Sebelumnya di When We'll be Together (Part 2)
“Aku tanya kenapa kau tidak
menjengukku? kemarin kau ‘kan hampir membunuhku!”
“Untuk apa? bukankah banyak temanmu
yang datang menjengukmu?” balasku. Aku berjalan ke arah belakang untuk membuang
sampah. Tak kusangka dia malah mengikutiku.
“Kenapa kau mengekoriku?” aku mulai
kesal
“Aku ingin mengatakan sesuatu …” jawabnya
“Apa?!”
“Sepertinya … aku mulai menyukaimu!” apa
…? aku terkejut. Aku mendekatinya dan meraba dahinya,
“Oh … wajar, kau masih demam. Lebih
baik kau beristirahat di rumah untuk beberapa hari lagi daripada bicaramu
ngelantur seperti itu.” ejekku
“Tapi aku benar-benar menyukaimu.”
“Jebakan apa lagi ini?”
“Ini bukan jebakan, aku benar-benar
menyukaimu.”
“Dengar, aku mulai bosan melihat
wajahmu, jadi jangan membuatku semakin benci padamu. jangan mengucapkan
kata-kata memalukan seperti itu.”
“Hei … aku menembakmu, kenapa kau
tidak mengerti?”
“In Gook semua ini tidak lucu,
pergilah dari hadapanku”
“Harus bagaimana agar kau percaya
kalau aku serius. Aku sungguh menyukaimu, aku tahu kau juga sama ‘kan?”
“Apa …? kau gila ya. Apa cermin di
rumahmu retak semua? berpikirlah apa kau pantas aku sukai. Lagipula buaya kelas
kakap sepertimu butuh alasan apa untuk menyukai anak ikan sepertiku?” ucapku sambil menekan pada kata ‘anak ikan’
“Karena … kau menciumku” aku tersentak
dan segera menutup mulutnya
“Kau gila ya, bagaimana kalau ada yang
mendengar?”
“Biar saja, aku tidak peduli!”
“Aku yang peduli … lagipula apa kau
tidak bisa membedakan antara napas buatan dan ciuman? Bukankah kau yang paling
tahu itu, kau ‘kan banyak pacar jadi tahu dong ciuman itu seperti apa dan napas
buatan itu seperti apa? Kemarin aku memberimu napas buatan karena kalau tidak
kau bisa mati.”
“Itu berarti kau mengkhawatirkan aku,
kau tidak mau aku mati ‘kan?”
“Iya … aku memang tidak mau kau mati
karena aku tidak mau masuk penjara. Sudahlah … ayo pergi, masuklah ke kelasmu,
aku tidak punya waktu meladenimu.” Aku meninggalkannya seorang diri.
“Jongsuk … aku benar-benar menyukaimu!” teriaknya,
“Kau gila ya … kalau kau masih demam
lebih baik beristirahat di rumah saja, lihat kau sampai berbicara yang
ngelantur begitu,” aku menghampirinya dan menutup mulutnya.
“Kau pikir aku akan
percaya pada semua kata-katamu setelah apa yang kau lakukan padaku? Dulu kau
berpura-pura menjadi penyelamat saat aku dikerjai di toilet, kau juga sengaja
meminta maaf saat aku dihukum kepala sekolah karena dituduh merusak taman
mawarnya padahal kau yang menyusun rencana itu bersama temanmu, sekarang kau
malah datang dan tiba-tiba bilang suka padaku? Ayolah In Gook, aku tahu kamu
memang bodoh dalam pelajaran namun dalam urusan mengerjaiku kau tidak akan
bodoh seperti ini ‘kan? Sekarang berhenti menggangguku karena aku juga punya
kesabaran, jangan buat aku semakin muak dengan tampangmu yang sangat
menyebalkan itu.” ucapku.
Berapa hari berlalu dengan damai, aku
masih belum percaya kalau mereka berhenti hanya sampai di sini mengerjaiku.
Pasti mereka sedang menyusun rencana untuk menjebakku lagi. Suatu pagi aku
sangat terkejut saat memasuki kelasku, aku melihat setangkai mawar di atas
mejaku. Siapa yang mengirim mawar ini ya? Romantis sekali … apa ada yang
diam-diam suka padaku di sekolah ini namun tidak berani mengatakannya? Ini
pertama kalinya aku mendapatkan mawar misterius seperti ini, aku tersenyum
bahagai, ternyata kehidupan SMUku tidak seburuk yang aku bayangkan.
