Tuesday 29 March 2016

FF Secret - Part 1




Mentari bersinar cerah pagi ini, aku menanti dalam cemas dan gugup. Delapan tahun telah berlalu dan entah mengapa hal itu masih terekam jelas dalam memoriku. Selang beberapa saat, seorang pria akhirnya keluar dari dalam tembok raksasa itu. Rambutnya lumayan panjang untuk ukuran seorang pria, matanya sayu menatap dunia luar yang baru dia dapati lagi setelah delapan tahun terkurung di balik dinginnya jeruji penjara.
“Dae Won~ssi…” sapaku pelan. Dia berbalik ke arahku, menatapku dingin, kemudian pergi menjauh.
Aku hanya dapat mengikutinya dari belakang, mengejar langkah kecilnya yang bagiku terlalu cepat mungkin karena dia cukup tinggi. Aku tak akan memaksanya, aku akan menunggunya hingga akhirnya dia mau menerimaku kembali. Setidaknya hanya sebagai rekan yang prihatin pada keadaannya.
“Berhentilah mengikutiku, apa kau tak punya kegiatan lain?” tegurnya. Mungkin karena dia sudah lelah melihatku yang terus mengekor di belakangnya.
“Kau mungkin belum makan apa-apa sejak pagi tadi, ayo makanlah bersamaku…” ajakku. Dia mengacuhkanku, diteruskan langkah jenjangnya sampai terdengar bunyi aneh dari perutnya. Aku tersenyum tertunduk, dia benar-benar sangat lapar pikirku.

Dia makan dengan lahap semangkuk sup udon, aku hanya dapat terkesima melihatnya. Dalam hatiku terbit seberkas rasa kasihan, dia pasti tak pernah makan makanan seperti ini selama di penjara.
“Apa kau sudah memiliki tujuan?” tanyaku pelan. Sebisa mungkin aku harus mengontrol bahasaku, aku tak boleh membuatnya merasa tersinggung. Dia terdiam sejenak, namun pada akhirnya menjawab.
“Ada teman yang memintaku membantunya di pelabuhan Incheon…”
“Syukurlah…” ucapku tulus.
***

“Aku pulang…” ucapku datar saat tiba di rumah. Ibu menyambutku dengan wajah masam disertai tatapan yang tidak bersahabat.
“Kau dari mana?” Tanya Ibu spontan.
“Aku baru pulang kerja,” jawabku bohong.
“Bohong!” tuduh Ibu, “Tadi Ibu menelpon sekolah tempatmu mengajar, mereka bilang kau izin hari ini tidak masuk!”
“Ibu sudah mulai menyelidikiku?”
“Itu karena kau tidak dapat dipercaya lagi. Apa jangan-jangan kau menjemput iblis itu, bukannya hari ini dia keluar dari penajara?”
“Iya… aku menjemputnya!” jawabku jujur. Kurasa tak ada lagi yang dapat kusembunyikan. Ibu sudah tidak percaya lagi padaku, bagaimanapun aku berusaha berkilah, pasti akan ketahuan juga. Plaaaakkk, tamparan Ibu mendarat tepat di pipiku. Seketika aktivitas beberapa pelayan yang sedang menjamu tamu terhenti. Mereka mungkin cukup kaget melihat pertengkaran Ibu dan Putrinya. Ibu serta merta menarik tanganku dan membawaku ke dalam ruangan yang lebih tertutup.
“Hiks…” ibu mulai terisak, “Apa yang ada di kepalamu Tae Rin~a… kau seperti berkhianat kepada Ibumu ini. Bagaimana bisa kau masih menanti pria iblis itu, pria yang telah membunuh ayahmu!” isak ibuku. Aku tertunduk, kali ini juga ikut menangis, sudah kucoba membuang perasaan itu namun entah kenapa malah rasa itu semakin membesar dan tak dapat kutahan lagi.
“Maafkan aku, aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa…,” sesalku.

