sebelumnya di Silence - Part 1
Aku
mempersiapkan semua keperluan melukisku. Kurasa taman belakang kampus cukup
untuk kujadikan objek lukisanku. Pemandangan bukit hijau dengan langit biru
menjuntai akan membuat kertas kanvasku terlihat lebih menawan. Saat meraut
pensilku, ia terjatuh. Bergelinding hingga aku mendengar percakapan seseorang
di telepon.
“Rekening
seorang gadis seumuranku? Apa kau tak salah informasi?”
“Mana
mungkin ayahku berselingkuh dengan gadis yang seumuran anaknya!”
“Apa
mungkin justru gadis itu adalah anaknya?” begitulah ia berbicara dengan nada
yang tertekan amarah. Kim Junsu? Aku kaget saat menyadari ternyata orang itu
Kim Junsu! Ayahnya selingkuh?
“Cari
tahu siapa gadis itu bagaimana pun caranya. Akan kuhancurkan dia sama seperti
kehadirannya telah menghancurkan kebahagiaan keluargaku!” tutup sang pangeran
kampus itu. Kreeck... tak sengaja aku menginjak ranting kering hingga
kehadiranku disadari olehnya.
“Siapa?”
tanyanya menyelidik. Buru-buru kubalik badanku, bersiap untuk kabur namun
langkahku terlalu lambat hingga ia berhasil menemukanku.
“Kau?!
Apa kau mendengar semuanya?!” bentaknya. Aku merinding ketakutan, aku hanya
berani menatap rerumputan di bawahku dengan mulut yang bungkam.
“Kenapa
kau selalu mengikutiku? Apa kau stalker?” bentaknya. Aku
berusaha meminta maaf dengan membungkukkan badanku berkali-kali, ingin sekali
aku menjelaskan bahwa aku tidak sengaja namun apa daya, keadaanku tidak
memungkinkan.
“Apa
kau ingin tidur denganku?” pertanyaannya membuatku bagai terkena tamparan.
Kuangkat penglihatanku dan kutatap dia dengan tatapan tidak percaya. “Apa tidur
denganku cukup membuatmu untuk berhenti menjadi bayanganku?”
Plaaakkk...
tamparanku mendarat di pipinya.
“Kenapa?
Bukannya kau menyukaiku? Tidur denganku pastinya menjadi harapanmu. Aku akan
melakukannya untukmu asal berhentilah mengekoriku!”
Plaaakk...
sekali lagi pipinya yang mulus harus merasakan tamparanku. Perlahan butiran
bening merembes melalui kelopak mataku, aku tak menyangka dia akan setega itu
padaku.
♥♥♥
Tanganku
mengepal menatap kepergiannya, gadis itu... beraninya dia menamparku. Gadis
bisu sepertinya punya hak apa melukaiku? Kau... akan hancur di tanganku! Segera
kupencet beberapa nomor di ponselku dan...
“Aku
ingin kau mencari tahu tentang gadis bisu itu, latar belakangnya, alamat, dan
semuanya. Sore ini... semuanya sudah harus kuketahui!” perintahku.
Tak
butuh waktu lama untuk menunggu, informasi tentang gadis bisu itu sampai juga
di tanganku.
“Dia
yatim piatu, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis saat dia masih SMP.
Kehidupannya dibiayai oleh negara sejak saat itu namun saat menginjak bangku
kuliah, dia mulai membiayai hidupnya sendiri. Dia bekerja part time di mini market yang buka 24 jam, dia mengambil
shift malam sebab paginya dia harus kuliah dan siang dia menjaga perpustakaan
kampus...” begitulah informanku menjelaskan data gadis itu. Huh... ternyata dia
orang kecil, tidak akan sulit untuk menghancurkannya!
♥♥♥
Usai
mengganti seragamku Alfamart-ku, aku pun
pulang ke rumah. Jalanku dicegat oleh beberapa orang preman. Wajah mereka
sungguh menakutkan dengan penampilan urakan. Apa yang mereka inginkan? Uang?
Aku tidak punya. Aku melangkah mundur dengan harapan dapat melarikan diri namun
mereka mengepungku. Aku hanya bisa menangis, bersuarapun aku tak bisa,
bagaimana mungkin dapat berteriak meminta tolong.
Tubuhku
gemetar saat mereka mulai menyentuhku, seseorang... siapa pun itu, kumohon
bantulah aku.
“Kau
takut?” tiba-tiba sebuah suara familiar mengalun di telingaku. Aku menengadah
dan kulihat Kim Junsu memandangku dengan angkuh. “Permainan yang menyenangkan.
