Aku
dan dosenku itu saling pandang karena semakin bingung. Beberapa saat kemudian
kincir berputar, kami hanya terduduk pasrah di bangku. Apa mungkin istri Pak
Lee pelakunya? Kami bertemu di rumah sakit waktu itu, tidak mungkin kalau hanya
kebetulan. Tapi apa motifnya? Kalau memang dia ingin mempermalukan kami, dia
tidak perlu menyuruh kami ke sana kemari, cukup menyebarkan langsung foto itu
ke situs kampus.
Aku
terduduk lemas di bangku sambil menunggu Pak Lee membeli makanan. Otakku
berputar keras mencerna masalah yang sedang kami hadapi.
“Maaf
aku kelamaan, tadi di sana harus antri!” ucap dosenku, dia menyodorkan sebuah
bungkusan, di dalamnya sudah ada makanan dan minuman. Kami menikmati hidangan
kami, sesekali dia memandangku. Apa ada yang salah dengan wajahku? Kupalingkan
wajahku dan merabanya, tidak ada sisa makanan kok!
“Apa
kau ada masalah? dari tadi kulihat kau murung,” tegurnya. Huft… kupikir ada
yang salah dengan wajahku.
“Kapan
sidang perceraian Bapak?!” aku keceplosan dan itu membuatnya tersedak.
“Kenapa
kau bertanya seperti itu?” dia malah membalasku dengan pertanyaan.
“Aku
hanya ingin tahu…” jawabku pelan dan datar.
“Minggu
depan!” jawabnya.
“Bapak
sudah mantap untuk berpisah kan?” tanyaku ragu, dia tak langsung menjawab. Dia
menatapku tajam,
“Memangnya
kenapa?” tanyanya.
“Pokoknya
Bapak harus berpisah dengannya, pria seperti Bapak terlalu baik untuk wanita
seperti dia!” dia tertawa mendengar penuturanku.
“Bukannya
aku adalah dosen yang paling menjengkelkan, kejam, dingin, tidak profesional,
krisis moral…”
“Pak!”
aku buru-buru menghentikannya mengabsen julukan yang pernah kubuat untuknya. “Mianhe…”
ucapku,
“Sudahlah…
aku tidak mengharapkanmu meminta maaf padaku. Kuakui memang sikapku selama ini
padamu terlalu mendiskriminasikanmu.” Beberapa saat kami larut dalam diam.
“Pak…
apa benar anda membenciku karena aku mirip dengan istri anda?” tanyaku, kali
ini aku tidak bisa diam lagi. Dia kelihatan kaget mendengarnya,
“Kau
tahu dari mana?” tanyanya,
“Jadi
memang benar kalau itu alasannya?!” ucapku dingin, “Dia telah mengkhianati
kepercayaan anda, dia telah berbohong di belakang anda, menyakiti anda dan dia
juga membuat ibu anda shock. Aku yakin betapa anda sangat membencinya, dan aku
juga dapat mengukur bagaimana perasaan anda setiap kali melihat wajahku.”
“Eun
Hye…” ucapnya penuh rasa bersalah, “Tentu tidak seperti itu…” sambungnya pelan.
***
Hari
ini aku seminar, beberapa mahasiswa yang sekelompok denganku terlihat tegang.
Kuingat pesan Pak Lee tempo hari, aku tidak perlu gugup karena supervisor tidak
akan menjatuhkan kami. Kulihat jam dinding, sudah jam sepuluh pagi. Hari ini
ibuku menemani Bibi Lee menghadiri sidang perceraian anaknya, huft… semoga semua berjalan lancar.
Tepat
pukul dua belas siang, sidang
seminarku berakhir. Aku tak ingin berbohong, bagaimana pun aku sangat gugup
tadi tapi untunglah semua berakhir dengan baik meski beberapa kata dalam
proposalku masih mendapat revisi. Aku dan Si Yoon tersenyum puas dengan hasil
yang kami raih hari ini, tapi… jangan langsung berbangga hati, sebab masih ada
penelitian dan ujian skripsi yang tentunya akan lebih sulit dari persiapan
seminar proposal ini.
