Friday 21 August 2015

Silence - Part 2




sebelumnya di Silence - Part 1

Aku mempersiapkan semua keperluan melukisku. Kurasa taman belakang kampus cukup untuk kujadikan objek lukisanku. Pemandangan bukit hijau dengan langit biru menjuntai akan membuat kertas kanvasku terlihat lebih menawan. Saat meraut pensilku, ia terjatuh. Bergelinding hingga aku mendengar percakapan seseorang di telepon.
“Rekening seorang gadis seumuranku? Apa kau tak salah informasi?”
“Mana mungkin ayahku berselingkuh dengan gadis yang seumuran anaknya!”
“Apa mungkin justru gadis itu adalah anaknya?” begitulah ia berbicara dengan nada yang tertekan amarah. Kim Junsu? Aku kaget saat menyadari ternyata orang itu Kim Junsu! Ayahnya selingkuh?
“Cari tahu siapa gadis itu bagaimana pun caranya. Akan kuhancurkan dia sama seperti kehadirannya telah menghancurkan kebahagiaan keluargaku!” tutup sang pangeran kampus itu. Kreeck... tak sengaja aku menginjak ranting kering hingga kehadiranku disadari olehnya.
“Siapa?” tanyanya menyelidik. Buru-buru kubalik badanku, bersiap untuk kabur namun langkahku terlalu lambat hingga ia berhasil menemukanku.
“Kau?! Apa kau mendengar semuanya?!” bentaknya. Aku merinding ketakutan, aku hanya berani menatap rerumputan di bawahku dengan mulut yang bungkam.
“Kenapa kau selalu mengikutiku? Apa kau stalker?” bentaknya. Aku berusaha meminta maaf dengan membungkukkan badanku berkali-kali, ingin sekali aku menjelaskan bahwa aku tidak sengaja namun apa daya, keadaanku tidak memungkinkan.
“Apa kau ingin tidur denganku?” pertanyaannya membuatku bagai terkena tamparan. Kuangkat penglihatanku dan kutatap dia dengan tatapan tidak percaya. “Apa tidur denganku cukup membuatmu untuk berhenti menjadi bayanganku?”
Plaaakkk... tamparanku mendarat di pipinya.
“Kenapa? Bukannya kau menyukaiku? Tidur denganku pastinya menjadi harapanmu. Aku akan melakukannya untukmu asal berhentilah mengekoriku!”
Plaaakk... sekali lagi pipinya yang mulus harus merasakan tamparanku. Perlahan butiran bening merembes melalui kelopak mataku, aku tak menyangka dia akan setega itu padaku.
♥♥♥
Tanganku mengepal menatap kepergiannya, gadis itu... beraninya dia menamparku. Gadis bisu sepertinya punya hak apa melukaiku? Kau... akan hancur di tanganku! Segera kupencet beberapa nomor di ponselku dan...
“Aku ingin kau mencari tahu tentang gadis bisu itu, latar belakangnya, alamat, dan semuanya. Sore ini... semuanya sudah harus kuketahui!” perintahku.
Tak butuh waktu lama untuk menunggu, informasi tentang gadis bisu itu sampai juga di tanganku.
“Dia yatim piatu, orang tuanya meninggal dalam kecelakaan tragis saat dia masih SMP. Kehidupannya dibiayai oleh negara sejak saat itu namun saat menginjak bangku kuliah, dia mulai membiayai hidupnya sendiri. Dia bekerja part time di  mini market yang buka 24 jam, dia mengambil shift malam sebab paginya dia harus kuliah dan siang dia menjaga perpustakaan kampus...” begitulah informanku menjelaskan data gadis itu. Huh... ternyata dia orang kecil, tidak akan sulit untuk menghancurkannya!
♥♥♥
Usai mengganti seragamku Alfamart-ku, aku pun pulang ke rumah. Jalanku dicegat oleh beberapa orang preman. Wajah mereka sungguh menakutkan dengan penampilan urakan. Apa yang mereka inginkan? Uang? Aku tidak punya. Aku melangkah mundur dengan harapan dapat melarikan diri namun mereka mengepungku. Aku hanya bisa menangis, bersuarapun aku tak bisa, bagaimana mungkin dapat berteriak meminta tolong.
Tubuhku gemetar saat mereka mulai menyentuhku, seseorang... siapa pun itu, kumohon bantulah aku.
“Kau takut?” tiba-tiba sebuah suara familiar mengalun di telingaku. Aku menengadah dan kulihat Kim Junsu memandangku dengan angkuh. “Permainan yang menyenangkan. Melihatmu ketakutan seperti itu, siapa yang sangka kalau kau sebenarnya pemberani. Berani telah menamparku! Aku bisa melakukan lebih, maka dari itu berhati-hatilah!” ucapnya kemudian meninggalkanku.
