Part 2 |
Sebelumnya di Holding Back The Tears (Part 1)
Drrrrrrrtttttt,
ponselku bergetar, ketika kuangkat ternyata dari Yoo Chun. Dia mengajakku minum
the di sebuah kedai teh di kawasan Gangnam.
“Sore ini begitu dingin, bagaimana
kalau kuajak kau minum the hijau, kau pasti suka!” ajaknya. Dia memgang
tanganku dan menuntunku berjalan menelusuri kedai teh yang ditujunya. Ya ampun…
apakah ini hanya kebetulan lagi?
Tak terasa musim dingin telah tiba,
hampir setahun aku bersahabat dengan Yoo Chun. Semakin lama aku semakin sadar
kalau sebenarnya jauh sebelum pertemuan kami yang pertama, Yoo Chun telah
mengenalku dengan sangat jelas.
“Bagaimana? Teh di sini enak ‘kan?”
tanyanya antusias.
“Kau tahu, aku seperti dipermainkan
oleh nasib. Aku mencoba menjahit luka yang telah ditorehkan Jae Joong padaku
dengan cara melupakan semua kenanganku dengannya. namun luka itu terbuka
kembali setelah kedatanganmu dalam kehidupanku. Kau mengingatkan aku dengan
semua hal yang ingin kulupakan.” kataku lirih.
“Apa…?” dia terlihat terkejut,
“Jae Joong sangat menyukai teh hijau,
di saat orang-orang lebih memilih menikmati cokelat atau susu panas di musim
dingin, kami malah memilih menyantap teh hijau!”
“Maaf, apakah kau benar-benar ingin
melupakan orang itu? apa yang telah dia perbuat padamu sehingga kau ingin
melupakannya?”
“Dia melakukan sesuati yang tidak
termaafkan! Aku tak mau mengenang orang itu lagi! terlalu dalam luka yang dia
torehkan padaku,”
“Tak baik bila membenci orang terlalu
berlebihan. Bukankah Tuhan selalu memberikan maaf bagi umatnya yang telah
berbuat salah? Kenapa kita sebagai pengikut-Nya tidak mencoba memaafkan orang
yang telah bersalah pada kita?”
“Aku bukan Tuhan! Aku hanya manusia
biasa yang lemah dan punya air mata. Bagaimana pun juga keikhlasan untuk
memaafkan seseorang ada batasnya. Dia membohongiku…dia penipu!” nada suaraku
meninggi.
“Atas dasar apa kau mengatakannya
penipu?”
“Dia tidak hadir di pesta pernikahan
kami, dia meninggalkan aku sendirian di tengah keramaian acara! Aku
menunggunya, aku tetap menunggunya meski malam semakin larut, meski semua tamu
sudah pergi, meski mawar-mawar itu melayu. Tapi apa yang kudapat? Kekecewaan,
ya… hanya rasa kecewa. Danau itu saksinya!”
“Apa kau tidak berpikir, mungkin dia
tidak datang karena telah terjadi sesuatu?”
“Tidak. Dia memang hanya ingin
mempermainkan aku, dia sama sekali tidak mencintaiku!”
“Dia sangat mencintaimu!” ucap Yoo
Chun,
“Dia tidak mencintaiku!” balasku
sengit sampai tak kusadari memukul meja sehingga beberapa pengunjung
memperhatikan kami.
“Dia sangat mencintaimu, percayalah!
Dia tidak datang saat itu pasti karena telah terjadi sesuatu!”
“Dari mana kau tahu? Kau bukan dia!”
“Aku mengenal dia dengan sangat
jelas!”
“Oh… jadi kau orang yang dikirim Jae
Joong untuk membuatku menderita lagi? kalau boleh tahu dia mana dia sekarang?
Apakah dia masih dapat tidur nyenyak dan makan lahap setelah dia mempermainkan
aku?” tanyaku sinis, sudah kuduga dia pasti ada hubungan dengan Jae Joong.
“Dia tidak bisa tidur dan makan setiap
kali dia teringat olehmu! Keadaannya juga sangat menyedihkan. Kalau kau ingin
bertemu, akan kubawa kau menemuinya. Aku yakin kau juga sangat rindu padanya…”
“Kau gila? Dengan semua perbuatannya,
kau pikir masih ada rindu untuknya?” aku bergegas meninggalkan Yoo Chun di
kedai itu. Bodoh… begitu mudahnya aku tertipu denga Yoo Chun yang ternyata
mengenal Jae Joong dengan sangat jelas. Pantas semua tindakannya membuatku
teringat dengan Jae Joong.
