Sebelumnya di Silence - Part 2
Kurapatkan
jaketku, malam ini dingin terasa begitu menggigit. Sebulan sudah Junsu
menghilang tanpa kabar. Entah apa yang terjadi pada dirinya, kurasa aku begitu
merindukannya. Seperti malam-malam sebelumnya, aku berjalan sendirian usai
menyelesaikan shift malamku di Alfamart.
Entah hanya perasaanku, atau memang benar adanya, malam ini aku merasa diamati
oleh seseorang.
Berkali-kali
kuedarkan pandanganku di sekeliling namun hanya jalan sepi yang kudapat.
Perlahan kulihat bayangan seseorang di balik tembok, cuaca yang dingin terasa
semakin dingin karena rasa takutku. Tapi tunggu dulu, sepertinya aku tahu orang
itu, aku mengenalnya meski hanya dari bayangannya. Junsu...
Aku
merapat ke arah tembok itu dan bayangan itu perlahan menjauh, kupercepat
langkahku dan seperti prediksiku si pemilik bayangan seakan berusaha
menghindar. Aku mengejarnya, berlari di tengah malam yang dingin mengejar dia,
kuharap itu Junsu, aku ingin bertemu, aku begitu merindukannya.
Ciiiiiitttttttt.....
Rem mobil bergema saat aku berada di persimpangan jalan. "Hei.... Kau
sudah bosan hidup ya?!" bentak si pengemudi padaku. Aku segera
membungkukkan badan seraya minta maaf, memang aku yang salah, tiba-tiba saja
memotong jalan dan membuatnya kaget. Pengemudi itu lalu keluar dari mobilnya,
aroma alkohol sangat tajam tercium darinya.
"Kau
masih terlalu muda untuk bunuh diri..." ucapnya lagi. Aku masih
membungkukkan badan memberi maaf, sebab untuk bersuara aku tak bisa.
"Begini saja... Aku tak akan marah lagi padamu asal kau mau menemaniku
malam ini!" tiba-tiba saja paman yang mabuk itu menarik tanganku untuk
masuk ke mobilnya. Aku meronta, berusaha keras untuk menolak namun kekuatan
paman itu terlampau besar. Bagaimana ini... Aku bahkan tak bisa berteriak
meminta tolong.
Bughhhh,
tiba-tiba saja seseorang datang menolongku. Dipukulnya paman itu sampai tak
berdaya. "Dasar brengsek, kau hampir menabraknya, kau memakinya, dan
sekarang kau ingin berbuat kurang ajar padanya!!" maki orang itu, Junsu...
Itu suara milik Junsu. "Mati saja kau!!!" serunya. Segera kulerai dia
memukul paman itu, saat kulihat wajahnya, benar ini Junsuku. Junsu datang untuk
menolongku.
"Kau...
Apa yang ada di pikiranmu? Untuk apa mengejar orang asing yang mencurigakan?
Dan lagi kenapa tidak berteriak minta tolong saat kau dalam bahaya?!"
marahnya padaku. Aku menangis, menangis terharu, dapat melihatnya lagi
benar-benar membuatku bahagia. Kau bukanlah orang asing, kau orang yang
kucintai dan lagi... Aku tak bisa bersuara, apa kau lupa itu. Serta merta dia
memelukku erat.
"Maafkan
aku...." lirihnya.
♥♥♥
Kupeluk
erat dirinya, karena mengejarku dia sampai harus mengalami kejadian yang
mengerikan ini. Dia bahkan tak mampu untuk melindungi dirinya sendiri namun
masih nekat untuk mengejarku. Dia melepas pelukannya, menatapku dalam dan aku
mengerti apa yang ingin dikatakannya.
"Kemana
saja kau selama ini?" kurasa begitulah suara hatinya.
"Maafkan
aku yang pergi begitu saja dan tidak memberimu kabar," lirihku. Aku
sebenarnya tidak pergi, aku tetap di sini, di dekatmu hanya saja... Aku tak
sanggup untuk bertatap muka denganmu. Aku di sini memperhatikanmu dari jauh,
menahan kerinduan untuk menyapamu.
