Hallo... I am back! berbeda dengan postingan-postingan sebelumnya, kali ini saya mencoba menulis karya islami. Memang masih jauh dari kata sempurna maka dari itu saran dan kritik yang membangun very needed!
So... happy reading!
Air
matanya meleleh bersama perasaan bersalahnya, berulang kali bibir merahnya
mengucapkan kata maaf disertai isakan kecil yang berusaha ditahannya. Tubuhnya
bergetar, hatinya terlalu sakit menanggung beban yang dia rasakan. Dia
bermunajat kepada Rabbnya, Tuhan Yang Esa penguasa seluruh alam semesta beserta
isinya di sepertiga malam yang dingin. Meratap pilu, menangis tak berdaya, dan
nyaris putus asa. Sesungguhnya dia tahu bahwa cobaan yang dia hadapi ini
belumlah seberapa dibanding cobaan-cobaan yang ditanggung orang lain. Cobaan
yang dihadapinya ini belum sebanding dengan cobaan yang dihadapi saudara-saudaranya
di Palestina, Myanmar, maupun Cina.
“Ha
Ryu?!” terdengar panggilan Ibunya dari balik pintu kamarnya. Buru-buru pemuda
itu menyeka air matanya dan merapikan perlengkapan tahajjudnya.
“Ya Ibu…” jawabnya pelan. Dia
membuka pintu dan berusaha tampil senatural mungkin di hadapan ibunya.
“Katanya kau ingin berpuasa sunnah,
Ibu membangunkanmu takutnya kau ketiduran.”
“Ibu terima kasih…” ucap pemuda itu
tulus.
Cho Ha Ryu pemuda berusia 33 tahun
salah seorang lulusan terbaik MIT[1]. Dia pemuda yang cerdas, setelah
menyelesaikan studi sarjananya di salah satu universitas terbaik di Korea,
Universitas Seoul, dia melanjutkan jenjang magister dan doktoralnya di MIT berkat beasiswa yang dia dapatkan. Kini dia mengabdikan diri menjadi tenaga
pengajar di almamaternya, Universitas Seoul sebagai dosen di jurusan Fisika
sejak dua tahun lalu usai menyelesaikan studinya.
Wajahnya
yang tampan, tubuh yang tinggi, dan ateltis membuat banyak orang justru
menyangka dirinya aktor atau model. Tidak sedikit mahasiswi memilih mata kuliah
yang dibawakannya karena terbius oleh ketampanannya semata-mata. Mengingat mata
kuliahnya termasuk salah satu mata kuliah yang rumit, pastilah mahasiswa yang
mengikuti kelasnya tidak sekedar coba-coba. Ditambah dengan statusnya yang
masih lajang, jangankan mahasiswi, para dosen wanita pun banyak yang menyimpan
harap padanya.
Dia
terlahir dari ayah berkebangsaan Korea dan ibu asli Indonesia. Dia terlihat
lebih mirip ayahnya, berkulit kuning dan bermata sipit. Satu-satunya warisan
dari ibunya yang melekat pada dirinya hanyalah warna matanya yang cokelat.
Mereka keluarga muslim, ayahnya menjadi muallaf sebelum meminang ibunya. Selain
dirinya, keluarga Cho masih memiliki seorang putri bungsu yang tidak kalah
rupawan dari Ha Ryu, Cho Ha Na. Berbeda dengan Ha Ryu, Ha Na telah menikah dan
kini ikut suaminya yang melanjutkan studi doktornya di Universitas Harvard.
“Ha
Ryu~a…” konsentrasi pemuda itu pecah saat seseorang memanggilnya. Dia
mendongakkan kepalanya dan didapatinya Lee Hyun Bin tersenyum menghampirinya.
Pria yang sejak dua tahun lalu menjadi muallaf itu adalah sahabat Ha Ryu sejak
duduk di bangku SMA. Ha Ryu mencoba tersenyum walau terasa berat menarik sudut
bibirnya untuk terangkat agar dapat mengukir senyum di wajahnya.
