan ke dalam taksi. Kali ini Seo Joon mengancam pengemudi taksi itu untuk tidak mengantarkan Ah Ra ke tempat lain selain alamat rumah yang telah disodorkannya.
“Jangan datang ke pesta pernikahanku, aku benar-benar tidak ingin melihat dirimu lagi. Bila kau melakukannya, aku sendiri yang akan menyeretmu pergi!” ancam Seo Joon pada gadis itu.
♥♥♥

@Namwon 2006
Siang itu keriuhan memenuhi setiap sudut sekolah, upacara perpisahan untuk kelas tiga baru saja selesai. Hampir seluruh siswa mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama. Ah Ra memberesi lokernya, dia harus bersiap kembali ke Seoul hari itu juga. Dia belum bertemu Seo Joon bahkan berharap tidak pernah bertemu lagi. Dia terlalu malu dan merasa bersalah telah menyakiti hati sahabatnya itu sehingga tidak memiliki nyali untuk berhadapan langsung dengannya.
“Aku tahu rahasia antara kau dan Pak Guru Kim. Dia Pamanmu, anak tidak sah dari kakekmu, atau sederhananya akan kukatakan dia anak haram kakekmu. Dia masuk dan menjadi guru di sekolah ini pasti karena nepotisme. Apa jadinya bila seisi sekolah tahu siapa Pak Guru sebenarnya, apa kau yakin kakekmu tidak akan terkena stroke?”
“Lalu bagaimana dengan karir ayahmu sebagai seorang anggota kongres, apakah tidak akan rusak bila media memberitakan bahwa ayahmu memiliki saudara dari hubungan tanpa pernikahan? Maka dari itu sebaiknya kau diam dan turuti semua yang kukatakan. Buat Seo Joon menjauh darimu, aku tidak akan memintamu menjauhinya karena dapat kutebak, semakin kau menjauh maka dia akan semakin mendekat oleh sebab itu kau harus membuat dia sendiri yang menjauhimu.” Begitulah Jin Hee mengancamnya hingga dia tidak berkutik sama sekali. Dia terpaksa mengorbankan perasaannya dan menyakiti Seo Joon.

“Ah Ra...” Seo Joon memanggil gadis itu yang tengah jalan seorang diri, “Kau akan pergi?” lanjutnya lagi.
“Aku akan kuliah di Seoul,”
“Maukah foto bersama untuk terakhir kalinya?”
“Maaf Seo Joon, aku buru-buru. Ibuku menunggu di luar...”
“Ini tidak akan menghabiskan sepuluh menit waktumu. Setidaknya sebelum berpisah, aku ingin memiliki kenang-kenangan bersamamu,” bujuk Seo Joon. Ah Ra tak dapat menolak, memang terlalu berlebihan bila untuk berfoto saja dia harus menghindar.
“Ah Ra... senyumlah sedikit, ini hari kelulusanmu tapi kau tampak tidak bahagia,” tegur siswa yang dimintai Seo Joon untuk memotret mereka. Ah Ra seperti lupa bagaimana cara tersenyum, sampai foto mereka diambil dia tak dapat menyunggingkan segaris pun senyumnya. Foto dari kamera Polaroid itu tercetak, Seo Joon kecewa melihat hasilnya sebab Ah Ra yang berada di sampingnya benar-benar tidak tersenyum.
“Untukmu...” Seo Joon menyodorkan foto itu pada Ah Ra.
“Bukannya kau yang ingin...”
“Apa artinya bila kau tak bahagia...”
♥♥♥

@Namwon 2016
Pagi ini matahari bersinar cerah, Seo Joon nampak gagah dengan tuxedo hitamnya. Ah Ra hanya dapat memandangnya dari balik jalan, sejauh yang dia bisa. Dia harus menghormati permintaan Seo Joon, pesta ini miliknya dan pria itu berhak memutuskan apa saja yang dia inginkan untuk pestanya termasuk ketidakhadiran Ah Ra.
