Mentari
bersinar cerah pagi ini, aku menanti dalam cemas dan gugup. Delapan tahun telah
berlalu dan entah mengapa hal itu masih terekam jelas dalam memoriku. Selang
beberapa saat, seorang pria akhirnya keluar dari dalam tembok raksasa itu.
Rambutnya lumayan panjang untuk ukuran seorang pria, matanya sayu menatap dunia
luar yang baru dia dapati lagi setelah delapan tahun terkurung di balik
dinginnya jeruji penjara.
“Dae
Won~ssi…” sapaku pelan. Dia berbalik ke arahku, menatapku dingin, kemudian
pergi menjauh.
Aku
hanya dapat mengikutinya dari belakang, mengejar langkah kecilnya yang bagiku
terlalu cepat mungkin karena dia cukup tinggi. Aku tak akan memaksanya, aku
akan menunggunya hingga akhirnya dia mau menerimaku kembali. Setidaknya hanya
sebagai rekan yang prihatin pada keadaannya.
“Berhentilah
mengikutiku, apa kau tak punya kegiatan lain?” tegurnya. Mungkin karena dia
sudah lelah melihatku yang terus mengekor di belakangnya.
“Kau
mungkin belum makan apa-apa sejak pagi tadi, ayo makanlah bersamaku…” ajakku.
Dia mengacuhkanku, diteruskan langkah jenjangnya sampai terdengar bunyi aneh
dari perutnya. Aku tersenyum tertunduk, dia benar-benar sangat lapar pikirku.
Dia
makan dengan lahap semangkuk sup udon, aku hanya dapat terkesima melihatnya.
Dalam hatiku terbit seberkas rasa kasihan, dia pasti tak pernah makan makanan
seperti ini selama di penjara.
“Apa
kau sudah memiliki tujuan?” tanyaku pelan. Sebisa mungkin aku harus mengontrol
bahasaku, aku tak boleh membuatnya merasa tersinggung. Dia terdiam sejenak, namun
pada akhirnya menjawab.
“Ada
teman yang memintaku membantunya di pelabuhan Incheon…”
“Syukurlah…”
ucapku tulus.
***
“Aku
pulang…” ucapku datar saat tiba di rumah. Ibu menyambutku dengan wajah masam
disertai tatapan yang tidak bersahabat.
“Kau
dari mana?” Tanya Ibu spontan.
“Aku
baru pulang kerja,” jawabku bohong.
“Bohong!”
tuduh Ibu, “Tadi Ibu menelpon sekolah tempatmu mengajar, mereka bilang kau izin
hari ini tidak masuk!”
“Ibu
sudah mulai menyelidikiku?”
“Itu
karena kau tidak dapat dipercaya lagi. Apa jangan-jangan kau menjemput iblis
itu, bukannya hari ini dia keluar dari penajara?”
“Iya…
aku menjemputnya!” jawabku jujur. Kurasa tak ada lagi yang dapat kusembunyikan.
Ibu sudah tidak percaya lagi padaku, bagaimanapun aku berusaha berkilah, pasti
akan ketahuan juga. Plaaaakkk, tamparan Ibu mendarat tepat di pipiku. Seketika
aktivitas beberapa pelayan yang sedang menjamu tamu terhenti. Mereka mungkin
cukup kaget melihat pertengkaran Ibu dan Putrinya. Ibu serta merta menarik
tanganku dan membawaku ke dalam ruangan yang lebih tertutup.
“Hiks…”
ibu mulai terisak, “Apa yang ada di kepalamu Tae Rin~a… kau seperti berkhianat
kepada Ibumu ini. Bagaimana bisa kau masih menanti pria iblis itu, pria yang
telah membunuh ayahmu!” isak ibuku. Aku tertunduk, kali ini juga ikut menangis,
sudah kucoba membuang perasaan itu namun entah kenapa malah rasa itu semakin
membesar dan tak dapat kutahan lagi.
“Maafkan
aku, aku benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa…,” sesalku.