Aku
berpapasan dengan Pak Lee di koridor, wajahnya tidak cerah. Apa terjadi sesuatu
selama persidangan?
“Emm…
Si Yoon aku ingin konsultasi dengan Pak Lee, kau duluan saja!” ucapku
berpamitan dengan sahabat kentalku itu. Buru-buru aku meninggalkannya sebab aku
tak ingin mendengar protes, pertanyaan, atau apalah darinya sehingga menghambatku
pergi.
“Pak
apa saya boleh masuk?” tanyaku setelah mengetuk ruangan Pak Lee,
“Masuklah!”
ucapnya. Perlahan kubuka pintu, tampak dengan jelas dia sedang memijat
lehernya. “Bagaimana seminarmu?” tanyanya tanpa memperbaiki posisi duduknya.
“Bagaimana
hasil persidangannya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya. Dia tersenyum
getir,
“Apa itu pantas kau tanyakan pada
dosenmu?” tanyanya balik,
“Tidak… memang tidak pantas
kutanyakan pada dosenku, tapi kali ini aku bertanya atas nama teman!” balasku,
sekali lagi segaris senyum menghiasi bibir merahnya,
“Teman? Sejak kapan kita berteman?”
dia menyebalkan juga,
“Baiklah, kalau bukan teman
terserahlah mau dianggap apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana hasilnya!” ucapku
gregetan.
“Kau ingin jawaban apa? Kami resmi
berpisah atau malah rujuk?” candanya,
“Pak!” tanpa sadar nadaku meningkat,
“Aku tidak main-main, apa hasilnya?”
“Apa kau berharap kami berpisah?”
dia semakin memojokkan aku. Aku diam menatap marah padanya, dia pun membalas
tatapanku dengan sikap cueknya.
“Yes,
I hope you both separate!” ya, aku ingin kalian berpisah jawabku lantang.
Dia tertawa kecil,
“Why?”
kenapa, tanyanya. Dia memancingku untuk mengaku, dasar orang ini. Baiklah kau
pikir aku mudah termakan perangkapmu,
“Kalau Bapak enggan menjawabnya, tak
masalah. Aku bisa menanyakannya pada ibu!” aku bergegas pergi dari ruangannya.
“Yaa…
Jung Eun Hye!” panggilannya menghentikan langkahku, aku berbalik menunggu apa
yang ingin dikatakannya. “Is it hard to
say…” perkataannya terhenti, dia terlihat gugup. “Forget it! Lupakanlah!” sambungnya.
Kata ibuku Pak Lee telah resmi
bercerai dengan istrinya itu, entah kenapa aku bergitu bahagia mendengarnya.
Kusadari dulu aku begitu membencinya, aku mana mau peduli dengan urusan
pribadinya, tapi kali ini berbeda. Aku harus tahu semua yang terjadi padanya,
aku selalu ingin menjadi yang terbaik di matanya, semua harus sempurna dan aku
tak ingin terlihat cacat di hadapannya. Aku takut ini adalah cinta, dia
dosenku, selamanya dia hanya akan menganggapku sebagai muridnya.
Aku melangkah pelan ke ruangan Pak
Lee, aku tidak tahu mesti beralasan apa bila bertemu dengannya, yang jelas saat
ini aku ingin melihatnya. Ya… aku merasakan rindu. Belum sempat mengetuk pintu,
dosenku itu sudah duluan keluar dari ruangannya. Hasilnya kami berpapasan di
mulut pintu.
“Ada apa?!” tanyanya heran, aku
blank, tak tahu harus beralasan apa kali ini. Dia terus menatapku menunggu
jawaban dariku, astaga… kemana kemampuan mengarangku yang hebat. Biasanya aku
paling jago berbicara dalam keadaan terjepit.