Pagi
itu setelah mencicipi sarapan buatanmu, aku mendapat pesan dari informanku
bahwa gadis yang kucari telah ditemukan. Aku tegang, sejujurnya aku takut,
bagaimanakah dia, gadis itu. Sehebat apakah dia sehingga ayahku tega membagi
perhatiannya bukan sepenuhnya untukku tapi untuknya juga. Nasehatmu kala itu
membuatku semakin takut untuk mengetahui siapakah gadis itu, kau bilang ayahku
pasti punya alasan yang kuat sehingga melakukan hal itu, kau bilang mungkin
saja gadis itu adalah gadis malang yang sangat membutuhkan ayahku, kau
memintaku untuk menemukannya, kau memintaku untuk memaafkannya.
Tahukah
kau apa yang terjadi selanjutnya? Hiks.... Kenapa harus kau orangnya? Kenapa?
Kenapa? Dari sekian banyak anak perempuan di kota ini, di negara ini, bahkan di
dunia ini, kenapa harus kau orangnya? Kenapa harus kau lah anak hasil
perselingkuhan ayahku? Kumohon jawablah kenapa?
Air
mataku tak terbendung lagi, aku menangis di hadapannya menahan perih yang tak
terhingga. Sakit yang kurasakan benar-benar membuatku kalah. Kedua tangannya
menghapus air mataku namun air mata itu malah semakin deras mengalir. Ya
Tuhan... Di saat aku harus jatuh cinta untuk pertama kalinya, bahkan telah
kubuang harga diriku dengan mencintai seorang gadis cacat, kenapa... kenapa Kau
membuatnya menjadi saudara perempuanku?
Aku
rela sekalipun dia gadis cacat, aku rela meski dia hidup sebatang kara, aku
rela bila dia hanyalah gadis miskin asal... asal dia bukan saudara perempuanku.
Aku
berjanji... Apapun akan kulakukan bila saja dia bukan saudara perempuanku.
♥♥♥
Ada
yang aneh pada sikap Junsu, aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya
saja dia tidak mau cerita tentang masalahnya itu. Kadang aku menemukannya
termenung di saat dia sedang sendiri bahkan air matanya mengalir tanpa dia
sadari. Dia segera menghapusnya ketika menyadari kedatanganku, aku dapat
merasakan begitu berat beban yang dia rasakan. Masalah ayahnya benar-benar
membuatnya terpuruk. Andai aku bisa meringankan bebannya, apapun pasti akan
kulakukan.
"Aku
ingin mengajakmu makan malam, apa kau bersedia?" ajaknya saat itu.
"Di
mana?" tanyaku lewat secarik kertas.
"Di
rumahku!" jawabnya mantap. "Kau belum pernah ke rumahku 'kan?"
tanyanya balik. Aku menggeleng, memang benar aku belum pernah ke rumahnya.
"Apa
ayah dan Ibumu tahu?" tanyaku kembali.
"Uhm..."
dia mengangguk, "Aku memang ingin memperkenalkan kau pada mereka, kau
tidak keberatan 'kan?" ucapnya. Napasku tercekat, kuakui ketegangan secara
tiba-tiba menyelimutiku.
"Jangan
takut, orang tuaku tidak akan menyakitimu. Mereka bukan gengster..." canda
Junsu. Aku menatapnya protes, ini tidak lucu seruku dalam hati.
"Mereka
bukanlah orang tua seperti yang sering dipertontonkan di TV, yang akan marah
bila anaknya berteman dengan teman yang tidak selevel dengan mereka. Orang
tuaku tidak akan keberatan aku berteman dengan siapa saja selama teman itu
tidak merusakku. Dan aku tahu kau bukanlah yang seperti itu." dia
mengenggam tanganku,
"Wah...
Tanganmu sangat dingin, belum bertemu dengan orang tuaku saja sudah sedingin
ini, begaimana bila bertemu nanti, jangan sampai kau menjadi es balok!"
ejeknya. Aku hanya bisa melayangkan tatapan protes padanya, ini bukan saatnya
bercanda.
