Friday 25 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 3


Aku dan dosenku itu saling pandang karena semakin bingung. Beberapa saat kemudian kincir berputar, kami hanya terduduk pasrah di bangku. Apa mungkin istri Pak Lee pelakunya? Kami bertemu di rumah sakit waktu itu, tidak mungkin kalau hanya kebetulan. Tapi apa motifnya? Kalau memang dia ingin mempermalukan kami, dia tidak perlu menyuruh kami ke sana kemari, cukup menyebarkan langsung foto itu ke situs kampus.
Aku terduduk lemas di bangku sambil menunggu Pak Lee membeli makanan. Otakku berputar keras mencerna masalah yang sedang kami hadapi.
“Maaf aku kelamaan, tadi di sana harus antri!” ucap dosenku, dia menyodorkan sebuah bungkusan, di dalamnya sudah ada makanan dan minuman. Kami menikmati hidangan kami, sesekali dia memandangku. Apa ada yang salah dengan wajahku? Kupalingkan wajahku dan merabanya, tidak ada sisa makanan kok!
“Apa kau ada masalah? dari tadi kulihat kau murung,” tegurnya. Huft… kupikir ada yang salah dengan wajahku.
“Kapan sidang perceraian Bapak?!” aku keceplosan dan itu membuatnya tersedak.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” dia malah membalasku dengan pertanyaan.
“Aku hanya ingin tahu…” jawabku pelan dan datar.
“Minggu depan!” jawabnya.
“Bapak sudah mantap untuk berpisah kan?” tanyaku ragu, dia tak langsung menjawab. Dia menatapku tajam,
“Memangnya kenapa?” tanyanya.
“Pokoknya Bapak harus berpisah dengannya, pria seperti Bapak terlalu baik untuk wanita seperti dia!” dia tertawa mendengar penuturanku.
“Bukannya aku adalah dosen yang paling menjengkelkan, kejam, dingin, tidak profesional, krisis moral…”
“Pak!” aku buru-buru menghentikannya mengabsen julukan yang pernah kubuat untuknya. “Mianhe…” ucapku,
“Sudahlah… aku tidak mengharapkanmu meminta maaf padaku. Kuakui memang sikapku selama ini padamu terlalu mendiskriminasikanmu.” Beberapa saat kami larut dalam diam.
“Pak… apa benar anda membenciku karena aku mirip dengan istri anda?” tanyaku, kali ini aku tidak bisa diam lagi. Dia kelihatan kaget mendengarnya,
“Kau tahu dari mana?” tanyanya,
“Jadi memang benar kalau itu alasannya?!” ucapku dingin, “Dia telah mengkhianati kepercayaan anda, dia telah berbohong di belakang anda, menyakiti anda dan dia juga membuat ibu anda shock. Aku yakin betapa anda sangat membencinya, dan aku juga dapat mengukur bagaimana perasaan anda setiap kali melihat wajahku.”
“Eun Hye…” ucapnya penuh rasa bersalah, “Tentu tidak seperti itu…” sambungnya pelan.
                                                                        ***                
Hari ini aku seminar, beberapa mahasiswa yang sekelompok denganku terlihat tegang. Kuingat pesan Pak Lee tempo hari, aku tidak perlu gugup karena supervisor tidak akan menjatuhkan kami. Kulihat jam dinding, sudah jam sepuluh pagi. Hari ini ibuku menemani Bibi Lee menghadiri sidang perceraian anaknya, huft… semoga semua berjalan lancar.
Tepat pukul dua belas siang, sidang seminarku berakhir. Aku tak ingin berbohong, bagaimana pun aku sangat gugup tadi tapi untunglah semua berakhir dengan baik meski beberapa kata dalam proposalku masih mendapat revisi. Aku dan Si Yoon tersenyum puas dengan hasil yang kami raih hari ini, tapi… jangan langsung berbangga hati, sebab masih ada penelitian dan ujian skripsi yang tentunya akan lebih sulit dari persiapan seminar proposal ini.