Hari ini entah dorongan apa yang
kurasakan sehingga kakiku membawaku kembali ke danau itu. Meski hampir dua
tahun aku tidak melihat danau ini, namun danau ini tetap tidak berubah.
Termasuk kenangan bersama Jae Joong…
“Bagaimana… kau suka tempatnya?” tanya
Jae Joong kala itu. Dia memelukku dari belakang, aku sangat sulit untuk
melupakannya.
“Uhm… indah sekali, dari mana kau tahu
tempat seindah ini?”
“Aku tidak sengaja menemukannya lalu
kupikir akan sangat sempurna bila pernikahan kita dilangsungkan di sini. Apa
kau sudah dapat ide?”
“Iya, bagaimana kalau altarnya di
sudut sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sudut. Jae Joong tersenyum,
“Bagus! Pintu masuknya dihiasi dengan
beruang ya, aku merasa beruang itu seperti aku dan kau lah madunya. Beruang
sangat menyukai madu dan aku sangat menyukaimu!”
Aku menangis mengingat semua kenangan
bersamanya. Aku sulit mempercayai kata-katanya, kalau memang dia mencintaiku,
kenapa dia pergi? Aku berjalan menelusuri pepohonan di sepanjang danau, setelah
itu ke taman bermain di tepi kota. Aku duduk di sebuah bangku di bawah pohon,
di tempat inilah Kim Jae Joong melamarku pertama kali. Saat itu aku duduk
sendirian, tiba-tiba seseorang menempelkan sekaleng jus di pipiku. Begitu
menoleh, ternyata orang itu Jae Joong.
“Sudah lama menunggu? Maaf ya aku
datang terlambat, tadi aku ada urusan mendadak!” sesalnya sambil menyogokku
dengan sekaleng jus.
“Tak apa… kau hanya terlambat sejam!”
ledekku, dia tersenyum malu. “Tenanglah, aku juga ditemani oleh anak-anak itu
jadi menunggumu sejam tidak terasa bagiku,” aku membuka kaleng jus dan
memasukkan sedotan lalu meminumnya. Jae Joong terus menatapku,
“Kau sangat menyukai anak-anak?”
tanyanya,
“Iya, mereka sangat lugu.” jawabku
“Aku yakin kelak kau akan menjadi
seorang ibu yang baik,” pujinya.
“Dan aku yakin kau tidak akan menjadi
ayah yang baik sebab kau sering lelet!” ledekku. Sekali lagi dia tersenyum
malu, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya,
“Aku terlambat karena harus mencari
ini dulu…” dia membuka sebuah kotak kecil yang dikeluarkan dari sakunya tadi,
ternyata isinya sebuah cincin berlian,
“Maukah kau menikah denganku?”
pintanya.
Air mataku mengalir lagi, Jae Joong…
hiks, kenapa kau menghilang begitu saja tanpa membawa serta semua kenanganmu
yang sangat menyakitkan.
“Ternyata kau di sini, tadi aku
mencarimu di danau,” Yoo Chun muncul tiba-tiba sehingga aku sedikit terkejut.
“Mau apa lagi kau datang ke sini?”
tanyaku ketus,
“Apa kau masih marah?” tanyanya balik,
huh… sungguh menyebalkan. “Hei… ini tempat di mana kau dilamar oleh Jae Joong
‘kan?” lanjutnya.
“Berhentilah menyebut namanya!”
“Kau sampai menangis terharu saat Jae
Joong memasangkan cincin lamarannya di jarimu ‘kan?”
“Aku bilang berhentilah menyebut
namanya!”
“Jae Joong lalu menyeka air matamu dan
memelukmu, bagaimana perasaanmu saat itu?”
“Aku sudah bilang jangan sebut namanya
lagi, apa kau tidak punya telinga?” aku marah pada pemuda di hadapanku ini.
“Kenapa, apa kau tidak ingin mengingat
kenangan itu? Lalu untuk apa kau mengunjungi tempat ini lagi? Kau bilang kau
ingin mengubur semua kenanganmu, lalu apa artinya usahamu bila kau masih
mengunjungi tempat-tempat sakral kalian?” untuk pertama kalinya Yoo Chun
membentakku. Aku kaget melihat ekspresinya,
“Kau munafik!” lanjutnya memakiku.
Keterlauan! Dia sangat keterlaluan,
ingin sekali aku menamparnya namun hatiku mengiyakan makiannya. Aku memang
munafik. Aku memilih meninggalkan Yoo Chun dari pada harus bertengkar
dengannya.
“Kau mau ke mana? Akan kubawa kau
menemui Jae Joong sekarang!” dia menarik tanganku dengak kasar dan memaksaku
masuk ke mobilnya.
