Monday 7 September 2015

Silence - Part 5


sebelumnya di Silence - Part 4






Yeobuseo[1]…” ucapku setelah mengangkat panggilan yang masuk
“Maaf… saya hanya mengabarkan kalau saya belum berhasil membujuk pemilik lukisan itu untuk menjual lukisannya,” ucap menejer gallery
“Katakan padanya bahwa aku berani membelinya dengan harga 100.000.000 Won. Aku benar-benar tertarik dengan lukisan itu.”
“Aku sudah mengatakannya tapi dia tetap menolak. Dia bilang lukisan itu tidak untuk dijual. Kenapa anda tidak mencoba melihat lukisan yang lain, masih banyak yang lebih bagus dibanding lukisan Nona Star itu,”
“Lukisan itu… bukanlah sekedar lukisan bagiku, lukisan itu adalah kenangan. Lukisan itu dapat membawaku pada masa ketika aku masih bersama orang yang kucintai,”
“Oh… maaf, saya tidak tahu hal itu,”
“Tidak apa-apa, atau mungkin kau bisa memberikan nomor telepon pelukis itu, mungkin bila langsung aku yang meminta dia akan berkenan,”
“Maaf… sepertinya anda tidak bisa menelponnya Sajangnim[2]…”
“Memangnya kenapa?” tanyaku, deg… jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat apa yang ada di depanku. Mobilku berhenti saat lampu merah dan rombongan siswa TK melintas di zebracross. Apa aku sedang bermimpi? Apa ini hanya halusinasiku karena begitu merindukannya? Seoyoo… itu Seoyoo. Untuk beberapa saat aku terhenyak, terdiam, dan kaku. Sampai akhirnya suara menejer gallery lewat telepon mengembalikan kesadaranku. Berbarengan dengan lampu kembali berwarna hijau dan kendaraan di belakangku sudah memberikan peringatan padaku untuk segera berjalan.
“Sajangnim… apa anda mendengarku?”
“Nanti akan kutelpon lagi, aku ada urusan mendadak!” segera kututup teleponku. Shittt… aku tak bisa memutar balik karena tanda larangan. Terpaksa harus melalui persimpangan di depan sana agar bisa memutar balik ke tempatku tadi melihat Seoyoo. Aku tidak boleh kehilangannya, aku yakin itu dia. Seoyoo… gadis yang telah kucari selama bertahun-tahun ini.
Setelah memutar balik, aku kembali ke tempat di mana aku melihat Seoyoo tadi. Kuyakin mereka belum jauh, sampai akhirnya kulihat rombongan siswa TK yang sedang bermain di taman bunga cherry. Dari arah depan, seorang gadis berlari mengejar balon merah yang terbang, semakin dekat, semakin membuat jantungku berdegub tak karuan, semakin jelas kulihat itu Seoyoo. Gadis itu berhasil meraih benang balon yang terbang, terlihat kelegahan di wajah manisnya.
“Seoyoo~a…” tegurku, gadis itu berbalik. Matanya membulat melihatku, rasa terkejut itu terlihat jelas di wajahnya. Bahkan balon yang dia tangkap terlepas kembali.
“Ibu… kenapa balonku dibuang?!” tangis seorang gadis kecil yang menghampirinya. Ibu? Gumamku dalam hati.
♥♥♥
Byeol akhirnya diam saat Junsu membelikan balon baru untuknya. Ya… Junsu, setelah bertahun-tahun akhirnya kami bertemu kembali. Dunia terasa berhenti berputar saat kulihat dia dengan wujud nyatanya muncul di hadapanku. Selama ini aku hanya dapat melihatnya dalam angan dan lukisanku saja.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya saat Byeol pergi, dia lebih memilih bermain dibanding menemani kami.
“Aku baik-baik saja…” jawabku melalui isyarat. “Lalu bagaimana denganmu sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, aku juga baik-baik saja,”