“Eh … maaf, aku sepertinya salah meletakkan
mawar itu, kupikir bangku ini milik Ji Won!” tiba-tiba
seorang siswa meminta kembali mawar itu yang ternyata bukan untukku. Rupanya
mawar itu untuk tetangga bangkuku. Dengan senyum yang agak dipaksakan, aku
mengembalikan mawar itu. Siswa itu lalu meletakkan mawar itu dibangku yan
semestinya.” Hu … dasar, dia pikir dia siapa? memangnya di sekolah ini ada yang
mau mengirimkan mawar pada gadis seperti dia?” siswa
itu bergumam kecil saat melaluiku, dia pikir aku tidak mendengarnya. Hei… kau
pikir kau juga sangat tampan apa?
Aku berjalan menyusuri koridor
sekolahku, aku ingin menuju lockerku untuk menyimpan barangku. Aku tak sengaja
mendengar percakapan dua orang teman In Gook di kelas,
“Aku heran pada In Gook, kenapa dia
melunak begitu. Padahal aku sudah mendapatkan banyak ide untuk mengerjai anak
ikan itu!”
“Iya… sudah berhari-hari tanganku
gatal untuk mengerjai anak ikan itu. Kenapa In Gook melarang kita menyakiti
anak itu ya? atau jangan-jangan In Gook mulai menyukai anak itu?”
“Jangan bicara sembarangan, mana
mungkin In Gook suka pada gadis seperti anak ikan itu. Memangnya sudah tidak
ada gadis yang lebih baik? Dunia ini masih memiliki banyak pasokan gadis-gadis
cantik dan In Gook tidak perlu repot-repot melirik pada gadis itu!”
“Benar juga… kalau anak ikan itu dibandingkan
dengan mantan-mantan In Gook selama ini, anak ikan itu tidak ada apa-apanya.
Tapi kenapa In Gook seakan-akan melindungi anak itu ya… aku jadi heran!”
“Kita harus cari tahu …”
“Iya… tapi jangan sampai In Gook
curiga!” Apa aku tidak salah dengar, mereka ingin memata-matai In Gook? Tidak…
ini pasti jebakan, aku clingak-clinguk menyusuri setiap sudut di koridor
sekolah dengan penglihatanku, aku yakin pasti ada seseorang yang sedang
mengamatiku di suatu tempat untuk memastikan aku mendengar pembicaraan mereka
sehingga aku salah paham dan mengira semua perkataan In Gook itu benar seperti
yang dulu mereka lakukan saat menjebakku di toilet.
Aku melanjutkan perjalanan menuju
lockerku, alangkah terkejutnya aku saat membuka lockerku. Beberapa bunga mawar
menyembur karena berdesakan, ada sekeranjang besar bunga mawar di lockerku!
Jangan-jangan salah kirim lagi seperti di kelas tadi,
“Wah … mawarnya banyak sekali, siapa
yang mengirimkan mawar untuk anak itu ya? Aku penasaran orang bodoh macam apa
yang mengirim mawar itu!” beberapa orang berbisik di sampingku. Aku melihat ada kartu nama
di keranjang mawar itu, In Gook…! Aku segera mencabut kartu nama itu supaya
teman-temanku tidak tahu siapa pengirimnya.
Gemercik api mewarnai prosesi
pembakaran mawar itu, ya… aku membakarnya. Memangnya orang itu pikir aku akan
langsung tersentuh saat dikirimkan mawar.
“Kenapa kau membakar mawar-mawar
pemberianku?” In Gook tiba-tiba muncul dari belakangku dan mengagetkan aku,
“Oh… jadi ini mawar-mawar pemberianmu
ya, maaf… kupikir ini sampah soalnya mengotori lockerku jadi aku bakar!” aku
menjawab dengan setengah mengejek. In Gook lalu mencengkram lenganku dengan
kasar,
“Apa? sampah? kau bilang mawar
pemberianku sampah! Dengar… aku tidak pernah memberikan sampah pada orang yang
kuhargai!” ancamnya. Dia lalu memadamkan api itu dan memungut beberapa
mawarnya yang belum sempat terbakar.” Tadi pagi aku melihat kau tersenyum
memegangi mawar yang ternyata hanya salah dikirim ke bangkumu. Jadi aku memesankan
sekeranjang untukmu dengan harapan kau tidak hanya akan tersenyum namun juga
tertawa, tapi apa…?” Dengan wajah judes dia berlalu meninggalkan aku. Aku
tercengang, baru kali ini aku melihat ekspresinya yang seperti itu.
