Tuesday 15 December 2015

FF - When We’ll Be Together (Part 2)


Part 2

Sebelumnya di  When We'll be Together

Aku melihat beberapa pejabat pemerintahan dan pengusaha terkenal yang sedang asyik bercengkrama. Beberapa orang teman sekolahku pun terlihat berbincang-bincang di sudut ruangan. In Gook menipuku…! Aku baru saja akan berbalik meninggalkan pesta sebelum orang-orang melihatku namun tiba-tiba seseorang mendorongku masuk, seisi ruangan terkejut melihatku. Mereka berpakaian rapi dan resmi sementara aku… mengenakan kostum putri duyung. Teman In Gook yang mendorongku maju ke tengah pesta.
“In Gook… pesananmu sudah datang,” ucapnya. In Gook dan orang tuanya muncul dari balik tamu.
“Apa ini badut yang kau ceritakan?” tanya ibunya. In Gook mengangguk sambil tersenyum.
“Akhirnya kau datang juga. Aku sudah menepati janjiku, kau telah menjadi tamu teristimewaku malam ini,” dia tertawa melihat kostumku.
“Putri ikan… kostummu bagus sekali. Oh ya… kenapa ayah ikan tidak kau ajak sekalian?” tegur teman-temanku. Mereka menertawaiku, bahkan semua tamu ikut menertawaiku. Aku benar-benar dipermalukan, bodoh… kenapa aku begitu mudah ditipu. Aku menatap tajam pada seluruh tamu, untung saja Tuhan memberiku mata yang besar sehingga aku cukup menikam mereka dengan sorot mataku agar mereka tahu aku bukan gadis yang lemah. Mereka akhirnya berhenti tertawa.
“Kenapa kalian berhenti tertawa? Apa sudah lelah? Apa kalian pikir aku akan menangis atas perbuatan kalian, atau mungkin kalian berharap aku akan berlari meninggalkan pesta ini sambil menagis tersedu karena ejekan kalian ini. Kalau begitu simpan saja harapan kalian, karena air mataku enggan keluar untuk menangisi kalian semua,” Aku lalu mengambil semangkuk sup dan melemparkannya ke wajah In Gook.
“Maaf aku tidak dapat memberi banyak, hanya ini yang dapat kulakukan untukmu. Ini kado ulang tahun dariku. Kau memang hebat dapat menipuku mentah-mentah. Tapi untung saja aku tidak langsung percaya pada kata-katamu kemarin, mana mungkin pemuda kaya sepertimu tertarik padaku. Tenang saja ucapanmu tidak sampai kumasukkan ke hati, aku tahu diri posisiku di mana. Aku memang orang miskin namun terus terang saja, aku masih terlalu bagus untuk orang bejat sepertimu.” Aku lalu meninggalkan mereka, saat sampai di mulut pintu, aku berbalik,
“Oh ya… aku sampai lupa, selamat ulang tahun ya! Semoga kau panjang umur dan bahagia. Eh … tidak, orang sepertimu tidak pantas bahagia. Semoga perkataanku ini akan menjadi kutukan bagimu. Kau memang pantas mendapatkannya,” ucapku dan pergi meninggalkan pesta itu.

Di sepanjang jalan aku menangis, aku menangis bukan karena dipermalukan oleh mereka, aku menangis karena kasihan pada ayahku. Ayah telah bersusah payah membuatkan kostum ini bahkan sampai tidak tidur bermalam-malam, ternyata kerja kerasnya itu untuk dipermalukan oleh mereka.
“Jongsuk…” seseorang meneriakiku saat aku berjalan di tepi jalan,” Jongsuk… tunggu!” dia menarik tanganku. In Gook?
“Mau apa kau? Belum puas mempermalukanku?” bentakku. Dia melihat air mataku, Jangan salah paham ya… aku menangis bukan karena perbuatanmu mempermalukanku. Aku hanya kasihan pada ayahku yang tidak tidur beberapa malam demi membuatkan kostum ini untukku.”
“Apa?” dia kaget,” Maaf aku memang…”
“Kenapa kau minta maaf? Bukankah kau harus bangga karena berhasil menjebakku atau mungkin kau takut pada perkataanku tadi? Kau takut tidak akan bahagia?”
“Jongsuk… aku…”
“Pergi… aku tidak mau melihatmu lagi.” Aku berlari melewati aspal yang dingin itu seorang diri. Aku menangis saat berada di dalam bus, aku memang orang bodoh, bodoh, bahkan tipuan seperti itupun tidak akan mempan untuk anak-anak, namun aku malah tertipu.

