Sinar
mentari sore ini seperti berlomba menyentuh kulitku melalui celah pepohonan,
terasa begitu hangat setelah beberapa bulan kota Seoul harus berselimut salju
karena musim dingin. Aku duduk sendiri menunggu kedatangannya, hari ini adalah
ulang tahunku dan dia mengajakku untuk makan malam bersama. Aku masih sibuk
membaca pesan singkat ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Aku
tersenyum bahkan sesekali tertawa membaca kata-kata mereka yang lucu, sungguh
bahagia mereka masih mau membagi perhatian padaku.
Aktifitasku
terhenti saat sebuah klakson mobil berbunyi, kuangkat pandanganku dari layar
ponselku dan aku menemukan sosok Jo Hyunjae berdiri dengan senyuman khasnya.
“Saengil
chukka chaggi…” ucapnya. Aku tersenyum,
“Gomawo
Oppa!” balasku.
“Sudah
lama menunggu?”
“Lumayan…”
“Maaf
ya, tadi di kantor banyak pekerjaan…”
“Gwencana…”
“Oh
ya, ini untukmu!” dia menyodorkan sebuah bungkusan padaku, dengan jantung yang
berdebar, kubuka bungkusan itu. Senyumanku menghilang saat melihat hanya sebuah
Teddy Bear di dalamnya.
“Kalian ‘kan telah berpacaran selama lima
tahun, paling tidak kali ini dia harus memberimu cincin…” teringat kembali
perkataan Hye Na padaku saat di sekolah.
“Ada
apa? Apa kau tidak suka?” Tanya Hyunjae, mungkin dia menyadari raut wajahku
yang berubah.
“Ah…
tidak, bonekanya cantik!” elakku, aku bukannya tidak suka, aku hanya kecewa.
Perjalanan
kami akhirnya terhenti di sebuah café kecil di tepi kota, di sinilah pertama
kali kami bertemu. Saat itu teman-temanku mengadakan acara kencan buta bersama
sekelompok pria yang dikenal lewat internet, mereka mengajakku ikut untuk
melengkapi jumlah membernya. Tak disangka aku dan Hyunjae bertemu di sana, di
saat pemilihan pasangan ternyata dia menyerahkan mawarnya padaku. Dia bilang
tertarik padaku dan ingin mengenalku lebih dalam. Kami pun sepakat memulai
hubungan sejak saat itu.
“Dia memberimu boneka lagi? Astaga… apa yang
dipikirkannya? Kau telah 23 tahun, bukan anak umur 16!” ucap temanku lewat
pesan singkatnya. Aku tertunduk, benar… aku telah 23 tahun, yang kubutuhkan
bukanlah boneka.
“Chaggi…
ada apa? Apa makanannya tidak enak?” tegurnya saat menyadari sedari tadi aku
belum menyentuh makananku. “Kenapa sejak tadi kau terlihat tidak bersemangat?
Apa kau ada masalah?”
“Oppa…
apa kau mencintaiku?” tanyaku setelah membaca pesan dari sahabatku lagi, “Tanyakan padanya apa dia serius padamu?
Jangan-jangan dia hanya mempermainkanmu!”
“Kenapa
kau bertanya seperti itu?” Hyunjae malah balik bertanya.
“Aku
bukan anak kecil lagi yang setiap ulang tahun dapat kau beri boneka. Atau
selama ini kau merasa sedang berpacaran dengan anak kecil?”
“Apa
kau tidak suka pada boneka yang kuberikan?”
“Bukannya
tidak suka…” aku kehilangan kata-kataku. Entah harus dengan apa aku dapat
membuatnya mengerti. Aku bukannya ingin kau memberikan benda-benda mahal
untukku, aku sungguh tidak berharap demikian. Aku hanya ingin kau mengerti
bahwa waktu lima tahun yang telah kita lalui harganya jauh lebih besar dari
sekedar sebuah boneka.
“Lalu…
ada apa?”
“Oppa…
kenapa kau tidak peka sekali?” emosiku mulai menguasaiku, “Sudahlah, kau
mungkin tidak akan pernah mengerti! Aku jadi tidak lapar, kau makanlah
sendiri!” aku pergi meninggalkannya.