Hari ini tetanggaku mengadakan sebuah
pesta kecil untuk merayakan kelulusan anaknya di universitas. Kami di sini
sudah seperti keluarga besar, jadi sudah sewajarnya bila saling membantu. Aku
sibuk menyusun kursi dan meja untuk jamuan makan nanti serta merapikan piring
dan gelas. Aku membantu paman untuk mengangkat meja dan memasang lampu.
“Jongsuk … kau tidak perlu kerja nak,
nanti kamu sakit lagi!” tegur tetanggaku
“Bibi, aku sudah sembuh jadi tidak
perlu khawatir!” bibi memandang iba padaku. Terima kasih… sungguh akau sangat
berterima kasih kepada Tuhan yang telah menganugerahkan ayah dan para tetangga
yang sangat menyayangiku. Mereka menyayangiku seperti anak mereka sendiri.
“Jongsuk… ada teman sekolahmu yang
mencarimu!” teriak paman. Aku heran, teman yang mana? Perasaanku tak ada teman
yang mau datang ke rumahku apalagi aku memang tidak punya teman di sekolah
karena mereka semua memusuhiku. Aku segera menemuinya, huh… ternyata In Gook.
“Mau apa kau kemari?”
“Sepertinya kau sedang sibuk?”
“Iya, aku memang sedang sibuk,”
“Aku ke sini hanya ingin memperjelas
kepadamu kalau aku serius menyayangimu.”
“Aku tidak punya waktu, jadi lebih
baik kau pulang saja!” aku berbalik ingin meninggalkannya
“Jongsuk … tunggu!” dia
menarik tanganku.
“pa lagi…! dengar ya kalau kau pikir
kali ini kau bisa menipuku maka kau salah besar, aku bukan orang bodoh. Kau
pikir dengan mawar itu kau bisa menggodaku?” dari kejauhan paman memanggilku
“Jongsuk… pestanya sudah dimulai. Ayo
segeralah bergabung!”
“Iya paman, aku akan menyusul.”
“Sekalian ajak juga temanmu!”
“Maaf… sepertinya dia tidak bisa
bergabung karena dia harus pergi sekarang juga, dia sangat sibuk. Lagipula dia
tidak terbiasa ikut dalam pesta seperti ini” jawabku, paman mengangguk tanda
mengerti kalau In Gook adalah orang kaya dan pasti tidak akan mau bergabung
dengan kami. “Sudah… ayo pulang! Kau tenang saja, aku tidak akan melaporkan
pada teman-temanmu kalau aku sudah menghusirmu karena aku yakin seumur hidupmu
kau tidak pernah dipermalukan oleh orang miskin sepertiku,” aku meninggalkannya
dan bergabung dengan yang lainnya di pesta itu.
Aku menikmati alunan musik lembut
bersama para tetanggaku, aku semakin sebal saat mengetahui In Gook belum pergi
juga bahkan dia menghampiriku.
“Aku benar-benar menyukaimu,
percayalah!” ucapnya memelas. Aku bosan mendengar kata-kata yang sama darinya.
“Baik … aku percaya, sekarang pergilah!”
“Kenapa kau sulit sekali mengerti?!”
“Siapa suruh kau penipu, sekarang kau
pikirkan saja cara agar aku bisa percaya,” tantangku. Aku kembali menikmati
alunan musik. Tiba-tiba In Gook menarikku dan menciumku! Bruk… tiba-tiba ayahku
muncul dan memukul In Gook sampai terjatuh.
“Kurang ajar… apa yang kau lakukan
pada putriku,” bentak ayahku.