“Ada
apa?”
“Kau
ada acara selepas mengajar? Aku ingin mengundangmu makan,” ucap Lee Hyun Bin
bersemangat.
“Maaf…
tapi aku sedang berpuasa,” tolak Ha Ryu sopan.
“Wah…
kebetulan sekali! Aku juga berpuasa dan aku sebenarnya mengajakmu untuk makan
malam bersama. Kami mengadakan syukuran kecil-kecilan atas keberhasilan istriku
meraih gelar spesialisnya,” jelas Hyun Bin. Ha Ryu tanpa sadar meremas bolpoint
yang dipegangnya ketika Hyun Bin menyebut nama istrinya, terbayang di kepalanya
seorang dokter wanita berkerudung.
“Benarkah?
Wah… selamat, aku turut bahagia. Nusaibah telah berjuang selama lima tahun dan
akhirnya dia berhasil,” dan dia malah kembali menyebut nama wanita itu dengan
bibirnya sendiri, tak terperih lagi sakit yang dia tahan.
“Huft…
benar. Dia sungguh kuat, aku jadi menyesal kenapa baru dua tahun yang lalu aku
bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun sebelumnya agar dapat
menemaninya berjuang.”
Lee
Hyun Bin mempersunting istrinya ketika istrinya berada di semester keenam
residensinya. Mereka bertemu secara tidak sengaja berkat bantuan Ha Na, adiknya
Ha Ryu. Posisi Hyun Bin sebagai dosen di jurusan kedokteran membuatnya dapat
akrab dengan Nusaibah lebih mudah. Dia jatuh hati saat pandangan pertamanya
pada gadis itu. Matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, meski kulitnya
tidaklah secerah gadis-gadis korea kebanyakan. Ya… Nusaibah lebih mirip dengan
gadis dari Asia Selatan daripada gadis Asia Tenggara padahal dia asli orang
Indonesia. Hanya tubuhnya yang mungil yang membuat orang percaya bahwa dia
benar-benar dari Asia Tenggara.
Ha
Ryu datang membawa sekeranjang buah, setelah sebelumnya dia sempat berpikir
keras mencari alasan untuk tidak datang ke acara itu. Senyuman Nusaibah
menjemputnya di ambang pintu. Benar kata sahabatnya Hyun Bin, senyuman Nusaibah
itu seperti obat bius, dapat membuat orang yang melihatnya kehilangan akal
sehatnya.
“Wah…
Mas Ha Ryu terima kasih sudah bersedia mampir!” sambut wanita berkerudung itu.
Dia menyambutnya dengan bahasa Indonesia, Ha Ryu memang dapat berbahasa
Indonesia karena ibunya. Terkadang Hyun Bin iri kepadanya karena hal itu.
“Selamat
atas keberhasilanmu!” ucap Ha Ryu tulus.
“Terima
kasih!” lanjut Nusaibah.
Setelah
menunaikan sholat maghrib berjamaah bersama teman-teman lain yang telah
diundang, mereka pun menyantap hidangan yang telah disediakan.
“Kenapa
kau tidak mengajak ayah dan ibumu juga?” tanya Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Sudah
kuajak, hanya saja mereka menolak. Mereka merasa kaku saja berada di
tengah-tangah anak muda,” jawab Ha Ryu.
“Bagimana
bisa merasa kaku, Paman dan Bibi sangat berjiwa muda, tentu bergabung dengan
kita bukanlah hal yang sulit!” timpal Nusaibah.
“Alah…
itu alasannya saja. Dia pasti tidak ingin mendengar ceramah Ibunya yang
mengingikan dia cepat mencari calon istri,” bantah Hyun Bin.
“Benar!
Setiap kali ibumu bertemu dengan temanmu yang telah beristri, ibumu pasti
mendesakmu untuk segera menikah juga ‘kan?!” Uhm Ki Joon – rekan sesama
dosen di jurusan kedokteran – ikut menambahkan.
