Sunday 19 July 2015

Silence - Part 1


Kau tak akan pernah dapat menentukan kapan cinta datang menyapamu...
Kau tak akan pernah dapat menentukan pada siapa hatimu akan berlabuh...
Semua terjadi tanpa pernah kau sadari, cinta... akan menunjukkan kekuatannya...

Gadis itu memandangku lagi, seperti kemarin, dua hari yang lalu, tiga hari, dan hari-hari sebelumnya. Kuyakin ia tulus padaku, tapi maaf... ia bukan ‘tipe-ku’. Gadis berkacamata minus yang tebal dengan rambut kepang dua, gadis seperti itu... siapa yang akan menyukainya? Satu lagi... dia tak dapat bicara. Kusarankan menjauhlah dariku sebelum kau terluka.
♥♥♥
Ia melangkah bagai seorang pangeran, senyumannya seakan mampu menghipnotis semua yang memandangnya. Ia begitu sempurna, ia salah satu maha karya Tuhan yang terindah. Aku cukup puas dengan hanya dapat memandangnya dari jauh. Tersenyum sendiri kala melihatnya dan berdebar kala mendengar suaranya. Aku tak berharap banyak, aku tentu tidak akan mendapat perhatiannya, seorang pangeran kampus yang sangat kharismatik.
♥♥♥
 “Ayolah... makan malam denganku. Aku yang akan bayar!”
“Kau pikir aku tidak punya uang?”
“Aku tahu kau punya banyak, lalu bagaimana aku harus membujukmu? Setelah makan malam kita bersenang-senang. Aku akan mereservasi hotel, katakan saja kau ingin di mana?”
“...” aku tersenyum. Kubelai wajahnya yang menurutku cantik, ternyata responnya cukup agresif. Ia melingarkan tangannya di bahuku, “Maaf... aku sudah punya janji malam ini. Kalau kau bersedia menunggu, mungkin tiga hari lagi setelah aku menuntaskan janjiku dengan teman-teman sekelasmu!” kulepas rangkulannya dan pergi dengan senyuman sinisku.
“Yaaak... Kim Junsu!” gadis itu memekik namun tidak kuhiraukan.
Malam ini aku menikmati rutinitasku, berpesta dan bersenang-senang di diskotik seperti biasanya. Berdansa dan bercumbu dengan gadis mana saja yang kuinginkan. Bukan aku yang meminta namun mereka sendiri yang datang. Begitulah... materi yang diberikan orang tuaku membuatku dapat melakukan apa saja.
♥♥♥
Huh... kulirik jam dinding di depanku, tanpa sadar aku menghembuskan napas yang dalam. Hari sudah menjelang pagi namun tugasku belum selesai juga. Bel berbunyi tanda ada pengunjung yang datang. Buru-buru kulepas celemekku dan merapikan seragam Alfamart-ku. Deg... coba lihat siapa yang datang,
“Ada orang tidak?” serunya. Aku buru-buru muncul di hadapannya, “Agh... kau membuatku kaget, apa kau tidak bisa bicara baik-baik?!” tegurnya.
“...” kubungkukkan badanku berkali-kali sebagai permintaan maafku.
“Ouh... kau! Kau part time di sini?” dia memandang rendah padaku. Aku hanya mengangguk pasrah, “Aku ingin jus, kepalaku sedikit pusing,” perintahnya. Segera kuambilkan pesanannya, aroma alkohol tercium jelas darinya, malam ini dia pasti berpesta lagi.
Dia membayar tagihannya, sungguh aku benar-benar gugup berhadapan dengannya. Sebelum dia pergi, kusodorkan selembar kertas padanya,
“Kau tidak menyetir ‘kan?” tulisku. Dia tertawa remeh,
“Memangnya kenapa?” dia malah balik bertanya,
“Kau sedang mabuk, nanti terjadi sesuatu padamu,” balasku dengan kertas yang lain.
“Apa pedulimu?” tutupnya. Dia lalu melangkah pergi, tapi belum begitu jauh, dia kembali lagi. Dia menatap sesuatu di seragamku, “Shin Seoyoo" Nama yang bagus!” pujinya. Ternyata dia mencari namaku. “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku bawa supir!” tutupnya lalu pergi.
♥♥♥
Suasana gelap menemani langkahku ke dalam kamar. Gelap tak masalah, yang aku benci adalah kesunyian. Di rumah sebesar ini, aku sendiri, berteman dengan gelap. Ponselku berdering, ada pesan masuk, “Ibu sudah mentransfer uang ke rekeningmu. Jangan terlalu boros!” tulisnya.
“Ciih...” segaris senyum jengkel berbentuk di bibirku. “Anda siapa Nyonya?” pekikku kemudian melempar ponselku sampai hancur berantakan. Kubaringkan badanku di atas kasur empuk ini, memejamkan mata hingga tak terasa buliran bening itu mengalir. Teringat kembali kenangan belasan tahun yang lalu, di saat orang tuaku masih seperti dulu. Aku ingin kembali... kembali di masa itu, di masa aku masih dapat melihat wajah mereka di kala aku terbangun dari tidurku.
“Aku rindu kalian... bisakah kalian datang untuk memelukku lagi? Ibu... Ayah...” lirihku.
