sebelumnya di Silence - Part 4
“Yeobuseo[1]…” ucapku setelah
mengangkat panggilan yang masuk
“Maaf…
saya hanya mengabarkan kalau saya belum berhasil membujuk pemilik lukisan itu
untuk menjual lukisannya,” ucap menejer gallery
“Katakan
padanya bahwa aku berani membelinya dengan harga 100.000.000 Won. Aku
benar-benar tertarik dengan lukisan itu.”
“Aku
sudah mengatakannya tapi dia tetap menolak. Dia bilang lukisan itu tidak untuk
dijual. Kenapa anda tidak mencoba melihat lukisan yang lain, masih banyak yang
lebih bagus dibanding lukisan Nona Star itu,”
“Lukisan
itu… bukanlah sekedar lukisan bagiku, lukisan itu adalah kenangan. Lukisan itu
dapat membawaku pada masa ketika aku masih bersama orang yang kucintai,”
“Oh…
maaf, saya tidak tahu hal itu,”
“Tidak
apa-apa, atau mungkin kau bisa memberikan nomor telepon pelukis itu, mungkin
bila langsung aku yang meminta dia akan berkenan,”
“Maaf…
sepertinya anda tidak bisa menelponnya Sajangnim[2]…”
“Memangnya
kenapa?” tanyaku, deg… jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat apa
yang ada di depanku. Mobilku berhenti saat lampu merah dan rombongan siswa TK
melintas di zebracross. Apa aku sedang bermimpi? Apa ini hanya halusinasiku
karena begitu merindukannya? Seoyoo… itu Seoyoo. Untuk beberapa saat aku
terhenyak, terdiam, dan kaku. Sampai akhirnya suara menejer gallery lewat
telepon mengembalikan kesadaranku. Berbarengan dengan lampu kembali berwarna
hijau dan kendaraan di belakangku sudah memberikan peringatan padaku untuk
segera berjalan.
“Sajangnim…
apa anda mendengarku?”
“Nanti
akan kutelpon lagi, aku ada urusan mendadak!” segera kututup teleponku. Shittt…
aku tak bisa memutar balik karena tanda larangan. Terpaksa harus melalui
persimpangan di depan sana agar bisa memutar balik ke tempatku tadi melihat
Seoyoo. Aku tidak boleh kehilangannya, aku yakin itu dia. Seoyoo… gadis yang
telah kucari selama bertahun-tahun ini.
Setelah
memutar balik, aku kembali ke tempat di mana aku melihat Seoyoo tadi. Kuyakin
mereka belum jauh, sampai akhirnya kulihat rombongan siswa TK yang sedang
bermain di taman bunga cherry. Dari arah depan, seorang gadis berlari mengejar
balon merah yang terbang, semakin dekat, semakin membuat jantungku berdegub tak
karuan, semakin jelas kulihat itu Seoyoo. Gadis itu berhasil meraih benang
balon yang terbang, terlihat kelegahan di wajah manisnya.
“Seoyoo~a…”
tegurku, gadis itu berbalik. Matanya membulat melihatku, rasa terkejut itu
terlihat jelas di wajahnya. Bahkan balon yang dia tangkap terlepas kembali.
“Ibu…
kenapa balonku dibuang?!” tangis seorang gadis kecil yang menghampirinya. Ibu? Gumamku dalam hati.
♥♥♥
Byeol
akhirnya diam saat Junsu membelikan balon baru untuknya. Ya… Junsu, setelah
bertahun-tahun akhirnya kami bertemu kembali. Dunia terasa berhenti berputar
saat kulihat dia dengan wujud nyatanya muncul di hadapanku. Selama ini aku
hanya dapat melihatnya dalam angan dan lukisanku saja.
“Bagaimana
kabarmu?” tanyanya saat Byeol pergi, dia lebih memilih bermain dibanding
menemani kami.
“Aku
baik-baik saja…” jawabku melalui isyarat. “Lalu bagaimana denganmu sendiri?”
“Seperti
yang kau lihat, aku juga baik-baik saja,”
Ada
kecanggungan antara kami berdua, diam dan kaku menghiasi pertemuan kami. Aku
tak tahu harus memulai dari mana, pun… mungkin dia juga begitu. Dia menggunakan
stelan jas yang rapi, apakah dia telah berhasil? Kuharap begitu, itu tandanya
dia telah dapat memaafkan dirinya sendiri.