“Lepaskan!” kataku berulang-ulang
namun dia sama sekali tidak peduli, Yoo Chun bertindak seperti orang kesetanan.
Setelah cukup lama, akhirnya mobilnya
berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Dia keluar dari mobil dan memegang
tanganku seakan menuntunku menelusuri tempat yang dipenuhi pepohonan kering.
Makam? Kenapa dia membawaku ke makam? Jangan-jangan…
Yoo Chun menghentikan langkahnya tepat
di sebuah makam, telunjuknya mengarahkan penglihatanku pada batu nisan di
depannya. Jelas sekali di mataku nisan itu bertuliskan Kim Jae Joong. Awalnya
aku tidak percaya pada apa yang kulihat, aku mendekat bahkan duduk di depan
nisan itu, kuraba perlahan batu keras itu dan air mataku akhirnya mengucur saat
kupastikan nisan itu mencetak huruf Kim Jae Joong.
“Jae Joong…!” hiks, aku menangis
sesenggukan sambil memeluk nisan itu, Jae Joong-ku terbaring di bawahnya.
Kulihat tanggal kematiannya, persis dengan tanggal pernikahan kami dua tahun
yang lalu. Jae Joong… maafkan aku, maaf…
“Dua tahun yang lalu saat dalam
perjalanan menuju pesta pernikahan kalian, Jae Joong mengalami kecelakaan. Keadaannya
kritis dengan kemampuan bertahan hidup di bawah 20%. Di pihak lain, seorang
pemuda bernama Park Yoo Chun koma akibat tumor otak yang dideritanya. Otak
kecilnya mengalami kerusakan dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya
adalah dengan melakukan transplantasi. Jae Joong yang tidak punya harapan hidup
lagi, dijadikan donor untuk Yoo Chun, otak kecil milik Jae Joong
ditransplantasikan pada Yoo Chun dan akhirnya Yoo Chun dapat hidup sampai detik
ini. Dia hidup dengan memori milik Jae Joong.” Yoo Chun bercerita dengan suara
berat,
“Yoo Chun tetap hidup dengan memori
milik Jae Joong? Berarti …” kata-kataku terputus, napasku jadi tidak beraturan,
“Ya… akulah Jae Joong yang
terperangkap dalam tubuh Yoo Chun,” air matanya menetes perlahan. “Saat itu aku
tidak bisa menerima semua yang dilakukan tim medis padaku, menurutku mereka
sangat kejam. Namun aku sadar ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Yoo
Chun dan ingatanku. Saat pertama kali kubuka mata usai operasi itu, hal pertama
yang terlintas di kepalaku adalah dirimu! Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Aku masih sulit percaya peda
penjelasan Yoo Chun, benarkah dia adalah Jae Joong-ku? Aku berdiri memegang
wajahnya, kuperhatikan garis-garis wajahnya dengan seksama, benarkah Jae Joong
hidup di dalamnya?
“Aku benar-benar frustasi memikirkan
keadaanmu, apa yang terjadi padamu saat aku tidak menghadiri pernikahan kita?
Saat aku kembali ke danau itu, semuanya telah tiada. Aku bukannya ingin
mempermainkanmu, aku bukannya ingin menyakitimu, aku malah sangat mencintaiku.
Namun takdir lah yang membuatku harus meninggalkanmu.” Air matanya mengalir,
kami berdua pun menangis.
“Aku mencarimu begitu aku keluar dari
rumah sakit, namun kau sudah pergi entah ke mana, tak ada kabar yang
tertinggal. Sampai akhirnya setahun kemudian Yoo Mi memperkenalkan kita. Saat
itu aku senang, senang sekali sebab aku berhasil menemukanmu sampai ingin
menangis rasanya. Sayangnya keadaan tidak seperti dulu lagi, kau terlanjur
sakit hati dan benci padaku, kau bahkan ingin melupakan kenangan kita… aku
sungguh sedih!” lanjutnya lagi.
“Maafkan aku… aku tidak tahu apa-apa!”
isakku.
“Jangan benci padaku, kumohon! Aku tak
bisa bila tanpamu,” lirihnya. Aku memeluk dirinya, aku memeluk Jae Joong yang
begitu lama aku rindukan. Akhirnya aku mengerti kenapa dia menatapku dengan
tatapan aneh saat pertama kali kami bertemu dan kenapa dia tahu semua tentang
kenanganku bersama Jae Joong. Terakhir aku baru mengerti mengapa Yoo Chun
terlihat seperti Jae Joong. Semua memang sudah diatur dengan rapi oleh Tuhan.
I am Holding Back the Tears
End
No comments:
Post a Comment