Thursday 27 August 2015

Silence - Part 3


Sebelumnya di Silence - Part 2


Kurapatkan jaketku, malam ini dingin terasa begitu menggigit. Sebulan sudah Junsu menghilang tanpa kabar. Entah apa yang terjadi pada dirinya, kurasa aku begitu merindukannya. Seperti malam-malam sebelumnya, aku berjalan sendirian usai menyelesaikan shift malamku di Alfamart. Entah hanya perasaanku, atau memang benar adanya, malam ini aku merasa diamati oleh seseorang.
Berkali-kali kuedarkan pandanganku di sekeliling namun hanya jalan sepi yang kudapat. Perlahan kulihat bayangan seseorang di balik tembok, cuaca yang dingin terasa semakin dingin karena rasa takutku. Tapi tunggu dulu, sepertinya aku tahu orang itu, aku mengenalnya meski hanya dari bayangannya. Junsu...
Aku merapat ke arah tembok itu dan bayangan itu perlahan menjauh, kupercepat langkahku dan seperti prediksiku si pemilik bayangan seakan berusaha menghindar. Aku mengejarnya, berlari di tengah malam yang dingin mengejar dia, kuharap itu Junsu, aku ingin bertemu, aku begitu merindukannya.
Ciiiiiitttttttt..... Rem mobil bergema saat aku berada di persimpangan jalan. "Hei.... Kau sudah bosan hidup ya?!" bentak si pengemudi padaku. Aku segera membungkukkan badan seraya minta maaf, memang aku yang salah, tiba-tiba saja memotong jalan dan membuatnya kaget. Pengemudi itu lalu keluar dari mobilnya, aroma alkohol sangat tajam tercium darinya.
"Kau masih terlalu muda untuk bunuh diri..." ucapnya lagi. Aku masih membungkukkan badan memberi maaf, sebab untuk bersuara aku tak bisa. "Begini saja... Aku tak akan marah lagi padamu asal kau mau menemaniku malam ini!" tiba-tiba saja paman yang mabuk itu menarik tanganku untuk masuk ke mobilnya. Aku meronta, berusaha keras untuk menolak namun kekuatan paman itu terlampau besar. Bagaimana ini... Aku bahkan tak bisa berteriak meminta tolong.
Bughhhh, tiba-tiba saja seseorang datang menolongku. Dipukulnya paman itu sampai tak berdaya. "Dasar brengsek, kau hampir menabraknya, kau memakinya, dan sekarang kau ingin berbuat kurang ajar padanya!!" maki orang itu, Junsu... Itu suara milik Junsu. "Mati saja kau!!!" serunya. Segera kulerai dia memukul paman itu, saat kulihat wajahnya, benar ini Junsuku. Junsu datang untuk menolongku.
"Kau... Apa yang ada di pikiranmu? Untuk apa mengejar orang asing yang mencurigakan? Dan lagi kenapa tidak berteriak minta tolong saat kau dalam bahaya?!" marahnya padaku. Aku menangis, menangis terharu, dapat melihatnya lagi benar-benar membuatku bahagia. Kau bukanlah orang asing, kau orang yang kucintai dan lagi... Aku tak bisa bersuara, apa kau lupa itu. Serta merta dia memelukku erat.
"Maafkan aku...." lirihnya.
♥♥♥
Kupeluk erat dirinya, karena mengejarku dia sampai harus mengalami kejadian yang mengerikan ini. Dia bahkan tak mampu untuk melindungi dirinya sendiri namun masih nekat untuk mengejarku. Dia melepas pelukannya, menatapku dalam dan aku mengerti apa yang ingin dikatakannya.
"Kemana saja kau selama ini?" kurasa begitulah suara hatinya.
"Maafkan aku yang pergi begitu saja dan tidak memberimu kabar," lirihku. Aku sebenarnya tidak pergi, aku tetap di sini, di dekatmu hanya saja... Aku tak sanggup untuk bertatap muka denganmu. Aku di sini memperhatikanmu dari jauh, menahan kerinduan untuk menyapamu.