Aku berpapasan dengan Pak Lee di koridor, wajahnya tidak cerah. Apa terjadi sesuatu selama persidangan?
“Emm… Si Yoon aku ingin konsultasi dengan Pak Lee, kau duluan saja!” ucapku berpamitan dengan sahabat kentalku itu. Buru-buru aku meninggalkannya sebab aku tak ingin mendengar protes, pertanyaan, atau apalah darinya sehingga menghambatku pergi.
“Pak apa saya boleh masuk?” tanyaku setelah mengetuk ruangan Pak Lee,
“Masuklah!” ucapnya. Perlahan kubuka pintu, tampak dengan jelas dia sedang memijat lehernya. “Bagaimana seminarmu?” tanyanya tanpa memperbaiki posisi duduknya.
“Bagaimana hasil persidangannya?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaan darinya. Dia tersenyum getir,
            “Apa itu pantas kau tanyakan pada dosenmu?” tanyanya balik,
            “Tidak… memang tidak pantas kutanyakan pada dosenku, tapi kali ini aku bertanya atas nama teman!” balasku, sekali lagi segaris senyum menghiasi bibir merahnya,
            “Teman? Sejak kapan kita berteman?” dia menyebalkan juga,
            “Baiklah, kalau bukan teman terserahlah mau dianggap apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana hasilnya!” ucapku gregetan.
            “Kau ingin jawaban apa? Kami resmi berpisah atau malah rujuk?” candanya,
            “Pak!” tanpa sadar nadaku meningkat, “Aku tidak main-main, apa hasilnya?”
            “Apa kau berharap kami berpisah?” dia semakin memojokkan aku. Aku diam menatap marah padanya, dia pun membalas tatapanku dengan sikap cueknya.
            “Yes, I hope you both separate!” ya, aku ingin kalian berpisah jawabku lantang. Dia tertawa kecil,
            “Why?” kenapa, tanyanya. Dia memancingku untuk mengaku, dasar orang ini. Baiklah kau pikir aku mudah termakan perangkapmu,
            “Kalau Bapak enggan menjawabnya, tak masalah. Aku bisa menanyakannya pada ibu!” aku bergegas pergi dari ruangannya.
            “Yaa… Jung Eun Hye!” panggilannya menghentikan langkahku, aku berbalik menunggu apa yang ingin dikatakannya. “Is it hard to say…” perkataannya terhenti, dia terlihat gugup. “Forget it! Lupakanlah!” sambungnya.

            Kata ibuku Pak Lee telah resmi bercerai dengan istrinya itu, entah kenapa aku bergitu bahagia mendengarnya. Kusadari dulu aku begitu membencinya, aku mana mau peduli dengan urusan pribadinya, tapi kali ini berbeda. Aku harus tahu semua yang terjadi padanya, aku selalu ingin menjadi yang terbaik di matanya, semua harus sempurna dan aku tak ingin terlihat cacat di hadapannya. Aku takut ini adalah cinta, dia dosenku, selamanya dia hanya akan menganggapku sebagai muridnya.
            Aku melangkah pelan ke ruangan Pak Lee, aku tidak tahu mesti beralasan apa bila bertemu dengannya, yang jelas saat ini aku ingin melihatnya. Ya… aku merasakan rindu. Belum sempat mengetuk pintu, dosenku itu sudah duluan keluar dari ruangannya. Hasilnya kami berpapasan di mulut pintu.
            “Ada apa?!” tanyanya heran, aku blank, tak tahu harus beralasan apa kali ini. Dia terus menatapku menunggu jawaban dariku, astaga… kemana kemampuan mengarangku yang hebat. Biasanya aku paling jago berbicara dalam keadaan terjepit.
