Wednesday 30 March 2016

FF Secret - Part 2




Sebelumnya di Secret - Part 1

Aku hanya dapat duduk dan terisak sedangkan Dae Won sibuk mengemasi barang-barang kami. Dia bilang kami harus meninggalkan kota ini. Ibuku pasti sudah mengetahui keberadaan kami hingga kabur akan menjadi satu-satunya pilihan. Kami membawa barang seadanya dan segera ke terminal bus. Tak lupa dia juga menyamarkan penampilan kami agar tidak dikenali orang-orang. Saat ini poster pencarian kami pasti telah beredar luas di mana-mana, bila tidak hati-hati maka pasti kami akan tertangkap.

Di tengah perjalanan, bus yang kami tumpangi terhenti karena ada pemeriksaan polisi. Aku mulai was-was, aku takut kalau kami akan tertangkap. Dae Won memegang erat tanganku, tangannya terasa lebih dingin di udara yang memang dingin ini. Dae Won memberi aba-aba untuk turun dari bus diam-diam, aku mengikuti apa yang diperintahkan olehnya. Keadaan yang mulai gelap sangat membantu kami pergi dari bus tanpa terpergok oleh petugas kepolisian.

Udara semakin dingin, kepalaku terasa pusing dan penglihatanku berkunang-kunang.
“Kau demam!” ucap Dae Won panik sesaat setelah menyentuh dahiku. “Aku harus membawamu ke rumah sakit…”
“Jangan… kita bisa tertangkap bila pergi ke rumah sakit,” tolakku
“Tapi kau sedang sakit, bagaimana bila terjadi sesuatu padamu?”
“Aku akan baik-baik saja, ini mungkin hanya flu biasa. Pergilah ke toko dan belikan obat herbal. Aku akan baik-baik saja setelah meminumnya,” pintaku. Dia menurut, dia segera berlari mencari toko terdekat. Malang tak dapat ditolak, dari jauh kulihat mobil patroli polisi melintas. Tidak… dia bisa tertangkap, aku tak mau dia tertangkap. Kulangkahkan kakiku walau terasa berat, kepalaku sungguh seperti akan pecah.
“Yeobo… yeobo…” kukerahkan semua sisa suaraku, berharap dia dapat mendengarnya. Dia berbalik melihatku,
“Tae Rin~a…”
“Pergi… pergilah…” pintaku. “Lari… pergilah jauh, jangan biarkan dirimu tertangkap,” aku terjatuh di sisi jalan, aku kalah oleh keadaan lemahku ini. Apa yang tak ingin kulihat, akhirnya kulihat juga. Kebahagiaan yang baru saja kutiti bersama suamiku berakhir malam ini. Dia tertangkap oleh polisi patroli, mereka memukulnya hingga tidak berkutik. Wajahnya dipukulkan ke aspal dan tangannya segera diborgol. Di tengah kesakitan yang diterimanya, dia masih sempat berteriak meminta pertolongan untuk istrinya.
“Istriku… tolong bawa dia ke rumah sakit, dia sedang sakit, kumohon…” pelasnya.
***
  Aku terbangun dengan aroma obat yang menyengat. Kulihat sekantong infus mengalir tetes demi tetes ke dalam tubuhku melalui selang berjarum. Kepalaku masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi, aku seperti orang yang mengalami amnesia.
“Kau sudah bangun…” ucap seseorang dengan datar. Suara itu… suara yang sejak tiga bulan yang lalu tidak pernah lagi kudengar. Suara ibuku yang sejujurnya sangat kurindukan.
“Ibu…” lirihku.
“Kau masih berani memanggilku ibu?”
“Maaf…”
“Kau meninggalkan pesta pernikahanmu begitu saja demi seorang pembunuh, ibu sungguh tidak mengerti apa yang ada di kepalamu,” ucap ibuku. Benar… Dae Won… aku baru ingat, di mana dia? Terakhir kali kulihat para polisi itu memukulnya seperti binatang.
“Suamiku… di mana dia?”
“Berhentilah menyebut namanya, Ibu sungguh tak tahan setiap kali kau menyebut nama pembunuh itu!”
“Ibu… kumohon, seumur hidupku aku telah menjadi anak yang berbakti kepadamu. Aku mengikuti semua yang ibu inginkan. Aku bahkan tidak pernah meminta apa-apa darimu, tapi kali ini aku sungguh ingin hidup bersamanya, biarkan kami bersama…”
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan? Sadarlah Tae Rin… dia seorang pembunuh. Dia membunuh ayahmu, bagaimana bisa kau hidup dengan iblis seperti dia!”
“Ibu cukup! Delapan tahun dia membayar kesalahan itu di dalam penjara…”
“Itu belum cukup! Satu nyawa melayang dengan hukuman hanya delapan tahun penjara, itu belum cukup,” bentak Ibu padaku.
“Di mana suamiku sekarang?” aku mengalihkan pembicaraan. Kurasa berdebat dengan ibu mengenai masalah ini tidak akan berujung pangkal.
“Di mana lagi selain di tempat paling cocok untuknya, penjara!” jawab Ibu lantang.
“Penjara? Kesalahan apa lagi yang dia lakukan Bu? Menculikku? Jangan bercanda Bu, aku ikut dengannya dalam keadaan sadarku. Tak ada paksaan ataupun ancaman, kumohon jangan menyiksa pria malang itu lagi…” isakku. Aku bangkit, dengan sisa tenagaku aku berusaha turun dari ranjang rawatku. Tanganku terhalang oleh selang infus, akhirnya kulepas begitu saja, aku harus melepaskan suamiku. Dia tidak bersalah, dia tak boleh dipenjara lagi.
“Kau mau ke mana? Yaak… Lee Tae Rin kau jangan bodoh!” bentak Ibu dan mencoba menahanku. Aku mencoba melawan meski dalam keadaan lemahku dan entah apa yang terjadi, perutku tiba-tiba sakit. Sakit yang tak tertahankan hingga membuatku tergeletak tak berdaya di lantai.
“Tae Rin~a… kau kenapa?” Ibu terlihat panik. “Kenapa dengan perutmu?” aku hanya dapat meringis mencoba menahan sakit. “Darah… darah…” Ibu jadi panik saat melihat darah, bergegas Ibu menekan tombol darurat sehingga beberapa saat kemudian dokter dan perawat datang. 