Tanganku menyentuh sesuatu, ternyata selembar kertas. Aku tersenyum perih usai menyalakan lampu untk melihat kertas itu. Ya... kertas dari gadis bisu itu, “Kau sedang mabuk, nanti terjadi sesuatu padamu,”
“Bahkan orang lain pun masih mengkhawatirkan aku. Tapi kenapa kalian nyaris tak pernah menanyakan bagaimana keadaanku?”
♥♥♥
Kutepuk kepalaku keras, bagaimana bisa aku lupa membawa perlengkapan lukisku. Kubalik langkahku ke kelas dan aku sudah tak menemukannya lagi. Kuamati setiap laci meja semoga saja aku keliru memasukkannya tadi namun tak ada. Aku mulai menggaruk kepalaku yang tidak gatal, mencoba mengingat kembali di mana aku meletakkannya. Aku sungguh tidak lupa, jelas-jelas aku membawanya ke kelas tadi.
Huf... perlengkapan lukis itu cukup mahal dan aku tidak punya uang lagi untuk membelinya kembali. Aku tidak mau menggunakan uang ‘pemberi tunjangan’ itu lagi.
“Ha...ha... ini dia pemiliknya!” teman sekelasku tiba-tiba menegurku. Kedatangannya diikuti oleh beberapa mahasiswa lain yang juga tertawa mengejek ke arahku.
“Siapa ini? Kim Junsu? Siswa Bisnis Menejmen itu?” tanya Sunny, teman sekelasku sambil menenteng sketsa milikku. Kulihat perlengkapan lukisku sudah berserakan di lantai. Aku tak menjawab, tentu saja... aku bisa menjawab apa sedangkan bersuara pun aku tidak bisa. Kucoba mengambil sketsa itu namun Sunny segera menjauhkannya dariku.
“Apa maksudmu menggambar sketsa Kim Junsu? Kau suka padanya?” Sunny mengolokku diikuti tawa siswa lain.
“Kau baik-baik saja ‘kan? Tidak ada kerusakan di otakmu ‘kan? Ayolah... jangan mempermalukan dirimu!” Victoria mendorongku, gadis yang juga mengejar-ngejar Kim Junsu. Akhirnya mereka mulai mem-bulying aku, tas dan semua bukuku mereka hamburkan di lantai. Setelah merusak semua barangku, mereka pun pergi dengan perasaan puas.
Dengan air mata yang menetes, kupungut semua barangku. Kuambil yang mungkin masih dapat diperbaiki. Perlahan kudengar derap langkah mendekat ke arahku, saat kuangkat wajahku, dengan jelas kulihat Kim Junsu berdiri di dekatku. Perlahan di merunduk dan membisikkan sesuatu di telingaku,
“Makanya jangan suka padaku!” lalu dia pergi. Diinjaknya sketsa wajahnya yang kubuat, aku hanya dapat menatap kepergiannya dalam diam. Uhm... aku sadar, aku tidaklah sempurna, aku miskin dan tak dapat bicara. Namun dapatkah itu dijadikan alasan untuk tidak boleh jatuh cinta? Aku pun tak mengharap balasanmu. Kau tak berhak melarangku jatuh cinta sebab perasaan ini adalah milikku.
♥♥♥
 “Ayah dan Ibu akan kembali ke Korea...” aku tersenyum sinis membaca pesan dari orang tuaku. Apakah ada bedanya kalian kembali atau tidak? Toh... kalian akan kembali sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan aku.
“Junsu!!!!” teriak Taeyeon. Aku mendesah, apa lagi mau gadis itu. “Kau ke mana saja, aku mencarimu sedari tadi!”
“Ada apa?” senyumku dan membelai rambutnya.
“Malam ini aku ingin kencan denganmu...” jawabnya mantap. Cih... gadis ini tidak tahu berbasa-basi.
“Maaf... aku tidak bisa,”
“Tapi kenapa?” dia menolak, itu sudah sifatnya. Malam ini aku begitu malas ke pesta, aku hanya ingin berdiam diri di rumah.
“Bagaimana kalau lain waktu saja?”
“Memangnya kenapa dengan malam ini?” wajahnya mulai menunjukkan rasa tidak suka. Aku berusaha keras berpikir, apa yang harus kukatakan agar gadis ini melepasku?
“Karena... karena....” shit! Aku tak mendapat alasan.
“Karena apa? Aku tidak ingin kau menolakku!” Taeyeon bertahan.
“Aku ada janji dengan...dia!” tiba-tiba saja gadis bisu itu muncul dan spontan aku menunjuknya. Gadis bisu itu terdiam, sepertinya kaget. Taeyeon bahkan melongo,
“Dia?” respon Taeyeon setelah beberapa saat bengong. “Apa kau yakin Si Bisu itu?”
“Uhm!” aku mengangguk kaku, “Kenapa kau lama sekali? Ayo cepat masuk!” sapaku pada Si Bisu. Gadis itu masih terdiam shock di tempatnya, terpaksa... kuulangi terpaksa... aku menjemputnya dan membukakan pintu mobilku untuknya.
“Kim Junsu... jangan bercanda! Aku tidak ingin main-main!” Taeyeon menahanku.
“Aku serius!” ucapku.
“Kau menolakku gara-gara gadis ini?” Taeyeon melirik pada gadis bisu itu.
“Aku tidak menolakmu. Bukannya tadi aku bilang kalau kita kencan lain kali saja!”
“Aku tidak mau lain kali! Sekarang atau tidak sama sekali!” gadis itu berang.
“Ehm... aku pilih yang ke dua!” buru-buru aku masuk ke mobilku dan banting stir meninggalkan Taeyeon yang murka.