Melihatmu ketakutan seperti itu, siapa yang sangka kalau kau sebenarnya
pemberani. Berani telah menamparku! Aku bisa melakukan lebih, maka dari itu
berhati-hatilah!” ucapnya kemudian meninggalkanku.
Aku
berdiri menghapus air mata ketakutanku. Hatiku memang tertarik padamu namun
bukan berarti kau dapat memperlakukan aku semaumu. Kulempar sepatuku dan
mengarah padanya, yup... sukses penimpuk kepalanya.
“Kau!”
bentaknya. Kaumbil buku catatanku dan secepat mungkin menulis suara hatiku.
Kulemparkan secarik kertas itu ke arahnya kemudian segera kabur dari
hadapannya.
“Kuharap
gadis itu adalah putri ayahmu. Dan kuharap gadis itu tidak seperti dirimu.
Kasihan ayahmu bila hanya memilik seorang putra sepertimu!” begitulah
tulisanku.
Aku
berhenti di persimpangan jalan, kuatur napasku yang terputus-putus karna lelah
berlari. Aku terduduk, aku tak sanggup berdiri lagi. Pengecut? Apakah memang
aku pengecut? Seharusnya aku tetap di sana menanti reaksinya dan membalasnya
lagi kalau perlu. Tapi kenyataannya malah aku lari, menyelamatkan diri. Langit
mulai cerah, perlahan fajar mulai menyingsing. Kutekuk lututku, sampai kapan
aku harus begini, aku lelah dengan keadaanku. Hiks...
♥♥♥
Kuremas
kembali kertas yang telah kuremas barusan. Berkali-kali hingga kertas itu
nyaris sobek. Dia... beraninya dia berkata seperti itu. Tapi sebenarnya... ada
persetujuan dari lubuk hatiku, anak seperti apa aku ini? Apa pernah aku membuat
orang tuaku bangga padaku? Aku selalu protes pada mereka yang terlalu sibuk,
namun aku sendiri tidak pernah membuat mereka merasa beruntung memiliki putra
sepertiku.
Aku
termenung dan lamunanku terusik oleh kedatangan seseorang. Saat menoleh,
kulihat gadis bisu itu telah kabur. Ya... mungkin dia tak menyangka aku berada
di tempat yang selalu didatanginya, taman belakang kampus.
“Hei
pengecut jangan kabur!” teriakku padanya dan sesuai prediksiku, dia
menghentikan langkahnya. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mencoba tersenyum
meski sejujurnya hatiku perih karena malu.
“Bagaimana
kalau kita ke pantai?” tawarku
Awalnya
aku pesimis dia mau menerima tawaranku, namun ternyata dia menerima. Kini aku
dan dia duduk bersama di tepi pantai sambil memandang lepas pada laut yang
mulai berwarna keemasan karena pantulan cahaya matahari yang akan tenggelam.
“Kenapa
kau mau menerima ajakanku? Apa kau tak takut kujebak?” tanyaku membuka
percakapan.
“Aku
tak ingin menjadi pengecut. Cukup semalam saja aku melarikan diri darimu. Kali
ini bila kau ingin mengerjaiku, aku harus menghadapinya,” tulisnya di secarik
kertas. Aku tersenyum.
“Jadi...
kau berharap kali ini aku akan mengerjaimu lagi?”
“Tentu
saja tidak. Tapi bila iya, aku sudah siap!” aku tersenyum lagi.
“Ternyata
kau lucu! Aku iri padamu...” balasku. Dia menatapku, aku tidak mengerti apa
maksudnya. “Hidupmu berat, saat ini kau tak punya siapa-siapa lagi, namun kau
berjuang dan tak mau menyerah. Bila aku berada di posisimu, aku tak yakin apakah
aku dapat bertahan sepertimu...”
“......”
dia masih menatapku.
“Orang
tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka bahkan tak
pernah menyisahkan waktu untukku. Hatiku bertambah sakit saat menyadari kalau
ayahku mungkin berdusta. Bagaimana mungkin ayahku menyisahkan waktu untuk orang
lain sementara untukku tidak ada,” “Ibuku pun terlihat acuh dengan keadaan ini,
apakah ia benar-benar tidak tahu atau malah tidak peduli, aku tidak tahu.”
“Rasanya pasti akan sangat sakit bila kecurigaanku ini menjadi nyata. Aku
bukanlah orang yang mudah memaafkan sebuah pengkhianatan, kuharap semua hanya
salah paham...”
♥♥♥
Dia
tertidur lelap dalam pangkuanku, kubelai rambutnya dan memandang lekat wajahnya.
Pertama kalinya kulihat dia mengeluh, bahkan menangisi masalahnya. Sejauh ini
yang kutahu dia pemuda angkuh yang memiliki segalanya kecuali satu, air mata.