“Ayo
cepat, ini dia Paman yang membelikan aku balon!” tiba-tiba Byeol datang dengan
beberapa temannya. Kutarik tangan gadis kecil itu dan bertanya lewat isyarat,
“Ibu…
balon mereka juga terbang, aku bilang pada mereka bahwa ada Paman baik hati
yang memberiku balon baru saat balonku terbang. Mereka juga ingin dibelikan
balon baru!” jelasnya. Wajahku memerah karena malu, aku benar-benar dibuat
gemas oleh anak ini. Bagaimana bisa dia berpikiran untuk mengajak temannya minta
dibelikan balon lagi.
“Kalian
mau balon baru? Ayo ikut Paman!” Junsu menggiring anak-anak untuk membeli balon
baru. Ya ampun… kutarik pipi Byeol yang gembung, dia benar-benar menggemaskan.
“Paman
Matahari… terima kasih banyak!!!” seru gadis kecilku pada Junsu saat kami
menaiki bus untuk pulang. Junsu tersenyum, akupun ikut berpamitan.
“Tunggu…”
lerainya saat aku akan naik ke bus. “Bisakah kita bertemu lagi? Itupun kalau
tidak ada yang keberatan,” Aku mengangguk mengiyakan, kuberikan kartu namaku
padanya. Dia bisa datang menemuiku kapanpun dia mau.
♥♥♥
Seperti
mimpi aku berhasil menemukannya, dia banyak berubah. Dia cantik, tak ada lagi
kacamata tebal dan rambut kepang dua atau kuncir kuda. Tapi… Byeol memanggilnya
Ibu. Ada rasa sakit yang menjalar di setiap persendianku, benarkah dia telah
menggantikan posisiku dengan orang lain? Aku tidak mau melepasnya lagi. Aku
benar-benar mengharapkannya. Ya Tuhan… jangan beri aku ujian yang tidak dapat
kulalui.
Menejer
gallery memberikan alamat pemilik lukisan ‘Tuan Matahari’ kepadaku, dan alamat
itu membawaku ke Taman Kanak-kanak Eirin, alamat yang sama persis dengan yang
diberikan Seoyoo padaku tempo hari.
“Maaf…
anda bukannya teman Shin Songsaenim yang bertemu dengan kami tempo hari?” tegur
Suster Kepala padaku.
“Benar,”
jawabku. “Saya datang ke sini untuk bertemu dengan pemilik lukisan “Tuan
Matahari’ yang dipamerkan di gallery di COEX”
“Oh…
kebetulan sekali, itu lukisan Shin Songsaenim,” aku tersentak mendengar
penjelasan Suster Kepala sekalipun aku sudah memprediksikan sebelumnya. Menejer
gallery menyerankan padaku untuk langsung bertemu dengan si pelukis, aku tak
akan bisa menelponnya sebab si pelukis bisu tentunya tak dapat berbicara.
“Byeol
itu adalah anak asuh kami, usianya belum genap setahun saat orang tuanya
mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal. Byeol sebatang kara dan tak
memiliki siapa-siapa. Shin Songsaenim sangat menyayanginya bahkan mengizinkan
Byeol untuk memanggilnya Ibu. ‘Tuan Matahari’ itu nama yang diberikan Byeol
pada lukisan yang anda inginkan,”
“Tanah
dan bangunan sekolah ini adalah pemberian Shin Songsaenim. Beberapa tahun yang
lalu kami hampir digusur, untunglah Shin Songsaenim memiliki tabungan untuk
menebus lahan ini,”
“Saat
pertama kali bertemu dengan Shin Songsaenim, keadaannya sungguh menyedihkan.
Kurasa dia mengalami masalah yang begitu berat sehingga lari dan bersembunyi.
Gadis itu terlalu kuat untuk gadis sebayanya, aku bisa merasakannya hanya
dengan melihat tatapan matanya. Banyak orang yang memutuskan bunuh diri di kala
terhimpit masalah yang rumit namun tidak dengannya. Dia memilih untuk bertahan
dan melalui semuanya dengan tulus.”