Ada kecanggungan antara kami berdua, diam dan kaku menghiasi pertemuan kami. Aku tak tahu harus memulai dari mana, pun… mungkin dia juga begitu. Dia menggunakan stelan jas yang rapi, apakah dia telah berhasil? Kuharap begitu, itu tandanya dia telah dapat memaafkan dirinya sendiri.
“Ayo cepat, ini dia Paman yang membelikan aku balon!” tiba-tiba Byeol datang dengan beberapa temannya. Kutarik tangan gadis kecil itu dan bertanya lewat isyarat,
“Ibu… balon mereka juga terbang, aku bilang pada mereka bahwa ada Paman baik hati yang memberiku balon baru saat balonku terbang. Mereka juga ingin dibelikan balon baru!” jelasnya. Wajahku memerah karena malu, aku benar-benar dibuat gemas oleh anak ini. Bagaimana bisa dia berpikiran untuk mengajak temannya minta dibelikan balon lagi.
“Kalian mau balon baru? Ayo ikut Paman!” Junsu menggiring anak-anak untuk membeli balon baru. Ya ampun… kutarik pipi Byeol yang gembung, dia benar-benar menggemaskan.
“Paman Matahari… terima kasih banyak!!!” seru gadis kecilku pada Junsu saat kami menaiki bus untuk pulang. Junsu tersenyum, akupun ikut berpamitan.
“Tunggu…” lerainya saat aku akan naik ke bus. “Bisakah kita bertemu lagi? Itupun kalau tidak ada yang keberatan,” Aku mengangguk mengiyakan, kuberikan kartu namaku padanya. Dia bisa datang menemuiku kapanpun dia mau.
♥♥♥
Seperti mimpi aku berhasil menemukannya, dia banyak berubah. Dia cantik, tak ada lagi kacamata tebal dan rambut kepang dua atau kuncir kuda. Tapi… Byeol memanggilnya Ibu. Ada rasa sakit yang menjalar di setiap persendianku, benarkah dia telah menggantikan posisiku dengan orang lain? Aku tidak mau melepasnya lagi. Aku benar-benar mengharapkannya. Ya Tuhan… jangan beri aku ujian yang tidak dapat kulalui.
Menejer gallery memberikan alamat pemilik lukisan ‘Tuan Matahari’ kepadaku, dan alamat itu membawaku ke Taman Kanak-kanak Eirin, alamat yang sama persis dengan yang diberikan Seoyoo padaku tempo hari.
“Maaf… anda bukannya teman Shin Songsaenim yang bertemu dengan kami tempo hari?” tegur Suster Kepala padaku.
“Benar,” jawabku. “Saya datang ke sini untuk bertemu dengan pemilik lukisan “Tuan Matahari’ yang dipamerkan di gallery di COEX”
“Oh… kebetulan sekali, itu lukisan Shin Songsaenim,” aku tersentak mendengar penjelasan Suster Kepala sekalipun aku sudah memprediksikan sebelumnya. Menejer gallery menyerankan padaku untuk langsung bertemu dengan si pelukis, aku tak akan bisa menelponnya sebab si pelukis bisu tentunya tak dapat berbicara.
“Byeol itu adalah anak asuh kami, usianya belum genap setahun saat orang tuanya mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal. Byeol sebatang kara dan tak memiliki siapa-siapa. Shin Songsaenim sangat menyayanginya bahkan mengizinkan Byeol untuk memanggilnya Ibu. ‘Tuan Matahari’ itu nama yang diberikan Byeol pada lukisan yang anda inginkan,”
“Tanah dan bangunan sekolah ini adalah pemberian Shin Songsaenim. Beberapa tahun yang lalu kami hampir digusur, untunglah Shin Songsaenim memiliki tabungan untuk menebus lahan ini,”
“Saat pertama kali bertemu dengan Shin Songsaenim, keadaannya sungguh menyedihkan. Kurasa dia mengalami masalah yang begitu berat sehingga lari dan bersembunyi. Gadis itu terlalu kuat untuk gadis sebayanya, aku bisa merasakannya hanya dengan melihat tatapan matanya. Banyak orang yang memutuskan bunuh diri di kala terhimpit masalah yang rumit namun tidak dengannya. Dia memilih untuk bertahan dan melalui semuanya dengan tulus.”