Perih itu kembali lagi… aku meringis lemah dan terbangun. Tiba-tiba saja kulihat Dae Won duduk di sampingku. Kupejamkan mataku, bahkan di saat sakit yang terasa nyata kurasakan, aku masih dapat bermimpi melihat Dae Won ada di sisiku.
“Ini aku… aku bukan mimpimu,” bisiknya lembut. Segera kubuka mataku, memandangnya lekat-lekat, dia menggenggam tanganku. Dia menggunakan borgol, hiks… dia benar-benar nyata. Borgol di tangannya menjadi bukti bahwa aku berada di alam nyataku.  “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya lemah. Aku ingin bangun dan memeluknya, melihat wajahnya penuh luka dan lebam aku benar-benar tak tahan untuk tidak menangis.
“Kenapa mereka kejam sekali…” isakku.
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Polisi tiba-tiba memberitahuku bahwa keadaanmu kritis dan mengizinkan aku untuk menjengukmu… Tae Rin~a… aku benar-benar takut terjadi sesuatu padamu, kau harus sehat!”
“Aku tak tahu apa yang terjadi, aku bertengkar dengan ibu dan tiba-tiba saja perutku sakit…” ceritaku terhenti saat melihat pintu kamarku terbuka, Dokter Han dan seorang perawat masuk.
“Bagaimana perasaanmu Tae Rin?” Tanya Dokter Han penuh keakraban. Beliau adalah dokter keluarga kami.
“Aku masih merasakan perih dan kehilangan begitu banyak tenaga,”
“Apa yang terjadi pada istriku Dokter?”
“Aku menyesal mengatakan ini pada kalian… tapi semalam Tae Rin mengalami keguguran. Kondisi janin yang masih terlalu muda dan demam tinggi yang kau alami, membuat calon bayimu tidak dapat bertahan. Kalian harus tabah,” tutup Dokter Han lalu meninggalkan kami.
“Hiks… hiks…” aku tak dapat berkata-kata lagi.
“Tae Rin~a… kau harus kuat,” Dae won mencoba menenangkan aku.
“Aku bahkan tidak tahu bahwa aku sedang hamil…” aku menangis sejadi-jadinya. Dae Won memelukku, mencoba menenangkanku. Aku ingin marah, aku ingin melampiaskan semuanya… tapi marah pada siapa? Ini salahku yang terlalu ceroboh pada kesehatanku.
Aku masih terisak saat ibu masuk ke ruanganku, ini pertama kalinya ibu berhadapan langsung dengan Dae Won setelah persidangan delapan tahun silam.
“Ibu turut bersedih atas apa yang kau alami, bagaimana pun juga janin itu adalah calon cucuku tidak peduli siapa ayahnya…”
“Ibu… cukup, kurasa sudah saatnya ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi…” ucapku lantang.
“Tae Rin~a…” Dae Won sepertinya tahu apa yang sedang kupikirkan.
“Aku sakit… hatiku sakit setiap kali mendengar orang-orang menyebutmu pembunuh,” air mataku mengalir, Dae Won menggeleng dan mengenggam tanganku layaknya sedang memohon.
“Aku telah kehilangan calon bayiku, Tuhan pasti sedang menghukumku karena tidak berani jujur. Entah apa lagi yang akan hilang dariku bila aku tetap diam.”
“Tidak…” tolak Dae Won.
“Ibu… Dae Won… tidak pernah membunuh siapapun…”
“Tae Rin… kita sudah sepakat untuk merahasiakan ini, kenapa kau melanggar janjimu?!” Dae Won masih berusaha membujukku.
“Aku yang membunuh ayah, akulah pelakunya!” ucapku lantang.
“Tidak… tidak… apa yang dia katakan bohong Nyonya, Tae Rin hanya sedang shock hingga bicara sembarangan seperti ini,”
“Kita tidak perlu diam lagi. Kurasa sudah saatnya dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi,” cegatku pada Dae Won.
“Apa maksudmu?!” ibu kaget dan kebingungan.
“Tidak… kau tidak melakukan apapun…” Dae Won mencoba meyakinkan Ibuku.
“Hiks… jangan lagi… berhentilah berbohong demi melindungiku Yeobo…” isakku. “Aku membunuh bajingan itu dengan tanganku sendiri, aku membunuhnya karena dia ingin memperkosaku,” lanjutku. Dae Won panik, dia memelukku berusaha untuk menutup mulutku. 
“Apa?” Ibu kehabisan kata-katanya. Aku berusaha melepas pelukan Dae Won agar tetap dapat bersuara,
“Aku tak prnah menganggapnya sebagai ayah, aku hanya punya satu ayah dan dia telah meninggal saat usiaku masih kecil,”