Cho Dae Won, pria itu dulu bekerja di restorant kecil milik ibuku. Dia rajin dan ulet juga sangat ramah pada teman-teman dan para pelanggan. Meski dia diam-diam menyimpan hati untukku, aku berpura-pura tidak tahu. Dae Won tahu siapa dirinya, dia paham bila dirinya hanyalah anak sebatang kara yang tidak punya keluarga dan hidup dari belas kasihan orang tuaku.
Dia tak pernah sekalipun menggangguku juga mencoba menunjukkan perasaannya padaku. Yang kutahu dia hanya selalu diam-diam memandangku. Apalagi ibu telah menjodohkanku dengan anak sahabatnya, jadilah dia semakin mengubur dalam-dalam perasaannya itu. Mungkin dia tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya itu namun aku dapat membaca dengan jelas lewat mata sendunya.
Pria seperti itulah yang kuharapkan, yang mencintaiku dengan caranya sendiri tanpa berharap adanya balasan. Namun aku cukup pengecut, aku tak mau mengecewakan ibu, aku hanya dapat pasrah saat ibu melakukan apa saja yang dikehendakinya atasku, termasuk dengan perjodohan itu.
***
Aku berjalan mengitari pasar ikan di pinggiran Kota Incheon sambil memegang kertas berisi alamat. Sejujurnya kakiku sudah sangat letih, hampir sejam aku mencari, bertanya dari satu orang ke orang yang lain namun tak dapat juga kutemukan. Aku tertunduk putus asa, mungkin hari itu adalah hari terakhir aku bertatap muka dengannya.
“Tae Rin~ssi…” tiba-tiba saja seseorang menegurku. Dia Seo Hyun Min, sahabat Dae Won. Ada, ya... harapan itu kembali ada, kupikir aku tak akan lagi bertemu dengannya. Hyun Min membawaku ke tempatnya, tempat pelelangan ikan. Kulihat jelas Dae Won yang sedang bekerja mengangkat kotak-kotak berisi ikan ke atas truk. Kakinya sempat tersodok kotak ikan yang akan diangkatnya, dia meringis namun ditahannya. Sepertinya dia tak punya waktu untuk sekedar memperhatikan lukanya.
“Dae Won~a… ada yang mencarimu!” teriak Hyun Min padanya. Seketika Dae Won menoleh ke arah kami, ekspresinya datar atau mungkin dapat kukatakan dia jengkel.