“Mmm… bagaimana dengan foto-foto itu
Pak? Kenapa tidak ada kabar dari si pelaku?” fuih… meski tidak masuk akal, hal
ini bisa dijadikan alasan juga kok.
“Oh…” responnya betul-betul enteng,
dilanjutkannya langkahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Oh apanya Pak?” tanyaku
menyusulnya.
“Tidak perlu khawatir, aku sudah
mengetahui pelakunya jadi semua sudah beres sekarang!”
“Lho… bagaimana Bapak tahu? Apa
nomornya Bapak lacak? Bukannya pakai privat number Pak?!”
“Kau ini kalau bertanya jangan
berentetan kayak peluru begitu. Kau tak perlu tahu bagimana aku menemukan
pelakunya, sekarang kau hanya perlu konsentrasi pada penelitian dan skripsimu. Ingat
bulan depan kau sudah harus menyusun semuanya.” Dia terlihat buru-buru, pantas jawabannya sekenanya
saja.
Oh ya… sudah terlambat, aku harus
segera ke sekolah tempatku praktek. Segera kucegat taksi dan tanpa kusadari
taksi yang kutumpangi berjalan di belakang mobil Pak Lee. Kulihat dosenku itu
memasuki sebuah café di tepi jalan, ha… apa aku tidak salah lihat? Dia menemui
wanita itu, mantan istrinya! Untuk apa lagi dia menemui wanita itu, bukannya
mereka telah bercerai? Aku jadi tidak fokus saat di kelas, sulit menjelaskan pelajaran karena terus
terpikir dengan apa yang kulihat barusan. Aku hanya memberi tugas pada
murid-muridku, untung saja mereka sangat patuh.
Hari ini aku berkunjung ke rumah
Bibi Lee, ibu menyuruhku membawa barangnya yang ketinggalan di rumahku kemarin.
Aku sungguh gugup, inikan hari libur, jelas dosenku ada di rumah. Huh… kenapa
aku harus sering bertemu dengannya di saat perasaanku telah berubah? Kenapa
bukan di saat aku masih benci padanya? Aku mengatur napasku dalam-dalam sebelum
mengetuk pintu, oke… setelah merasa lebih tenang, aku pun mulai mengetuk dan
mengucapkan salam. Sejenak kudengar suara kunci terbuka dan perlahan pintu pun
tergeser.
“Oh… kau sudah datang, masuklah!”
ucap Pak Lee. Hah… memang dia tahu aku akan datang? Aku melangkahkan kakiku ke
dalam, kulihat suasananya, rapi tapi sangat sepi.
“Aku membawa pesanan Bibi, kemarin
tertinggal di rumahku!” ucapku saat dia mempersilakanku duduk.
“Ibuku sedang keluar, katanya ada
urusan dengan ibumu!” ucapnya dari arah dapur, sepertinya dia sedang membuatkan
minuman untukku. Heh… ada urusan dengan ibu? Terus untuk apa ibu menyuruhku ke
sini mengembalikan barang kalau memang nanti akan ketemu bibi juga?! Aku
berpikir sejenak, air mukaku berubah begitu menyadari kebodohanku. Ibu… kenapa
sih dia genit sekali!!!
“Kau akan pergi dengan kostum
seperti ini?” tanya Pak Lee begitu muncul membawa segelas jus jeruk untukku.
“Pergi ke mana Pak?!” tanyaku dengan
kening berkerut. Pak Lee malah membalas dengan tatapan yang tidak jauh beda
denganku.
“Jadi kau tidak tahu kita akan ke
acara eunion teman kuliahku?!” tanyanya.
“What??? Bapak yang reuni, kok aku juga ikut?” tanyaku kaget.
Dosenku itu termenung sejenak, dia tersenyum sinis setelahnya.