            “Mmm… bagaimana dengan foto-foto itu Pak? Kenapa tidak ada kabar dari si pelaku?” fuih… meski tidak masuk akal, hal ini bisa dijadikan alasan juga kok.
            “Oh…” responnya betul-betul enteng, dilanjutkannya langkahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
            “Oh apanya Pak?” tanyaku menyusulnya.
            “Tidak perlu khawatir, aku sudah mengetahui pelakunya jadi semua sudah beres sekarang!”
            “Lho… bagaimana Bapak tahu? Apa nomornya Bapak lacak? Bukannya pakai privat number Pak?!”
            “Kau ini kalau bertanya jangan berentetan kayak peluru begitu. Kau tak perlu tahu bagimana aku menemukan pelakunya, sekarang kau hanya perlu konsentrasi pada penelitian dan skripsimu. Ingat bulan depan kau sudah harus menyusun semuanya.” Dia terlihat buru-buru, pantas jawabannya sekenanya saja.
            Oh ya… sudah terlambat, aku harus segera ke sekolah tempatku praktek. Segera kucegat taksi dan tanpa kusadari taksi yang kutumpangi berjalan di belakang mobil Pak Lee. Kulihat dosenku itu memasuki sebuah café di tepi jalan, ha… apa aku tidak salah lihat? Dia menemui wanita itu, mantan istrinya! Untuk apa lagi dia menemui wanita itu, bukannya mereka telah bercerai? Aku jadi tidak fokus saat di kelas, sulit menjelaskan pelajaran karena terus terpikir dengan apa yang kulihat barusan. Aku hanya memberi tugas pada murid-muridku, untung saja mereka sangat patuh.
            Hari ini aku berkunjung ke rumah Bibi Lee, ibu menyuruhku membawa barangnya yang ketinggalan di rumahku kemarin. Aku sungguh gugup, inikan hari libur, jelas dosenku ada di rumah. Huh… kenapa aku harus sering bertemu dengannya di saat perasaanku telah berubah? Kenapa bukan di saat aku masih benci padanya? Aku mengatur napasku dalam-dalam sebelum mengetuk pintu, oke… setelah merasa lebih tenang, aku pun mulai mengetuk dan mengucapkan salam. Sejenak kudengar suara kunci terbuka dan perlahan pintu pun tergeser.
            “Oh… kau sudah datang, masuklah!” ucap Pak Lee. Hah… memang dia tahu aku akan datang? Aku melangkahkan kakiku ke dalam, kulihat suasananya, rapi tapi sangat sepi.
            “Aku membawa pesanan Bibi, kemarin tertinggal di rumahku!” ucapku saat dia mempersilakanku duduk.
            “Ibuku sedang keluar, katanya ada urusan dengan ibumu!” ucapnya dari arah dapur, sepertinya dia sedang membuatkan minuman untukku. Heh… ada urusan dengan ibu? Terus untuk apa ibu menyuruhku ke sini mengembalikan barang kalau memang nanti akan ketemu bibi juga?! Aku berpikir sejenak, air mukaku berubah begitu menyadari kebodohanku. Ibu… kenapa sih dia genit sekali!!!  
            “Kau akan pergi dengan kostum seperti ini?” tanya Pak Lee begitu muncul membawa segelas jus jeruk untukku.
            “Pergi ke mana Pak?!” tanyaku dengan kening berkerut. Pak Lee malah membalas dengan tatapan yang tidak jauh beda denganku.
            “Jadi kau tidak tahu kita akan ke acara eunion teman kuliahku?!” tanyanya.
            “What??? Bapak yang reuni, kok aku juga ikut?” tanyaku kaget. Dosenku itu termenung sejenak, dia tersenyum sinis setelahnya.