Aku merasa berat melangkahkan kakiku memasuki rumah, apa yang akan kukatakan kepada ayah bila dia bertanya tentang pesta itu?
“Eh Jongsuk, bagaimana dengan pestanya? Kenapa kau pulangnya cepat sekali?” tanya ayah. Aku mencoba tersenyum, dengan sekuat tenagaku aku menyembunyikan sakit hatiku.
“Semua berjalan lancar, bahkan tak ada yang menyamai kostum buatan ayah di pesta itu. Terima kasih banyak ayah!”
“Benarkah?” ayahku tersenyum tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Tentu saja… teman-temanku bahkan ingin belajar dari ayah bagaimana cara membuat kostum sebagus ini kalau lain kali ada pesta kostum lagi!” aku sungguh tak dapat menahan air mataku lagi, aku menangis…
“Tapi kenapa kau malah menangis?” tanya ayah heran,
“Aku hanya terharu dan bahagia mempunyai ayah sebaik dirimu. Terima kasih!” aku memeluk erat ayahku seakan tidak mau melepaskannya.

Saat berjalan di koridor sekolah, semua murid berbisik dan menertawaiku. Pasti mereka menertawai kejadian di pesta ulang tahun In Gook semalam.
“Wa … kau masih punya muka ke sekolah ya? Kupikir kau tidak akan ke sekolah lagi,” tegur teman sekelasku.
“Untuk apa aku malu ke sekolah? Memangnya aku mencuri sesuatu jadi harus bersembunyi? Justru aku yang malu pada perbuatan kalian. Coba kalian pikir, begitu banyak tamu penting yang datang ke pesta itu dan kalian mempermalukan aku di hadapan mereka. Di pikiran mereka pasti mengatakan kalian ini adalah sekelompok anak badung yang hanya bisa menindas teman sendiri. Kalian memang bodoh! Kalian mencorengkan arang ke wajah kalian sendiri,” ucapku.

