Sunday 30 August 2015

Silence - Part 4



sebelumnya di Silence - Part 3







Memandangnya dari kejauhan adalah rutinitasku beberapa waktu belakang ini. Sampai saat ini aku masih belum punya keberanian untuk berhadapan langsung dengannya. Bahkan untuk meminta maaf pun aku belum berani. Apa yang telah kulakukan padanya tidak akan selesai hanya dengan sepatah kata maaf.
“Junsu… kau baik-baik saja ‘kan?” Taeyeon begitu saja muncul di depanku dan menutupi pandanganku dari gadis itu, gadis yang telah kurenggut bukan hanya suaranya dan orang tuanya, namun semua kebahagiaannya.
“Uhm…” jawabku singkat.
“Akhir-akhir ini  kau sangat berbeda, kau lebih banyak diam dan melamun. Apa kau sedang sakit?” Teayeon membelai wajahku.
“Aku ingin sendiri!” ucapku,
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan kau sendirian. Bagaimana kalau nanti malam kita ke diskotik. Aku juga akan mengajak teman yang lain biar lebih ramai. Ayolah… kau ikut, aku sedih melihat keadaanmu seperti ini. Apalagi kau tidak mau cerita,” gadis itu memelas padaku.
Lantunan musik disko yang memekakkan telinga sudah terdengar sejak dari pintu masuk. Kuputuskan menerima ajakan Taeyeon untuk bersenang-senang malam ini. Seperti janjinya, dia mengundang teman-teman yang lain. Candaan mereka, lelucon yang remeh sampai yang keterlalaun pun terlontar dalam percakapan kami namun semua itu tak mampu membuatku ikut menikmati kebersamaan ini.
Ragaku memang di sini, berteman keramaian dan terhibur oleh tawa namun jiwaku sesungguhnya terbelunggu kesunyian berdinding kesepian. Seoyoo… apa yang sedang kau lakukan sekarang, berhentilah menangis bila memang saat ini kau sedang menangis. Aku tak dapat menghiburmu ataupun menghapus air matamu, dan yang lebih menyakitkan lagi saat kusadari air matamu itu karena perbuatanku.
“Junsu…” Taeyeon menegurku, wajahnya khawatir melihatku yang sedari tadi terdiam. “Kau mau minumu? Aku ambilkan!” tawarnya. Tidak berapa lama kemudian dia datang membawa sebotol vodka dan sebuah gelas. Dia menuang vodka itu ke gelas dan memberikannya padaku, namun tanganku menolak mengambil gelas itu, justru mengambil botolnya dan langsung meneguknya. Taeyeon terdiam memandangku,
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja!” hiburku sambil membelai wajahnya. “Ambilkan lagi, sebanyak yang bisa kau berikan padaku. Aku ingin mabuk malam ini dan ingin kau menemaniku,” 

Entah berapa banyak alkohol yang kuhabiskan dan perasaanku kini benar-benar melayang. Ini cukup membantu melupakan persoalan yang membelitku walau hanya sejenak.
“Ayo kita berdansa!” Taeyeon menarik tanganku turut bergabung dengan pengunjung lain yang sedari tadi sudah bergoyang dengan musik keras yang dipersembahkan DJ.
Seoyoo? Aku kaget saat melihatnya berdiri di depanku sambil tersenyum menikmati alunan musik. Seorang gadis dari samping tidak sengaja menyenggolku, dia juga Seoyoo. Gadis yang mengantarkan minuman ke meja pengunjung juga Seoyoo. Kenapa banyak Seoyoo malam ini? Tidak… ini tidak mungkin, bahkan aku sudah dalam kendali alkohol tapi kenapa aku masih terbayang wajah gadis itu?
Aku berjalan sempoyongan dan ternyata tanpa sengaja menyenggol orang lain, minumannya tumpah dan mengotori pakaiannya,
“Yaak!!!” bentaknya padaku.
“Maaf!” balasku singkat
“Hei… begitu caramu minta maaf?!” lerainya. Aku merogoh saku celanaku dan mengambil beberapa lembar won yang tersisa.
“Ambil ini untuk biaya laundrimu,” perintahku.
“Brengsek, kau pikir aku orang miskin?!” bentaknya. Kudorong orang itu,
“Kalau begitu jangan menghalangi jalanku!” suaraku meninggi.
“Kau ingin cari gara-gara!” orang itu menarik kerah bajuku dan melayangkan satu pukulan di pelipisku. Amarahku memuncak, kupukul dia di bagian hidung sehingga hidungnya berdarah. Tak ayal lagi terjadi perkelahian antara aku dan orang itu.
♥♥♥
Jam dinding telah menunjukkan hampir tengah malam, shift jagaku telah selesai dan aku bersiap-siap untuk pulang.
“Wajahmu pucat sekali, apa kau yakin bisa pulang sendiri?” tegur rekan kerjaku. Aku mengangguk untuk menjawab.
“Lebih baik kau pulang dengan taksi, aku takut terjadi apa-apa padamu,” lanjutnya. Aku menggeleng, kalau naik taksi biayanya akan sangat mahal. Aku memberikan isyarat padanya bahwa aku akan baik-baik saja, dia tidak perlu khawatir.
Angin malam berhembus dengan sangat kencang, kurapatkan mantelku dan berjalan dengan cepat. Aku tak mau ketinggalan bus terakhir sebab ongkos taksi dapat menghabiskan sebagian gajiku. Belum begitu jauh aku melangkah, tiba-tiba saja sesuatu jatuh di depanku. Bukan barang atau apa, yang jatuh adalah orang. Di bawah sinar lampu jalan aku dapat melihat dengan jelas cairan merah segar mengalir dari tubuh orang itu. Apa dia korban perampokan? Segera kubalik tubuh orang itu yang tertelungkup dan jantungku terasa berhenti berdetak, orang itu adalah Junsu. Wajahnya penuh memar dan kepalanya berdarah.
“Apa… apa yang terjadi padamu? Kenapa kau seperti ini?” jeritku dalam hati. Aku harus apa? Aku tidak bisa menelpon siapa-siapa, hiks… aku bisu. Untung saja ada orang yang lewat sehingga membantuku menelpon ambulans.