Pagi itu setelah mencicipi sarapan buatanmu, aku mendapat pesan dari informanku bahwa gadis yang kucari telah ditemukan. Aku tegang, sejujurnya aku takut, bagaimanakah dia, gadis itu. Sehebat apakah dia sehingga ayahku tega membagi perhatiannya bukan sepenuhnya untukku tapi untuknya juga. Nasehatmu kala itu membuatku semakin takut untuk mengetahui siapakah gadis itu, kau bilang ayahku pasti punya alasan yang kuat sehingga melakukan hal itu, kau bilang mungkin saja gadis itu adalah gadis malang yang sangat membutuhkan ayahku, kau memintaku untuk menemukannya, kau memintaku untuk memaafkannya.
Tahukah kau apa yang terjadi selanjutnya? Hiks.... Kenapa harus kau orangnya? Kenapa? Kenapa? Dari sekian banyak anak perempuan di kota ini, di negara ini, bahkan di dunia ini, kenapa harus kau orangnya? Kenapa harus kau lah anak hasil perselingkuhan ayahku? Kumohon jawablah kenapa?
Air mataku tak terbendung lagi, aku menangis di hadapannya menahan perih yang tak terhingga. Sakit yang kurasakan benar-benar membuatku kalah. Kedua tangannya menghapus air mataku namun air mata itu malah semakin deras mengalir. Ya Tuhan... Di saat aku harus jatuh cinta untuk pertama kalinya, bahkan telah kubuang harga diriku dengan mencintai seorang gadis cacat, kenapa... kenapa Kau membuatnya menjadi saudara perempuanku?
Aku rela sekalipun dia gadis cacat, aku rela meski dia hidup sebatang kara, aku rela bila dia hanyalah gadis miskin asal... asal dia bukan saudara perempuanku.
Aku berjanji... Apapun akan kulakukan bila saja dia bukan saudara perempuanku.
♥♥♥
Ada yang aneh pada sikap Junsu, aku yakin dia sedang menyembunyikan sesuatu. Hanya saja dia tidak mau cerita tentang masalahnya itu. Kadang aku menemukannya termenung di saat dia sedang sendiri bahkan air matanya mengalir tanpa dia sadari. Dia segera menghapusnya ketika menyadari kedatanganku, aku dapat merasakan begitu berat beban yang dia rasakan. Masalah ayahnya benar-benar membuatnya terpuruk. Andai aku bisa meringankan bebannya, apapun pasti akan kulakukan.
"Aku ingin mengajakmu makan malam, apa kau bersedia?" ajaknya saat itu.
"Di mana?" tanyaku lewat secarik kertas.
"Di rumahku!" jawabnya mantap. "Kau belum pernah ke rumahku 'kan?" tanyanya balik. Aku menggeleng, memang benar aku belum pernah ke rumahnya.
"Apa ayah dan Ibumu tahu?" tanyaku kembali.
"Uhm..." dia mengangguk, "Aku memang ingin memperkenalkan kau pada mereka, kau tidak keberatan 'kan?" ucapnya. Napasku tercekat, kuakui ketegangan secara tiba-tiba menyelimutiku.
"Jangan takut, orang tuaku tidak akan menyakitimu. Mereka bukan gengster..." canda Junsu. Aku menatapnya protes, ini tidak lucu seruku dalam hati.
"Mereka bukanlah orang tua seperti yang sering dipertontonkan di TV, yang akan marah bila anaknya berteman dengan teman yang tidak selevel dengan mereka. Orang tuaku tidak akan keberatan aku berteman dengan siapa saja selama teman itu tidak merusakku. Dan aku tahu kau bukanlah yang seperti itu." dia mengenggam tanganku,
"Wah... Tanganmu sangat dingin, belum bertemu dengan orang tuaku saja sudah sedingin ini, begaimana bila bertemu nanti, jangan sampai kau menjadi es balok!" ejeknya. Aku hanya bisa melayangkan tatapan protes padanya, ini bukan saatnya bercanda.