“Ya sudah… pulanglah, kali ini kau
telah menjadi korban ibuku. Maaf ya… atas nama ibuku! Aku jadi tidak enak
padamu.” Oh… jadi ini sudah diatur? Bukan cuma Bibi Lee yang mengelabuiku, tapi
ibuku yang genit itu juga. Heran deh… kenapa mereka malah jadi genit di usia
yang tidak muda lagi, kena puber yang ke berapa sih mereka? Reuni teman kuliah
ya? Hm… jadi penasaran melihat teman-teman dosenku ini, seperti apa ya mereka.
Tunggu, teman kuliah kan? Berarti mantan istrinya juga datang! Tidak bisa, aku
tidak boleh melepasnya sendiri, dia pasti akan dijadikan objek sindiran oleh wanita itu.
“Pak, aku mau ikut!” putusku cepat,
keningnya kembali berkerut menatapku.
“Kau yakin?!” tanyanya. Aku
mengangguk kencang. Dia kembali memandangku, “Dengan kostum seperti ini?”
kutatap penampilanku, kaos oblong dan jeans, aku nyengir sendiri karena malu.
“Kita ke butik!” ucap dosenku lantang, hah…butik? Harus kutolak atau terima
saja? Tidak enak dia membelikanku baju, aku kan bisa pulang ganti baju! Tapi…
memang aku punya pakaian formal? Pakaian formalku hanyalah pakaian mengajar!
Hiks… aku menyesal tidak pernah memperhatikan penampilan dan mengabaikan
perkembangan fashion.
“Kalau bagitu ambil titipan ini dulu
Pak!” aku menyodorkan barang ibunya yang kubawa, belum sempat dipegang
baik-baik oleh dosenku, aku telah melepas peganganku. Alhasil barang itu jatuh
ke lantai. Beberapa lembar kain yang menyerupai baju jatuh, kubantu Pak Lee
memungutnya. Kami termangu sendiri melihat barang yang kubawa ini, ini kan baju
formal untuk acara seperti reuni.
Kami tersenyum geli saat menyadari kami benar-benar bodoh, sumpah… aku
benar-benar tidak berpikir ibu-ibu kami telah menyusun semua ini.
^hellogangsa^
Dengan langkah mantap aku memasuki
ruang reuni bersama dosenku. Busana pilihan ibu lumayan juga, girly skirt selutut dengan renda halus,
kemeja putih, dipadankan dengan blazer ungu halus yang senada dengan roknya.
Kulihat sudah lumayan yang datang, ada Yun Jae Oppa, kakaknya Yu Jin juga. Pak
Lee membawaku berkenalan dengan beberapa temannya yang berkumpul di sudut
ruang. Dia memperkenalkan aku sebagai teman, bukan lagi mahasiswinya. Yah… aku
anak dari teman ibunya, kurasa lumayan dari pada harus mendengarnya mengatakan
‘ini muridku’.
“Apa kalian punya hubungan
special?!” goda seorang temannya, kurasa dia bekerja di bank sebab aku ingat
dia yang mengurus adaministrasi pembayaran uang semesterku. Pak Lee tersenyum
renyah, dia tidak mengiyakan ataupun menyalahkan pertanyaan temannya. Lama kami
bercengkrama sampai tamu yang tak kuharapkan datang, ya mantan istri dosenku.
Keadaan memang lumayan kaku saat kami berhadapan, semua temannya mengerti bahwa
Pak Lee baru saja bercerai dengan wanita itu.
Bukan Pak Lee namanya bila harus
larut dalam keadaan tidak menyenangkan seperti saat ini, buktinya dia bisa
menguasai keadaan dan kembali pada percakapan normal yang baru saja kami lalui.
Seperti reuni kebanyakan, mereka bercengkarama, melepas rindu, dan juga
bercerita mengenang kejadian saat mereka masih bersama. Huft… kapan aku juga
reuni? Sepertinya aku harus memikirkannya dari sekarang, aku akan menggalang
teman-teman SMU-ku untuk reunian.