“Chaggi…
tunggu dulu, maafkan aku bila aku telah berbuat salah padamu…”
“Tidak,
kau tidak perlu minta maaf. Aku tidak membutuhkannya, aku hanya ingin kau
mengerti pada posisiku!” kulepas genggamannya dan segera keluar dari café.
Ternyata
dia menyusulku dari belakang, aku juga tidak mengerti kenapa mood-ku tiba-tiba
jadi jelek seperti ini. Hanya karena persoalan boneka, apa salahnya kalau dia
memberiku boneka? Tidak… tentu saja salah! Benar kata Hye Na, paling tidak Hyunjae
harus memberiku cincin.
“Chaggi…
kumohon jangan seperti ini. Ayo kita bicara baik-baik!”
“Oppa…
biarkan aku sendiri dulu,” tolakku.
“Chaggi…
kalau bagitu katakanlah apa yang kau inginkan, aku bukanlah pria yang baik yang
dapat mengetahui semua yang kau inginkan namun bila kau mengatakannya, aku akan
berusaha memenuhinya,”
“Oppa…
lima tahun ini apakah tidak berarti apa-apa bagimu? Sampai kapan kita hanya
berhubungan seperti ini? Kapan kau akan melamarku?” jujurku. “Seharusnya kau
memberiku cincin!” sambungku. Hyunjae terkejut, untuk beberapa saat dia
terdiam.
“Jadi
begitu…” lirihnya,
“Maaf
bila aku membuatmu kecewa, aku bukannya tidak suka pada bonekamu,” ucapku lagi.
Hyunjae tertunduk, dia hanya diam, kurasa tak ada lagi yang ingin dia bicarakan
padaku. Aku pun memutuskan untuk meninggalkannya.
“Chaggi…”
sekali lagi dia memanggilku, “Kau lupa bonekamu…” ucapnya sembari menyerahkan
Taddy Bear itu padaku. Emosiku bergumul, apakah dia benar-benar tidak mengerti?
Kenapa dia masih berani memberiku benda itu? Kuambil boneka itu dan langsung
membuangnya ke jalan.
“Aku
tidak mau bonekamu!” tegasku lalu pergi darinya. Saat menoleh, kulihat Hyunjae
memungut boneka itu kembali, aku tak lagi peduli. Kuteruskan kembali langkahku
sampai terdengar sebuah bunyi hantaman yang keras hingga menghentikan langkahku.
Buru-buru aku berbalik mencari sumber suara itu yang jelas-jelas dari arah
belakangku.
Aku
terkesiap saat melihat tubuh Hyunjae terkulai tak berdaya di aspal. Sebuah
mobil box telah menyeretnya sampai beberapa meter hingga membuatnya penuh luka
dan berlumur darah.
“Oppaaaaaaaaa…………”
pekikku keras. Aku bergegas menghampirinya, kupeluk erat dirinya yang kurasakan
sudah tak bergerak lagi. “Oppa… bangunlah, ayo bangun… kumohon,” tangisku
kencang. Perlahan orang-orang di jalan mulai mengerumuni kami, “Tolong
panggilkan ambulans, panggilkan ambulans!” pintaku pada mereka.
Tanganku bergetar dengan bibir yang
tak berhenti melantunkan doa pada Tuhan agar memberi keselamatan pada Hyunjae.
Saat ini dia tengah berjuang melawan maut yang siap menjemputnya kapan saja.
Sesekali air mataku menetes mengingat kejadian tadi, andai ia tak memungut
boneka itu, tidak… andai saja aku tidak membuang boneka itu di jalan, tentu
kejadian ini tidak akan terjadi.
Beberapa saat kemudian dokter yang
menangani Hyunjae keluar, kulihat wajahnya dan kurasa aku tidak suka.
Tatapannya yang seakan menyiratkan sebuah kegagalan membuatku takut.
“Maaf… dia telah meninggal sebelum
kalian sampai di rumah sakit. Kami tidak bisa berbuat apa-apa…” ucapnya.