Sepertinya aku harus waspada lagi, In Gook pasti tidak akan tinggal diam setelah kupermalukan di pesta ulang tahunnya. Aku memilih diam saja di kelas saat istirahat siang tiba dari pada harus keluyuran. Setidaknya itu memperkecil kemungkinan musuh-musuhku menyerangku. Saat menoleh ke jendela, aku begitu terperanjat saat melihat ayahku di gerbang sekolah. Ada apa ayah ke sini?, tunggu… dengan siapa ayah bicara? Ha…? In Gook! Gawat… ayah pasti akan dikerjai dan dipermalukan. Aku segera menyusul mereka ke gerbang.
“Ayah… ada apa ke sekolahku?” aku menarik tangannya dan menjauhkannya dari In Gook.
“Ayah khawatir padamu Nak!”
“Khawatir kenapa?”
“Wajahmu saat pulang dari pesta sangat murung, ayah yakin pasti terjadi sesuatu.”
“Tidak terjadi apa-apa, aku sudah bilang tidak terjadi sesuatu ‘kan, kenapa ayah tidak percaya? Lagian siapa yang murung?” aku menyembunyikan ayahku,” Lagipula untuk apa ayah bicara dengan orang itu?” tanyaku.
“Semalam dia datang mengembalikan sapu tanganmu yang katanya terjatuh di depan rumahnya sekalian dia minta maaf namun dia tidak mau bilang minta maaf karena alasan apa, itulah sebabnya ayah curiga jangan-jangan terjadi sesuatu. Makanya ayah datang menemuinya.”
“Dia bilang apa?” tanyaku,
“Dia belum sempat bilang apa-apa lalu kau datang.”
“Ayah tidak perlu terlalu mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja. Lagipula kenapa dia harus  repot-repot mengembalikan barangku. Ayah pulanglah, di sini banyak orang jahat!” aku lalu mengantar ayah menahan bus untuk pulang. Syukurlah… In Gook belum cerita apa-apa.
“Hei… tunggu dulu!” tegurnya saat aku melaluinya begitu saja, memangnya dia pikir dia itu siapa menyuruhku menunggunya.” Jongsuk…!” sambungnya,
“Ada apa! Kenapa memanggil namaku, bukankah kau sering memanggilku anak ikan,” bentakku.
“Apa ayahmu belum tahu kejadian tadi malam?”
“Untuk apa ayah tahu, kau ingin membuatnya sedih? Susah payah ayah membuat kostum untukku namun ternyata putrinya hanya dijebak. Puas kau mempermalukan aku ‘kan?” emosiku benar-benar meledak, ingin sekali aku mengucek wajahnya. Karena terlalu emosi kepalaku jadi pusing.
“Kau…? hidungmu mengeluarkan darah!” ucap In Gook kaget. Gawat aku mimisan lagi. Aku segera ke toilet dan membersihkan darah dari hidungku. Aku juga sekalian membasuh kepalaku agar darahnya berhenti mengalir. Tanpa kusangka ternyata In Gook mengamatiku dari tadi.
“Kau sakit ya…?” tanyanya setelah aku membasuh rambutku.
“Iya dan sebentar lagi aku akan mati! Aku bersumpah, bila aku menjadi hantu, kaulah orang pertama yang kudatangi!” balasku. Dia kemudian membuka tasnya dan menyodorkan selembar handuk untukku. Aku tidak mau mengambilnya tapi tiba-tiba saja dia menggosokkan ke kepalaku yang basah.
“Apa yang kau lakukan? jangan menyentuhku!” aku mendorongnya menjauhiku.
“Keringkan dulu kepalamu!” dia memaksaku mengambil handuknya. Setelah mengeringkan rambutku, aku melemparkan handuk itu ke wajahnya dan pergi begitu saja tanpa berterima kasih.
“Apa aku sangat keterlaluan mempermalukanmu semalam ya?” tanyanya saat di koridor, aku sama sekali tidak menggubrisnya. Menurutmu bagaimana?
“Jongsuk… aku minta maaf,” dia menarik tanganku dan aku segera menepisnya.
“Minta maaf? Kau sakit ya… atau kau punya rencana lagi?”
“Aku kasihan pada ayahmu!” jawabnya.
“Dengar, ayahku tidak butuh belas kasihan apalagi dari orang sepertimu.” Hu… gampang sekali dia minta maaf setelah dia mempermalukan aku tanpa ampun di pestanya. Bruk… tiba-tiba aku ambruk setelah sempat pandanganku kabur. Aku pun tak sadarkan diri.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di ruang kesehatan. Ada In Gook yang menunggu di sampingku.
“Eh… kau sudah sadar, kata dokter kau kelelahan dan harus banyak istirahat,” ucapnya.
“Untuk apa kau di sini?” tanyaku.
“Aku menemanimu,”
“Aku curiga kenapa kau begitu baik padaku!”
“Kau tidak suka kalau aku baik padamu ya?”
“Tidak suka… bahkan aku sangat tidak suka!” kali ini aku tidak boleh lengah, aku bukan keledai yang dapat melakukan kesalahan sampai dua kali. Pasti dia yang membawaku ke ruang kesehatan ini. Aduh… apa teman-temanku melihat ya? Saat di kelas semua temanku berbisik tak tentu arah, mereka pasti sudah salah paham.
“Ih… aku tidak rela kalau In Gook suka padanya!” bisikan mereka sampai ke telingaku. Keterlaluan…! seharusnya mereka tak perlu berbicara sekeras itu. Semua gara-gara si brengsek itu, tapi aku tidak bisa membuat perhitungan dengan dia, toh dia hanya ingin membantuku. Aku tidak punya alasan untuk marah padanya. Karena berhembus kabar bahwa In Gook suka padaku, semua siswi di sekolah memusuhiku.  Bahkan beberapa guru wanita sinis padaku.