Ternyata aku salah, sehebat apapun seseorang, dia pasti dapat menagis. Satu
tirai kelam milik Kim Junsu yang mungkin tidak diketahui orang lain, namun aku
mengetahuinya. Dibalik penampilannya yang tanpa celah selama ini, ternyata dia
rapuh.
“Kenapa
kau harus seperti ini. Apa yang kau alami membuatku semakin tak dapat
menanggalkan perasaanku padamu. Kuatlah... seperti yang orang-orang lihat
selama ini. Kau seorang Kim Junsu yang memiliki segalanya kecuali air mata!” ucapku.
Sejak
itu kami mulai dekat. Seperti mimpi yang menjadi nyata, aku dapat mengobrol
dengannya seperti seorang teman. Tak dapat kuingkari, kedekatanku dengannya
membuatku semakin menyayanginya. Sekalipun aku tahu, aku tak pernah ada di
hatinya namun sudah cukup bagiku bila hanya menjadi temannya.
“Aku
masih tak percaya, Junsu dan Si Bisu itu menjadi teman!” tanpa sengaja kudengar
percakapan beberapa mahasiswa di koridor.
“Kudengar...
Si Bisu itu menggunakan status yatim-piatunya untuk menarik simpati Junsu!”
“Benar-benar
menjijikkan. Meskipun begitu, aku tetap salut pada Si Bisu itu. Bagaimana
tidak, tega sekali dia menggunakan kematian orang tuanya untuk menarik
perhatian laki-laki!”
Aku
terkejut akan kehadiran Junsu secara tiba-tiba. Kulihat ada emosi di matanya,
tangannya mengepal...
“Kenapa
kau diam saja mendengar perkataan mereka?” tanyanya. Aku tertunduk pasrah. Apa
aku harus berteriak marah sedangkan suara pun aku tak punya? “Biar kulakukan
untukmu!” sambungnya, mungkin menyadari arti kebisuanku. Segera kutahan
tangannya, dan menggeleng memberi isyarat agar dia tak melakukannya.
“Aku
baik-baik saja!” ucapku dengan isyarat. Kupegang dadaku dan tersenyum padanya.
Meskipun perih, aku harus tahan. Di masa depan... pasti aku akan mengalami hal
yang lebih menyakitkan dari saat ini. Maka dari itu, mulai sekarang aku harus
terbiasa dengan gunjingan orang-orang sekalipun itu fitnah.
♥♥♥
Penelusuranku
akan gadis itu tetap berlanjut, aku harus tahu siapa anak haram ayahku. Kali
ini aku harus membuat ayah mengakuinya, ibu pun harus tahu. Hanya saja aku
belum memikirkan langkah apa yang harus kutempuh bila memang kelak aku
menemukan gadis itu.
"Ayahmu
tidak akan melakukan hal itu!!!" ucap Ibu kukuh saat aku menceritakan
kecurigaanku tentang kesetiaan ayah padanya.
"Aku
punya bukti, rekening mencurigakan ayah yang sejumlah uangnya dikirim secara
konsisten pada rekening seorang wanita." belaku,
"Junsu...
Kau membuntuti ayahmu?" tanya Ibu,
"Ya,
aku memang melakukannya."
"Kau
tak punya hak untuk itu!" tak kusangka Ibu menjadi marah.
"Aku
melakukannya untukmu Bu, untuk kita! Begitu kejinya perbuatan ayah mendustai
kepercayaan kita. Dia berselingkuh bahkan memiliki anak haram!!"
"Junsu!!!!"
Ibu menghardikku. Untuk pertama kalinya aku mendengar Ibu membentakku.
"Akan
kubuktikan bahwa kecurigaanku itu benar. Saat itu kuharap Ibu tak akan menyesal
karena tidak percaya padaku. Akan kuseret anak haram itu ke hadapan Ibu. Itu
janjiku."
Perih
memang, di saat aku tulus untuk membantu Ibu namun usahaku diabaikan begitu
saja. Sekalipun begitu, aku tak akan berhenti. Akan kutunjukkan pada Ibu bahwa
selama ini ayah telah menipu kami. Entah apa kelebihan yang dimiliki anak haram
itu sehingga ayah bahkan lebih perhatian padanya dibanding padaku. Aku janji
akan membuat mereka menyesal telah merampas kebahagiaan keluargaku.
♥♥♥
"Junsu..."
pekikku dalam hati saat tahu orang yang mengetuk pintu apartement lusuhku adalah
dirinya.