“Ah…
kalian menyerangku!” keluh Ha Ryu dengan intonasi yang didramatisir. “Kalian
hanya tidak tahu betapa aku ingin menikah. Hanya saja Allah belum mempertemukan
aku dengan jodohku.”
“Kau
terlalu berlebihan, pilihlah salah satu mahasiswi magistermu. Tidak mungkin
tidak ada yang tertarik padamu!” seloroh Kim Dong Wan – rekan sesama dosen di jurusan kedokteran.
“Dia
pasti mencari sesama muslim!” tebak Go Hye Jin – istri Kim Dong Wan dan teman
sesama dokter Nusaibah.
“Nusaibah~ssi…
kau mungkin dapat membantunya?” pinta Uhm Ki Joon.
“Ah…
sudahlah, lanjutkan saja makan kalian. Tidak perlu memusingkan tentang
jodohku!” tutup Ha Ryu. Mereka serempak tertawa melihat tingkah teman tertampan
mereka. Sejenak Ha Ryu melirik ke arah Nusaibah dan secepatnya mengalihkan
pandanganya lagi.
Air
matanya meleleh lagi, membasahi dan membuat jejak samar di pipinya. Berulang
kali kalimat istighfar keluar dari bibir merahnya.
“Ya
Allah… tolong aku, bunuh perasaan ini. Engkau Maha Pembolak-Balik Perasaan maka
kumohon ubahlah perasaan ini,” isaknya. Senyuman Nusaibah masih terus
melayang-layang di benaknya. Dia sadar dia telah berbuat dosa besar, dia
mengharapkan wanita yang telah menjadi milik sahabatnya.
“Aku jadi menyesal kenapa baru dua
tahun yang lalu aku bersamanya, kenapa aku tidak bertemu dengannya lima tahun
sebelumnya,” perkataan
Hyun Bin, sahabatnya itu membuat hatinya semakin ngilu. Dia pun berharap
demikian, andai dia yang lebih dulu bertemu gadis Asia Tenggara bernama
Nusaibah itu, dia tentu tidak akan melepas kesempatan untuk meminangnya.
Masih
terekam jelas dalam ingatannya saat pertama kali dia melihat Nusaibah di rumah
sakit. Saat itu Nusaibah sedang menangani dua bayi yang karena kelalaian rumah
sakit sehingga bayi itu tertukar. Satu bayi laki-laki dan satu bayi perempuan
lahir di waktu yang bersamaan dan bencana itu datang saat para bayi itu tidak
mendapat name-tag ibunya masing-masing. Tak ada yang tahu bayi laki-laki maupun
bayi perempuan milik siapa, masing-masing ibu takut menyusui bayi tersebut
karena takut salah anak padahal tangisan para bayi telah menggema nyaring
karena kelaparan.
Para
dokter maupun perawat kelabakan tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya cara
adalah melakukan tes DNA namun tidak mungkin membuat para bayi kelaparan itu
menunggu sampai tes itu selesai. Para ayah bayi-bayi tersebut mengancam akan
memperkarakan hal ini ke pengadilan membuat keadaan semakin runyam.
“Para Ibu, tolong izinkan saya
memeriksa kalian!”
pinta Nusaibah kala itu. Kedua ibu bayi itu dibawanya ke dalam ruangan dan
tidak berapa lama setelahnya para bayi dibawa masuk ke ruangan yang sama.
Perlahan suara tangisan bayi reda sebab mereka telah diberi makan. Nusaibah
berhasil meyakinkan para ibu untuk menyusui masing-masing bayi mereka.
Ha
Na adiknya menceritakan kejadian itu di rumah saat keluarga mereka duduk
bersantai setelah sholat isya.
“Kejadian tadi benar-benar horror! Aku
bertanya pada Nusaibah ‘apa yang kau lakukan untuk meyakinkan kedua ibu itu.