"Tenanglah, kau akan baik-baik saja!" bujuknya.
♥♥♥
Maaf... Aku sungguh terpaksa melakukannya, aku tak punya pilihan lain. Bagaimanapun aku telah berjanji pada Ibu bahwa aku akan membawa 'gadis itu' ke hadapannya. Dan kali ini aku ingin menepati apa yang telah kukatakan.
Kuharap setelah ini... Kita akan baik-baik saja. Menjalani hidup sebagai saudara, rukun dan saling mendukung, itulah yang kuharapkan meski aku sendiri ragu apakah aku akan dapat melakukannya mengingat perasaanku padamu benar-benar tulus. Ya.... rasa cinta itu telah mengakar kuat sehingga kuyakin akan butuh waktu lama untuk menghilangkannya.
Sore itu - sesuai janji - aku datang menjemputnya. Aku sempat kehilangan kata-kata saat melihatnya, dia sungguh berbeda dari yang biasanya. Dia berdandan, matanya, pipinya, bibirnya, menjadi sangat cantik. Dia tak lagi memakai kacamatanya. Gaun berwarna bunga cherry sungguh membuatnya semakin menawan. Rambutnya yang bergelombang dibiarkannya tergerai dengan satu jepitan berbentuk pita untuk menjepit poninya. Bagaimana dia bisa secantik ini?
"Aku meminjam gaun milik temanku, dia juga yang mendadaniku seperti ini..." tulisnya di selembar kertas, aku tersenyum geli membaca pengakuannya.
"Aku payah ya? Bagaimana bisa aku mengaku kalau semua yang kupakai ini adalah pinjaman" sesalnya. Aku menggeleng tidak setuju.
"Itu tandanya kau sangat menghargai orang tuaku... Kau berupaya tampil sebaik mungkin sekalipun semua hanya pinjaman,"
"Aku hanya tidak ingin membuat orang tuamu kecewa,"
"Tidak, ayah dan ibuku pasti tidak akan kecewa!"

Kami tiba, kugenggam tangannya dan menuntunnya memasuki rumahku. Kurasakan tangannya mendingin, sangat jelas dia sedang gugup. Sementara aku... ya... Aku juga gugup, seakan menghitung mundur detik-detik eksekusi matiku, aku akan membawanya menemukan kenyataan pahit antara kami berdua.
"Apa ayah dan ibu sudah lama menunggu? Maaf... Aku sedikit terlambat." ucapku memecah percakapan orang tuaku. Mereka serta merta menoleh,
"Tidak masalah..." ucapan ayah terpotong dan suaranya seakan hilang saat melihat gadis yang sedang kugandeng. Seperti yang sudah kuprediksi, Seoyoo pun seperti itu, dia kaget.
"Seoyoo... Perkenalkan, ini ayah dan ibuku," ucapku bergetar.
"Seoyoo..." ibuku tercekat. Aneh... ibu sepertinya juga sudah mengenalnya.
"Apakah benar mereka ayah dan ibumu?" dengan isyarat Seoyoo bertanya padaku. Aku mengangguk, tak dapat kujelaskan secara rinci keterkejutannya itu. Tapi seakan aliran darahnya berhenti sehingga wajahnya menjadi pucat pasi. Gadis itu menggeleng seakan tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia menangis sesenggukan, apakah terlalu sakit? Kuharap kau dapat bertahan.
Serta merta dia melepas genggaman tanganku, mendorongku dengan tenaganya yang lemah dan segera meninggalkan aku dan orang tuaku.
"Seoyoo...!" ayah sempat melerainya namun langkahnya terlambat.
"Ibu... Seperti janjiku sebelumnya, aku akan membuktikan bahwa ayah telah menghianati kita selama ini."
"Apa yang kau bicarakan?" suara ayah terdengar berat.