"Tenanglah,
kau akan baik-baik saja!" bujuknya.
♥♥♥
Maaf...
Aku sungguh terpaksa melakukannya, aku tak punya pilihan lain. Bagaimanapun aku
telah berjanji pada Ibu bahwa aku akan membawa 'gadis itu' ke hadapannya. Dan
kali ini aku ingin menepati apa yang telah kukatakan.
Kuharap
setelah ini... Kita akan baik-baik saja. Menjalani hidup sebagai saudara, rukun
dan saling mendukung, itulah yang kuharapkan meski aku sendiri ragu apakah aku
akan dapat melakukannya mengingat perasaanku padamu benar-benar tulus. Ya....
rasa cinta itu telah mengakar kuat sehingga kuyakin akan butuh waktu lama untuk
menghilangkannya.
Sore
itu - sesuai janji - aku datang menjemputnya. Aku sempat kehilangan kata-kata
saat melihatnya, dia sungguh berbeda dari yang biasanya. Dia berdandan,
matanya, pipinya, bibirnya, menjadi sangat cantik. Dia tak lagi memakai
kacamatanya. Gaun berwarna bunga cherry sungguh membuatnya semakin menawan.
Rambutnya yang bergelombang dibiarkannya tergerai dengan satu jepitan berbentuk
pita untuk menjepit poninya. Bagaimana dia bisa secantik ini?
"Aku
meminjam gaun milik temanku, dia juga yang mendadaniku seperti ini..."
tulisnya di selembar kertas, aku tersenyum geli membaca pengakuannya.
"Aku
payah ya? Bagaimana bisa aku mengaku kalau semua yang kupakai ini adalah
pinjaman" sesalnya. Aku menggeleng tidak setuju.
"Itu
tandanya kau sangat menghargai orang tuaku... Kau berupaya tampil sebaik
mungkin sekalipun semua hanya pinjaman,"
"Aku
hanya tidak ingin membuat orang tuamu kecewa,"
"Tidak,
ayah dan ibuku pasti tidak akan kecewa!"
Kami
tiba, kugenggam tangannya dan menuntunnya memasuki rumahku. Kurasakan tangannya
mendingin, sangat jelas dia sedang gugup. Sementara aku... ya... Aku juga
gugup, seakan menghitung mundur detik-detik eksekusi matiku, aku akan
membawanya menemukan kenyataan pahit antara kami berdua.
"Apa
ayah dan ibu sudah lama menunggu? Maaf... Aku sedikit terlambat." ucapku
memecah percakapan orang tuaku. Mereka serta merta menoleh,
"Tidak
masalah..." ucapan ayah terpotong dan suaranya seakan hilang saat melihat
gadis yang sedang kugandeng. Seperti yang sudah kuprediksi, Seoyoo pun seperti
itu, dia kaget.
"Seoyoo...
Perkenalkan, ini ayah dan ibuku," ucapku bergetar.
"Seoyoo..."
ibuku tercekat. Aneh... ibu sepertinya juga sudah mengenalnya.
"Apakah
benar mereka ayah dan ibumu?" dengan isyarat Seoyoo bertanya padaku. Aku
mengangguk, tak dapat kujelaskan secara rinci keterkejutannya itu. Tapi seakan
aliran darahnya berhenti sehingga wajahnya menjadi pucat pasi. Gadis itu
menggeleng seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia menangis
sesenggukan, apakah terlalu sakit? Kuharap kau dapat bertahan.
Serta
merta dia melepas genggaman tanganku, mendorongku dengan tenaganya yang lemah
dan segera meninggalkan aku dan orang tuaku.
"Seoyoo...!"
ayah sempat melerainya namun langkahnya terlambat.
"Ibu...
Seperti janjiku sebelumnya, aku akan membuktikan bahwa ayah telah menghianati
kita selama ini."
"Apa
yang kau bicarakan?" suara ayah terdengar berat.
"Aku
menemukan rekening mencurigakan milik ayah yang menunjukkan bahwa setiap
bulannya ayah mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening orang lain.