Bagaimana kau dapat membedakan orang tua bayi-bayi itu?’”cerita Ha Na kala itu. “Tahukah ayah, ibu, kakak, apa yang
dilakukan Nusaibah? Dia memeras air susu kedua ibu itu. Ada yang alirannya
deras dan ada yang alirannya biasa saja. Ibu yang aliran ASI-nya deras adalah
ibu dari bayi laki-laki, sedangkan Ibu yang aliran ASI-nya biasa saja adalah
ibu dari bayi perempuan. Aku bertanya padanya, ‘bagaimana kau bisa tahu? Kau
bukan dokter kandungan. Kau resident bedah thorax anak’. Lalu Nusaibah
menjawab, ‘Di dalam Al Quran telah dijelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian
dua kali lebih besar dibanding perempuan.’ Itulah dasar yang dia pakai untuk
membedakan kedua orang tua bayi. Dan hebatnya lagi setelah tes DNA keluar, apa
yang dikatakan Nusaibah benar.
Nusaibah Nur Auliah,
gadis itu membuktikan kebenaran Al Quran lewat tindakan medis yang dia lakukan.
Dia berhasil memadankan ilmu sains dan ilmu yang terdapat dalam Al Quran. Berkat
gadis itu, Ha Ryu semakin rajin mengikuti kajian-kajian tafsir Al Quran. Dia
ingin tahu misteri apa lagi yang terdapat dalam Kitab Sucinya yang sejalan
dengan disiplin ilmu yang dia geluti. Dulu dia melakukan sholat lima waktu
hanya dikala dia sempat, namun sekarang dia hanya akan mengerjakan kesibukannya bila dia telah selesai melaksanakan sholat.
Ha
Ryu benar-benar terpesona dengan kecerdasan gadis itu. Kehadiran Nusaibah
sedikit banyak mengubah pola hidup Ha Ryu, dia semakin giat beribadah dan
semakin menjaga sikapnya. Dia selalu mengikuti kajian agama pada komunitas
yang direkomendasikan oleh Nusaibah. Diam-diam dia mulai memperhatikan
Nusaibah, diam-diam dia mulai tertarik, sayang dia didahului oleh sahabat
karibnya Lee Hyun Bin yang lebih cepat meminang gadis itu.
Ha
Ryu meringis, tubuhnya terasa lemah dan kepalanya terus berdenyut. Matanya yang
terpejam perlahan membuka meski terganggu oleh silaunya cahaya matahari. Dia
menyadari dia berada di tempat yang tidak dia kenali, aroma obat yang pekat
membuatnya menebak apakah dia berada di rumah sakit.
“Ha
Ryu~ssi? Apa kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” wajah cemas Nusaibah
menjadi pemandangan kedua yang dilihatnya setelah tadi melihat langit-langit
ruangan.
“Di
mana aku?” tanyanya lemah.
“Kau
berada di ER[2] Rumah
Sakit Universitas Seoul! Kau pingsan di kampus dan dibawa ke sini,”
“Benarkah?
Astaga… Ibuku dan Ayahku… jangan sampai tahu.”
“Aku
memang belum menghubungi Paman dan Bibi,”
“Bagaimana
keadaanku? Apakah aku sudah bisa pulang? Aku sudah merasa baikan sekarang!”
“Istirahatlah
dahulu, biarkan infusmu habis,”
“Nusaibah!
Nusaibah!” terdengar seseorang memanggil Nusaibah. Suara yang baik Nusaibah
maupun Ha Ryu sudah kenal dengan jelas.
“Yeobo!
Kami di sini!” Nusaibah membuka sedikit tirai agar Hyun Bin dapat melihat
keberadaan mereka.
“Apa
yang terjadi? Aku benar-benar kaget saat ada yang menyampaikan kau pingsan di
kampus!” sembur Hyun Bin pada Ha Ryu.
“Entahlah…
aku juga kaget kenapa bisa pingsan,” balas Ha Ryu.
“Sebenarnya apa yang sedang kau risaukan? Bila kau punya masalah ceritakanlah pada
kami, siapa tahu kami dapat membantumu!” bantah Hyun Bin. Ha Ryu menatap
Nusaibah seakan bertanya apa yang sedang dikatakan oleh suaminya itu.