Waktu piket adalah saat yang paling melelahkan bagiku. Karena terlalu merendahkan seorang gadis miskin sepertiku, tak seorang pun dari regu piketku yang mau membantuku. Mereka beralasan banyak sehingga menghindar dari tugas membersihkan kelas. Aku tak dapat berbuat banyak, protes pun percuma, tak ada yang peduli. Dari pada sakit hati pada mereka yang curang, lebih baik kukerjakan saja sendiri, tugas membersihkan kelas dengan ikhlas.
“Kenapa kau sendirian?” tiba-tiba Songsaenim yang sedang mengawas ruangan muncul di dalam kelasku.
“Teman-temanku sedang sibuk, jadi aku saja yang mengerjakannya sendiri,” ucapku.
“Ya sudah… kerjakan tugasmu dengan baik!”
“Ya Songsaenim!” seruku. Beberapa saat kemudian guruku pergi, kuhembuskan napasku saat kulihat tong sampah itu, aku juga yang harus membuangnya sendirian. Tempat sampah ini lumayan berat, aku sampai oleng saat mengangkatnya, grebb… tiba-tiba saja ada yang langsung membantuku,
“Kau?!” protesku saat melihat In Gook tiba-tiba sudah ada di dekatku,
“Biar aku membantumu!” ucapnya.
“Shireo…” tolakku. Buru-buru kudorong dia agar menjauh,” Tak perlu repot-repot, aku bisa melakukannya sendiri!”
“Tapi tadi kau hampir jatuh ‘kan!”
“Apa pedulimu, aku jatuh atau tidak bukanlah urusanmu. Pergilah dariku, aku sungguh tidak ingin melihat wajahmu!”
“Jongsuk~a…” dia seperti memelas,
“Berhentilah mengekoriku. Apa maumu sebenarnya? Apa lagi yang kau rencanakan?” bentakku. Dengarkan Seo In Gook, apa tidak bisa kau memberiku sedikit ketenangan di sisa waktuku belajar di sekolah ini? Kita sudah kelas III, sebentar lagi akan berpisah satu sama lain, apa tidak bisa kau membiarkan aku belajar dengan tenang?” dia terdiam, Katakanlah apa yang kau harapkan dariku, apa kau ingin aku minta maaf karena kesalahan-kesalahan yang pernah kuperbuat padamu? Baiklah… aku minta maaf! Apa kau berharap aku berlutut? Baiklah… aku akan berlutut di hadapanmu!” aku pun berlutut,
“Apa yang kau lakukan, berdirilah…” In Gook terlihat kikuk,
“Cukup ‘kan? Apa lagi yang kau mau? Jadi sekarang berhentilah menggangguku!” pintaku kemudian kembali mengangkat tong sampah itu seorang diri.  