Aku berdiri menghapus air mata ketakutanku. Hatiku memang tertarik padamu namun bukan berarti kau dapat memperlakukan aku semaumu. Kulempar sepatuku dan mengarah padanya, yup... sukses penimpuk kepalanya.
“Kau!” bentaknya. Kaumbil buku catatanku dan secepat mungkin menulis suara hatiku. Kulemparkan secarik kertas itu ke arahnya kemudian segera kabur dari hadapannya.
“Kuharap gadis itu adalah putri ayahmu. Dan kuharap gadis itu tidak seperti dirimu. Kasihan ayahmu bila hanya memilik seorang putra sepertimu!” begitulah tulisanku.
Aku berhenti di persimpangan jalan, kuatur napasku yang terputus-putus karna lelah berlari. Aku terduduk, aku tak sanggup berdiri lagi. Pengecut? Apakah memang aku pengecut? Seharusnya aku tetap di sana menanti reaksinya dan membalasnya lagi kalau perlu. Tapi kenyataannya malah aku lari, menyelamatkan diri. Langit mulai cerah, perlahan fajar mulai menyingsing. Kutekuk lututku, sampai kapan aku harus begini, aku lelah dengan keadaanku. Hiks...
♥♥♥
Kuremas kembali kertas yang telah kuremas barusan. Berkali-kali hingga kertas itu nyaris sobek. Dia... beraninya dia berkata seperti itu. Tapi sebenarnya... ada persetujuan dari lubuk hatiku, anak seperti apa aku ini? Apa pernah aku membuat orang tuaku bangga padaku? Aku selalu protes pada mereka yang terlalu sibuk, namun aku sendiri tidak pernah membuat mereka merasa beruntung memiliki putra sepertiku.
Aku termenung dan lamunanku terusik oleh kedatangan seseorang. Saat menoleh, kulihat gadis bisu itu telah kabur. Ya... mungkin dia tak menyangka aku berada di tempat yang selalu didatanginya, taman belakang kampus.
“Hei pengecut jangan kabur!” teriakku padanya dan sesuai prediksiku, dia menghentikan langkahnya. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mencoba tersenyum meski sejujurnya hatiku perih karena malu.
“Bagaimana kalau kita ke pantai?” tawarku
Awalnya aku pesimis dia mau menerima tawaranku, namun ternyata dia menerima. Kini aku dan dia duduk bersama di tepi pantai sambil memandang lepas pada laut yang mulai berwarna keemasan karena pantulan cahaya matahari yang akan tenggelam.
“Kenapa kau mau menerima ajakanku? Apa kau tak takut kujebak?” tanyaku membuka percakapan.
“Aku tak ingin menjadi pengecut. Cukup semalam saja aku melarikan diri darimu. Kali ini bila kau ingin mengerjaiku, aku harus menghadapinya,” tulisnya di secarik kertas. Aku tersenyum.
“Jadi... kau berharap kali ini aku akan mengerjaimu lagi?”
“Tentu saja tidak. Tapi bila iya, aku sudah siap!” aku tersenyum lagi.
“Ternyata kau lucu! Aku iri padamu...” balasku. Dia menatapku, aku tidak mengerti apa maksudnya. “Hidupmu berat, saat ini kau tak punya siapa-siapa lagi, namun kau berjuang dan tak mau menyerah. Bila aku berada di posisimu, aku tak yakin apakah aku dapat bertahan sepertimu...”
“......” dia masih menatapku.
“Orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka bahkan tak pernah menyisahkan waktu untukku. Hatiku bertambah sakit saat menyadari kalau ayahku mungkin berdusta. Bagaimana mungkin ayahku menyisahkan waktu untuk orang lain sementara untukku tidak ada,” “Ibuku pun terlihat acuh dengan keadaan ini, apakah ia benar-benar tidak tahu atau malah tidak peduli, aku tidak tahu.” “Rasanya pasti akan sangat sakit bila kecurigaanku ini menjadi nyata. Aku bukanlah orang yang mudah memaafkan sebuah pengkhianatan, kuharap semua hanya salah paham...”
♥♥♥
Dia tertidur lelap dalam pangkuanku, kubelai rambutnya dan memandang lekat wajahnya. Pertama kalinya kulihat dia mengeluh, bahkan menangisi masalahnya. Sejauh ini yang kutahu dia pemuda angkuh yang memiliki segalanya kecuali satu, air mata. Ternyata aku salah, sehebat apapun seseorang, dia pasti dapat menagis. Satu tirai kelam milik Kim Junsu yang mungkin tidak diketahui orang lain, namun aku mengetahuinya. Dibalik penampilannya yang tanpa celah selama ini, ternyata dia rapuh.
“Kenapa kau harus seperti ini. Apa yang kau alami membuatku semakin tak dapat menanggalkan perasaanku padamu. Kuatlah... seperti yang orang-orang lihat selama ini. Kau seorang Kim Junsu yang memiliki segalanya kecuali air mata!” ucapku.