            “Ya sudah… pulanglah, kali ini kau telah menjadi korban ibuku. Maaf ya… atas nama ibuku! Aku jadi tidak enak padamu.” Oh… jadi ini sudah diatur? Bukan cuma Bibi Lee yang mengelabuiku, tapi ibuku yang genit itu juga. Heran deh… kenapa mereka malah jadi genit di usia yang tidak muda lagi, kena puber yang ke berapa sih mereka? Reuni teman kuliah ya? Hm… jadi penasaran melihat teman-teman dosenku ini, seperti apa ya mereka. Tunggu, teman kuliah kan? Berarti mantan istrinya juga datang! Tidak bisa, aku tidak boleh melepasnya sendiri, dia pasti akan dijadikan objek sindiran oleh wanita itu.
            “Pak, aku mau ikut!” putusku cepat, keningnya kembali berkerut menatapku.
            “Kau yakin?!” tanyanya. Aku mengangguk kencang. Dia kembali memandangku, “Dengan kostum seperti ini?” kutatap penampilanku, kaos oblong dan jeans, aku nyengir sendiri karena malu. “Kita ke butik!” ucap dosenku lantang, hah…butik? Harus kutolak atau terima saja? Tidak enak dia membelikanku baju, aku kan bisa pulang ganti baju! Tapi… memang aku punya pakaian formal? Pakaian formalku hanyalah pakaian mengajar! Hiks… aku menyesal tidak pernah memperhatikan penampilan dan mengabaikan perkembangan fashion.
            “Kalau bagitu ambil titipan ini dulu Pak!” aku menyodorkan barang ibunya yang kubawa, belum sempat dipegang baik-baik oleh dosenku, aku telah melepas peganganku. Alhasil barang itu jatuh ke lantai. Beberapa lembar kain yang menyerupai baju jatuh, kubantu Pak Lee memungutnya. Kami termangu sendiri melihat barang yang kubawa ini, ini kan baju formal untuk acara seperti reuni. Kami tersenyum geli saat menyadari kami benar-benar bodoh, sumpah… aku benar-benar tidak berpikir ibu-ibu kami telah menyusun semua ini.
^hellogangsa^
            Dengan langkah mantap aku memasuki ruang reuni bersama dosenku. Busana pilihan ibu lumayan juga, girly skirt selutut dengan renda halus, kemeja putih, dipadankan dengan blazer ungu halus yang senada dengan roknya. Kulihat sudah lumayan yang datang, ada Yun Jae Oppa, kakaknya Yu Jin juga. Pak Lee membawaku berkenalan dengan beberapa temannya yang berkumpul di sudut ruang. Dia memperkenalkan aku sebagai teman, bukan lagi mahasiswinya. Yah… aku anak dari teman ibunya, kurasa lumayan dari pada harus mendengarnya mengatakan ‘ini muridku’.
            “Apa kalian punya hubungan special?!” goda seorang temannya, kurasa dia bekerja di bank sebab aku ingat dia yang mengurus adaministrasi pembayaran uang semesterku. Pak Lee tersenyum renyah, dia tidak mengiyakan ataupun menyalahkan pertanyaan temannya. Lama kami bercengkrama sampai tamu yang tak kuharapkan datang, ya mantan istri dosenku. Keadaan memang lumayan kaku saat kami berhadapan, semua temannya mengerti bahwa Pak Lee baru saja bercerai dengan wanita itu.
            Bukan Pak Lee namanya bila harus larut dalam keadaan tidak menyenangkan seperti saat ini, buktinya dia bisa menguasai keadaan dan kembali pada percakapan normal yang baru saja kami lalui. Seperti reuni kebanyakan, mereka bercengkarama, melepas rindu, dan juga bercerita mengenang kejadian saat mereka masih bersama. Huft… kapan aku juga reuni? Sepertinya aku harus memikirkannya dari sekarang, aku akan menggalang teman-teman SMU-ku untuk reunian.