Setelah kutelusuri ternyata rekening itu milik Seoyoo." ucapku. "Dia
siapa ayah? Kenapa ayah mengiriminya uang yang banyak selama beberapa tahun
ini? Apa hubungan ayah dengannya sehingga ayah mau berkorban seperti itu
padanya? Benarkah dia anak haram ayah?"
"Junsu!!!!"
Ibu seketika menamparku, aku tidak percaya... Ibu menamparku? Kupikir ayah yang
akan melakukannya, tapi pada kenyataannya ibulah yang melakukannya.
♥♥♥
Aku
berlari... Air mataku tak henti mengalir. Sampai pada saat aku kehabisan napas,
aku terjatuh. Aku kehabisan napas bukan karena berlari namun karena tangis yang
menguras semua emosiku. Aku terduduk di atas aspal yang dingin menangis dan
meratap, kenapa semua berakhir pilu seperti ini?
Aku
tak akan pernah melupakan, aku tidak akan bisa! Ayahmu, sesungguhnya aku tak
ingin melihatnya lagi sepanjang sisa usiaku. Bila dia ayahmu, berarti kaulah
orangnya. Kaulah yang membuat hidupku jadi menyedihkan seperti ini. Hiks...
hiks.... hiks.... kupukul dadaku yang sesak, kuharap agar sakitnya sedikit
berkurang tapi nyatanya tak ada pengaruh sama sekali.
Apa?
Apa yang harus kulakukan? Kenapa harus dia, kenapa harus Junsu? Kenapa aku
jatuh cinta pada pembunuh kedua orang tuaku?
♥♥♥
"Kau
tak ingat, kau lupa! Sesungguhnya kejadian itu sangat berat untukmu sehingga
menyebabkanmu amnesia." ibu berbicara di sela tangisannya.
"Kau
tak sadar bahwa selama ini kau sedang sakit," ayah menambahkan dengan
suara lirih. "Kami sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa kau mengalami
amnesia sebagian,"
"Apa
maksud ayah?" kebingungan menyekat tenggorokanku.
"Kau
tak ingat saat kau remaja... Ayah harap kau tak akan pernah ingat kejadian itu.
Kejadian itu membuatmu berteriak ketakutan sepanjang malam sehingga kami harus
menyuntikkan obat penenang padamu,"
"Kejadian
apa? Apa yang terjadi saat itu?" desakku. Entah kenapa aku menjadi takut,
takut tanpa alasan yang jelas.
"Kau...
Tanpa sengaja membunuh sepasang suami istri dan melukai putri mereka..."
lirih ayah. "Kau membawa kabur mobil ayah, ugal-ugalan di jalan padahal
kau baru saja belajar menyetir. Sampai pada akhirnya kecelakaan mengerikan itu
terjadi, kau menabrak mobil lain, membuat mobil itu terpental jauh dan menabrak
pagar pembatas. Sepasang suami istri penumpang mobil itu meninggal di tempat
sementara putri mereka mengalami koma." jelas ayah penuh kehati-hatian.
Kepalaku
terasa berputar, tiba-tiba saja sekelebat bayangan sebuah kecelakaan melintas
dalam ingatanku. Suara sirine ambulans, kemacetan jalan, suara tangisan ibu,
darah... Semua berputar di kepalaku entah dari mana asalnya.
"Ayah...
Aku tak ingin masuk penjara,"
"Lakukanlah
sesuatu, Junsu tidak sengaja melakukannya, aku tak mau putraku masuk penjara,
hiks..."
"Pengacara
Lee apa yang harus kami lakukan? Kami akan membayar kompensasi berapapun yang
mereka minta"
"Satu-satunya
korban yang masih selamat adalah gadis itu. Saat ini dia sedang koma sehingga
kita tidak dapat bernegosiasi dengannya."
"Dokter
bagaimana keadaan gadis itu? Dia akan selamat 'kan?"