Sejak itu kami mulai dekat. Seperti mimpi yang menjadi nyata, aku dapat mengobrol dengannya seperti seorang teman. Tak dapat kuingkari, kedekatanku dengannya membuatku semakin menyayanginya. Sekalipun aku tahu, aku tak pernah ada di hatinya namun sudah cukup bagiku bila hanya menjadi temannya.
“Aku masih tak percaya, Junsu dan Si Bisu itu menjadi teman!” tanpa sengaja kudengar percakapan beberapa mahasiswa di koridor.
“Kudengar... Si Bisu itu menggunakan status yatim-piatunya untuk menarik simpati Junsu!”
“Benar-benar menjijikkan. Meskipun begitu, aku tetap salut pada Si Bisu itu. Bagaimana tidak, tega sekali dia menggunakan kematian orang tuanya untuk menarik perhatian laki-laki!”
Aku terkejut akan kehadiran Junsu secara tiba-tiba. Kulihat ada emosi di matanya, tangannya mengepal...
“Kenapa kau diam saja mendengar perkataan mereka?” tanyanya. Aku tertunduk pasrah. Apa aku harus berteriak marah sedangkan suara pun aku tak punya? “Biar kulakukan untukmu!” sambungnya, mungkin menyadari arti kebisuanku. Segera kutahan tangannya, dan menggeleng memberi isyarat agar dia tak melakukannya.
“Aku baik-baik saja!” ucapku dengan isyarat. Kupegang dadaku dan tersenyum padanya. Meskipun perih, aku harus tahan. Di masa depan... pasti aku akan mengalami hal yang lebih menyakitkan dari saat ini. Maka dari itu, mulai sekarang aku harus terbiasa dengan gunjingan orang-orang sekalipun itu fitnah.
♥♥♥
Penelusuranku akan gadis itu tetap berlanjut, aku harus tahu siapa anak haram ayahku. Kali ini aku harus membuat ayah mengakuinya, ibu pun harus tahu. Hanya saja aku belum memikirkan langkah apa yang harus kutempuh bila memang kelak aku menemukan gadis itu.
"Ayahmu tidak akan melakukan hal itu!!!" ucap Ibu kukuh saat aku menceritakan kecurigaanku tentang kesetiaan ayah padanya.
"Aku punya bukti, rekening mencurigakan ayah yang sejumlah uangnya dikirim secara konsisten pada rekening seorang wanita." belaku,
"Junsu... Kau membuntuti ayahmu?" tanya Ibu,
"Ya, aku memang melakukannya."
"Kau tak punya hak untuk itu!" tak kusangka Ibu menjadi marah.
"Aku melakukannya untukmu Bu, untuk kita! Begitu kejinya perbuatan ayah mendustai kepercayaan kita. Dia berselingkuh bahkan memiliki anak haram!!"
"Junsu!!!!" Ibu menghardikku. Untuk pertama kalinya aku mendengar Ibu membentakku.
"Akan kubuktikan bahwa kecurigaanku itu benar. Saat itu kuharap Ibu tak akan menyesal karena tidak percaya padaku. Akan kuseret anak haram itu ke hadapan Ibu. Itu janjiku."
Perih memang, di saat aku tulus untuk membantu Ibu namun usahaku diabaikan begitu saja. Sekalipun begitu, aku tak akan berhenti. Akan kutunjukkan pada Ibu bahwa selama ini ayah telah menipu kami. Entah apa kelebihan yang dimiliki anak haram itu sehingga ayah bahkan lebih perhatian padanya dibanding padaku. Aku janji akan membuat mereka menyesal telah merampas kebahagiaan keluargaku.
♥♥♥
"Junsu..." pekikku dalam hati saat tahu orang yang mengetuk pintu apartement lusuhku adalah dirinya.
"Apa aku mengganggumu?" lirihnya, suaranya bahkan nyaris hilang ditelan gemuruh hujan badai malam ini. Aku menggeleng cepat, katarik tangannya untuk segera masuk agar dia tidak kedinginan. Di luar sedang hujan lebat disertai badai, dia bahkan telah basah kuyub. Apa yang terjadi padanya? Kenapa penampilannya sangat menyedihkan? Beberapa saat berlalu akhirnya dia dapat terlelap dengan sisa air mata yang meninggalkan jejak di pipinya. Ada apa dengannya? Apakah dia baru saja mengalami hal yang sangat melukainya?