Begitulah Suster Kepala menceritakan tentang keadaan Seoyoo padaku selama aku kehilangan kabar tentangnya. Aku bahagia dia dapat melalui semuanya dengan baik. Selama aku berpisah dengannya, di kepalaku hanya ada dirinya, apakah dia mampu bertahan, apakah dia telah memaafkanku, aku tak tahu. Sukurlah dia baik-baik saja, melihat dia hidup penuh dengan kasih sayang, aku jadi berterima kasih pada keadaan yang dulu memisahkan kami. Perpisahan itu membantu kami menyembuhkan luka kami masing-masing.
♥♥♥
Perasaan haru itu menyeruak ketika kulihat dia benar-benar datang. Sejujurnya semalam aku menangis dalam hening mengingat kembali kenangan kami dulu. Bagaimana aku mencintainya, bagaimana dia berdamai denganku, bagaimana aku harus belajar melupakannya setelah tahu dialah penyebab penderitaanku. Dia datang lagi, kulihat dia bercerita dengan anak-anak, wajahnya teduh, sangat berbeda dengan yang dulu.
“Maaf… aku mengganggumu lagi,” sapanya padaku saat dia melihatku datang. Aku menggeleng tanda tak mengapa.
“Akulah orang yang ingin membeli lukisan ‘Tuan Matahari’ milikmu. Aku datang untuk bernegosiasi,” lanjutnya. Mataku membulat karena kaget, ja… jadi dia orangnya? Orang yang membuatku bingung sebab berani menawar lukisan biasa milikku seharga ratusan juta won.
“Kau manggunakan nama lain hingga aku tak tahu bahwa pelukis itu adalah kau. Namun aku baru sadar, ternyata kau menggunakan namanya Byeol[3].”
“Untuk apa kau berlebihan menawarkan ratusan juta won hanya untuk lukisan biasa seperti itu?” tulisku di secarik kertas,
“Bagiku itu bukan sekedar lukisan,” lirihnya. “Itu adalah kenangan, harga ratusan juta yang kutawarkan belum seberapa dibanding kenangan yang diceritakan oleh lukisan itu,” lanjutnya. Aku kehilangan kata-kata, sungguh aku tak tahu harus bilang apa. Lukisan itu memang tentang dirinya, aku melukisnya saat dia mengajakku ke pantai waktu itu. Ya… saat pertama kali melihatnya menangis karena masalah keluarganya.
“Ambillah… aku tak akan menjualnya. Lukisan itu untukmu,” tulisku.

