Monday 14 December 2015

FF I am Holding Back the Tears (Part 2)


Part 2

Sebelumnya di Holding Back The Tears (Part 1) 


Drrrrrrrtttttt, ponselku bergetar, ketika kuangkat ternyata dari Yoo Chun. Dia mengajakku minum the di sebuah kedai teh di kawasan Gangnam.
“Sore ini begitu dingin, bagaimana kalau kuajak kau minum the hijau, kau pasti suka!” ajaknya. Dia memgang tanganku dan menuntunku berjalan menelusuri kedai teh yang ditujunya. Ya ampun… apakah ini hanya kebetulan lagi?
Tak terasa musim dingin telah tiba, hampir setahun aku bersahabat dengan Yoo Chun. Semakin lama aku semakin sadar kalau sebenarnya jauh sebelum pertemuan kami yang pertama, Yoo Chun telah mengenalku dengan sangat jelas.
“Bagaimana? Teh di sini enak ‘kan?” tanyanya antusias.
“Kau tahu, aku seperti dipermainkan oleh nasib. Aku mencoba menjahit luka yang telah ditorehkan Jae Joong padaku dengan cara melupakan semua kenanganku dengannya. namun luka itu terbuka kembali setelah kedatanganmu dalam kehidupanku. Kau mengingatkan aku dengan semua hal yang ingin kulupakan.” kataku lirih.
“Apa…?” dia terlihat terkejut,
“Jae Joong sangat menyukai teh hijau, di saat orang-orang lebih memilih menikmati cokelat atau susu panas di musim dingin, kami malah memilih menyantap teh hijau!”
“Maaf, apakah kau benar-benar ingin melupakan orang itu? apa yang telah dia perbuat padamu sehingga kau ingin melupakannya?”
“Dia melakukan sesuati yang tidak termaafkan! Aku tak mau mengenang orang itu lagi! terlalu dalam luka yang dia torehkan padaku,”
“Tak baik bila membenci orang terlalu berlebihan. Bukankah Tuhan selalu memberikan maaf bagi umatnya yang telah berbuat salah? Kenapa kita sebagai pengikut-Nya tidak mencoba memaafkan orang yang telah bersalah pada kita?”
“Aku bukan Tuhan! Aku hanya manusia biasa yang lemah dan punya air mata. Bagaimana pun juga keikhlasan untuk memaafkan seseorang ada batasnya. Dia membohongiku…dia penipu!” nada suaraku meninggi.
“Atas dasar apa kau mengatakannya penipu?”
“Dia tidak hadir di pesta pernikahan kami, dia meninggalkan aku sendirian di tengah keramaian acara! Aku menunggunya, aku tetap menunggunya meski malam semakin larut, meski semua tamu sudah pergi, meski mawar-mawar itu melayu. Tapi apa yang kudapat? Kekecewaan, ya… hanya rasa kecewa. Danau itu saksinya!”
“Apa kau tidak berpikir, mungkin dia tidak datang karena telah terjadi sesuatu?”
“Tidak. Dia memang hanya ingin mempermainkan aku, dia sama sekali tidak mencintaiku!”
“Dia sangat mencintaimu!” ucap Yoo Chun,
“Dia tidak mencintaiku!” balasku sengit sampai tak kusadari memukul meja sehingga beberapa pengunjung memperhatikan kami.
“Dia sangat mencintaimu, percayalah! Dia tidak datang saat itu pasti karena telah terjadi sesuatu!”
“Dari mana kau tahu? Kau bukan dia!”
“Aku mengenal dia dengan sangat jelas!”
“Oh… jadi kau orang yang dikirim Jae Joong untuk membuatku menderita lagi? kalau boleh tahu dia mana dia sekarang? Apakah dia masih dapat tidur nyenyak dan makan lahap setelah dia mempermainkan aku?” tanyaku sinis, sudah kuduga dia pasti ada hubungan dengan Jae Joong.
“Dia tidak bisa tidur dan makan setiap kali dia teringat olehmu! Keadaannya juga sangat menyedihkan. Kalau kau ingin bertemu, akan kubawa kau menemuinya. Aku yakin kau juga sangat rindu padanya…”
“Kau gila? Dengan semua perbuatannya, kau pikir masih ada rindu untuknya?” aku bergegas meninggalkan Yoo Chun di kedai itu. Bodoh… begitu mudahnya aku tertipu denga Yoo Chun yang ternyata mengenal Jae Joong dengan sangat jelas. Pantas semua tindakannya membuatku teringat dengan Jae Joong.