“Pak… aku ke toilet dulu!” bisikku
pada Pak Lee, dia mengangguk. Huf… kupandangi wajahku di cermin usai mencuci
tangan, apa benar aku mirip dengan wanita itu? Aku lumayan risih saat beberapa
teman Pak Lee menatapku lekat-lekat sembari membandingkan aku dengan mantan
istri dosenku itu. Alah… tak perlu memikirkan itu Eun Hye, kau lebih cantik dan
tentu saja lebih muda dari wanita itu. Ditambah lagi kau masih perawan, itu
nilai jualmu yang tertinggi.
Aku kembali ke tengah pesta, aku
tidak melihat Pak Lee. Clingak-clinguk aku mencari keberadaannya, setelah kulihat
sosoknya sedang berdialog dengan Yun Jae Oppa di sudut ruang, baru aku merasa
tenang.
“Bagaimana masalahmu bersama Hye Sun?”
tanya Yun Jae Oppa pelan. Langkahku terhenti beberapa jarak di belakang Pak Lee,
aku mengurungkan niat untuk menghampiri mereka. Aku tidak mau mengganggu
percakapan mereka.
“Sudah kuselesaikan, tolong jangan
beritahu ibuku, masalah ini hanya kau, aku, dan dia yang tahu.” Sepertinya
mereka membicarakan hal yang serius.
“Dia minta berapa?” tanya Yun Jae
Oppa.
“Sepuluh juta won.” Jawab dosenku.
Hah… sepuluh juta? Memang masalah apa yang mereka bicarakan? Aku jadi
tergelitik untuk mengetahui lebih dalam arah pembicaraan. Pak Lee
menyembunyikan sesuatu di balik perceraiannya dengan mantan istrinya, dan tentu
saja ini dirahasiakan dari ibunya.
“Keterlaluan,
dia yang bersalah malah dia yang mendapat kompensasi.” Yun Jae Oppa jadi
sedikit emosi. “Uang sebanyak itu kau dapat dari mana?!”
“Aku
punya tabungan sewaktu di Inggris, kau tahu kan’ aku part time mengajarkan
bahasa korea di tempat pelatihan bahasa asing.” Oh… jadi wanita itu minta ganti
rugi, huh… dasar tidak tahu malu, seharusnya dia itu bersujud minta maaf pada
Pak Lee. Apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan, bukannya minta
kompensasi. Aku jadi panas sendiri. Oh… jadi yang kulihat kemarin di café… ini
alasannya. “Aku tak ingin ibuku tahu masalah ini, ibuku sudah terlalu shock
dengan perselingkuhan Hye Sun di depan matanya sendiri. Aku tidak ingin
menambah bebannya dengan menceritakan masalah ini.” Jadi begini cerita sebenarnya,
Pak Lee… maafkan aku yang berburuk sangka padamu. Kupikir kau ingin rujuk
dengan wanita itu.
“Lalu bagaimana dengan Eun Hye.
Benar kalian tidak ada hubungan apa-apa?!” tanya Yun Jae Oppa. Mereka
mengalihkan pembicaraan ke arah yang sangat sensitive bagiku.
“Memangnya kenapa?” tanya balik
dosenku.
“Dia sahabat baik adikku, dan akupun
telah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku tidak ingin kau
mempermainkannya!” balas Yun Jae Oppa. Pak Lee membisu, dia tidak merespon sama
sekali. “Dia sangat mirip dengan Hye Sun, teman-teman menebak kau jalan
dengannya karena dia mirip dengan mantan istrimu.”
“…” sekali lagi tidak ada respon
dari Pak Lee. Hatiku tengah mengembang sekarang, tertiup hembusan yang
menyesakkan, kalau terus begini akan pecah nanti. Aku menunggu jawaban dosenku,
aku ingin tahu bagaimana perasaannya padaku.
“Aku tidak akan bohong kalau dia
memang mirip dengan Hye Sun, bahkan bila aku merindukan Hye Sun, aku cukup
melihatnya.”