            “Pak… aku ke toilet dulu!” bisikku pada Pak Lee, dia mengangguk. Huf… kupandangi wajahku di cermin usai mencuci tangan, apa benar aku mirip dengan wanita itu? Aku lumayan risih saat beberapa teman Pak Lee menatapku lekat-lekat sembari membandingkan aku dengan mantan istri dosenku itu. Alah… tak perlu memikirkan itu Eun Hye, kau lebih cantik dan tentu saja lebih muda dari wanita itu. Ditambah lagi kau masih perawan, itu nilai jualmu yang tertinggi.
            Aku kembali ke tengah pesta, aku tidak melihat Pak Lee. Clingak-clinguk aku mencari keberadaannya, setelah kulihat sosoknya sedang berdialog dengan Yun Jae Oppa di sudut ruang, baru aku merasa tenang.
            “Bagaimana masalahmu bersama Hye Sun?” tanya Yun Jae Oppa pelan. Langkahku terhenti beberapa jarak di belakang Pak Lee, aku mengurungkan niat untuk menghampiri mereka. Aku tidak mau mengganggu percakapan mereka.
            “Sudah kuselesaikan, tolong jangan beritahu ibuku, masalah ini hanya kau, aku, dan dia yang tahu.” Sepertinya mereka membicarakan hal yang serius.
            “Dia minta berapa?” tanya Yun Jae Oppa.
            “Sepuluh juta won.” Jawab dosenku. Hah… sepuluh juta? Memang masalah apa yang mereka bicarakan? Aku jadi tergelitik untuk mengetahui lebih dalam arah pembicaraan. Pak Lee menyembunyikan sesuatu di balik perceraiannya dengan mantan istrinya, dan tentu saja ini dirahasiakan dari ibunya.
“Keterlaluan, dia yang bersalah malah dia yang mendapat kompensasi.” Yun Jae Oppa jadi sedikit emosi. “Uang sebanyak itu kau dapat dari mana?!”
“Aku punya tabungan sewaktu di Inggris, kau tahu kan’ aku part time mengajarkan bahasa korea di tempat pelatihan bahasa asing.” Oh… jadi wanita itu minta ganti rugi, huh… dasar tidak tahu malu, seharusnya dia itu bersujud minta maaf pada Pak Lee. Apa yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan, bukannya minta kompensasi. Aku jadi panas sendiri. Oh… jadi yang kulihat kemarin di café… ini alasannya. “Aku tak ingin ibuku tahu masalah ini, ibuku sudah terlalu shock dengan perselingkuhan Hye Sun di depan matanya sendiri. Aku tidak ingin menambah bebannya dengan menceritakan masalah ini.” Jadi begini cerita sebenarnya, Pak Lee… maafkan aku yang berburuk sangka padamu. Kupikir kau ingin rujuk dengan wanita itu.
            “Lalu bagaimana dengan Eun Hye. Benar kalian tidak ada hubungan apa-apa?!” tanya Yun Jae Oppa. Mereka mengalihkan pembicaraan ke arah yang sangat sensitive bagiku.
            “Memangnya kenapa?” tanya balik dosenku.
            “Dia sahabat baik adikku, dan akupun telah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku tidak ingin kau mempermainkannya!” balas Yun Jae Oppa. Pak Lee membisu, dia tidak merespon sama sekali. “Dia sangat mirip dengan Hye Sun, teman-teman menebak kau jalan dengannya karena dia mirip dengan mantan istrimu.”
            “…” sekali lagi tidak ada respon dari Pak Lee. Hatiku tengah mengembang sekarang, tertiup hembusan yang menyesakkan, kalau terus begini akan pecah nanti. Aku menunggu jawaban dosenku, aku ingin tahu bagaimana perasaannya padaku.
            “Aku tidak akan bohong kalau dia memang mirip dengan Hye Sun, bahkan bila aku merindukan Hye Sun, aku cukup melihatnya.”
            “Min Ho!” suara Yun Jae Oppa berubah kaget,
            “Aku bukan orang yang munafik, aku tidak ingin berkata ‘tidak’ bila yang kurasakan berkata ‘iya’, terus terang aku memanfaatkannya untuk membalas Hye Sun.” Prangg… hatiku yang mengembang tadi meledak setelah mendengar pengakuan Pak Lee.