Pagi pun menjelang, untunglah dia bangun dalam keadaan yang lebih baik. Aku telah menyiapkan sarapan untuknya, semoga lidahnya dapat bersahabat dengan masakanku. Kulihat dia makan dengan lahap, tak banyak protes.
♥♥♥
Pertengkaran dengan ibu malam itu membuatku terpukul, dan entah kenapa hatiku memintaku datang mencari perlindungan padanya. Dia pasti kaget kedatangan tamu di tengah badai, kupikir dia akan menghusirku tapi ternyata malah memberi pertolongan padaku.
"Terima kasih...." ucapku usai menyantap sarapan darinya. "Masakanmu seenak buatan Ibuku, tapi sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah merasakannya..." dia diam memandangku, kutahu dia ingin bicara namun keterbatasannya mencegahnya untuk itu.
"Aku bertengkar dengan Ibu. Ia marah saat tahu aku menyelidiki ayahku. Kutahu Ibu sangat mencintai ayah, namun itu bukan alasan baginya untuk tutup mata dan tutup telinga pada perbuatan ayahku."
Gadis itu menggenggam tanganku, kehangatannya mengalir mengikuti aliran darahku, "jangan membencinya, kebencian hanya akan menggerogoti kebahagiaanmu, jangan membenci ayahmu maupun anak itu..." tulisnya. Aku memandangnya tak percaya, "Apa kau tidak mendukungku?" saat ini hanya pertanyaan itu yang berpendar di kepalaku.
Dia menggeleng, dia segera menulis di kertas dan menyodorkannya padaku. "Carilah gadis itu, temukan dia dan kenali dia. Mungkin saja dia gadis yang malang dan sangat membutuhkan ayahmu."
"Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Aku yakin ayahmu punya alasan yang kuat untuk semua keputusannya. Belajarlah mempercayai orang yang kau sayangi, itu akan membantumu bertindak lebih bijak."
♥♥♥
Junsu segera berpamitan setelah dia menerima telepon dari seseorang. Wajahnya terlihat tegang saat itu. Kuharap itu bukan sesuatu yang buruk.
Sehari...
Dua hari...
Empat hari...
Seminggu... Tak ada lagi kabar darinya. Junsu tak lagi menemuiku, aku bahkan tidak pernah lagi melihatnya di kampus. Ada apa? Apa dia baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu padanya? Ya Tuhan... Kumohon lindungi dia, jangan biarkan terjadi hal buruk padanya.
Sudah seminggu aku menunggui Junsu di taman belakang kampus, bahkan beberapa kali aku mengunjungi kelasnya. Berharap dia tetap datang kuliah dan hanya sibuk sampai tidak sempat menemuiku. Meski tatapan sinis dan cibiran pedas menyambutku setiap kali aku bertanya pada teman-temannya tentang keberadaannya, aku tak lagi peduli.
♥♥♥
Aku tak pernah menyangka, melihatnya menantiku tanpa kepastian ternyata sanggup melukai perasaanku. Berhentilah menungguku di taman, akhir-akhir ini cuaca semakin dingin nanti kau jatuh sakit. Berhentilah mencariku di kelas dan bertanya pada teman-temanku, tidakkah kau lihat tatapan remeh mereka terhadapmu? Sisahkan sedikit harga diri untukmu, kau berhak untuk itu.
Kau... Sejak kapan kau membuatku seperti ini? Kau hanyalah gadis bisu yang tidak pernah masuk dalam hitunganku tapi bagaimana bisa kau membuatku jatuh cinta? Selama ini banyak gadis yang mendekatiku yang tentu saja lebih baik berkali-kali lipat darimu tapi kenapa justru kau saja yang mampu mengetuk pintu hatiku?
Hiks... Aku tak ingin mencintaimu!
Aku benar-benar tak ingin,

Bukan karena aku malu pada keadaanmu... Tapi karena aku tak boleh.

to be continued ...

No comments:

Post a Comment