“Dokter
Emergency mengatakan tekanan darahmu sangat rendah dan detak jantungmu tidak
beraturan. Kau bisa saja kelelahan fisik atau bahkan kelelahan mental,”
“Ayolah
kawan, kau tak boleh menyimpan masalahmu sendiri…” bujuk Hyun Bin.
“Aku
sungguh baik-baik saja! Aku tidak sedang bermasalah sehingga harus kelelahan
seperti diagnosa dokter,” dusta Ha Ryu. Bagaimana mungkin dia akan berterus
terang pada mereka.
Ha
Ryu duduk melamun di atas ranjang empuknya. Akhir minggu yang cerah ini ingin
dihabiskannya dengan beristirahat saja. Sebenarnya Hyun Bin mengajaknya untuk
berkuda bersama beberapa teman dosen dari universitas namun ditolak olehnya
sebab dia yakin sahabatnya itu akan mengajak serta istrinya ikut bersama. Dia
tidak ingin hatinya kembali teriris menyaksikan interaksi pasangan itu. Hyun
Bin dan Nusaibah memang tidak pernah berinteraksi berlebihan di hadapan
orang-orang atau memamerkan kemesraan mereka sehingga dapat membuat orang lain iri. Hanya saja perasaan Ha Ryu sudah terlanjur
sensitif, perasaan itu dapat sakit tiba-tiba walau hanya melihat Hyun Bin dan
Nusaibah sekedar mengobrol.
“Aku
tak boleh seperti ini… bagaimana bisa aku merasa sakit melihat kebahagiaan
sahabatku?!” gumamnya pelan. Ha Ryu menarik napas panjang, diseretnya
langkahnya yang terasa berat untuk menemui Ibunya di ruang tengah.
“Kau
ingin teh juga?” tawar ibunya saat melihat putra kebanggaannya mendekat
menghampirinya.
“Ibu…
aku ingin menikah!” seru Ha Ryu lantang.
“Uhuk…”
ayahnya yang baru saja menyesap teh hangat miliknya langsung tersedak
mendengarkan Ha Ryu. “Benarkah? Alhamdulillah, siapa gadis beruntung itu Nak? Segeralah
bawa kami bertemu dengannya!” ucap ayahnya antusias.
“Aku
tidak tahu…” jawab Ha Ryu. Alis kedua orang tuanya berkerut bingung.
“Maksudmu…
kau belum memiliki calon?” ibunya mencoba menebak dan entah mengapa ibunya
selalu dapat menebak dengan benar. Ha Ryu mengangguk lemah. “Kau ingin kami
mencarikan calon untukmu?” tebakan ibunya sekali lagi tepat. Ha Ryu mengangguk
sekali lagi.
“Bagaimana
dengan gadis yang pernah ibu ceritakan padaku saat aku masih belajar di Massachusetts?!”
Ha Ryu mencoba mengingatkan ibunya pada tawaran ibunya kala dia masih menempuh
studi doktornya.
“Sayang
sekali dia telah menikah,” sesal Ibunya. Ha Ryu tertunduk, benar… kejadian itu
sudah lima tahun yang lalu, wajar saja bila gadis itu telah mencari
penggantinya. “Duduklah dulu… kita bicarakan ini baik-baik!” ajak ibunya. Ha
Ryu baru sadar kalau sedari tadi dia ternyata terus berdiri saking tegangnya.
“Coba
ceritakan mengapa kau terlihat begitu serius akhir-akhir ini? Kau seperti
sedang menanggung masalah yang berat,” tanya ibunya.
“Aku…
hanya merasa bahwa aku perlu secepatnya menikah,” Ha Ryu menjadi gugup.
“Tentu,
kau seharusnya telah menikah di umurmu yang sekarang ini,” seru ayahnya.
“Dan…
apakah sekarang kau sudah tidak keberatan bila kami membantu mencarikan
pasangan untukmu?” tanya ibu berhati-hati.
“Uhm…”
Ha Ryu mengangguk mantap.