Hari ini entah dorongan apa yang kurasakan sehingga kakiku membawaku kembali ke danau itu. Meski hampir dua tahun aku tidak melihat danau ini, namun danau ini tetap tidak berubah. Termasuk kenangan bersama Jae Joong…
“Bagaimana… kau suka tempatnya?” tanya Jae Joong kala itu. Dia memelukku dari belakang, aku sangat sulit untuk melupakannya.
“Uhm… indah sekali, dari mana kau tahu tempat seindah ini?”
“Aku tidak sengaja menemukannya lalu kupikir akan sangat sempurna bila pernikahan kita dilangsungkan di sini. Apa kau sudah dapat ide?”
“Iya, bagaimana kalau altarnya di sudut sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah sudut. Jae Joong tersenyum,
“Bagus! Pintu masuknya dihiasi dengan beruang ya, aku merasa beruang itu seperti aku dan kau lah madunya. Beruang sangat menyukai madu dan aku sangat menyukaimu!”
Aku menangis mengingat semua kenangan bersamanya. Aku sulit mempercayai kata-katanya, kalau memang dia mencintaiku, kenapa dia pergi? Aku berjalan menelusuri pepohonan di sepanjang danau, setelah itu ke taman bermain di tepi kota. Aku duduk di sebuah bangku di bawah pohon, di tempat inilah Kim Jae Joong melamarku pertama kali. Saat itu aku duduk sendirian, tiba-tiba seseorang menempelkan sekaleng jus di pipiku. Begitu menoleh, ternyata orang itu Jae Joong.
“Sudah lama menunggu? Maaf ya aku datang terlambat, tadi aku ada urusan mendadak!” sesalnya sambil menyogokku dengan sekaleng jus.
“Tak apa… kau hanya terlambat sejam!” ledekku, dia tersenyum malu. “Tenanglah, aku juga ditemani oleh anak-anak itu jadi menunggumu sejam tidak terasa bagiku,” aku membuka kaleng jus dan memasukkan sedotan lalu meminumnya. Jae Joong terus menatapku,
“Kau sangat menyukai anak-anak?” tanyanya,
“Iya, mereka sangat lugu.” jawabku
“Aku yakin kelak kau akan menjadi seorang ibu yang baik,” pujinya.
“Dan aku yakin kau tidak akan menjadi ayah yang baik sebab kau sering lelet!” ledekku. Sekali lagi dia tersenyum malu, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya,
“Aku terlambat karena harus mencari ini dulu…” dia membuka sebuah kotak kecil yang dikeluarkan dari sakunya tadi, ternyata isinya sebuah cincin berlian,
“Maukah kau menikah denganku?” pintanya.