Delapan tahun yang lalu
            “Aku pulang…” ucapku lemah.
“Ah… kau sudah pulang… ibumu sedang keluar kota mungkin besok baru kembali,” aroma soju begitu pekat tercium, pria ini… ini masih terlalu sore untuk mabuk-mabukan.
“Yaak… kenapa kau hanya diam saja setiap kali kuajak bicara? Apa karena aku hanya ayah tirimu sehingga kau tidak perlu menghormatiku?” dia menarik tanganku.
“Lepaskan tanganmu, aku sangat lelah setelah ujian tadi,”
“Huh… untuk apa kuliah terlalu tinggi kalau akhirnya kau menghabiskan hidupmu menjadi budak suamimu kelak,”
“Itu masih lebih bagus dibanding menjadi parasit dalam keluarga orang lain…”
“Yaak… kau bicara apa? Kau menghinaku?”
“Apa aku menyebut namamu?”
“Ha… ha… tapi ternyata ibumu menyukai parasit sepertiku,”
“Kau bangga menjadi parasit? Hidupmu benar-benar menyedihkan. Aku tahu kau sengaja menikahi ibuku untuk membuat hidupmu tidak kekurangan. Kau bebas berfoya-foya dengan uang ibuku, berjudi dan mabuk-mabukan bersama pelacur di bar. Kau tahu… kau pria yang paling menyedihkan yang pernah kulihat!”
“Yaak…” pria itu mengayunkan tangannya hendak memukul.
“Tuan…” tiba-tiba Dae Won muncul membawa sebuah karton berisi buah. Kehadirannya menyelamatkan aku sementara, “Di mana saya harus menyimpan ini?” lanjutnya.
“Simpan saja di dapur bodoh, untuk apa bertanya lagi!” bentak pria itu. Aku segera masuk ke kamarku, sejujurnya aku malu ketahuan bertengkar dengan pria parasit itu. Dae Won tak perlu bertanya lagi di mana dia harus menyimpan buah karena memang dia tahu tempatnya, aku yakin dia melakukannya untuk melindungiku dari pukulan pria parasit itu.