Bohong… kau bohong ‘kan? Hyunjae mana mungkin pergi semudah itu. Jangan
bercanda dokter! Aku tidak suka! Hari ini aku berulag tahun, mana boleh dia
memberiku kado buruk seperti ini. Bruk… tiba-tiba saja kurasakan tubuhku
menghantam lantai setelah sebelumnya penglihatanku menjadi gelap.
***
Malam ini hujan turun dengan
derasnya seakan langit turut menangisi kepergian Hyunjae, orang yang bagitu
kucintai. Teddy Bear pemberiannya tetap tersenyum lebar di atas ranjangku.
Teddy Bear dengan balutan blazer hitam itu seakan mengulurkan tangannya untuk
memelukku, ‘peluklah aku untuk mengurangi sakitmu’ ucapnya. Kuambil boneka
pemberiannya dan memeluknya erat.
“Maaf… seandainya aku tidak membuangmu
waktu itu…” isakku.
“Would
you marry me? I have something in my pocket!” tiba-tiba saja
Teddy itu mengeluarkan suara. Aku terkesiap, apa kau bisa bicara? Segera
kuperiksa kantong di blazer hitam Teddy itu dan jariku menemukan sesuatu,
cincin berlian. Seketika air mataku bercucuran tak tertahankan lagi. Aku memang
bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Jadi Hyunjae ingin melamarku saat itu dan aku marah
padanya karena lamaran yang tak kunjung dia lakukan. Sekali lagi kupeluk Teddy
pemberian terakhirnya dan Teddy itu mengeluarkan suara lagi…
“Would
you marry me? I have something in my pocket!”
“Hiks… kembalilah Oppa, jangan
tinggalkan aku,” isakku. “Tuhan, aku sungguh tidak membutuhkan cincin ini, aku
hanya ingin Oppaku. Kembalikan ia padaku dan ambil saja cincin ini. Hiks…”
***
Getaran ponselku mengganggu
tidurku, begitu berat terasa saat aku harus membuka mata. Andai saja mata ini
tak pernah terbuka lagi, tentu rasa nyeri di hatiku tak akan terasa lagi.
Segera kuambil ponselku yang berada di bawah bantal, terdengar jelas message alert-ku
suara Hyunjae,
“Chaggi…
ada SMS, cepat dibaca.” Segera kubuka pesan yang datang, “Saengil Chukkkae chaggi~a,” tulis pesan
itu. Ini pesan dari Hyunjae, aku jadi heran. Berikutnya berentetan lagi pesan
singkat dari teman-temanku yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku.
Kugaruk kepalaku yang tidak gatal, ada apa ini? Kulihat tanggal di ponselku,
ini ‘kan tanggal kemarin, tanggal ulang tahunku?
“Eun So… kau tidak ke sekolah? Ini
sudah jam berapa?” teriak ommaku dari balik pintu kamarku. Segera kubuka
kamarku ingin memastikan hari apa ini, “Aduh… putri Omma, saengil chukka.
Sekarang kau sudah 23 tahun, semoga segera dilamar Hyunjae ya!” ucap ommaku
sambil menciumi kedua pipiku.
“Sekarang tanggal berapa omma?”
tanyaku masih tidak percaya,
“Sekarang tanggal ulang tahunmu,
kau pasti lupa! Sudahlah, cepatlah bersiap, nanti kau dicap sebagai guru yang
tidak disiplin bila terlambat mengajar!”
Kutarik napasku dalam-dalam,
kulihat tanggal digital di atas mejaku, ya… ini hari ulang tahunku. Jadi hari
ini terulang? Benarkah terulang? Aku teringat sesuatu, kuacak-acak tempat
tidurku mencari keberadaan Teddy Bear pemberian Hyunjae, tidak ada!
“Chaggi~a
aku menelponmu, segera angkat teleponku. Jangan biarkan aku menunggu…”
ponselku kembali berdering, ringtone itu khusus bila Hyunjae menelpon.
“Yeo…buseo?” aku bergetar
mengangkatnya,
“Chaggi… nanti sore aku menunggumu
di halte, bagaimana bila kita makan malam?” tanyanya. Kemarin dia juga
menelponku dan mengatakan hal yang sama.