"Aku menemukan rekening mencurigakan milik ayah yang menunjukkan bahwa setiap bulannya ayah mengirimkan uang dalam jumlah besar ke rekening orang lain. Setelah kutelusuri ternyata rekening itu milik Seoyoo." ucapku. "Dia siapa ayah? Kenapa ayah mengiriminya uang yang banyak selama beberapa tahun ini? Apa hubungan ayah dengannya sehingga ayah mau berkorban seperti itu padanya? Benarkah dia anak haram ayah?"
"Junsu!!!!" Ibu seketika menamparku, aku tidak percaya... Ibu menamparku? Kupikir ayah yang akan melakukannya, tapi pada kenyataannya ibulah yang melakukannya.
♥♥♥
Aku berlari... Air mataku tak henti mengalir. Sampai pada saat aku kehabisan napas, aku terjatuh. Aku kehabisan napas bukan karena berlari namun karena tangis yang menguras semua emosiku. Aku terduduk di atas aspal yang dingin menangis dan meratap, kenapa semua berakhir pilu seperti ini?
Aku tak akan pernah melupakan, aku tidak akan bisa! Ayahmu, sesungguhnya aku tak ingin melihatnya lagi sepanjang sisa usiaku. Bila dia ayahmu, berarti kaulah orangnya. Kaulah yang membuat hidupku jadi menyedihkan seperti ini. Hiks... hiks.... hiks.... kupukul dadaku yang sesak, kuharap agar sakitnya sedikit berkurang tapi nyatanya tak ada pengaruh sama sekali.
Apa? Apa yang harus kulakukan? Kenapa harus dia, kenapa harus Junsu? Kenapa aku jatuh cinta pada pembunuh kedua orang tuaku?
♥♥♥
"Kau tak ingat, kau lupa! Sesungguhnya kejadian itu sangat berat untukmu sehingga menyebabkanmu amnesia." ibu berbicara di sela tangisannya.
"Kau tak sadar bahwa selama ini kau sedang sakit," ayah menambahkan dengan suara lirih. "Kami sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa kau mengalami amnesia sebagian,"
"Apa maksud ayah?" kebingungan menyekat tenggorokanku.
"Kau tak ingat saat kau remaja... Ayah harap kau tak akan pernah ingat kejadian itu. Kejadian itu membuatmu berteriak ketakutan sepanjang malam sehingga kami harus menyuntikkan obat penenang padamu,"
"Kejadian apa? Apa yang terjadi saat itu?" desakku. Entah kenapa aku menjadi takut, takut tanpa alasan yang jelas.
"Kau... Tanpa sengaja membunuh sepasang suami istri dan melukai putri mereka..." lirih ayah. "Kau membawa kabur mobil ayah, ugal-ugalan di jalan padahal kau baru saja belajar menyetir. Sampai pada akhirnya kecelakaan mengerikan itu terjadi, kau menabrak mobil lain, membuat mobil itu terpental jauh dan menabrak pagar pembatas. Sepasang suami istri penumpang mobil itu meninggal di tempat sementara putri mereka mengalami koma." jelas ayah penuh kehati-hatian.
Kepalaku terasa berputar, tiba-tiba saja sekelebat bayangan sebuah kecelakaan melintas dalam ingatanku. Suara sirine ambulans, kemacetan jalan, suara tangisan ibu, darah... Semua berputar di kepalaku entah dari mana asalnya.
"Ayah... Aku tak ingin masuk penjara,"
"Lakukanlah sesuatu, Junsu tidak sengaja melakukannya, aku tak mau putraku masuk penjara, hiks..."
"Pengacara Lee apa yang harus kami lakukan? Kami akan membayar kompensasi berapapun yang mereka minta"
"Satu-satunya korban yang masih selamat adalah gadis itu. Saat ini dia sedang koma sehingga kita tidak dapat bernegosiasi dengannya."
"Dokter bagaimana keadaan gadis itu? Dia akan selamat 'kan?"