Di lain pihak, Seo Joon tersenyum ramah menyambut para tamu yang datang. Dia tahu bila Ah Ra sebenarnya datang dan mentapnya dari kejauhan di seberang jalan. Hanya saja dirinya pura-pura tidak menyadari keberadaannya, teman-teman SMA-nya yang bertanya ‘Di mana Ah Ra?’ ‘Kenapa Ah Ra belum datang?’ hanya ditanggapi Seo Joon dengan gelengan kepala ataupun dengan mengangkat bahunya tanda dia juga tidak tahu.
“Nona... apa kita sudah bisa berangkat?” tanya pengemudi taksi yang melihat Ah Ra masih berdiri termangu memandang gedung yang mulai sepi setelah semua tamunya masuk untuk memulai acara.
“Uhm... kita kembali Seoul,” ucap gadis itu lirih.
♥♥♥

~ 6 Bulan kemudian ~

“Ah Ra... kau tidak lupa ‘kan hari ini kau ada janji?!” pekik Ibunya lewat sambungan telepon.
“Iya Ibu... sekarang aku sudah ada di depan Silla[1], baru juga turun dari taksi!” jawab Ah Ra bermalas-malasan.
“Awas saja kalau kau sampai kabur lagi! Jangan buat ibu malu, Ibu sudah bersusah payah mengatur kencan ini dan jangan sampai ada masalah.”
“Iya... ibu tenang saja!” bujuk Ah Ra.
“Tenang apanya? Dua kencan sebelumnya kau kabur dengan alasan yang menggelikan, sakit perut dan mules. Apa kau tidak bisa mengarang alasan yang lebih baik?”
“Baiklah... kali ini aku akan menggunakan alasan yang lebih masuk akal...” balas Ah Ra cuek.
“Apa? Yaak... anak ini benar-benar keterlaluan! Hargailah usaha ibu sedikit saja. Ibu benar-benar ingin melihatmu secepatnya menikah. Teman-teman ibu datang membopong cucunya saat arisan sementara anak ibu... menikah pun belum!”
“. . .” Ah Ra menjauhkan telinganya dari ponselnya. Telinganya jadi sakit setiap kali mendengar ibunya mengomel di telepon.
“Ah Ra!!! Jangan jauhkan ponselmu dari telingamu!” ancam ibunya. Ah Ra segera melihat sekelilingnya, apa ibunya mengamatinya sembunyi-sembunyi? “Kali ini kau tidak bisa kabur dengan alasan sakit lagi, kau akan berhadapan dengan seorang dokter muda. Ibu sudah memberitahu bila kau mengaku sakit agar dia langsung saja memeriksamu di tempat!”
Kali ini Ah Ra tidak dapat berkutik, sepertinya ibunya sudah mengatur semua dengan sempurna bahkan memperhitungkan alasan yang selalu digunakan Ah Ra untuk kabur dari pria yang dikenalkan Ibunya lewat kencan buta. Gadis itu tidak perlu menunggu lama karena pria yang dimaksud ibunya telah lebih dulu tiba.
“Maaf... apa kau menunggu lama?” sapa gadis itu,
“Ah tidak, aku juga baru sampai. Oh... kenalkan, aku Park Hyun Shik, senang bertemu denganmu!” ucap pria jangkung itu.
“Aku Cho Ah Ra...” balas gadis itu. Begitulah perkenalan mereka dimulai berlanjut pada makan malam dan berkeliling di gallery hotel.

“Eonni...” seseorang memanggil Ah Ra, gadis itu menoleh dan alangkah terkejutnya dia saat tahu siapa wanita yang menyapanya. “Masih ingat padaku?” tanya wanita itu. Wanita yang diketahuinya bernama Go Ah Ra, calon istri Seo Joon, ah... tidak bukan lagi tapi telah menjadi istrinya Seo Joon.
“Ten...tentu...” jawab Ah Ra gagap. Bibirnya bergetar, gadis itu tiba-tiba saja merasa menggigil di sekujur tubuhnya. “Apa yang kau lakukan di sini...?” tanyanya basa-basi.
“Ah... suamiku ada urusan di Seoul makanya aku ikut menemani, Eonni sendiri sedang apa di sini?” wanita itu masih bertanya meski dia sudah melihat Hyun Shik di samping Ah Ra.     