Aku duduk termangu di depan instalasi gawat darurat rumah sakit, menunggu dokter menangani Junsu dan kuharap semua akan baik-baik saja. Tidak berapa lama dari kejauhan kulihat Taeyeon setengah berlari ke arahku.
“Bagaimana Junsu? Di mana dia? Dia baik-baik saja ‘kan?” dia menjejaliku dengan rentetan pertanyaan dan tentu saja aku tak akan dapat menjawabnya. Tiba-tiba saja seorang suster keluar dari ruangan itu,
“Suster, bagaimana keadaan Junsu? Pasien yang terluka itu!” Taeyeon dengan sigap menghampirinya.
“Dia kehilangan banyak darah, luka di kepalanya sangat dalam,” jawab suster itu. “Maaf… saya harus ke ruang persediaan untuk meminta darah yang cocok dengan golongannya,”
Taeyeon terisak sedih mendengar penjelasan suster tadi. Sementara aku… kurasakan tubuhku kaku mengeras, kejadian mengerikan itu kembali terputar seperti video di kepalaku. Ayah ibuku bersimbah darah, mereka sudah tidak bergerak. Aku hanya dapat menangis melihat mereka yang terus memejamkan mata sampai akhirnya senyap itu berubah menjadi gaduh. Orang-orang mulai berkerumun, sirine ambulans juga bersahutan. Aku, ayah, dan ibuku segera di masukkan ke ambulans yang berbeda. Saat itu aku benar-benar takut, aku takut karena mereka tak bergerak lagi, aku takut karena mereka bersimbah darah. Aku takut orang tuaku meninggal. Dan ketakutan itu menjadi nyata saat aku sadarkan diri, orang tuaku benar-benar pergi.
Ketakutan itu kembali lagi, saat ini aku merasakan ketakutan yang sama. Junsu terjatuh di depanku, dia bersimbah darah, dia tak bergerak, apa dia juga akan pergi? Apa dia juga akan meninggal? Tidak… tidak mau, aku tidak mau ditinggal lagi oleh orang yang kusayangi.
Brukk… kesadaranku lenyap.  
♥♥♥
Aku tak lagi ingat apa dan bagaimana kejadian itu berlangsung. Yang kutahu hanyalah aku begitu merindukannya, aku ingin bertemu dengannya. Sekalipun mungkin dia akan menghusirku, aku hanya ingin melihatnya. Taeyeon terus berteriak ketakutan membuat kepalaku yang perih semakin perih saja. Aku tertatih, menahan sakit di sekujur tubuhku hanya untuk melihatnya dari jauh. Dia terlihat pucat, dengan wajah layunya dia keluar dari tempat kerjanya. Dirapatkannya mantelnya karena angin yang berhembus dingin menusuk sampai ke tulang, langkah lemahnya dia percepat mungkin karena tak ingin ketinggalan bus terakhir. Menumpang taksi tentu hal yang sangat mewah bagi gadis yang serba kekurangan sepertinya.
Seoyoo… semua salahku, maafkan aku…
“Junsu…”
Seoyoo… maafkan aku…
“Junsu…” kurasakan ada belaian lembut di wajahku, saat kubuka mata, wajah teduh ibuku menyambutku.
“Ibu…” lirihku.
“Kau mengigau menyebut nama Seoyoo dan berulang kali meminta maaf padanya,” ucap Ibu, “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja Nak,” hibur ibuku.
♥♥♥
Aku tersentak terbangun dari tidurku, aku tak tahu kalau ternyata ada Tuan Kim di sampingku.
“Tenanglah…Kau tak boleh banyak bergerak, keadaanmu belum stabil,” bujuknya.
“Bagaimana keadaan Junsu?” kugenggam erat tangannya dan menatapnya tajam kuharap dia mengerti apa maksudku.
“Junsu sudah melewati masa kritisnya, kita tinggal menunggunya sadar,” jelasnya. Aku menghembuskan napas legaku, syukurlah dia baik-baik saja. “Kau ingin melihatnya?” tanya Tuan Kim hati-hati, aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang apakah menerima atau menolak tawarannya. “Kapanpun kau boleh menjenguknya tapi tunggulah sampai keadaanmu pulih. Kau tiba-tiba pingsan semalam, dokter bilang kau kelelahan dan tertekan,”