Hari ini merupakan hari kebersihan di sekolahku. Semua murid turun ke lapangan untuk bekerja bakti.
“Anak ikan… kepala sekolah minta tolong padamu membawakan gunting rumput di halaman belakang. Dia menunggu di kebun mawarnya, katanya mau dibersihkan,” tegur seorang temanku. Aku kesal sampaikan kapan mereka akan memanggilku dengan sebutan itu. Aku segera ke gudang dan mengambil gunting rumput dan menyusul kepala sekolahku yang sudah menuggu di kebun mawarnya. Saat menuju halaman belakang, beberapa teman In Gook malah berlari berlawanan arah dariku, sepertinya mereka dikejar seseorang. Saat tiba di kebun mawar kepala sekolah, aku benar-benar terkejut,
“Han Jongsuk… apa yang kau lakukan pada taman mawarku?” bentak kepala sekolahku.
“Aku tidak melakukan apa-apa Pak, aku cuma mau membawakan gunting rumput ini untuk Bapak,” ucapku khawatir.
“Siapa yang butuh gunting rumput!?” ucapnya penuh amarah. Irgh… pasti mereka, aku berbalik melihat teman-teman In Gook yang bersembunyi di belakang tembok dan mereka tertawa saat aku ditarik oleh kepala sekolah ke tempat hukuman, aku yakin. Akupun melihat In Gook muncul di tengah-tengah mereka. Bodoh… kenapa aku mudah sekali ditipu.
Aku dihukum membersihkan kolam renang yang akan dipakai latihan oleh anak-anak klub renang minggu depan. Aku mengumpat mereka habis-habisan, kurang ajar… mana kolamnya besar sekali. Tiba-tiba aku melihat In Gook, dia datang menghampiriku. Dia terlihat gemetar berada di samping kolam.
“Mau apa kau kemari? mau menertawaiku?” bentakku.
“Aku … minta maaf.” ucapnya.
“Minta maaf? gampang sekali kau bilang begitu! Kau membuat kepala sekolah marah padaku, membuat aku dihukum, dan dengan mudahnya kau datang minta maaf, kau memang iblis bertampang malaikat. Pergi …! pergi … pergi dari hadapanku!” bentakku
“Bukan aku yang melakukannya, aku juga kaget saat kepala sekolah membawamu pergi...”
“Kau tidak tahu apa-apa? saat aku dikerjai di toilet kau juga bersandiwara memarahi mereka seakan-akan kau tidak tahu apa-apa! kini kau mau menggunakan cara yang sama untuk menipuku? pergi …!”
“Aku sungguh tidak tahu apa-apa!”
“Kau muncul di antara mereka saat aku dibawa oleh kepala sekolah dan kau masih mau mengelak?”
“Aku penasaran kenapa mereka berkumpul di situ, akupun terkejut saat melihatmu ditarik kepala sekolah … lalu aku mulai sadar kalau kau dikerjai oleh mereka.”
“Aku tidak percaya pada ular sepertimu. Pergi …!” aku mengacungkan gagang pel yang kupegang ke arahnya. Dia mundur selangkah sambil menoleh melihat kolam di belakangnya.  
“Pergi kau, aku tidak mau melihatmu lagi …!”
“Tenanglah, jangan emosi begitu.” Bujuknya.
“Pergi …!” aku mencoba memukulnya dengan gagang pel dan dia langsung mengindar namun … dia malah terpeleset dan jatuh ke kolam. Beberapa saat dia muncul ke permukaan dan mencoba berenang ke tepi, tapi … bluk … bluk … dia tenggelam.
“Jongsuk  … aku tidak bisa bergerak. Kakiku kram sekali!”
“Bagus sekali aktingmu!” ejekku. Dia tenggelam lagi dan kali ini tidak muncul-muncul ke permukaan lagi. Gawat … jangan-jangan dia tidak bisa berenang. Aku melompat ke kolam dan mencarinya di dasar. Dia sudah tidak bergerak lagi, aku segera membawanya ke tepi dan membaringkannya.
“Hei … bangun! ayo jangan pura-pura lagi!” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya namun dia masih belum bangun juga.
“Hei … kau bisa mati benaran kalau kau berpura-pura seperti ini.” Aku mulai takut, aku memegang lehernya namun tidak ada denyutan,. Aku lalu menaikinya dan menekan perutnya, banyak air yang keluar. Aku teringat pesan ayah, setelah menekan perut orang yang tenggelam maka harus menunggingkan kepalanya dan mulailah memberi napas buatan. Setelah melakukan semua itu, In Gook belum sadar juga, gawat … berulang kali kucoba namun tidak berhasil.
“In Gook … bangun! kau tidak boleh mati. Aku tidak mau masuk penjara!” aku mulai menangis. Aku memukul dadanya berkali-kali,” Bangun … aku tidak mau jadi pembunuh!” aku memukulnya lagi, aku mencoba memberinya napas buatan sekali lagi. saat sedang memberi napas untuknya, tiba-tiba matanya terbuka.” Ha …” aku kaget dan menjauhkan wajahku dari wajahnya. Saking kagetnya aku sampai terjungkal kembali ke kolam. Dia batuk-batuk dan memuntahkan banyak air. Ternyata aku keliru, aku baru ingat kalau ayah menyuruh menekan dadanya bukan perutnya. Aku kembali ke tepi, aku duduk sejenak dan mengambil napas dalam-dalam.
“Kau tidak bisa berenang namun masih pergi ke tepi kolam, dasar bodoh!”
“Siapa bilang aku tidak bisa berenang, tadi kakiku cuma kram” belanya.
“Kau sudah hampir mati tapi masih sempat berbohong! untung Tuhan masih memberimu kesempatan menebus dosa. Kalau memang tidak bisa berenang jangan gengsi mengakuinya.”
“Hei … tadi tali sepatuku terkait jadi aku tidak bisa bergerak!”
“Yang benar yang mana, kakimu kram atau tal sepatumu terkait. Lihat … sepatumu tidak bertali, bagaimana mungkin terkait” bentakku.
Esoknya In Gook tidak masuk sekolah, kudengar dari teman-temannya katanya dia terserang flu berat. Wajar … dia bahkan hampir mati kemarin. Sampai beberapa hari dia tidak masuk sekolah, hu … manja sekali.
“Hei … kenapa kau tidak menjengukku?” tegurnya suatu pagi padaku
“Kau sudah sembuh ya …? selamat datang ke sekolah!”
“Aku tanya kenapa kau tidak menjengukku? kemarin kau ‘kan hampir membunuhku!”
“Untuk apa? bukankah banyak temanmu yang datang menjengukmu?” balasku. Aku berjalan ke arah belakang untuk membuang sampah. Tak kusangka dia malah mengikutiku.
“Kenapa kau mengekoriku?” aku mulai kesal
“Aku ingin mengatakan sesuatu …” jawabnya
“Apa?!”
“Sepertinya … aku mulai menyukaimu!



To be continued …


No comments:

Post a Comment