“Aku ada janji dengan temanku... kalau begitu aku pergi dulu...” Ah Ra bergegas pergi menarik tangan Hyun Shik. Sejujurnya dia belum siap berhadapan dengan Seo Joon saat ini, apa yang akan dia lakukan bila harus bertemu dengan pria itu? Dia tidak yakin kalau dia dapat menahan air matanya nanti. Alasan kenapa dia selalu kabur dalam kencan buta yang diatur ibunya adalah... karena dia memang masih belum dapat melupakan cinta pertamanya itu.
“Sayang... bicara dengan siapa?” seorang pria menyapa wanita yang bernama Ah Ra itu. Langkah Ah Ra terhenti, dia segera berbalik sebab dia tahu suara pria itu bukanlah suaranya Seo Joon. Benar saja... pria yang menyapa Go Ah Ra itu bukanlah Seo Joon.
“Dia siapa?” tanya Ah Ra memberanikan diri.
“Dia suamiku...”
“Bagaimana bisa? Lalu Park Seo Joon...”
“Eonni belum tahu... kami batal menikah!”
♥♥♥
Ah Ra menyandarkan kepalanya di jendela bus sambil memejamkan mata, perlahan buliran bening dan hangat mengalir dari kedua sudut matanya. Pertemuannya dengan Go Ah Ra membuat semua hal yang tidak diketahuinya menjadi jelas. Saat itu juga dia memutuskan kembali ke Namwon untuk membuat perhitungan dengan Park Seo Joon.
“Sebenarnya kami berdua tidak menyetujui perjodohan ini, baik aku maupun Seo Joon Oppa tidak saling mencintai. Kami memutuskan untuk membatalkannya dan berterus terang pada orang tua masing-masing, hanya saja tiba-tiba Oppa berubah pikiran. Dia ingin menikah sesuai jadwal yang telah direncanakan orang tua kami. Aku menolak, sebab aku mencintai orang lain. Oppa memohon padaku, dia berjanji akan menceraikan aku secepat yang dia bisa setelah pernikahan nanti. Saat kutanya apa alasannya dia melakukan hal gila seperti ini, dia bilang ingin menghusir seorang wanita dari kehidupannya. Dia melarangku bertanya siapa wanita itu, dia hanya bilang wanita itu pantas mati.”
“Pernikahan kami dibatalkan tepat saat kami berdiri di altar. Dia sendiri yang mengumumkan pada para tamu dan sekaligus meminta maaf pada orang tua. Wanita yang telah menyakitinya... kuharap dia tak akan hidup bahagia sebelum meminta maaf pada Oppa. Orang sebaik dia... berani melakukan hal seperti ini pasti karena rasa sakit yang terlalu dalam.”

@Namwon 2004
            “Kau tak ikut menonton?” tanya Pak Kim pada Ah Ra yang sedang memandang ke luar jendela.
            “Aku tak punya teman...” jawab Ah Ra pelan
            “Kenapa aku merasa bahwa kau dan aku mirip. Aku pun dulu tak punya teman... hanya saja mereka menjauhiku karena aku tak punya ayah dan kau sebaliknya, mereka menjauh karena ayahmu terlalu hebat.”
            “Paman... ibuku baru saja menelpon, keadaan ayah semakin membaik. Semua karena bantuanmu. Andai bukan karena donor sum-sum darimu, aku tak tahu apa yang akan terjadi.”
            “Tak perlu berlebihan seperti itu, bukannya kau juga sudah membantuku. Kau tak perlu pindah ke Namwon hanya untuk merawatku pasca operasi pendonoran itu.”
            “Tidak... apapun yang kulakukan untuk Paman, itu belum seberapa dibanding bantuan Paman untuk ayahku.”
            “Goooool!!!!” riuh suara para penonton dan siswa di lapangan saat si kulit bundar berhasil bersemayam di gawang lawan. Hal itu sukses menarik perhatian Ah Ra, dia kembali menoleh ke jendela untuk menyaksikan keadaan di lapangan.
            “Si nomor punggung Sembilan lagi... dia mencetak lagi...” gumam gadis itu.
            “Oh... Park Seo Joon, dia memang hebat,” sambung Pak Kim.
            “Oh... jadi namanya Park Seo Joon...”