Aku merasa lumayan segar setelah mandi, ujian di kampus tadi benar-benar menguras tenagaku. aku segera berpakaian saat kudengar ada bunyi mencurigakan di depan kamarku. Alangkah kagetnya aku saat mendapati pria itu sedang mengintip lewat lubang kunci pintu kamarku.
“Ahjussi… kurasa ini sudah keterlaluan. Jangan hanya karena kau mabuk lantas aku akan mengabaikan perbuatanmu itu!”
“Tae Rin~a… sejak kapan kau menjadi seorang gadis cantik? Padahal serasa baru kemarin kau berlarian menenteng bonekamu dengan rambut dikepang dua…” orang itu mulai berani menyentuhku.
“Yaak… jaga sikapmu!” ancamku.
“Kau bahkan lebih cantik di saat marah seperti ini…” tak disangka dia langsung memelukku dan berusaha menciumku.
“Lepaskan!” bentakku. Bagaimana pun, dia adalah seorang pria. Kekuatannya terlampau besar untuk kulawan. Aku meronta, berusaha berteriak namun dia menyumpal mulutku. Dia berhasil merobek bajuku, kepalaku beberapa kali dia pukulkan ke dinding. Sejenak penglihatanku kabur, kepalaku seperti akan pecah. Tidak… aku tidak boleh kehilangan kesadaran, semua akan berakhir bila aku pingsan.
“Nona… Nona… apa yang terjadi?” sayup-sayup kudengar seseorang menggedor-gedor pintu. Itu suara Dae Won. Pria brengsek di hadapanku ini ternyata telah mengunci semua pintu, dia memang telah merencanakan hal ini.
“Kau terlalu sombong, aku ingin lihat sampai kapan kau akan mengangkat kepalamu bila masa depanmu telah kuhancurkan,” pria itu mulai membelai wajahku, dengan sisa tenaga yang kupunya, kuraih vas bunga di dekatku dan memukulkannya ke kepalanya.
“Auww…” pria itu meringis, kepalanya mulai berdarah. Aku mencoba melepaskan diri, aku berusaha berlari membukakan pintu untuk Dae Won, berharap dia dapat menolongku. Ternyata alkohol membuat pria itu kebal pada pukulan, dia menjambak rambutku dan menamparku berkali-kali.
“Nona… buka pintunya!” di luar sana Dae Won masih terus berteriak. Aku terhempas di lantai, mataku tertuju pada gunting yang terjatuh di kaki lemari. Saat pria itu mendekat, kutancapkan gunting itu ke perutnya. Dia tersungkur, tak sampai di situ saja, kutusukkan gunting itu berkali-kali ke perutnya. Aku tak lagi menyadari darahnya yang terpercik ke wajahku, yang kuingat hanyalah aku ingin orang ini mati.

Dae Won berhasil masuk ke rumahku, kurasa dia masuk dengan memecahkan kaca jendela. Tapi semua sudah terlambat, pria di depanku sudah tidak bernyawa lagi. Aku membunuhnya… aku telah menjadi seorang pembunuh.
“Dae Won~ssi…” ucapku gemetar, “Aku membunuhnya, dia mencoba menodaiku,” Dae Won merebut gunting yang kugunakan untuk menusuk orang itu,
“Tidak… kau tidak pernah membunuhnya, akulah yang membunuhnya!” ucapnya padaku.

Dae Won pada akhirnya divonis atas tuduhan pembunuhan tak disengaja, dia kalap membunuh karena ketahuan mencuri. Begitulah scenario yang diakuinya demi menyelamatkan aku.  Dia dihukum dengan kurungan penjara selama dua belas tahun namun mendapat remisi atas kelakuan baiknya selama di penjara.

“Akulah yang membunuh suamimu Ibu, Dae Won justru melindungiku, dia menggantikan aku untuk menjalani hukuman penjara itu. Dia menukarkan kebebasannya selama delapan tahun demi kebebasanku. Ibu selalu bertanya… apakah aku sudah gila karena mencintai orang sepertinya, kurasa kini ibu tahu jawabannya…”
“Dimana lagi aku bisa mendapatkan seorang pria yang rela kehilangan masa depannya demi melindungi seorang pembunuh sepertiku,”
“Hik… hiks… Hu… hu…” ibu terduduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya.



The End

No comments:

Post a Comment