Cho
Dae Won, pria itu dulu bekerja di restorant kecil milik ibuku. Dia rajin dan
ulet juga sangat ramah pada teman-teman dan para pelanggan. Meski dia diam-diam
menyimpan hati untukku, aku berpura-pura tidak tahu. Dae Won tahu siapa
dirinya, dia paham bila dirinya hanyalah anak sebatang kara yang tidak punya
keluarga dan hidup dari belas kasihan orang tuaku.
Dia
tak pernah sekalipun menggangguku juga mencoba menunjukkan perasaannya padaku.
Yang kutahu dia hanya selalu diam-diam memandangku. Apalagi ibu telah
menjodohkanku dengan anak sahabatnya, jadilah dia semakin mengubur dalam-dalam
perasaannya itu. Mungkin dia tak pernah memperlihatkan rasa sakitnya itu namun
aku dapat membaca dengan jelas lewat mata sendunya.
Pria
seperti itulah yang kuharapkan, yang mencintaiku dengan caranya sendiri tanpa
berharap adanya balasan. Namun aku cukup pengecut, aku tak mau mengecewakan
ibu, aku hanya dapat pasrah saat ibu melakukan apa saja yang dikehendakinya
atasku, termasuk dengan perjodohan itu.
***
Aku
berjalan mengitari pasar ikan di pinggiran Kota Incheon sambil memegang kertas
berisi alamat. Sejujurnya kakiku sudah sangat letih, hampir sejam aku mencari,
bertanya dari satu orang ke orang yang lain namun tak dapat juga kutemukan. Aku
tertunduk putus asa, mungkin hari itu adalah hari terakhir aku bertatap muka
dengannya.
“Tae
Rin~ssi…” tiba-tiba saja seseorang menegurku. Dia Seo Hyun Min, sahabat Dae
Won. Ada, ya... harapan itu kembali ada, kupikir aku tak akan lagi bertemu
dengannya. Hyun Min membawaku ke tempatnya, tempat pelelangan ikan. Kulihat
jelas Dae Won yang sedang bekerja mengangkat kotak-kotak berisi ikan ke atas
truk. Kakinya sempat tersodok kotak ikan yang akan diangkatnya, dia meringis
namun ditahannya. Sepertinya dia tak punya waktu untuk sekedar memperhatikan
lukanya.
“Dae
Won~a… ada yang mencarimu!” teriak Hyun Min padanya. Seketika Dae Won menoleh
ke arah kami, ekspresinya datar atau mungkin dapat kukatakan dia jengkel.
“Berhari-hari
aku mencarimu dengan alamat yang dulu kau berikan padaku, tapi ternyata itu
alamat palsu,” lirihku. Mungkin dia begitu tak ingin bertemu lagi denganku. Dia
gelagapan karena kebohongannya terbongkar.
“Apa
yang kau inginkan? Untuk apa mencari mantan narapidana sepertiku. Ibumu pasti
tak mengizinkan kau datang menemuiku, berhentilah menjadi gadis keras kepala.
Masa depanmu masih panjang dan cerah, jangan kau hancurkan dengan mengikuti
pria sepertiku. Kau dan aku tidak ada urusan lagi, kejarlah mimpimu dan tak
perlu memikirkan keadaanku.”
“Dae
Won~ssi… aku membuatkan sup rumput laut untukmu. Mungkin kau lupa, tapi aku
masih ingat hari ini kau berulang tahun,” ucapku sambil menyodorkan tas bekal
berisi sup rumput laut.
“Bila
aku menerimanya, apakah kau tak akan menemuiku atau mencariku lagi?”
“Uhm…”
aku mengangguk lemah. “Aku mungkin tidak dapat menemuimu lagi,”
“Baiklah,
aku akan menerima pemberianmu jadi pergilah sekarang!”
“Aku…
aku akan menikah…” lirihku. Dae Won tertegun, dia menatapku cukup lama. “Aku
mencarimu hanya untuk mengatakan itu…” perlahan kukeluarkan undangan pernikahanku
dan kusodorkan padanya. “Kuharap kau mau datang, sejujurnya aku tak akan tenang
bila kau tak memberikan doa restu untukku,”
“…..”
Dae Won masih tertegun memandang sepucuk undangan pernikahan di hadapannya.