♥♥♥

@Namwon 2016
            Dari jauh Ah Ra melihat Seo Joon yang sedang patroli. Polisi jangkung itu mengobrol dengan beberapa pejalan kaki sambil tertawa akrab. Dia melihat jam tangannya dan berjalan pelan ke mobil patrolinya, sepertinya jam kerjanya sudah berakhir. Ah Ra menyeberang jalan dan menghampirinya. Seo Joon terkejut melihat Ah Ra yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Plaakkk... gadis itu sukses mendaratkan tamparannya untuk melepas amarah yang ditahannya sedari tadi.
            “Yaak...” Seo Joon yang ditampar berusaha menahan emosinya dengan menguatkan rahangnya.
            “Nappeum[2]!” ucap gadis itu, perlahan air matanya menyeruak. “Apa sekarang kau sudah puas setelah menghusirku dari kehidupanmu melalui pernikahan rekayasamu? Selamat... kau berhasil membuat gadis yang pantas mati ini memohon maaf dan belas kasihanmu sambil menangis dan merintih. Kuharap sekarang kau bisa hidup tenang setelah dendam dalam dadamu telah terbayar lunas oleh air mataku! Kau benar-benar kejam!” gadis itu berbalik pergi, dia menghapus air matanya dan berjalan menjauhi Seo Joon. Dia kehabisan kata-kata berhadapan dengan pria itu, sejujurnya dia sudah menyediakan banyak makian dan umpatan sejak di perjalanan tapi semua itu hilang saat Seo Joon berdiri di hadapannya. Ciiittt.... bunyi rem mobil mendadak, gadis itu hampir saja tertabrak.
            “Yaak!! Kau mau mati ya?” bentak si pengemudi pada Ah Ra.
            “Apa kau bersedia membunuhku? Kalau begitu lakukan saja! Aku juga sudah lelah dengan kehidupanku!” Ah Ra membalas si pengemudi itu.
            “Dasar gila!” umpat si pengemudi.
            “Aku tidak gila! Tapi kurasa sebentar lagi aku akan jadi gila... hiks...”
            “Apa kau mabuk?!”
            “Maaf... maafkan dia...” Seo Joon segera menghampiri si pengemudi dan meminta maaf atas nama Ah Ra. Si pengemudi terdiam saat seorang polisi menghampirinya, karena tak mau terlibat lebih jauh dengan polisi diapun memilih langsung tancap gas dari tempat itu.
            “Jangan menangis di tengah jalan seperti ini...” Seo Joon menarik tangan Ah Ra untuk menepi.
            “Lepaskan!” Ah Ra menolak pria itu. “Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa aku pantas mati? Lalu kenapa kau tiba-tiba peduli padaku?”
            “Kau tahu dari mana?” tanya Seo Joon, “Pertanyaan bodoh, tentu saja dari Ah Ra...” Seo Joon berbisik pada dirinya sendiri.
            “Yaak... kenapa kau sekejam itu? Sungguh balasanmu ini membuatku sadar kalau dulu aku benar-benar menyakitimu. Aku minta maaf untuk itu, kita sudahi permusuhan ini... kumohon pertimbangkanlah hubungan baik yang dulu kita bina, bukannya kita sahabat?”
            “Hubungan baik? apa kau yakin kita bersahabat? Kau yang tidak bisa jujur padaku, kau yang menyembunyikan terlalu banyak rahasia di belakangku, dengan sikapmu itu... aku sangsi bila kau masih menganggapku sahabat.”
            “Park Seo Joon... apa kau masih penasaran apa yang kusembunyikan darimu? Apa kau masih bertanya-tanya kenapa dulu aku menolakmu?”
            “Tak perlu kau jawab sebab aku sudah tahu... semua karena Pak Guru Kim...”
            “Kau tahu dari mana?” Ah Ra terbelalak kaget mendengar pengakuan Seo Joon.
            “Huh... Cho Ah Ra, kau siswi jenius, untuk hal sepele seperti ini... tidak mungkin kalau kau tidak tahu. Kedekatanmu dengannya pasti bukan karena hubungan guru dan murid biasa! Itu sudah jelas terbaca!”
            “. . .” Ah Ra tertunduk.