“Berhari-hari aku mencarimu dengan alamat yang dulu kau berikan padaku, tapi ternyata itu alamat palsu,” lirihku. Mungkin dia begitu tak ingin bertemu lagi denganku. Dia gelagapan karena kebohongannya terbongkar.
“Apa yang kau inginkan? Untuk apa mencari mantan narapidana sepertiku. Ibumu pasti tak mengizinkan kau datang menemuiku, berhentilah menjadi gadis keras kepala. Masa depanmu masih panjang dan cerah, jangan kau hancurkan dengan mengikuti pria sepertiku. Kau dan aku tidak ada urusan lagi, kejarlah mimpimu dan tak perlu memikirkan keadaanku.”
“Dae Won~ssi… aku membuatkan sup rumput laut untukmu. Mungkin kau lupa, tapi aku masih ingat hari ini kau berulang tahun,” ucapku sambil menyodorkan tas bekal berisi sup rumput laut.
“Bila aku menerimanya, apakah kau tak akan menemuiku atau mencariku lagi?”
“Uhm…” aku mengangguk lemah. “Aku mungkin tidak dapat menemuimu lagi,”
“Baiklah, aku akan menerima pemberianmu jadi pergilah sekarang!”
“Aku… aku akan menikah…” lirihku. Dae Won tertegun, dia menatapku cukup lama. “Aku mencarimu hanya untuk mengatakan itu…” perlahan kukeluarkan undangan pernikahanku dan kusodorkan padanya. “Kuharap kau mau datang, sejujurnya aku tak akan tenang bila kau tak memberikan doa restu untukku,”
“…..” Dae Won masih tertegun memandang sepucuk undangan pernikahan di hadapannya.
“Dae Won~ssi… aku benar-benar minta maaf dan sangat berterima kasih,” tutupku. Aku pergi meninggalkannya yang masih tertegun, secepatnya  aku harus menghilang dari pandangannya. Aku tidak ingin dia melihatku menangis, aku harus terlihat kuat di hadapannya. Masih kuingat saat aku mengunjunginya di dalam penjara. Dengan lantang dan tegas aku memintanya untuk menikahiku setelah dia lepas nanti namun sepertinya dia sama sekali tidak tertarik akan hal itu.  
***
Aku menenteng kantongan yang berisi beberapa botol soju, malam ini teman-temanku datang untuk merayakan malam terakhir masa lajangku karena besok aku akan resmi menjadi seorang istri. Entah dorongan apa yang membuatku pergi membeli cemilan untuk mereka, padahal bisa saja aku meminta tolong pada pelayan di resto. Ah… mungkin karena sejujurnya aku tak ingin ada perayaan ini, aku tak pernah ingin melepas masa lajangku dengan orang yang benar-benar tidak kuhendaki.
Aku berjalan dengan langkah sekecil mungkin seakan tak pernah berharap untuk tiba di rumahku. Mungkin aku bisa mejadi gila dengan pertentangan batin ini, kurasa aku benar-benar akan menjadi gila. Tiba-tiba saja aku seperti melihat fatamorgana, Dae Won sedang berdiri di ujung jalan menatapku dengan mata sendunya.
“Tidak… itu bukan dia, aku hanya terlalu merindukannya sampai merasa melihatnya hadir di hadapanku,” batinku. Perlahan namun pasti aku mendekat ke arahnya bahkan mulai melaluinya begitu saja. “Benar… dia hanya fatamorgana, dia hanya ilusiku,” lirihku.
“Tae Rin~ssi…” ucapnya pelan. Langkahku terhenti, aku menoleh ke arahnya, apakah dia nyata? Tadi aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Aku berbalik dan mencoba menyentuhnya, bila dia memang hanya ilusiku maka dia akan menghilang begitu saja saat aku menjangkaunya. Hiks… hiks… air mataku menetes saat kupastikan dia benar-benar Dae Won yang kurindukan. Bukan lagi bayangan, bukan fatamorgana, ataupun ilusi yang selama ini sering kualami. Kupeluk dia, menumpahkan rasa yang telah kupendam selama ini.
“Aku… sangat merindukanmu,” bisikku, kueratkan pelukanku, aku sungguh tak ingin lepas darinya.

Kuputuskan untuk pergi dengannya, meninggalkan semua yang kumiliki di kota ini demi memulai hidup baru dengannya. Kutahu ibu akan murka dengan langkahku ini, namun aku siap, aku siap menghadapi apa yang akan terjadi. Aku percaya, selama aku bersama Dae Won… aku akan baik-baik saja.
Setelah menikah dan mencatatkan pernikahan, kehidupan baruku akhirnya dimulai di sini, di ujung Kota Namwon. Kami tinggal di sepetak rumah dengan perabot seadanya. Dae Won bekerja sebagai buruh pabrik perkebunan teh dengan upah yang minim. Aku menjadi ibu rumah tangga biasa, mengurus suami dan menjaga rumah. Sungguh kehidupan yang sangat jauh dari bayanganku sebelumnya.
Aku melepas kehidupan mewah yang ditawarkan calon suamiku yang bekerja sebagai jaksa di Seoul dan lebih memilih hidup bersama seorang buruh pabrik di sebuah kota kecil. Buruh pabrik yang juga seorang mantan narapidana kasus pembunuhan, pembunuh ayahku. Ibuku menyebutnya iblis, bagiku dia malaikat. Ibuku sangat membencinya sebaliknya aku sangat mencintainya. Entah berapa besar sudah kebencian ibuku pada kami, aku tak ingin memikirkannya dan juga tak ingin terbebani.