“Bagaimana, sekarang kau bisa percaya
kalau aku suka padamu?” tanya In Gook
“Anak kurang ajar…” ayahku kembali
memukulnya, In Gook benar-benar babak belur namun dia hanya diam saja menerima
pukulan ayahku tanpa berhenti menatapku. Dia adalah orang yang sangat
memperhatikan penampilannya, mana mungkin dia rela dipukuli kalau hanya untuk
berpura-pura suka padaku. Air mataku sepertinya akan mengalir karena bimbang
antara harus percaya atau tidak.
“Ayah … jangan dipukul lagi. Dia orang
gila, jadi percuma menasihatinya,” aku menarik tangan ayahku dan membawanya ke
rumah.
Sebelum ke sekolah, ayah mengingatkan
agar cepat pulang untuk sembahyang karena hari ini hari peringatan meninggalnya
ibuku. Aku benar-benar malas ke sekolah, aku tidak mau bertemu In Gook. Apa
yang akan aku katakan kalau bertemu dengannya nanti? Saat melalui koridor aku
melihat beberapa siswa berbincang-bincang,
“Selama akau pacaran dengan In Gook,
tak sekalipun dia menciumku,” keluh seorang siswi.
“Benarkah…? kupikir In Gook pacaran
hanya untuk hal itu!” balas temannya.
“Kudengar-dengar In Gook memang
seperti itu, mantan-mantannya yang terdahulu pun tidak pernah dia cium.” tambah
yang lain
“Wah… sepertinya selama ini aku salah
paham, kupikir In Gook sama seperti laki-laki yang lain kalau diberi kesempatan
pasti akan dia ambil. Padahal waktu malam itu aku sendiri yang berniat
menciumnya namun dia menolak,” ucap siswi yang sepertinya salah satu dari banyak koleksi In
Gook.
“Jangan-jangan In Gook hanya akan
mencium wanita yang benar-benar dia sayangi. Dia berpacaran dengan banyak gadis
namun tidak akan menyentuhnya bila maksudnya memang hanya untuk bermain-main
dengan gadis itu.” sambung temannya
“Ternyata, meski dia seorang playboy
tapi dia masih punya sopan santun juga.” sambung yang lain
“Aku jadi penasaran siapa gadis yang
akan mendapatkan ciuman pertamanya In Gook, pasti dia sangat beruntung. Aku
jadi iri …” ucap mantannya In Gook.
Aku jadi semakin bimbang, apa benar In
Gook seperti itu? Tapi ini seperti mimpi, dia salah menyukaiku. Aku mempercepat
langkahku, karena jalan ke kelasku harus melalui kelasnya. Buk… aku bertabrakan dengan seseorang, In
Gook…! aku mencoba menghindar namun dia berhasil mencegatku.
“Aku tidak punya perasaan apa-apa
padamu, itu jawabanku. Jadi… jangan menggangguku lagi,” ucapku.
“Aku tidak percaya!”
“Kenapa kau sulit sekali diberi
pengertian?”
“Karena aku tahu kau juga punya
perasaan yang sama denganku.”
“Kau tahu dari mana, asal-asalan saja.
Kau pikir aku bisa suka padamu padahal selama ini kau selalu mengerjaiku.”
“Aku bisa melihat dari matamu,”
“Baiklah terserah apa maumu. Kau orang
kaya dan aku orang miskin, apa kau pikir kita bisa bersatu?”
“Asal kita saling mencintai maka jarak
lapisan sosial itu dapat kita lalui. Kita pasti bahagia.”
“Bahagia? Ha ha ha...” aku tertawa kecil,” Apa kau lupa, aku pernah
mengutukmu di pesta ulang tahunmu bahwa kau tidak akan pernah bahagia!” aku
mencoba mengingatkannya.” Kutukanku itu masih berlaku Seo In Gook Hee Chul!” ancamku.”
Lagi pula... jangan ucapkan kata ‘bahagia’ di depanku karena aku terlahir di
bawah naungan bintang kematian, tidak ada kata bahagai dalam kamus hidupku.”
“Kau ini bicara apa?”
“Sebelum kau menderita lebih jauh, kusarankan
kau menghapus cintamu padaku,”
“Aku tidak peduli kau ini orang miskin
atau bukan, ayahmu nelayan atau bukan. Yang kusuka adalah jiwamu, bukan statusmu.