            “Aku tidak menyalahkan apa yang terjadi padamu, aku tidak pernah mau menyalahkan dirimu. Yang kusesali adalah diriku yang bodoh, kenapa aku masih mengharapkanmu di saat aku sudah tahu semuanya! Bodohnya lagi... sampai sekarang rasa itu masih sama. Dulu kau mempermainkan perasaanku, dulu kau melukai hatiku, dulu kau membunuh harapanku. Sepuluh tahun aku hidup bergelimang kekecewaan karena penolakanmu. Tapi kenapa aku masih saja mengharapkanmu?! Aku tidak pernah menyangka bahwa aku mencintaimu lebih dari yang kukira.”
            “Seo Joon...” suara Ah Ra tercekat.
            “Sepuluh tahun kurasa bukanlah waktu yang singkat, seharusnya dalam rentang waktu selama itu aku sudah bisa melupakanmu, tapi apa? Aku nyatanya tidak bisa melakukannya. Kuputuskan untuk tetap bertahan, biarlah perasaan cintaku ini tetap hidup di dalam hatiku. Aku hanya berharap suatu saat bisa jatuh cinta lagi pada wanita lain sehingga perlahan-lahan aku bisa melupakanmu, tapi tiba-tiba kau kembali, kau datang lagi ke kehidupanku. Kenapa? Kenapa kau harus datang di saat aku mulai terbiasa tanpamu?”
            “Kau datang dengan senyuman... kau bertanya bagaimana keadaanku, kau benar-benar hidup dengan baik selama ini. Itu membuatku marah! Di saat aku berjuang untuk menghapus kenanganmu... kau malah hidup bahagia, bagiku itu tidak adil! Jahat bukan? Ya... aku begini karena ulahmu juga!”
“Lima tahun yang lalu... aku ke Seoul, di saat itu aku seperti orang yang hilang akal karena begitu merindukanmu. Aku ingin menemuimu... aku ingin memintamu kembali padaku, aku ingin memohon kepadamu untuk mencintaiku juga... aku benar-benar ingin hidup bersamamu, tapi apa yang kulihat? Kau masih berhubungan dengan Pak Guru Kim. Kalian bahkan mengajar di tempat yang sama! Dan yang paling membuat hatiku ngilu... kalian memilih cincin pernikahan bersama. Saat itu... saat itu aku merasa seperti orang bodoh, seperti orang yang mengharap salju turun di bulan Juli, mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin!”
“Tunggu... selama ini kau menganggapku memiliki hubungan apa dengan Pak Kim?” Ah Ra mulai bisa membaca jalan pikiran Seo Joon. “Apa kau masih mengira aku dan Pak Kim saling menyukai?”
“Lalu apa lagi?” balas Seo Joon.  
“Yaak... Park Seo Joon kupikir kau membenciku karena apa, ternyata karena hal ini. Kim Jae Wook, Pak Guru kita, dia adalah pamanku. Ayahku mengidap leukemia dan Pak Kim lah yang memberikan donor sum-sum. Hubungan kakek dan Pak Kim saat itu masih kaku, aku menjadi penengah untuk mengakrabkan mereka. Kenapa aku menyembunyikan kenyataan ini termasuk padamu... karena Pak Kim adalah anak haram kakekku. Baek Jin Hee mengancamku akan menyebar cerita ini bila aku tidak membuatmu menjauh dariku. Ayahku yang sedang dalam masa pemulihan pengobatan kankernya, kakekku yang sedang berada dalam pengobatan strokenya... aku harus melindungi mereka. Itulah pembelaanku untuk sakit hatimu sepuluh tahun yang lalu.”
“Lima tahun lalu Pak Kim menikah, dia memintaku memilihkan cincin yang cocok untuk pernikahannya nanti, begitulah penjelasanku untuk sakit hatimu lima tahun lalu. Aku tak akan menyalahkanmu untuk semua kesalahpahaman ini, semua karena ulahku juga, ya... benar katamu, semua karena ulahku juga. Andai dulu aku lebih berani berterus terang padamu mungkin kita tidak akan separah ini, saling menyakiti, saling melukai.”