“Min Ho!” suara Yun Jae Oppa berubah
kaget,
“Aku bukan orang yang munafik, aku
tidak ingin berkata ‘tidak’ bila yang kurasakan berkata ‘iya’, terus terang aku
memanfaatkannya untuk membalas Hye Sun.” Prangg… hatiku yang mengembang tadi
meledak setelah mendengar pengakuan Pak Lee.
“Min Ho…” Yun Jae Oppa terdengar
begitu kecewa.
“Aku tahu perbuatanku salah…”
“Lalu kenapa kau lakukan?!” protes
Oppa
“Aku tidak punya pilihan lain!” dia
menghembuskan napas begitu berat. “Tenang saja… aku akan mengakhiri semua, Eun
Hye gadis yang baik, tidak pantas dia kujadikan bahan permainan antara aku dan Hye
Sun.”
“Cepatlah hentikan, kau bisa jatuh
cinta kalau terlalu lama bermain. Dia gadis yang kurasa dapat memikatmu!”
“Ha…ha…” dia tertawa kecil, “Dia
muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!” kurasakan ada sesuatu yang
menusuk dadaku, rasanya sakit sekali sampai aku tak tahan untuk tidak menangis.
Jadi begini penilaian anda terhadapku selama ini? Anak-anak, yah… aku hanya
anak-anak!
“Eun Hye~ah!” Oppa keget melihatku
dengan mata yang sembab, tentu saja Pak Lee berbalik memastikan apa yang
dilihat oleh sahabatnya. Matanya membulat saat melihatku di belakangnya,
“Aku harus pulang Pak!” ucapku
dingin. Aku berbalik dan menyeka air mataku, aku berjalan secepat mungkin sebab
aku tak ingin menangis di tengah teman-temannya. Di parkiran aku berhasil
dicegat olehnya,
“Apa yang kau dengar?” tanyanya
khawatir.
“Semuanya!” jawabku sinis. Wajahnya
berubah pucat, “Permisi Pak!” lanjutku setelah menghempaskan pegangannya.
“Tunggu…!” dia kembali mencegatku,
“Apa lagi?!” bentakku, ya… aku
marah, kurasa wajar aku membentaknya.
“Aku tahu aku salah…” dia terlihat
panik, “Kuharap kau tidak marah…” apa? Tidak marah? Aku bukan Dewa yang Maha
Pemaaf, aku manusia, MANUSIA!
“Tenang saja Pak, anak-anak
sepertiku tidak begitu mengerti dengan pembicaraan kalian tadi!” balasku
dingin. Aku segera mencegat taksi dan buru-buru meninggalkan lokasi itu.
Tangisanku pecah di dalam taksi itu, sesekali si supir melirik padaku. Aku
tidak dapat menahan sakit hatiku, maaf pak supir, aku membuatmu risih dengan
tangisanku.
Sesampainya di rumah, aku langsung
masuk kamar. Kukunci pintuku rapat-rapat, setelah itu kubenamkan wajahku ke
bantal lalu menangis sejadi-jadinya. ‘Dia
muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!’ Perkataan Pak Lee tak mau
pergi, terus terngiang di telingaku. Sakit sekali rasanya aku dipanggil
anak-anak! Kalau memang kau menganggapku anak-anak, kenapa kau memanfaatkan aku
untuk membuat mantan istrimu cemburu? Kau memanfaatkan anak-anak Pak, ini
pelanggaran! Isakanku semakin keras, untung saja semua redam di dalam bantal.
Kudengar suara bel, ada orang yang datang.
“Oh… Min Ho!” suara ibu bagitu keras
sehingga aku bisa tahu siapa yang datang.
“Apa Eun Hye ada?”
“Heh… bukannya dia pergi bersamamu,
apa dia tidak bersedia menemanimu ke reunian itu? Wah… keluyuran ke mana lagi
anak itu!” aku baru sadar kalau kepulanganku tidak diketahui ibuku.
“Oh… jadi dia belum pulang?”
“Belum! Biar bibi telpon dia!”