"Keadaannya
buruk, paru-parunya bermasalah setelah terkena tulang rusuknya yang patah. Kami
harus membuatkan alat pernapasan cadangan agar dia dapat bernapas sampai
keadaannya stabil untuk melakukan operasi.
"Lakukan
apa saja untuk menyelamatkannya... Apa saja!"
"Tapi...kami
harus mengangkat pita suaranya untuk memasang selang udara di
tenggorokannya,"
"Ayah
terpaksa menyetujuinya Nak, bila gadis itu tak dapat bicara maka dia tak akan
bisa memberikan kesaksian untuk menjeratmu ke dalam hukum. Ya... satu-satunya
jalan untuk menyelamatkanmu adalah dengan membuat gadis itu bisu."
"Dan...
Sebagai gantinya, kami mengirimkan biaya hidup setiap bulan untuknya
semata-mata sebagai ungkapan rasa penyesalan kami atas kematian kedua orang
tuanya," lanjut ibu. "Sekalipun kami tahu... Sebesar apapun jumlah
uang yang kami berikan tak akan cukup untuk membayar duka kematian orang tuanya
dan... Membayar suaranya yang kami rampas."
♥♥♥
Air
mataku mengalir dengan sendirinya tanpa dapat kutahan saat memandang foto
keluarga kecilku. Ayah, Ibu, dan aku tersenyum bahagia, namun kenyataannya
kini... hanya tersisa aku dengan tangisan yang memilukan. Apa yang harus
kulakukan? Haruskah aku membencinya? Tapi aku terlanjur mencintainya. Hiks...
"Kau
baik-baik saja? Wajahmu pucat..." tegur rekan kerjaku di Alfamart.
"......."
aku tak tahu harus menjawab apa, saat ini keadaanku sangat buruk. Huh... dan
tentu saja aku tidak akan pernah bisa menjawab karena keadaanku ini, aku tak
memiliki pita suara. Ya.... Mereka telah merenggutnya, Junsu telah merenggutnya
dengan sangat kejam.
Suara
klakson mobil membuyarkan lamunanku, kepalaku yang tadi bersandar di halte bus
menangkap sosok pria yang sejujurnya tidak ingin kulihat lagi, dia ayahnya
Junsu.
"Bisakah
kita bicara berdua?" ajak Tuan Kim.
Aku
menggeleng, apa yang dapat kita bicarakan berdua sementara untuk bersuarapun
aku tak bisa.
"Seoyoo...
Maafkan kami!" pintanya. Tiba-tiba dia berlutut di depanku, “Aku sangat
sadar sebanyak apapun uang yang kami berikan kepadamu tak akan bisa
menggantikan apa yang telah kami rebut darimu. Tapi kumohon… maafkanlah kami,
terus terang saja selama belasan tahun hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah
terhadapmu membuatku tertekan.”
“Junsu…
dia juga sakit kala itu. Setiap malam selalu mengalami mimpi buruk dan
sepanjang hari ketakutan. Dia mengalami ketergantungan pada morfin sebagai obat
penenangnya sampai suatu ketika dia over dosis. Dia koma selama dua minggu,
setelah sadar tiba-tiba saja dia lupa segalanya. Psikiaternya bilang bahwa
tekanan yang dialaminya terlalu berat untuk diterima otak sehingga otak menolak
untuk memproses segala ingatannya dan akhirnya semua hilang.”
“Kami
mengerti, kau sangat menyangi ayah dan ibumu begitu pun kami yang sangat
menyangi Junsu. Aku tak akan rela melihat anakku semakin tersiksa mendekam
dalam penjara. Aku terpaksa, aku tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan
Junsu selain dengan mengorbankan suaramu,”
Aku
terduduk di aspal, menangis terluka mendengar penjelasan Tuan Kim. Kejadian itu
kembali berkelebat dalam ingatanku dan aku telah bersumpah untuk tidak akan
pernah melupakannya. Seorang ayah berlutut di hadapanku demi membela putra
semata wayangnya lalu siapa yang akan membelaku sebagai putri yang kehilangan
orang tuanya dengan begitu tragis.
to be contined ....
No comments:
Post a Comment