“Setelah semua terbuka, setelah kita mengetahui kenyataan yang ada, kuharap kita bisa saling memaafkan. Jalanilah kehidupanmu dengan tenang, singkirkanlah rasa bencimu padaku. Aku tak ingin melihatmu menderita karena menanggung kebencian itu. Bila memang sulit... pelan-pelan saja, setidaknya itu akan membantuku menjalani hidupku dengan tenang juga.”
“Bebahagialah Park Seo Joon... aku tulus mendoakanmu. Ah ya... satu lagi, jangan berprasangka buruk padaku hanya karena aku diam dan baik-baik saja. Kau tak pernah tahu berapa banyak rindu yang kutampung seorang diri selama kau jauh dariku,” Ah Ra melangkah mundur dan berbalik arah meninggalkan Seo Joon yang bungkam.
Baginya tak ada lagi yang dapat dimulai dengan cinta pertamanya itu. Oleh sebab itu dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya dengan cara baik-baik. Kebencian yang dirasakan oleh Seo Joon sudah teramat dalam, mustahil merubahnya kembali menjadi rasa sayang. Ponselnya berdering, dia menatap layarnya, dari ibu. Ah Ra meringis...
“Iya Ibu...”
“Yaaaak Cho Ah Ra!!! Kau kabur lagi!!!” ibu mengoceh. Ah Ra menjauhkan telinganya dari ponsel.
“Kenapa ibu menelpon di saat tidak tepat begini?” keluh gadis itu.
“Yaaak, jangan jauhkan teleponmu, dengarkan Ibu!!” perintah ibu yang sepertinya sudah hapal sekali kebiasaan putrinya. “Sampai kapan kau akan membuat ibu malu seperti ini? Park Hyun Sik... apa kurangnya dia? Kau meninggalkannya begitu saja...”
“Ah ya... Park Hyun Sik, aku lupa. Aku berjanji aku akan meminta maaf padanya begitu aku tiba di Seoul nanti. Aku benar-benar harus pergi Bu, ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan,”
“Memangnya kau di mana sekarang?”
“Aku sekarang di Namwon...”
“Apa yang kau lakukan di sana? Urusan penting apa lagi di sana? Anak ini... ibu hanya ingin melihatmu segera menikah apa susahnya bagimu? Memangnya pria seperti apa yang kau cari? Pengusaha, guru, dan yang terakhir dokter... tapi kau meninggalkan mereka semua dan kabur. Yaaak... katakan pada ibu pria seperti apa yang kau inginkan agar ibu bisa mencarikannya untukmu!”
“Ibu kumohon hentikanlah, sampai kapan ibu akan mengatur kencan buta untukku,”
“Sampai kau menemukan pria yang kau inginkan! Ibu yang seharusnya memohon padamu, sampai kapan kau mau kabur di setiap kencan buta yang ibu atur untukmu?
“Hiks....” gadis itu menangis,
“Yaak... Cho Ah Ra kenapa kau menangis?”
“Pria seperti apa yang kuinginkan? Ibu tak perlu bersusah payah, toh dia telah menolakku,” jerit gadis itu dalam hati.
“Ibu maaf... ibu sudah bersusah payah mengatur kencan itu untukku tapi yang ada aku malah selalu merusaknya, aku janji... aku tidak akan membuat ibu malu lagi. Ini yang terakhir kalinya aku kabur, aku janji. Aku akan menemui Park Hyun Sik dan meminta maaf secara resmi padanya. Ibu terima kasih untuk...” pembicaraan Ah Ra terputus saat ada yang merebut ponselnya. Park Seo Joon, pria itu merebut ponsel Ah Ra dan langsung menyambung obrolan mereka.
Anyeong haseyeo Ommoni[3]... Saya Park Seo Joon, temannya Ah Ra saat di SMU Namwon dulu, apa anda masih ingat?”
“Seo Joon... apa yang kau lakukan? Kembalikan ponselku!” perintah Ah Ra. Gadis itu mencoba merebut ponselnya kembali namun Seo Joon menggenggam tangannya seraya menghalangi usaha gadis itu.
“Maaf sebelumnya bila saya lancang tapi bolehkah anda berhenti mengatur kencan buta lagi untuk Ah Ra? Saya mencintai putri anda sejak SMU dulu dan itu tidak berubah sampai sekarang. Saya seorang polisi, Ibu tidak masalah ‘kan dengan menantu seorang polisi?”