“Apakah
kau punya kriteria khusus untuk calon yang kau inginkan? Karena dulu kau
menolak mentah-mentah calon yang ibu tawarkan hanya karena dia kurang
pergaulan,”
“Tidak,
kali ini aku tidak ingin macam-macam. Cukup dia seiman dengan kita dan dapat
menyayangi ayah dan ibu seperti menyayangi orang tuanya sendiri. Kalau bisa,
dia harus pandai membaca Al Quran dan selalu belajar untuk mengkajinya. Aku
berharap dia juga gemar berpuasa sunnah dan sholat malam. Akan lebih baik lagi
bila dia cerdas dan berpendidikan namun tetap santun dan rendah hati,”
“Nak…
tadi kau bilang tidak ingin macam-macam, tapi aku lihat apa yang kau inginkan
ini lebih dari macam-macam,” sela ayahnya. Ha Ryu tersadar, apa yang
disebutkannya tadi adalah apa yang dilihat ada pada Nusaibah.
“Akan
ibu usahakan!” ibunya menepuk pundak putranya untuk menenangkan meski jauh
dalam lubuk hatinya dia bertanya-tanya di mana dia dapat menemukan gadis
seperti itu.
“Kawanmu
sudah ingin menikah…” Nusaibah memberitahukan suaminya di sela-sela waktu
senggang mereka usai sholat isya.
“Ha
Ryu?” tebak Hyun Bin. Nusaibah mengangguk menjawab pertanyaan suaminya.
“Ibunya
baru saja menelponku. Dia meminta tolong mencarikan kriteria yang diminta oleh
Ha Ryu.”
“Menurutmu
bagaimana kriteria yang diinginkannya?”
“Huft…
pantas saja dia melajang sampai saat ini. Terlalu tinggi, dia menginginkan
duplikat Siti Aisyah, istri Baginda Nabi.”
“Ha…ha…ha…
anak itu, apa dia masih terpesona pada kecerdasan Alexandra?”
“Alexandra?
Siapa dia?” tanya Nusaibah penasaran.
“Dia
junior Ha Ryu saat di MIT, gadis yang cantik, cerdas, dan mandiri. Ha Ryu
sering bercerita betapa dia sangat mengagumi gadis itu, mereka sempat akrab
saat bersama-sama menjadi relawan pencegahan HIV AIDS.” Hyun Bin bercerita
panjang lebar mengenai gadis taksiran sahabatnya sehingga membuat istrinya
tersenyum.
“Gadis
yang hebat, lalu kenapa dia tidak meminangnya?” tanya Nusaibah.
“Dia
atheis, tidak bertuhan. Dia teguh dalam pendiriannya dan Ha Ryu tak dapat
membuatnya merubah prinsipnya,” jawab Hyun Bin. “Pada kenyataannya… memang akan
sulit mencari wanita cerdas dan berakhlak meski pastinya tetap ada. Ketika kau
menemukan wanita yang cerdas, bisa saja sifatnya tidak seperti yang kau
harapkan. Sebaliknya… bila kau menemukan wanita yang berakhlak mulia, bisa saja
kecerdasannya tidak mencapai yang kau inginkan,”
“Yeobo…
sejujurnya aku tidak nyaman bila bertemu dengan Ha Ryu,” ucap Nusaibah. Hyun
Bin menatapnya heran, dan untungnya meski tidak bertanya, istrinya paham arti
tatapannya itu. Wanita yang sangat dicintainya itu pun menjelaskan alasannya.
“Lima tahun yang lalu, setelah aku meraih gelar kedokteranku, Ibunya Ha Ryu
menemuiku. Beliau memperkenalkan Ha Ryu padaku lewat foto, singkatnya Beliau
ingin menjodohkan aku dengan putranya itu.”
“Apa?”
Hyun Bin terlonjak kaget.