Begitulah
Suster Kepala menceritakan tentang keadaan Seoyoo padaku selama aku kehilangan
kabar tentangnya. Aku bahagia dia dapat melalui semuanya dengan baik. Selama
aku berpisah dengannya, di kepalaku hanya ada dirinya, apakah dia mampu
bertahan, apakah dia telah memaafkanku, aku tak tahu. Sukurlah dia baik-baik
saja, melihat dia hidup penuh dengan kasih sayang, aku jadi berterima kasih
pada keadaan yang dulu memisahkan kami. Perpisahan itu membantu kami
menyembuhkan luka kami masing-masing.
♥♥♥
Perasaan
haru itu menyeruak ketika kulihat dia benar-benar datang. Sejujurnya semalam
aku menangis dalam hening mengingat kembali kenangan kami dulu. Bagaimana aku
mencintainya, bagaimana dia berdamai denganku, bagaimana aku harus belajar
melupakannya setelah tahu dialah penyebab penderitaanku. Dia datang lagi,
kulihat dia bercerita dengan anak-anak, wajahnya teduh, sangat berbeda dengan
yang dulu.
“Maaf…
aku mengganggumu lagi,” sapanya padaku saat dia melihatku datang. Aku
menggeleng tanda tak mengapa.
“Akulah
orang yang ingin membeli lukisan ‘Tuan Matahari’ milikmu. Aku datang untuk
bernegosiasi,” lanjutnya. Mataku membulat karena kaget, ja… jadi dia orangnya?
Orang yang membuatku bingung sebab berani menawar lukisan biasa milikku seharga
ratusan juta won.
“Kau
manggunakan nama lain hingga aku tak tahu bahwa pelukis itu adalah kau. Namun
aku baru sadar, ternyata kau menggunakan namanya Byeol[3].”
“Untuk
apa kau berlebihan menawarkan ratusan juta won hanya untuk lukisan biasa
seperti itu?” tulisku di secarik kertas,
“Bagiku
itu bukan sekedar lukisan,” lirihnya. “Itu adalah kenangan, harga ratusan juta
yang kutawarkan belum seberapa dibanding kenangan yang diceritakan oleh lukisan
itu,” lanjutnya. Aku kehilangan kata-kata, sungguh aku tak tahu harus bilang apa.
Lukisan itu memang tentang dirinya, aku melukisnya saat dia mengajakku ke
pantai waktu itu. Ya… saat pertama kali melihatnya menangis karena masalah
keluarganya.
“Ambillah…
aku tak akan menjualnya. Lukisan itu untukmu,” tulisku.
Aku
mengantarnya sampai ke parkiran, sebelumnya aku telah mengirim pesan pada
menejer gallery bahwa aku telah memberikan lukisan itu pada Junsu. Tak ada
banyak bicara antara aku dan Junsu, dia hanya menyampaikan terima kasih padaku
dan segera ke mobilnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti,
“Seoyoo~a…
bagaimana keadaanmu?” tanyanya pelan nyaris seperti bisikan. Keningku berkerut,
bukannya dia sudah menanyakannya?
“Maksudku…
lukamu, apakah kau berhasil menyembuhkannya?” tanyanya masih dalam posisi
membelakangiku. Deg… aku baru sadar arah pertanyaannya.
“Aku
telah memaafkan diriku sendiri, lalu bagaimana denganmu? Apa kau berhasil
menyembuhkan lukamu,” dia berbalik menatapku. Tubuhku bergetar, aku nyaris tak
dapat menyembunyikannya.
“Aku
sangat bahagia saat ayah menelponku bahwa kau datang menemuinya tiga tahun yang
lalu,” ucapnya. “Kau meminta izin menggunakan uang yang selama ini dikirim ayah
ke rekeningmu, kurasa itu kau gunakan untuk menebus tanah dan bangunan panti
asuhan ini. Namun aku belum berani mencarimu setelah tahu kau meminta ayah agar
tidak menceritakan itu padaku. Maaf… ayahku melanggar janjinya. Di situlah aku
berpikir mungkin lukamu belum sembuh,”
“Aku
telah memenuhi permintaanmu, aku datang menemuimu setelah aku berhasil
memaafkan diriku,”
“…”
aku tertunduk, kusembunyikan wajahku yang mulai basah oleh air mata.