            “Min Ho…” Yun Jae Oppa terdengar begitu kecewa.
            “Aku tahu perbuatanku salah…”
            “Lalu kenapa kau lakukan?!” protes Oppa
            “Aku tidak punya pilihan lain!” dia menghembuskan napas begitu berat. “Tenang saja… aku akan mengakhiri semua, Eun Hye gadis yang baik, tidak pantas dia kujadikan bahan permainan antara aku dan Hye Sun.”
            “Cepatlah hentikan, kau bisa jatuh cinta kalau terlalu lama bermain. Dia gadis yang kurasa dapat memikatmu!”
            “Ha…ha…” dia tertawa kecil, “Dia muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!” kurasakan ada sesuatu yang menusuk dadaku, rasanya sakit sekali sampai aku tak tahan untuk tidak menangis. Jadi begini penilaian anda terhadapku selama ini? Anak-anak, yah… aku hanya anak-anak!
            “Eun Hye~ah!” Oppa keget melihatku dengan mata yang sembab, tentu saja Pak Lee berbalik memastikan apa yang dilihat oleh sahabatnya. Matanya membulat saat melihatku di belakangnya,
            “Aku harus pulang Pak!” ucapku dingin. Aku berbalik dan menyeka air mataku, aku berjalan secepat mungkin sebab aku tak ingin menangis di tengah teman-temannya. Di parkiran aku berhasil dicegat olehnya,
            “Apa yang kau dengar?” tanyanya khawatir.
            “Semuanya!” jawabku sinis. Wajahnya berubah pucat, “Permisi Pak!” lanjutku setelah menghempaskan pegangannya.
            “Tunggu…!” dia kembali mencegatku,
            “Apa lagi?!” bentakku, ya… aku marah, kurasa wajar aku membentaknya.
            “Aku tahu aku salah…” dia terlihat panik, “Kuharap kau tidak marah…” apa? Tidak marah? Aku bukan Dewa yang Maha Pemaaf, aku manusia, MANUSIA!
            “Tenang saja Pak, anak-anak sepertiku tidak begitu mengerti dengan pembicaraan kalian tadi!” balasku dingin. Aku segera mencegat taksi dan buru-buru meninggalkan lokasi itu. Tangisanku pecah di dalam taksi itu, sesekali si supir melirik padaku. Aku tidak dapat menahan sakit hatiku, maaf pak supir, aku membuatmu risih dengan tangisanku.
            Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kamar. Kukunci pintuku rapat-rapat, setelah itu kubenamkan wajahku ke bantal lalu menangis sejadi-jadinya. ‘Dia muridku, aku tidak akan terpikat oleh anak-anak!’ Perkataan Pak Lee tak mau pergi, terus terngiang di telingaku. Sakit sekali rasanya aku dipanggil anak-anak! Kalau memang kau menganggapku anak-anak, kenapa kau memanfaatkan aku untuk membuat mantan istrimu cemburu? Kau memanfaatkan anak-anak Pak, ini pelanggaran! Isakanku semakin keras, untung saja semua redam di dalam bantal. Kudengar suara bel, ada orang yang datang.
            “Oh… Min Ho!” suara ibu bagitu keras sehingga aku bisa tahu siapa yang datang.
            “Apa Eun Hye ada?”
            “Heh… bukannya dia pergi bersamamu, apa dia tidak bersedia menemanimu ke reunian itu? Wah… keluyuran ke mana lagi anak itu!” aku baru sadar kalau kepulanganku tidak diketahui ibuku.
            “Oh… jadi dia belum pulang?”
            “Belum! Biar bibi telpon dia!”
            “Tidak perlu Bi, dia bersedia menemaniku ke reuni teman-temanku kok! Tapi tadi terjadi kesalahpahaman makanya dia pulang duluan! Kupikir dia langsung ke rumah.”