Aku mengantarnya sampai ke parkiran, sebelumnya aku telah mengirim pesan pada menejer gallery bahwa aku telah memberikan lukisan itu pada Junsu. Tak ada banyak bicara antara aku dan Junsu, dia hanya menyampaikan terima kasih padaku dan segera ke mobilnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti,
“Seoyoo~a… bagaimana keadaanmu?” tanyanya pelan nyaris seperti bisikan. Keningku berkerut, bukannya dia sudah menanyakannya?
“Maksudku… lukamu, apakah kau berhasil menyembuhkannya?” tanyanya masih dalam posisi membelakangiku. Deg… aku baru sadar arah pertanyaannya.
“Aku telah memaafkan diriku sendiri, lalu bagaimana denganmu? Apa kau berhasil menyembuhkan lukamu,” dia berbalik menatapku. Tubuhku bergetar, aku nyaris tak dapat menyembunyikannya.
“Aku sangat bahagia saat ayah menelponku bahwa kau datang menemuinya tiga tahun yang lalu,” ucapnya. “Kau meminta izin menggunakan uang yang selama ini dikirim ayah ke rekeningmu, kurasa itu kau gunakan untuk menebus tanah dan bangunan panti asuhan ini. Namun aku belum berani mencarimu setelah tahu kau meminta ayah agar tidak menceritakan itu padaku. Maaf… ayahku melanggar janjinya. Di situlah aku berpikir mungkin lukamu belum sembuh,”
“Aku telah memenuhi permintaanmu, aku datang menemuimu setelah aku berhasil memaafkan diriku,”
“…” aku tertunduk, kusembunyikan wajahku yang mulai basah oleh air mata.
“Di saat lukamu telah sembuh datanglah kembali padaku...” tutupnya.
Tidak… aku tidak bisa terus begini, aku tak mau melepasnya pergi lagi. Selama ini aku begitu menderita menahan rinduku padanya, dan kini dia telah berada di depanku, bagaimana bisa aku tega melepasnya lagi.
“Seoyoo~a… ini bukan perintah tapi ini permohonan, kumohon sembuhkanlah lukamu dan kembalilah padaku,”
Aku berlari memeluknya, menumpahkan segala gejolak yang kupendam selama ini. Berhentilah bicara, semakin kau banyak bicara, semakin kau membuatku lemah. Ya… aku telah sembuh, lukaku telah hilang. Kini bukalah kedua tanganmu dan sambut aku sebab aku ingin kembali padamu.
 ♥♥♥
Beberapa menit sebelumnya
“Hiks… hiks… anak nakal, aku pasti akan membalasmu…” tiba-tiba saja seorang gadis kecil sambil memeluk boneka kelinci masuk ke ruangan tempatku menunggu. Setelah kucermati ternyata itu Byeol.
“Byeol?” tegurku
“Paman Matahari!!!” dia tertawa saat menyadari keberadaanku,
“Kenapa kau menangis sayang?” kuusap kepalanya dan membersihkan air matanya.
“Jonghyun menyebut ibuku tidak bisa bicara… hiks,” perlahan tangisnya kembali lagi. “Tapi aku sudah memukulnya Paman, kupukul kepalanya dengan kotak pensil!” tangisnya berhenti dan dia berbicara penuh semangat.
“Jangan memukul teman seperti itu, nanti dimarahi Ibu Guru,”
“Aku sudah dimarahi oleh Ibu Guru…” lirihnya. “Ibuku bukannya tidak bisa bicara, ibuku hanya malas bicara. Ibu berjanji padaku bila aku mendapat peringkat pertama maka ibu akan bicara,”
“Lalu… sekarang kau peringkat berapa?”
“Peringkat dua!”
“Kalau begitu kau harus belajar sedikit lebih giat lagi agar mendapat peringkat satu!”
“Tidak mau! Aku tidak mau jadi peringkat satu,” seru gadis kecil itu.
“Kenapa tidak mau?” tanyaku heran.
“Aku tidak mau ibuku jadi pembohong!” jawabnya. Aku tidak mengerti maksudnya, “Bagaimana bila aku mendapat peringkat satu tapi ibu tetap tak mau bicara?!” kupeluk gadis kecil itu, apakah dia mengerti bila kukatakan padanya bahwa semua itu karena diriku?
“Paman Matahari… jangan beritahu ibu bila aku tak mau menjadi peringkat satu ya! Janji?!” tanya gadis cilik itu.
“Janji!” ucapku lemah dengan senyum pahit. “Byeol… apa paman bisa bertanya padamu?”
“Apa?!”
“Kenapa kau memanggil Paman dengan sebutan Paman Matahari?”
“Paman ‘kan yang berada di lukisan Ibuku?” tanyanya kembali, “Di kamar Ibuku masih banyak lukisan Paman Matahari, banyak… banyak sekali…” gadis cilik itu bercerita dengan penuh semangat. “Dan Ibu selalu tersenyum saat melihat lukisan itu!”
Ommo[4]… Ibuku datang! Aku harus cepat pergi!” dia jadi panik saat melihat Seoyoo dari jendela. Dengan langkah kecilnya, dia berlari lewat pintu lain. Belum sempat keluar, dia kembali lagi menghampiriku,
“Paman janji ya tidak akan memberi tahu Ibu kalau aku tak mau menjadi peringkat satu!” dia kembali untuk mengingatkan aku rupanya. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Paman janji!” jawabku penuh semangat. 

♥♥♥ Silence End ♥♥♥







[1] Halo
[2] Direktur
[3] Byeol = star (bintang)
[4] Astaga

No comments:

Post a Comment