Aku mau hidup susah seperti hidupmu dan aku yakin kita hidup bahagia selamanya!”
“Bagaimana bisa kau hidup bahagia selamanya
kalau aku akan mati! Seo In Gook In Gook… kau benar-benar salah jatuh cinta
pada calon mayat sepertiku.”
“Aku juga calon mayat, ayahku, ibuku,
teman-temanku, semuanya …”
“Aku sakit… sakit parah, sebentar lagi
pasti mati dan kau bilang mau hidup bahagia bersamaku? kau bercanda?! Sudahlah,
berhenti mengejarku… murid-murid sudah mulai berdatangan, nanti dia melihat
kita. Kau tidak takut harga dirimu jatuh karena ngobrol denganku?” aku tertawa geli
di hadapannya. Aku tidak habis pikir dia mau bahagia pakai apa kalau aku mati.
Akupun pergi meninggalkannya yang masih kebingungan.
Aku bersenandung kecil di bawah
pepohonan saat pulang sekolah. Aku sangat menikmati hangatnya musim panas.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di dekatku, In Gook keluar dan tersenyum.
“Hari ini … kita resmi bepacaran,
naiklah ke mobilku. Aku akan mengantarmu pulang.” ucapnya, aku segera
menghampirinya,
“Jadi kau menerimaku? kau tidak takut
kalau aku mati?” tanyaku heran,
“Tidak…!”
“Hei… aku serius! aku sakit!”
“Aku juga serius, kalau kau sakit, aku
akan mengobatimu. Aku ‘kan punya banyak uang.” aku pun naik ke mobilnya, apa
dia pikir aku bercanda?
“In Gook… aku pacarmu yang ke berapa?
trus waktu bersamamu maksimal lima hari ‘kan?”
“Kau pacar yang ke-218 tapi waktu
untuk bersamaku adalah selamanya!”
“In Gook kalau kali ini kau menipuku,
aku bersumpah akan membunuhmu!”
“Aku tidak akan menipu orang yang
sangat aku sayangi, yang susah payah aku dapatkan,” dia
tersenyum, secuil lesung pipi muncul di pipinya, membuatnya terlihat semakin imut.
Ternyata ayah sudah lama menungguku
untuk melakukan sembahyang. Aku sampai lupa pada pesannya sebelum ke sekolah
tadi, kalau menyangkut ibu entah mengapa aku sangat tidak peduli. Aku bersama
ayah bersembahyang. Aku mendengar bisikan doa ayah, dan tanpa kusadari aku
malah tertawa. Setelah bersembahyang ayah bertanya padaku,
“Kenapa kau tertawa saat sembahyang
tadi?”
“Doa ayah asal-asalan saja!” jawabku
“Apa maksudmu? ayah ‘kan mendoakan
ibumu agar damai di syurga sana!”
“Yang benar saja, orang seperti dia
tidak akan masuk surga.”
“Jong Suk!” ayah
membentakku, “Maaf… seharusnya hari ini aku tidak memarahimu karena hari ini
adalah ulang tahunmu. Ayah sudah memasakkan makan untukmu.” ayah kemudian
menyiapkan seluruh masakannya di atas meja. Kami duduk berhadapan dan mulai
memejamkan mata untuk berdoa.
“Semoga anakku bahagia dan panjang
umur,”
“Ayah tidak perlu berlebihan seperti
itu, aku mana mungkin panjang umur. Ini saja mungkin terakhir kalinya kita
bersembahyang untuk ibu dan merayakan ulang tahunku bersama,”
“Jongsuk … jangan buat ayah marah,
sekarang kau juga berdoalah!”
“Untuk apa berdoa, toh… semua sia-sia
saja. Ayah sudah banyak berdoa untukku tapi apa hasilnya?
Tuhan sudah mengutukku jadi…”
“Ayo berdoa!” bentak ayah.
“Semoga selepas aku pergi, ayah akan
tabah dan mendapatkan seorang istri yang benar-benar menyayanginya!” ayah
tiba-tiba pergi dariku dan bersembunyi, saat aku mengikutinya, ternyata dia
menangis. “Ayah… maafkan aku!” ucapku sambil memeluknya.