Selama dalam perjalanan, aku dan gadis bisu itu hanya diam. Aku tak mungkin menunggunya untuk bicara, sedangkan aku pun tidak tahu harus berkata apa padanya. Dia hanya tertunduk, lama-lama aku jadi merasa bersalah padanya.
“Maaf... aku memanfaatkanmu,” ucapku tulus. Gadis itu terlihat menulis di secarik kertas, setelah beberapa saat dia menyodorkannya padaku.
“Tak masalah, aku tahu kau memanfaatkanku. Aku senang dapat membantumu. Sekarang turunkan aku, aku ingin ke stasiun bus.”
“Kau mau ke mana?” tanyaku.
“Bukan urusanmu!” tulisnya di lembaran baru.
♥♥♥
Besok peringatan meninggalnya kedua orang tuaku. Agar tidak terlambat, kuputuskan untuk berangkat ke Jinju malam ini. Kusandarkan kepalaku di penopang kursi kereta sambil menatap hampa pada jalan di depanku. Melintas kembali kejadian yang baru saja terjadi. Kim Junsu ‘memanfaatkanku’, sejujurnya... aku tulus mengatakan bahwa aku senang dapat membantunya. Ya... sekalipun itu melukai perasaanku, aku rela.
Menyukainya membuatku kehilangan akal sehatku, begitulah cintaku padanya. Terdengar kekanak-kanakan bukan? Namun begitulah adanya. Aku hanya berharap kelak bila aku sudah tak mencintainya lagi, ia sudah menemukan gadis yang benar-benar tulus padanya. Sejauh ini siapapun yang berada di sampingnya, itu hanya untuk mendompleng popularitasnya.
Setelah dua jam dalam perjalanan, akhirnya aku tiba. Aku berdiri menatap sebuah gedung di depanku. Di sinilah aku lahir dan tumbuh dengan bahagia bersama kedua orang tuaku. Kutelusuri anak-anak tangga hingga aku tiba di depan ruang apartmenku, satu-satunya peninggalan orang tuaku untukku. Kunyalakan lampu begitu aku masuk, semua masih sama, letak semua barang dan juga kenangannya. Tak terasa air mataku jatuh saat melihat foto keluargaku.
“Kenapa kalian meninggalkanku sendiri? Andai dulu kalian mengajakku, tentu saat ini aku tidak akan menderita seperti ini...” isakku. “Ibu, Ayah... aku sangat merindukan kalian.”
Saat masih SMP, aku dan kedua orang tuaku mengalami kecelakaan tragis. Kedua orang tuaku meninggal sementara aku sendiri harus mengalami cacat permanen. Akibat kecelakaan itu aku harus menjalani operasi bedah tenggorokan untuk membuat saluran pernapasan sementara yang mengganti kinerja paru-paruku setelah sobek karena terkena tulang rusuk yang patah. Karena itulah pita suaraku harus diangkat. Akhirnya aku kehilangan suara, bahkan kemampuanku untuk bicara. Kini aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk bicara. Mulutku sudah lama terkatup untuk tidak bicara.
♥♥♥
Orang tuaku akhirnya kembali ke Korea. Meski bibirku mengatakan tak peduli namun sejujurnya aku sangat bahagia dapat melihat mereka lagi. Aku menjemput mereka di Incheon dan bercerita banyak sepanjang perjalanan kembali ke Seoul. Sayang... kebahagiaanku harus ternoda saat Ayah memisahkan diri, ia bilang masih ada urusan yang harus diselesaikannya.
“Bisakah urusan itu Ayah pending saja, apa artinya kalian pulang ke Korea bila kembali sibuk dan mengabaikan aku?” protesku.
“Junsu...” Ibu mencoba membujukku.
“Ayah akan segera kembali bila urusannya sudah selesai,” ucap Ayah.
“Huh... tak kembali pun tak apa-apa!” balasku sinis.
“Junsu!” ibu menegurku.
Sejujurnya aku mulai tak percaya pada ayahku. Aku pernah menemukan transaksi mencurigakan di rekening bank miliknya. Uang-uangnya di-transfer ke sebuah nomor rekening yang tidak kukenali. Saat kuselidiki, ternyata rekening itu milik seorang wanita. Apakah Ayahku selingkuh? Meskipun benar, aku tidak ingin percaya. Aku hanya kasihan melihat Ibuku yang begitu setia pada Ayah.

to be continued ...

No comments:

Post a Comment