            Beberapa saat kemudian kudengar suara mesin mobil menjauh dari depan rumahku, kulihat lewat jendela kamarku, Pak Lee telah pergi. Aku baru berani membuka pintu kamarku, kurasa aku perlu ke toilet untuk cuci muka.
            “Hah… Eun Hye, kau sudah pulang. Tadi Min Ho mencarimu!” ibuku terperanjat melihatku saat kami berpapasan di depan kamarku. Aku tak merespon ibuku, “Biar ibu telpon Min Ho dan bilang kalau kau sudah pulang.” Ibuku membalik badannya dan mencari ponselnya di lemari, aku berlomba mendahului ibu. Baru saja ibu akan memencet nomor, jariku sudah bermain menutup hp lipatnya.
            “Aku bersumpah kalau ibu menelponnya, aku akan bunuh diri!” ucapku tegas. Ibu terhenyak memandangku, matanya melotot dan mulutnya membulat. Kuambil ponselnya dan kubawa pergi. Waktu SMP dulu, aku pernah minum racun serangga gara-gara ibu membuang anak kucing yang kupungut di jalan sehingga sampai saat ini bila aku ingin membungkam ibuku, aku pasti mengancamnya dengan ancaman bunuh diri.
***
            Di kampus, aku seperti bermain petak umpet dengan Pak Lee. Setiap melihatnya, aku pasti lari bersembunyi. Aku tidak ingin bicara lagi dengannya, aku tidak mau tahu lagi tentang dirinya. Aku kembali pada masa di saat aku sangat membencinya.
            “Katakan saja kalau kau perlu bantuanku, aku tidak akan menolak bila kau memintaku untuk memukulnya!” ucap Si Yoon berapi-api. Dia tahu masalah yang kuhadapi,
            “Kalau kau di drop out bagiamana?” tantangku,
            “Aku akan memakai topeng sehingga dia tidak akan mengenaliku!” Kugetok kepalanya, kapan sih anak ini berpikiran dewasa.
            “Di mana Song Yu Jin? Pasti dia yang menyebarkan berita ini padamu!” kurasa Yun Jae Oppa sudah bicara dengan adiknya, dan melalui adiknya, temanku yang berotak tumpul ini tahu permasalahanku.
            “Mau sampai kapan kau menyembunyikan masalah ini seorang diri?! Kau pasti sangat menderita, apa kau tak mau berbagi? Kau punya teman, tak perlu gengsi bila kau butuh bantuan!” balas Si Yoon, aku terdiam. Perlahan dadaku panas dan merembes sampai ke mataku, yah… menangis lagi deh.
            “Pinjam pundakmu!” ucapku terisak, dia segera duduk di sampingku dan menyodorkan pundaknya. Kini aku menangis di pundak sahabatku, terisak sampai sulit bernapas. Terus terang saja ini pertama kali bagiku, pertama kali keangkuhan hatiku tunduk pada sebuah istilah yang sering di sebut cinta. Ya… ini pertama kali aku jatuh cinta. Pertama kali aku merasakan rindu pada lawan jenis, pertama kali merasa berdebar-debar saat berhadapan dengan pria. Pertama kali ingin selalu tampil sempurna di hadapan seorang pria, pertama kali merasa berbunga-bunga bila berpapasan dengan seorang pria. Sayangnya aku salah orang, aku salah mencintai orang. Dia hanya menganggapku alat, bahkan lebih parahnya, baginya alat itu ternyata hanyalah anak-anak.

            “Ini…” seseorang menyodorkan tissue ke arahku, Yu Jin berdiri di hadapanku dan menatapku iba. Untung saja aku masih punya sahabat, setidaknya aku masih punya sandaran yang dapat menopangku di saat aku akan jatuh.



to be continued...

No comments:

Post a Comment