“Ha
Na adalah sahabatku dan aku tidak menyangka selama ini dia selalu bercerita
tentangku pada kedua orang tuanya. Lewat cerita-cerita yang selalu dilontarkan
Ha Na, kedua orang tuanya jadi tertarik untuk mengenalku lebih jauh. Akhirnya
kedua orang tuanya setuju untuk memperkenalkan aku pada Ha Ryu. Saat itu aku
tidak menolak karena kedua orang tuaku juga sudah mendesakku untuk segera
menikah. Sayangnya Ha Ryu menolakku dan kurasa aku sudah tahu apa alasannya
setelah mendengar ceritamu tadi. Alexandra, gadis itulah yang menjadi
alasannya.”
“Aku
tidak nyaman bertemu Ha Ryu lebih karena rasa maluku. Aku seorang wanita, untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku ditolak oleh seorang pria, bisa kau bayangkan
bagaimana aku dapat menanggung rasa malu ini,”
“Apa
Ha Ryu tahu tentang ini?”
“Kuharap
dia tidak akan pernah tahu, entah di mana aku akan menyimpan wajahku bila dia
sampai tahu kenyataan ini.”
Hyun
Bin tertegun di dalam toilet, dia membasuh wajahnya dan menatap lurus ke arah
cermin. Pikirannya melayang entah membumbung sampai ke mana. Tangannya
bergetar, “Bagaimana seandainya dulu Ha Ryu menerima perjodohan itu?” gumamnya
dalam hati. Hyun Bin memang pernah bertanya dalam hati, Ha Na dan Nusaibah
adalah sahabat dekat, mengapa Ha Na tidak memperkenalkan Nusaibah terlebih dulu
pada kakaknya yang notabene masih menyandang status singel.
Alexandra
Natalie Petrova, gadis itu berkebangsaan Rusia walau memiliki darah Amerika
dari ibunya. Itulah satu nama yang dulu menjadi standar gadis pilihan Cho Ha
Ryu. Gadis yang memiliki kecerdasan yang tinggi dibuktikan dengan
keberhasilannya menjadi salah satu mahasiswi peraih cumlaude Magister Engineer.
Shasha, panggilan akrab gadis itu, juga aktif dalam berbagai kegiatan
kemanusiaan salah satunya adalah kesetaraan gender yang selalu dia perjuangkan. Kemampuannya
berbahasa, pergaulannya yang luas, dan kemandiriannya membuat banyak hati
terpikat padanya. Di saat Ha Ryu sedang kagum-kagumnya pada juniornya yang
lebih muda dua tahun darinya itu, ibunya menelpon dari Korea untuk
menawarkannya seorang calon yang sungguh berada di luar ekspektasinya.
“Aku akan menikah dengan gadis
seperti itu? Seburuk apa wajahnya sehingga di usianya yang ke duapuluh lima dia
bahkan belum pernah berkencan. Tak ada satupun pria yang tertarik padanya, tak
ada satupun pria yang ingin mengencaninya, bagaimana mungkin ibu menginginkan
aku bersamanya. Tidak, aku menolaknya! Jelas sekali dia wanita yang tidak punya
pergaulan.”
Saat
itu pemikiran Ha Ryu masih terkontaminasi dengan paham liberal, dia bahkan
sampai lupa pada hakikat dirinya sebagai muslim. Dia lama hidup di negara yang
menuhankan kebebasan tanpa pernah sadar bahwa setiap kebebasan itu ada batas
dan aturannya. Ha Ryu hanya terpesona pada kecantikan fisik dan kecerdasan
intelektual lawan jenisnya tanpa pernah memperhitungkan keindahan akhlak.
Shasha
telah berkencan dengan beberapa pemuda kaya dan terpandang bahkan dengan beberapa
tokoh yang terkenal. Saat itu hampir seluruh pemuda di kampusnya menginginkan
gadis itu untuk berkencan dengannya. Menjadi suatu kehormatan bila dapat
menaklukkan hati gadis yang menjadi pujaan dan rebutan pria-pria ternama.