“Chaggi… kenapa kau diam? Apa kau
mendengarku?” tanyanya lagi.
“Ah… nde, nde, nde Oppa!” aku jadi
kaget sendiri. Apa Tuhan mendengar doaku? Benarkah Kau mengabulkan doaku Tuhan?
Ini kesempatan keduaku ‘kan? Aku memeluk erat boneka pemberian Hyunjae tahun
lalu sambil melompat-lompat kegirangan.
Dengan perasaan yang berdebar,
kunanti kembali kedatangan Hyunjae sore ini di halte. Persis di sore kemarin,
dia datang di waktu yang sama. Dengan senyuman khasnya dia berdiri di depanku.
“Saengil
chukka chaggi…” ucapnya. Aku tersenyum, sungguh terharu dapat melihatnya lagi
seperti ini.
“Gomawo
Oppa!” balasku.
“Sudah
lama menunggu?”
“Lumayan…”
“Maaf
ya, tadi di kantor banyak pekerjaan…”
“Gwencana…”
potongku.
“Oh
ya, ini untukmu!” dia menyodorkan sebuah bungkusan padaku, dengan jantung yang
berdebar, kubuka bungkusan itu. Air mataku menetes saat kulihat di dalamnya ada
sebuah Teddy Bear dengan balutan blazer hitam.
“Manis
sekali… gomawo Oppa!” aku memeluk Hyunjae yang mungkin keheranan melihat air
mata haruku.
“Kau
suka?” tanyanya.
“Aku
suka, suka, suka, suka seeeekaaliii!” tegasku.
Di
dalam mobilnya, aku tak dapat menyembunyikan perasaan bahagiaku, sesekali dia
memandangku. Dapat kubaca tatapan herannya pada tingkahku namun dia hanya
tersenyum. Boneka pemberiannya itu sudah lebih dari cukup, sungguh aku tidak
membutuhkan cincin lagi, terima kasih Tuhan… Kau bersedia menukar Hyunjaeku
dengan cincin itu. Kupeluk Teddy Bear itu, tak akan kubiarkan dia jatuh ke
jalan.
“Kau
senang sekali ya mendapatkan boneka? Jangan dipeluk terlalu erat begitu…” ucap Hyunjae.
“Memangnya
kenapa? Apa kalau boneka ini kupeluk erat, dia akan bersuara?” candaku.
Kueratkan pelukanku pada boneka itu dan benar saja, dia bersuara.
“Would
you marry me? I have something in my pocket!” aku jadi kaget, Hyunjae pun
nampak gelagapan. Perlahan kumasukkan jariku ke saku blazer boneka itu dan aku
menemukan cincin. Cincin yang sama seperti yang kulihat semalam. Aku tertunduk,
sekali lagi air mata haru menetes dan membasahi pipiku.
“Tentu…
tentu aku sangat ingin menikah denganmu…” ucapku.
“Gomawo…”
balas Hyunjae.
“Bukannya
Teddy ini yang melamarku, kenapa malah Oppa yang berterima kasih?” candaku.
“Mwo?”
Hyunjae kaget,
“Nde…
aku akan menikah dengan Teddy ini, bukannya dengan Oppa!”
“Yaak…”
buru-buru Hyunjae menghentikan kemudinya dan membuang Teddy itu ke jok
belakang. Diambilnya cincin itu dan dipegangnya tanganku,
“Maukah
kau menikah denganku? Mungkin aku selalu membuatmu kecewa namun aku janji tidak
akan membuatmu menangis,” dia menatapku.
“Bohong,
aku tidak percaya. Barusan kau bilang tidak akan membuatku menangis tapi
buktinya…” air mata kembali menggenang di pelupuk mataku. Dia menghapus air
mataku dan memelukku erat,
“Saranghae
chaggi…” bisiknya. Aku semakin terisak dalam pelukannya.
Aku tahu, Tuhan mengajarkanku untuk selalu
bersukur pada apa yang kumiliki. Dia saat aku bersukur maka Tuhan akan
memberikan lebih dari apa yang kuharapkan.
~the end~
Typed on 17 February 2012
No comments:
Post a Comment