“Di
saat lukamu telah sembuh datanglah kembali padaku...” tutupnya.
Tidak…
aku tidak bisa terus begini, aku tak mau melepasnya pergi lagi. Selama ini aku
begitu menderita menahan rinduku padanya, dan kini dia telah berada di depanku,
bagaimana bisa aku tega melepasnya lagi.
“Seoyoo~a…
ini bukan perintah tapi ini permohonan, kumohon sembuhkanlah lukamu dan
kembalilah padaku,”
Aku
berlari memeluknya, menumpahkan segala gejolak yang kupendam selama ini. Berhentilah
bicara, semakin kau banyak bicara, semakin kau membuatku lemah. Ya… aku telah
sembuh, lukaku telah hilang. Kini bukalah kedua tanganmu dan sambut aku sebab
aku ingin kembali padamu.
♥♥♥
Beberapa menit sebelumnya
“Hiks…
hiks… anak nakal, aku pasti akan membalasmu…” tiba-tiba saja seorang gadis
kecil sambil memeluk boneka kelinci masuk ke ruangan tempatku menunggu. Setelah
kucermati ternyata itu Byeol.
“Byeol?”
tegurku
“Paman
Matahari!!!” dia tertawa saat menyadari keberadaanku,
“Kenapa
kau menangis sayang?” kuusap kepalanya dan membersihkan air matanya.
“Jonghyun
menyebut ibuku tidak bisa bicara… hiks,” perlahan tangisnya kembali lagi. “Tapi
aku sudah memukulnya Paman, kupukul kepalanya dengan kotak pensil!” tangisnya
berhenti dan dia berbicara penuh semangat.
“Jangan
memukul teman seperti itu, nanti dimarahi Ibu Guru,”
“Aku
sudah dimarahi oleh Ibu Guru…” lirihnya. “Ibuku bukannya tidak bisa bicara,
ibuku hanya malas bicara. Ibu berjanji padaku bila aku mendapat peringkat
pertama maka ibu akan bicara,”
“Lalu…
sekarang kau peringkat berapa?”
“Peringkat
dua!”
“Kalau
begitu kau harus belajar sedikit lebih giat lagi agar mendapat peringkat satu!”
“Tidak
mau! Aku tidak mau jadi peringkat satu,” seru gadis kecil itu.
“Kenapa
tidak mau?” tanyaku heran.
“Aku
tidak mau ibuku jadi pembohong!” jawabnya. Aku tidak mengerti maksudnya,
“Bagaimana bila aku mendapat peringkat satu tapi ibu tetap tak mau bicara?!”
kupeluk gadis kecil itu, apakah dia mengerti bila kukatakan padanya bahwa semua
itu karena diriku?
“Paman
Matahari… jangan beritahu ibu bila aku tak mau menjadi peringkat satu ya!
Janji?!” tanya gadis cilik itu.
“Janji!”
ucapku lemah dengan senyum pahit. “Byeol… apa paman bisa bertanya padamu?”
“Apa?!”
“Kenapa
kau memanggil Paman dengan sebutan Paman Matahari?”
“Paman
‘kan yang berada di lukisan Ibuku?” tanyanya kembali, “Di kamar Ibuku masih
banyak lukisan Paman Matahari, banyak… banyak sekali…” gadis cilik itu
bercerita dengan penuh semangat. “Dan Ibu selalu tersenyum saat melihat lukisan
itu!”
“Ommo[4]… Ibuku datang! Aku
harus cepat pergi!” dia jadi panik saat melihat Seoyoo dari jendela. Dengan
langkah kecilnya, dia berlari lewat pintu lain. Belum sempat keluar, dia
kembali lagi menghampiriku,
“Paman
janji ya tidak akan memberi tahu Ibu kalau aku tak mau menjadi peringkat satu!”
dia kembali untuk mengingatkan aku rupanya. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Paman
janji!” jawabku penuh semangat.
♥♥♥ Silence End
♥♥♥
No comments:
Post a Comment