Cairan infusku telah habis dan setelah mencabutnya, dokter mengizinkan aku untuk menemui Junsu. Dia masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai. Ibunya bilang bahwa dia mengigau menyebut namaku. Dia minta maaf dan menangis dalam tidurnya. Aku melangkah perlahan mendekatinya, mengenggam tangannya, hangat sekali. Kupandangi ia dalam-dalam, tetes demi tetes air mataku meleleh.
“Ini mungkin yang terakhir kalinya, jaga dirimu baik-baik. Kuputuskan untuk pergi jauh darimu, ini demi kebaikan kita semua,” lirihku.   
♥♥♥
Untuk Junsu,
            Jangan pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada kita, aku percaya segala sesuatu yang terjadi akan memberikan kita pelajaran di akhir cerita. Jangan menghukum dirimu lagi, berhentilah menyakiti dirimu. Jujur kuakui, trauma akan kejadian masa itu membuatku sulit untuk menatapmu namun juga takut kehilanganmu. Betul-betul aneh, aku sendiri tak tahu apa yang kuinginkan. Mungkin dapat kukatakan bahwa aku hanya ingin semua orang yang kucintai hidup bahagia termasuk dirimu.
            Tak perlu memikirkan lukaku, itu urusanku. Yang perlu kau lakukan adalah menata dirimu, perbaiki hidupmu. Kuyakin kau dapat berhasil seperti kebanyakan orang, bahagiakan kedua orang tuamu, jangan sampai terlambat, selama kau masih memiliki mereka sebab kehilangan orang tua benar-benar tidak enak.

            Bila waktu mengizinkan, bila perasaan itu masih sama, dan setelah kau mampu memaafkan dirimu sendiri datanglah kembali padaku. Kuharap di saat itu aku juga telah berhasil mengobati lukaku.

Hiks… hiks… Seoyoo… dia pergi. Entah kemana. Apartement sewaannya kosong, rumahnya di Jinju pun kosong, ayah telah membantuku mencarinya namun hanya menghasilkan kekecewaan. Baiklah, seperti inginmu, aku akan berusaha memaafkan diriku sendiri, bila saat itu tiba aku ingin mencintaimu seperti saat ini lagi. Kau tak boleh menolak, apapun alasannya kau juga harus menerimaku kembali.   



Enam tahun kemudian …
Pagi yang indah, aku bersama anak-anak TK Eirin melakukan study tour. Mereka nampak sangat bahagia, berkejaran di taman pohon cherry yang tengah bermekaran. Musim semi tiba, musim yang membuat kota Seoul berwarna putih dan pink karena keindahan bunga cherry yang bermekaran.
“Shin Songsaenim[1]… bukannya hari ini pameran lukisanmu masih berlangsung?” tegur Suster Kepala padaku.
“…” kujawab pertanyaannya dengan anggukan mengiyakan.
“Kau tak perlu repot menemani anak-anak, datanglah ke pameran itu dan biarkan dirimu mendengar komentar para pengunjung,”
“Tidak, bagiku menemani anak-anak lebih penting. Mereka hanya study tour sekali dalam setahun, aku tak akan melepas kesempatan untuk bergembira bersama mereka,” tulisku pada buku catatan kecil yang memang sering kubawa sebagai media komunikasiku dengan orang-orang.
“Terima kasih…” ucap Suster Kepala, ia bahkan menitikkan air mata. “Entah apa yang terjadi pada kami andai kau tidak ada,” lanjutnya.
“Jangan berkata begitu, aku belum melakukan apa-apa untuk kalian semua,” kegenggam tangannya,
“Berkatmu kami bisa memiliki panti asuhan sendiri tanpa perlu takut penggusuran karena menumpang di tanah milik orang lain, bagaimana bisa kau bilang kau belum melakukan apa-apa?!”
“Apa yang telah kalian berikan kepadaku selama aku menumpang masih lebih besar dari apa yang telah kuberikan pada kalian. Kebahagiaan dan kedamaian yang kurasakan selama enam tahun bersama kalian tak akan bisa kuganti sekalipun aku memberikan seluruh Seoul pada kalian,”
“Diberkatilah kau Nak, semoga Tuhan selalu melindungi dan memberimu kebahagiaan,”
“Amiin…”

Ponselku bergetar tanda ada pesan yang masuk. Wajahku cemberut saat membaca apa isi pesan itu, pesan yang datang dari menejer gallery.
“Pria itu berani menawar 100.000.000 Won untuk lukisanmu itu, kumohon pertimbangkanlah!”
“Tidak, aku tidak akan menjualnya. Andai bukan Byeol yang memaksaku untuk memamerkannya, aku pasti tidak akan memasukkannya di gallery, tutupku.”
“Ibu… ibu… balonku terbang!!!” teriak Byeol dari kejauhan.



[1] Ibu Guru


to be continued...

No comments:

Post a Comment