"Apa
aku mengganggumu?" lirihnya, suaranya bahkan nyaris hilang ditelan gemuruh
hujan badai malam ini. Aku menggeleng cepat, katarik tangannya untuk segera
masuk agar dia tidak kedinginan. Di luar sedang hujan lebat disertai badai, dia
bahkan telah basah kuyub. Apa yang terjadi padanya? Kenapa penampilannya sangat
menyedihkan? Beberapa saat berlalu akhirnya dia dapat terlelap dengan sisa air
mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Ada apa dengannya? Apakah dia baru
saja mengalami hal yang sangat melukainya?
Pagi
pun menjelang, untunglah dia bangun dalam keadaan yang lebih baik. Aku telah
menyiapkan sarapan untuknya, semoga lidahnya dapat bersahabat dengan masakanku.
Kulihat dia makan dengan lahap, tak banyak protes.
♥♥♥
Pertengkaran
dengan ibu malam itu membuatku terpukul, dan entah kenapa hatiku memintaku
datang mencari perlindungan padanya. Dia pasti kaget kedatangan tamu di tengah
badai, kupikir dia akan menghusirku tapi ternyata malah memberi pertolongan
padaku.
"Terima
kasih...." ucapku usai menyantap sarapan darinya. "Masakanmu seenak
buatan Ibuku, tapi sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah
merasakannya..." dia diam memandangku, kutahu dia ingin bicara namun
keterbatasannya mencegahnya untuk itu.
"Aku
bertengkar dengan Ibu. Ia marah saat tahu aku menyelidiki ayahku. Kutahu Ibu
sangat mencintai ayah, namun itu bukan alasan baginya untuk tutup mata dan
tutup telinga pada perbuatan ayahku."
Gadis
itu menggenggam tanganku, kehangatannya mengalir mengikuti aliran darahku,
"jangan membencinya, kebencian hanya akan menggerogoti kebahagiaanmu, jangan
membenci ayahmu maupun anak itu..." tulisnya. Aku
memandangnya tak percaya, "Apa kau tidak mendukungku?" saat ini hanya
pertanyaan itu yang berpendar di kepalaku.
Dia
menggeleng, dia segera menulis di kertas dan menyodorkannya padaku. "Carilah
gadis itu, temukan dia dan kenali dia. Mungkin saja dia gadis yang malang dan
sangat membutuhkan ayahmu."
"Kenapa
kau berpikir seperti itu?"
"Aku
yakin ayahmu punya alasan yang kuat untuk semua keputusannya. Belajarlah
mempercayai orang yang kau sayangi, itu akan membantumu bertindak lebih
bijak."
♥♥♥
Junsu
segera berpamitan setelah dia menerima telepon dari seseorang. Wajahnya
terlihat tegang saat itu. Kuharap itu bukan sesuatu yang buruk.
Sehari...
Dua
hari...
Empat
hari...
Seminggu...
Tak ada lagi kabar darinya. Junsu tak lagi menemuiku, aku bahkan tidak pernah
lagi melihatnya di kampus. Ada apa? Apa dia baik-baik saja? Apakah terjadi
sesuatu padanya? Ya Tuhan... Kumohon lindungi dia, jangan biarkan terjadi hal
buruk padanya.
Sudah
seminggu aku menunggui Junsu di taman belakang kampus, bahkan beberapa kali aku
mengunjungi kelasnya. Berharap dia tetap datang kuliah dan hanya sibuk sampai
tidak sempat menemuiku. Meski tatapan sinis dan cibiran pedas menyambutku
setiap kali aku bertanya pada teman-temannya tentang keberadaannya, aku tak
lagi peduli.
♥♥♥
Aku
tak pernah menyangka, melihatnya menantiku tanpa kepastian ternyata sanggup
melukai perasaanku. Berhentilah menungguku di taman, akhir-akhir ini cuaca
semakin dingin nanti kau jatuh sakit. Berhentilah mencariku di kelas dan bertanya
pada teman-temanku, tidakkah kau lihat tatapan remeh mereka
terhadapmu? Sisahkan sedikit harga diri untukmu, kau berhak untuk itu.
Kau...
Sejak kapan kau membuatku seperti ini? Kau hanyalah gadis bisu yang tidak
pernah masuk dalam hitunganku tapi bagaimana bisa kau membuatku jatuh cinta?
Selama ini banyak gadis yang mendekatiku yang tentu saja lebih baik
berkali-kali lipat darimu tapi kenapa justru kau saja yang mampu mengetuk pintu
hatiku?
Hiks...
Aku tak ingin mencintaimu!
Aku
benar-benar tak ingin,
Bukan
karena aku malu pada keadaanmu... Tapi karena aku tak boleh.
to be continued ...
No comments:
Post a Comment