“Usianya baru dua puluh lima tahun,
dia gadis yang cantik dan juga cerdas. Dia tidak pernah ke club malam, dia
tidak pernah minum minuman beralkhol, hebatnya lagi dia menjaga dirinya
sehingga tidak pernah berkencan dengan siapapun…” begitulah dulu penjelasan ibunya
yang malah membuat Ha Ryu mengerutkan kening, “Alangkah menyedihkannya wanita itu” komentarnya kala itu.
“Kau
akan pindah ke Jepang? Kenapa?” Ha Ryu kaget saat tahu Hyun Bin tengah mengurus
registrasi kepindahannya.
“Nusaibah
mendapat tawaran S2 dan dia sangat antusias untuk belajar lebih dalam lagi
mengenai bedah anak. Aku tidak ingin mengecewakannya dan kurasa aku memang
tidak dapat mengecewakannya, maka aku mendukung keinginnnya.” jawab Hyun Bin.
“…”
Ha Ryu tertegun
“Hei
kawan… Tokyo tidaklah jauh. Bila kau merindukanku, kau boleh mengunjungiku,”
canda Hyun Bin.
Ha
Ryu termenung, batinnya bergejolak, apakah ini jawaban dari Allah atas setiap
doanya selama ini? Dia memohon agar dapat membunuh perasaannya pada Nusaibah,
wanita yang tidak mungkin akan halal baginya. Hatinya perih jika membayangkan
dia tidak akan bertemu lagi dengan wanita itu namun dia harus kuat, sakit
memang harus dilawan dengan sakit agar kelak sakit itu tidak akan mampu
menyakiti lagi. Dia harus melepaskan Nusaibah agar dia dapat membuka hati
untuk wanita lain.
Ha
Ryu harus rela melepaskan apa yang memang tidak tercipta untuknya. Di atas
segalanya, dia tidak akan mungkin merusak kebahagiaan sahabatnya demi nafsunya
semata. Dia berterima kasih pada Nusaibah yang selama ini telah mengajarkannya
arti keikhlasan. Yang selama ini tidak pernah lelah menjawab setiap pertanyaan
Ha Ryu yang ingin mengenal lebih dalam tentang agamanya. Kini agama baginya
benar-benar dijadikan pedoman dalam menjalani hidupnya bukanlah sekedar
pelengkap semata dalam kartu idenditasnya.
Hyun
Bin menatap istrinya yang tertidur pulas di bangku pesawat. Dia teringat
bagaimana raut wajah kehilangan yang nampak begitu jelas pada Ha Ryu saat
melepas kepergiannya bersama Nusaibah saat di bandara tadi.
“Maafkan
aku kawan, semata-mata ini kulakukan untuk melindungi perasaan istriku,”
desisnya dalam hati.
“Dan
kau wanita tercantikku… terima kasih karena telah memberikan aku kesempatan
untuk menjadi pendampingmu. Tidak akan pernah kusia-siakan kepercayaan yang
telah kau berikan padaku. Aku janji akan terus menjaga dan menyayangimu sampai
akhir usiaku!” dia membelai wajah Nusaibah. Tak henti-hentinya dia mengucap
syukur kepada Rabbnya yang telah mempertemukannya dengan Nusaibah.
Hyun
Bin teringat amplop kecil yang diberikan Go Hye Jin – rekan Nusaibah yang juga
spesialis Obgyn - tadi sebelum berangkat ke bandara. Matanya yang sipit
membulat penuh saat melihat isi amplop tersebut, sebuah foto hasil
ultrasonografi milik istrinya.
“Selamat
kau akan menjadi ayah, kau juga seorang dokter jadi tidak perlu kujelaskan apa
yang dikatakan foto ini!” tulis Go Hye Jin pada selembar kertas.
Hyun
Bin berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak melompat kegirangan atau
bahkan berteriak bahagia. Dia juga menahan dirinya untuk tidak memeluk istrinya
karena takut membangunkannya dari tidur. Dilihatnya kembali foto USG itu, usia
janinnya sekitar tujuh minggu.
“Maka
nikmat Tuhanmu mana lagi yang ingin kau dustakan?” dia berbisik mengucapkan
Surah Ar Rahman ayat ke 13.
♥♥♥