Di sekolah aku merasa aneh, semua
orang memandangiku bahkan mereka Nampak ramah padaku. Dari arah belakang In
Gook tiba-tiba datang dan merangkulku.
“Selamat pagi …!” ucapnya
“Apa yang kau lakukan, nanti kalau ada
orang yang melihat bagaimana?”
“Memangnya
kenapa? Aku tidak peduli. Lagipula mereka semua sudah tahu jadi tidak ada yang
perlu ditakutkan,”
“Apa…?” pekikku. Wajar… dia ‘kan
orangnya tidak bisa diam, pasti dia sendiri yang menyebarkannya. Tapi tunggu,
pantas teman-temanku jadi ramah begitu.
“Oh ya… ayahku dan nelayan lainnya
mengadakan pesta kecil untuk merayakan tangkapan mereka yang lumayan banyak.
Bagaimana kalau kau ikut bersamaku merayakannya?” bujukku.
Dia kemudian terdiam,” Kalau kau tidak mau ya… tidak apa-apa. Aku mengerti
kamu tidak terbiasa di lingkungan kumuh seperti rumahku.” tambahku.
“Aku mau datang kok!”
“Kau tidak perlu memaksakan diri hanya
karena merasa tidak enak hati padaku.” balasku
“Aku justru penasaran dengan pesta
kalian, aku bosan dengan pesta yang selama ini aku ikuti, terlalu formal dan
kaku. Aku ingin berbicara bebas dan tertawa sepuasnya tanpa harus menjaga imej,” ucapnya.
Kadang aku merasa kasihan padanya, apa dia bisa beradaptasi dengan duniaku yang
sangat berbeda dengan dunianya.
“Kau anak kurang ajar yang mencium
putriku di depan umum beberapa hari yang lalu ‘kan?” bentak ayahku pada In Gook.
“Ayah… jangan bicara seperti itu pada
temanku!” aku mencoba menenangkan ayah. Aku menariknya dan mengajaknya
bicara,” Kali ini In Gook datang dengan niat baik, dia tidak akan
macam-macam,” tambahku. Tiba-tiba seorang tetanggaku bertanya pada In Gook.
“Kau pacarnya Jongsuk ya?” In Gook tersenyum dan meangangguk. Ayah
terbelalak mendengarnya, dia menatapku. Aku jadi takut,
“Benar kau pacarnya?” tanya ayah
“Iya…” ucapku
tertunduk. Ayah lalu pergi meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaannya
menyusun lampu pesta. Dia tidak berkata apa-apa lagi.
“Ayahmu sepertinya marah,” bisik
In Gook yang mendekatiku. Aku jadi tidak enak pada semua. Ayah tetap diam meski
semua tetanggaku menyambut In Gook dengan hangat. Aku mencoba
berbicara pada ayah yang sedari tadi berwajah masam meski pesta sudah dimulai.
“Ayah, apa ayah tidak suka pada In
Gook? Maafkan aku …”
“Apa benar dia menyukaimu? mungkin dia
cuma mempermainkanmu.” Balas ayahku
“Dia sudah tahu kalau aku sakit namun
dia tetap ingin bersamaku,” ucapku. Tiba-tiba aku melihatnya menitikkan air mata,
“Jongsuk… ayah baru sadar ternyata kau telah dewasa. Kau
bukan lagi putriku yang berumur lima tahun yang masih ayah suapi bila makan.
Kau sekarang sudah punya pacar, ayah tak menyangka ada pria yang
tulus mencintaimu. Ayah pikir tak ada lagi pria yang mau mendekatimu karena
kita orang miskin.” semua orang terdiam melihat
ayah, “Dulu
ayah sering bertanya kapan Jongsuk akan
membawa teman prianya dan memperkenalkannya pada ayah sebagai pacar, tapi
jangankan pacar, teman biasa pun tak ada yang mau datang ke rumah karena ayah
hanya seorang nelayan,” ayah menangis di pundakku, “Tapi syukurlah
sekarang, aku tidak perlu merasa bersalah lagi karena putriku sudah punya
pacar, hiks…” semua orang tertawa melihat
ayahku. Mereka dan aku tak menyangka ayah akan berlebuhan seperti ini. In Gook
lalu menghampiri kami, ayah berdiri dan memeluknya.
to
be continued …
No comments:
Post a Comment