"Keadaannya buruk, paru-parunya bermasalah setelah terkena tulang rusuknya yang patah. Kami harus membuatkan alat pernapasan cadangan agar dia dapat bernapas sampai keadaannya stabil untuk melakukan operasi.
"Lakukan apa saja untuk menyelamatkannya... Apa saja!"
"Tapi...kami harus mengangkat pita suaranya untuk memasang selang udara di tenggorokannya,"
"Ayah terpaksa menyetujuinya Nak, bila gadis itu tak dapat bicara maka dia tak akan bisa memberikan kesaksian untuk menjeratmu ke dalam hukum. Ya... satu-satunya jalan untuk menyelamatkanmu adalah dengan membuat gadis itu bisu."
"Dan... Sebagai gantinya, kami mengirimkan biaya hidup setiap bulan untuknya semata-mata sebagai ungkapan rasa penyesalan kami atas kematian kedua orang tuanya," lanjut ibu. "Sekalipun kami tahu... Sebesar apapun jumlah uang yang kami berikan tak akan cukup untuk membayar duka kematian orang tuanya dan... Membayar suaranya yang kami rampas."
♥♥♥
Air mataku mengalir dengan sendirinya tanpa dapat kutahan saat memandang foto keluarga kecilku. Ayah, Ibu, dan aku tersenyum bahagia, namun kenyataannya kini... hanya tersisa aku dengan tangisan yang memilukan. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membencinya? Tapi aku terlanjur mencintainya. Hiks...
"Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat..." tegur rekan kerjaku di Alfamart.
"......." aku tak tahu harus menjawab apa, saat ini keadaanku sangat buruk. Huh... dan tentu saja aku tidak akan pernah bisa menjawab karena keadaanku ini, aku tak memiliki pita suara. Ya.... Mereka telah merenggutnya, Junsu telah merenggutnya dengan sangat kejam.
Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku, kepalaku yang tadi bersandar di halte bus menangkap sosok pria yang sejujurnya tidak ingin kulihat lagi, dia ayahnya Junsu.
"Bisakah kita bicara berdua?" ajak Tuan Kim.
Aku menggeleng, apa yang dapat kita bicarakan berdua sementara untuk bersuarapun aku tak bisa.
"Seoyoo... Maafkan kami!" pintanya. Tiba-tiba dia berlutut di depanku, “Aku sangat sadar sebanyak apapun uang yang kami berikan kepadamu tak akan bisa menggantikan apa yang telah kami rebut darimu. Tapi kumohon… maafkanlah kami, terus terang saja selama belasan tahun hidup dalam bayang-bayang rasa bersalah terhadapmu membuatku tertekan.”
“Junsu… dia juga sakit kala itu. Setiap malam selalu mengalami mimpi buruk dan sepanjang hari ketakutan. Dia mengalami ketergantungan pada morfin sebagai obat penenangnya sampai suatu ketika dia over dosis. Dia koma selama dua minggu, setelah sadar tiba-tiba saja dia lupa segalanya. Psikiaternya bilang bahwa tekanan yang dialaminya terlalu berat untuk diterima otak sehingga otak menolak untuk memproses segala ingatannya dan akhirnya semua hilang.”
“Kami mengerti, kau sangat menyangi ayah dan ibumu begitu pun kami yang sangat menyangi Junsu. Aku tak akan rela melihat anakku semakin tersiksa mendekam dalam penjara. Aku terpaksa, aku tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan Junsu selain dengan mengorbankan suaramu,”

Aku terduduk di aspal, menangis terluka mendengar penjelasan Tuan Kim. Kejadian itu kembali berkelebat dalam ingatanku dan aku telah bersumpah untuk tidak akan pernah melupakannya. Seorang ayah berlutut di hadapanku demi membela putra semata wayangnya lalu siapa yang akan membelaku sebagai putri yang kehilangan orang tuanya dengan begitu tragis. 

to be contined ....



No comments:

Post a Comment