“Dae
Won~ssi… aku benar-benar minta maaf dan sangat berterima kasih,” tutupku. Aku
pergi meninggalkannya yang masih tertegun, secepatnya aku harus menghilang dari pandangannya. Aku
tidak ingin dia melihatku menangis, aku harus terlihat kuat di hadapannya. Masih
kuingat saat aku mengunjunginya di dalam penjara. Dengan lantang dan tegas aku
memintanya untuk menikahiku setelah dia lepas nanti namun sepertinya dia sama
sekali tidak tertarik akan hal itu.
***
Aku
menenteng kantongan yang berisi beberapa botol soju, malam ini teman-temanku
datang untuk merayakan malam terakhir masa lajangku karena besok aku akan resmi
menjadi seorang istri. Entah dorongan apa yang membuatku pergi membeli cemilan
untuk mereka, padahal bisa saja aku meminta tolong pada pelayan di resto. Ah…
mungkin karena sejujurnya aku tak ingin ada perayaan ini, aku tak pernah ingin
melepas masa lajangku dengan orang yang benar-benar tidak kuhendaki.
Aku
berjalan dengan langkah sekecil mungkin seakan tak pernah berharap untuk tiba
di rumahku. Mungkin aku bisa mejadi gila dengan pertentangan batin ini, kurasa
aku benar-benar akan menjadi gila. Tiba-tiba saja aku seperti melihat
fatamorgana, Dae Won sedang berdiri di ujung jalan menatapku dengan mata
sendunya.
“Tidak… itu bukan dia, aku hanya
terlalu merindukannya sampai merasa melihatnya hadir di hadapanku,” batinku. Perlahan namun pasti aku
mendekat ke arahnya bahkan mulai melaluinya begitu saja. “Benar… dia hanya fatamorgana, dia hanya ilusiku,” lirihku.
“Tae
Rin~ssi…” ucapnya pelan. Langkahku terhenti, aku menoleh ke arahnya, apakah dia
nyata? Tadi aku merasa ada seseorang yang memanggilku. Aku berbalik dan mencoba
menyentuhnya, bila dia memang hanya ilusiku maka dia akan menghilang begitu
saja saat aku menjangkaunya. Hiks… hiks… air mataku menetes saat kupastikan dia
benar-benar Dae Won yang kurindukan. Bukan lagi bayangan, bukan fatamorgana,
ataupun ilusi yang selama ini sering kualami. Kupeluk dia, menumpahkan rasa
yang telah kupendam selama ini.
“Aku…
sangat merindukanmu,” bisikku, kueratkan pelukanku, aku sungguh tak ingin lepas
darinya.
Kuputuskan
untuk pergi dengannya, meninggalkan semua yang kumiliki di kota ini demi
memulai hidup baru dengannya. Kutahu ibu akan murka dengan langkahku ini, namun
aku siap, aku siap menghadapi apa yang akan terjadi. Aku percaya, selama aku
bersama Dae Won… aku akan baik-baik saja.
Setelah
menikah dan mencatatkan pernikahan, kehidupan baruku akhirnya dimulai di sini,
di ujung Kota Namwon. Kami tinggal di sepetak rumah dengan perabot seadanya.
Dae Won bekerja sebagai buruh pabrik perkebunan teh dengan upah yang minim. Aku
menjadi ibu rumah tangga biasa, mengurus suami dan menjaga rumah. Sungguh
kehidupan yang sangat jauh dari bayanganku sebelumnya.
Aku
melepas kehidupan mewah yang ditawarkan calon suamiku yang bekerja sebagai
jaksa di Seoul dan lebih memilih hidup bersama seorang buruh pabrik di sebuah
kota kecil. Buruh pabrik yang juga seorang mantan narapidana kasus pembunuhan,
pembunuh ayahku. Ibuku menyebutnya iblis, bagiku dia malaikat. Ibuku sangat
membencinya sebaliknya aku sangat mencintainya. Entah berapa besar sudah
kebencian ibuku pada kami, aku tak ingin memikirkannya dan juga tak ingin
terbebani.