Memasuki musim gugur, cuaca semakin dingin. Aku pasti akan berbaring dalam pelukan suamiku dan berbagi selimut dengannya agar tetap merasa hangat. Kami belum mampu membeli penghangat listrik dan lagi penghangat dengan perapian belum sempat diselesaikan suamiku.
“Kenapa memandangku terus?” tanyaku merasa risih,
“Apa kau tak menyesal menikah dengan pria miskin sepertiku?”
“Apa yang harus kusesali, aku hanya kehilangan kehidupan mewah dari ibuku namun aku tidak kehilangan cinta dari pria yang kukasihi. Uang mungkin dapat membeli kemewahan namun tak dapat membeli kebahagiaan untukku,”
“Aku bahkan tak dapat membelikan pemanas listrik untukmu, di tengah cuaca dingin seperti ini aku hanya dapat memberi selembar selimut lusuh untuk menghangatkanmu,” lirihnya. Aku menggeleng tidak setuju,
“Kau memberikanku pelukan, hal yang tidak akan bisa diberikan siapapun untuk menghangatkanku,”
“Ah… istriku ternyata pandai menggombal…” ucapnya sambil menarik hidungku. Brr… aku mengigil kedinginan, “Kau kedinginan?” tanyanya. Aku mengangguk, tanganku bahkan terasa kebas saking dinginnya. Dae Won mempererat pelukannya hingga bahkan denyut jantungnya dapat terasa olehku.

Pagi ini aku berbelanja di pasar, kemarin Dae Won menerima upah dan aku ingin memasakkan makanan kesukaannya, sup kacang kedelai. Entah mengapa, aku merasa ada yang aneh pada orang-orang di sekelilingku. Mereka terus melihat ke arahku seperti sedang mengamatiku.
“Benar, dia orangnya!” seru salah seorang paman sambil memegang selembar poster. Aku jadi risih melihat mereka yang memandangku seperti pencuri. Kupercepat kegiatan belanjaku dan bergegas pulang. Di perjalanan, aku berhenti di sebuah pos jaga polisi. Mataku tertuju pada poster yang tertempel di dinding pos itu.
“Aku diculik?” heranku, ya… poster itu memajang gambarku sebagai korban penculikan dan… astaga, jantungku seperti mau lepas saat kulihat dengan jelas gambar Dae Won terpajang sebagai penculiknya.
“Ibu… ini sudah sangat kelewatan!” geramku.
Aku segera menyusul Dae Won ke pabrik tempat kerjanya, aku takut terjadi sesuatu padanya. Di poster itu menjelaskan bahwa Dae Won adalah narapidana kasus pembunuhan dan kini sedang menculikku. Aku berlari kencang saat kulihat kerumunan buruh di halaman pabrik, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada suamiku. Dan benar saja, saat tiba di sana, Dae Won telah terkapar di tanah dengan luka memar di wajahnya.
Yeobo[1]yeobo…” aku segera membantunya duduk, kupeluk dia yang tengah kesakitan.
“Ternyata kau seorang pembunuh, kau bahkan menculik nona ini dan kabur ke desa kami!”
“Aku tidak diculik! Bagaimana bisa ada seorang seorang suami yang menculik istrinya!” lawanku pada mereka.
Agassi[2]… kau pasti diancam olehnya hingga tidak berani melawan. Kami akan membantumu pulang ke rumah orang tuamu,”
“Aku tidak akan ke mana-mana, aku akan tetap bersama suamiku!” tolakku.
“Dia seorang pembunuh Agassi… kau bisa dalam bahaya bila terus bersamanya!”
“Berhentilah mengatainya pembunuh! Dia bukan pembunuh! Dia tidak pernah membunuh siapapun!” isakku sedih,
“Tae Rin~a… ayo kita pergi,” ucap Dae Won. Dengan sisa tenaganya dia bangkit dan membawaku meninggalkan kerumunan buruh itu. Sepertinya dia memang sengaja membawaku kabur agar aku tidak banyak bicara lagi di hadapan para warga.



[1] Panggilan  untuk suami
[2] Nona



To be continued…

No comments:

Post a Comment