“Tidak perlu Bi, dia bersedia
menemaniku ke reuni teman-temanku kok! Tapi tadi terjadi kesalahpahaman makanya
dia pulang duluan! Kupikir dia langsung ke rumah.”
Beberapa saat kemudian kudengar
suara mesin mobil menjauh dari depan rumahku, kulihat lewat jendela kamarku,
Pak Lee telah pergi. Aku baru berani membuka pintu kamarku, kurasa aku perlu ke
toilet untuk cuci muka.
“Hah… Eun Hye, kau sudah pulang.
Tadi Min Ho mencarimu!” ibuku terperanjat melihatku saat kami berpapasan di
depan kamarku. Aku tak merespon ibuku, “Biar ibu telpon Min Ho dan bilang kalau
kau sudah pulang.” Ibuku membalik badannya dan mencari ponselnya di lemari, aku
berlomba mendahului ibu. Baru saja ibu akan memencet nomor, jariku sudah
bermain menutup hp lipatnya.
“Aku bersumpah kalau ibu
menelponnya, aku akan bunuh diri!” ucapku tegas. Ibu terhenyak memandangku,
matanya melotot dan mulutnya membulat. Kuambil ponselnya dan kubawa pergi.
Waktu SMP dulu, aku pernah minum racun serangga gara-gara ibu membuang anak
kucing yang kupungut di jalan sehingga sampai saat ini bila aku ingin
membungkam ibuku, aku pasti mengancamnya dengan ancaman bunuh diri.
***
Di kampus, aku seperti bermain petak
umpet dengan Pak Lee. Setiap melihatnya, aku pasti lari bersembunyi. Aku tidak
ingin bicara lagi dengannya, aku tidak mau tahu lagi tentang dirinya. Aku kembali pada masa di saat
aku sangat membencinya.
“Katakan saja kalau kau perlu
bantuanku, aku tidak akan menolak bila kau memintaku untuk memukulnya!” ucap Si
Yoon berapi-api. Dia tahu masalah yang kuhadapi,
“Kalau kau di drop out bagiamana?” tantangku,
“Aku akan memakai topeng sehingga
dia tidak akan mengenaliku!” Kugetok kepalanya, kapan sih anak ini berpikiran
dewasa.
“Di mana Song Yu Jin? Pasti dia yang
menyebarkan berita ini padamu!” kurasa Yun Jae Oppa sudah bicara dengan
adiknya, dan melalui adiknya, temanku yang berotak tumpul ini tahu
permasalahanku.
“Mau sampai kapan kau menyembunyikan
masalah ini seorang diri?! Kau pasti sangat menderita, apa kau tak mau berbagi?
Kau punya teman, tak perlu gengsi bila kau butuh bantuan!” balas Si Yoon, aku
terdiam. Perlahan dadaku panas dan merembes sampai ke mataku, yah… menangis
lagi deh.
“Pinjam pundakmu!” ucapku terisak,
dia segera duduk di sampingku dan menyodorkan pundaknya. Kini aku menangis di
pundak sahabatku, terisak sampai sulit bernapas. Terus terang saja ini pertama
kali bagiku, pertama kali keangkuhan hatiku tunduk pada sebuah istilah yang
sering di sebut cinta. Ya… ini pertama kali aku jatuh cinta. Pertama kali aku
merasakan rindu pada lawan jenis, pertama kali merasa berdebar-debar saat
berhadapan dengan pria. Pertama kali ingin selalu tampil sempurna di hadapan
seorang pria, pertama kali merasa berbunga-bunga bila berpapasan dengan seorang
pria. Sayangnya aku salah orang, aku salah mencintai orang. Dia hanya
menganggapku alat, bahkan lebih parahnya, baginya alat itu ternyata hanyalah
anak-anak.
“Ini…” seseorang menyodorkan tissue
ke arahku, Yu Jin berdiri di hadapanku dan menatapku iba. Untung saja aku masih
punya sahabat, setidaknya aku masih punya sandaran yang dapat menopangku di
saat aku akan jatuh.
to be continued...
No comments:
Post a Comment