Memasuki
musim gugur, cuaca semakin dingin. Aku pasti akan berbaring dalam pelukan
suamiku dan berbagi selimut dengannya agar tetap merasa hangat. Kami belum
mampu membeli penghangat listrik dan lagi penghangat dengan perapian belum
sempat diselesaikan suamiku.
“Kenapa
memandangku terus?” tanyaku merasa risih,
“Apa
kau tak menyesal menikah dengan pria miskin sepertiku?”
“Apa
yang harus kusesali, aku hanya kehilangan kehidupan mewah dari ibuku namun aku
tidak kehilangan cinta dari pria yang kukasihi. Uang mungkin dapat membeli
kemewahan namun tak dapat membeli kebahagiaan untukku,”
“Aku
bahkan tak dapat membelikan pemanas listrik untukmu, di tengah cuaca dingin
seperti ini aku hanya dapat memberi selembar selimut lusuh untuk
menghangatkanmu,” lirihnya. Aku menggeleng tidak setuju,
“Kau
memberikanku pelukan, hal yang tidak akan bisa diberikan siapapun untuk
menghangatkanku,”
“Ah…
istriku ternyata pandai menggombal…” ucapnya sambil menarik hidungku. Brr… aku
mengigil kedinginan, “Kau kedinginan?” tanyanya. Aku mengangguk, tanganku
bahkan terasa kebas saking dinginnya. Dae Won mempererat pelukannya hingga
bahkan denyut jantungnya dapat terasa olehku.
Pagi
ini aku berbelanja di pasar, kemarin Dae Won menerima upah dan aku ingin
memasakkan makanan kesukaannya, sup kacang kedelai. Entah mengapa, aku merasa
ada yang aneh pada orang-orang di sekelilingku. Mereka terus melihat ke arahku
seperti sedang mengamatiku.
“Benar,
dia orangnya!” seru salah seorang paman sambil memegang selembar poster. Aku
jadi risih melihat mereka yang memandangku seperti pencuri. Kupercepat kegiatan
belanjaku dan bergegas pulang. Di perjalanan, aku berhenti di sebuah pos jaga
polisi. Mataku tertuju pada poster yang tertempel di dinding pos itu.
“Aku
diculik?” heranku, ya… poster itu memajang gambarku sebagai korban penculikan
dan… astaga, jantungku seperti mau lepas saat kulihat dengan jelas gambar Dae
Won terpajang sebagai penculiknya.
“Ibu…
ini sudah sangat kelewatan!” geramku.
Aku
segera menyusul Dae Won ke pabrik tempat kerjanya, aku takut terjadi sesuatu
padanya. Di poster itu menjelaskan bahwa Dae Won adalah narapidana kasus
pembunuhan dan kini sedang menculikku. Aku berlari kencang saat kulihat
kerumunan buruh di halaman pabrik, firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu
pada suamiku. Dan benar saja, saat tiba di sana, Dae Won telah terkapar di
tanah dengan luka memar di wajahnya.
“Yeobo[1]…
yeobo…” aku segera membantunya duduk,
kupeluk dia yang tengah kesakitan.
“Ternyata
kau seorang pembunuh, kau bahkan menculik nona ini dan kabur ke desa kami!”
“Aku
tidak diculik! Bagaimana bisa ada seorang seorang suami yang menculik
istrinya!” lawanku pada mereka.
“Agassi[2]…
kau pasti diancam olehnya hingga tidak berani melawan. Kami akan membantumu
pulang ke rumah orang tuamu,”
“Aku
tidak akan ke mana-mana, aku akan tetap bersama suamiku!” tolakku.
“Dia
seorang pembunuh Agassi… kau bisa dalam bahaya bila terus bersamanya!”
“Berhentilah
mengatainya pembunuh! Dia bukan pembunuh! Dia tidak pernah membunuh siapapun!” isakku
sedih,
“Tae
Rin~a… ayo kita pergi,” ucap Dae Won. Dengan sisa tenaganya dia bangkit dan
membawaku meninggalkan kerumunan buruh itu. Sepertinya dia memang sengaja
membawaku kabur agar aku tidak banyak bicara lagi di hadapan para warga.
No comments:
Post a Comment