“Seo Joon~a apa yang kau lakukan?!” Ah Ra bergidik.
“. . . .” entah apa yang dikatakan ibu, Ah Ra tak dapat mendengar.
“Uhm... maaf sudah membuat anda kaget, secepatnya saya akan menemui Ibu di Seoul untuk membicarakan semua ini,”
“. . . .”
“Kenapa Ah Ra tidak cerita? Entahlah! Tapi terima kasih Ibu atas pengertiannya, aku akan menutup teleponnya lebih dulu. Selamat malam!” Seo Joon memutuskan sambungan teleponnya dan mengembalikan ponselnya pada Ah Ra.
“Mulai saat ini jangan lagi menghadiri kencan buta itu sebab sudah ada aku untukmu!” perintah Seo Joon. Ah Ra kaget terdiam dan hanya bisa menatap takjub pada pria yang saat ini sedang menggenggam tangannya.
♥♥♥
“Apa kau yakin akan pulang malam ini? Bermalam saja!” bujuk Seo Joon pada gadis yang sedang berjalan di sebelahnya.
“Tidak... ibu akan benar-benar marah bila aku tidak kembali malam ini juga. Bus terakhir akan berangkat satu jam lagi, tak masalah bila aku tiba tengah malam di Seoul,” jelas Ah Ra. Langkah mereka terhenti saat tiba di bukit kelinci. Ah Ra meminta pada Seo Joon untuk dibawa ke bukit itu sebelum kembali ke Seoul. “Aku selalu rindu dengan pemandangan malam di bukit ini. Bintangnya bertabur seperti berlian,”
“Aku juga sering ke tempat ini bila kesepian dan merindukanmu...”
“Mulai saat ini, telepon aku bila kau rindu padaku. Jangan biarkan dirimu kesepian!”
“Ah Ra~ya... mulai saat ini kau berjanjilah padaku, tak akan ada lagi rahasia yang kau sembunyikan sebab aku pria yang mudah salah paham,”
“Hi hi hi... aku janji. Dan kau ‘pria yang mudah salah paham’ juga harus berjanji bila ada yang membuatmu gelisah dan bertanya-tanya... maka kau harus menyampaikannya padaku. Sebab aku adalah wanita yang tidak sensitif,” ucap Ah Ra. Mereka berdua tertawa cekikikan.
“Kalau begitu... izinkan aku mengaku padamu, hal ini telah kusembunyikan selama sepuluh tahun dan jujur membuatku gelisah selama ini,” Seo Joon serius menatap Ah Ra.
“Apa?”Ah Ra pun jadi tegang menanti pengakuan Seo Joon.
“Sore itu... saat pertama kali kau membawaku ke bukit ini, di saat kau tertidur, aku... aku....” Seo Joon jadi gagap, ucapannya jadi terbata-bata.
“Kau menciumku?” Ah Ra menebak sendiri.
“Bagaimana kau tahu?”
“Hehehee... Park Seo Joon, bagaimana aku bisa tertidur di samping orang yang kusukai, yang ada aku malah gugup. Aku hanya berpura-pura memejamkan mataku,”
“Jadi...”
“Uhm... itu artinya kegelisahanmu selama sepuluh tahun ini jadi sia-sia...” tawa Ah Ra. Tiba-tiba saja sebuah bintang jatuh terlihat jelas di langit malam. Ah Ra terkejut,
“Kau lihat? Kau lihat bintang yang jatuh? Kenapa tidak ada pemberitahuan di berita?” Ah Ra jadi heboh sendiri. “Wuah... akhirnya aku bisa melihat bintang jatuh bersamamu, ini seperti mimpi. Aku sudah mengharapkan ini sejak sepuluh tahun yang lalu dan sekarang menjadi kenyataan,” gadis itu berceloteh sendiri. Seo Joon hanya dapat memandang takjub pada gadis itu, dia juga tidak menyangka bahwa hari ini akhirnya tiba, hari di mana Ah Ra dapat membalas perasaannya.

The End




[1] Nama Restaurant Hotel
[2] Jahat
[3] Apa kabar Ibu,