Air mataku mengalir lagi, Jae Joong… hiks, kenapa kau menghilang begitu saja tanpa membawa serta semua kenanganmu yang sangat menyakitkan.
“Ternyata kau di sini, tadi aku mencarimu di danau,” Yoo Chun muncul tiba-tiba sehingga aku sedikit terkejut.
“Mau apa lagi kau datang ke sini?” tanyaku ketus,
“Apa kau masih marah?” tanyanya balik, huh… sungguh menyebalkan. “Hei… ini tempat di mana kau dilamar oleh Jae Joong ‘kan?” lanjutnya.
“Berhentilah menyebut namanya!”
“Kau sampai menangis terharu saat Jae Joong memasangkan cincin lamarannya di jarimu ‘kan?”
“Aku bilang berhentilah menyebut namanya!”
“Jae Joong lalu menyeka air matamu dan memelukmu, bagaimana perasaanmu saat itu?”
“Aku sudah bilang jangan sebut namanya lagi, apa kau tidak punya telinga?” aku marah pada pemuda di hadapanku ini.
“Kenapa, apa kau tidak ingin mengingat kenangan itu? Lalu untuk apa kau mengunjungi tempat ini lagi? Kau bilang kau ingin mengubur semua kenanganmu, lalu apa artinya usahamu bila kau masih mengunjungi tempat-tempat sakral kalian?” untuk pertama kalinya Yoo Chun membentakku. Aku kaget melihat ekspresinya,
“Kau munafik!” lanjutnya memakiku.
Keterlauan! Dia sangat keterlaluan, ingin sekali aku menamparnya namun hatiku mengiyakan makiannya. Aku memang munafik. Aku memilih meninggalkan Yoo Chun dari pada harus bertengkar dengannya.
“Kau mau ke mana? Akan kubawa kau menemui Jae Joong sekarang!” dia menarik tanganku dengak kasar dan memaksaku masuk ke mobilnya.
“Lepaskan!” kataku berulang-ulang namun dia sama sekali tidak peduli, Yoo Chun bertindak seperti orang kesetanan.
Setelah cukup lama, akhirnya mobilnya berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Dia keluar dari mobil dan memegang tanganku seakan menuntunku menelusuri tempat yang dipenuhi pepohonan kering. Makam? Kenapa dia membawaku ke makam? Jangan-jangan…
Yoo Chun menghentikan langkahnya tepat di sebuah makam, telunjuknya mengarahkan penglihatanku pada batu nisan di depannya. Jelas sekali di mataku nisan itu bertuliskan Kim Jae Joong. Awalnya aku tidak percaya pada apa yang kulihat, aku mendekat bahkan duduk di depan nisan itu, kuraba perlahan batu keras itu dan air mataku akhirnya mengucur saat kupastikan nisan itu mencetak huruf Kim Jae Joong.
“Jae Joong…!” hiks, aku menangis sesenggukan sambil memeluk nisan itu, Jae Joong-ku terbaring di bawahnya. Kulihat tanggal kematiannya, persis dengan tanggal pernikahan kami dua tahun yang lalu. Jae Joong… maafkan aku, maaf…
“Dua tahun yang lalu saat dalam perjalanan menuju pesta pernikahan kalian, Jae Joong mengalami kecelakaan. Keadaannya kritis dengan kemampuan bertahan hidup di bawah 20%. Di pihak lain, seorang pemuda bernama Park Yoo Chun koma akibat tumor otak yang dideritanya. Otak kecilnya mengalami kerusakan dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan melakukan transplantasi. Jae Joong yang tidak punya harapan hidup lagi, dijadikan donor untuk Yoo Chun, otak kecil milik Jae Joong ditransplantasikan pada Yoo Chun dan akhirnya Yoo Chun dapat hidup sampai detik ini. Dia hidup dengan memori milik Jae Joong.” Yoo Chun bercerita dengan suara berat,
“Yoo Chun tetap hidup dengan memori milik Jae Joong? Berarti …” kata-kataku terputus, napasku jadi tidak beraturan,
“Ya… akulah Jae Joong yang terperangkap dalam tubuh Yoo Chun,” air matanya menetes perlahan. “Saat itu aku tidak bisa menerima semua yang dilakukan tim medis padaku, menurutku mereka sangat kejam. Namun aku sadar ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Yoo Chun dan ingatanku. Saat pertama kali kubuka mata usai operasi itu, hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah dirimu! Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Aku masih sulit percaya peda penjelasan Yoo Chun, benarkah dia adalah Jae Joong-ku? Aku berdiri memegang wajahnya, kuperhatikan garis-garis wajahnya dengan seksama, benarkah Jae Joong hidup di dalamnya?
“Aku benar-benar frustasi memikirkan keadaanmu, apa yang terjadi padamu saat aku tidak menghadiri pernikahan kita? Saat aku kembali ke danau itu, semuanya telah tiada. Aku bukannya ingin mempermainkanmu, aku bukannya ingin menyakitimu, aku malah sangat mencintaiku. Namun takdir lah yang membuatku harus meninggalkanmu.” Air matanya mengalir, kami berdua pun menangis.
“Aku mencarimu begitu aku keluar dari rumah sakit, namun kau sudah pergi entah ke mana, tak ada kabar yang tertinggal. Sampai akhirnya setahun kemudian Yoo Mi memperkenalkan kita. Saat itu aku senang, senang sekali sebab aku berhasil menemukanmu sampai ingin menangis rasanya. Sayangnya keadaan tidak seperti dulu lagi, kau terlanjur sakit hati dan benci padaku, kau bahkan ingin melupakan kenangan kita… aku sungguh sedih!” lanjutnya lagi.
“Maafkan aku… aku tidak tahu apa-apa!” isakku.
“Jangan benci padaku, kumohon! Aku tak bisa bila tanpamu,” lirihnya. Aku memeluk dirinya, aku memeluk Jae Joong yang begitu lama aku rindukan. Akhirnya aku mengerti kenapa dia menatapku dengan tatapan aneh saat pertama kali kami bertemu dan kenapa dia tahu semua tentang kenanganku bersama Jae Joong. Terakhir aku baru mengerti mengapa Yoo Chun terlihat seperti Jae Joong. Semua memang sudah diatur dengan rapi oleh Tuhan.


I am Holding Back the Tears

End

No comments:

Post a Comment