Sebelumnya di When We'll be Together (Part 4)
Golongan
darah yang dipesan In Gook dari Busan telah sampai di RS yang menanganiku. Saat
pergi membicarakan mengenai operasiku bersama In Gook, Dokter Lee berkata aku
masih membutuhkan darah satu kantong lagi untuk operasi yang kemungkinan akan
berlangsung sampai lima jam. Aku kembali terpuruk, awalnya aku sudah mendapat
setidaknya sedikit sinar harapan namun semua itu sirna setelah mendengar
keterangan Dokter Lee,
“Ayo
… jangan patah semangat. Kita pasti menemukan sisa darah yang kau butuhkan. Ayo
… berjuang! .” In Gook memberi semangat padaku yang tengah putus asa, dialah
orang yang selalu optimis pada kesembuhanku. Setelah mengantarku ke RS dia
kembali bekerja di tempat konstruksi bangunan. Dia pulang di saat larut malam.
Dia terlihat sangat lelah dan kotor. Aku mengintipnya dari jendela kamarku, aku
tiba-tiba merasa bersalah. Gara-gara aku dia seperti ini. Aku lalu memasakkan makanan untuknya dan
mengantarnya ke kamar In Gook. Tok … tok …, dia membuka pintu.
“Ini,
aku bawakan makanan untukmu, kau pasti sangat lapar.”
“Sebenarnya
aku sidah makan di tempat kerja, tapi … setelah melihat masakanmu aku jadi lapar lagi.”
“Eh
… makan di teras saja, aku mau menemanimu makan tapi jangan di dalam, nanti
orang berpikiran macam-macam.” diapun makan dengan lahap di teras depan
kamarnya. Aku memandanginya lekat-lekat.
“Di
tempat kerja kau makan apa?” tanyaku,
“Dua
potong roti dan air mineral sebotol.”
“Hanya
itu?” tanyaku kaget, dia hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan.”
Kalau begitu habiskanlah makananmu, aku akan mengambilkan sepiring untukmu lagi.”
tambahku.
“Ah
… tidak perlu. Ini saja sudah banyak!” tolaknya. Aku benar-benar kasihan
padanya. Dulu dia bisa makan enak, tidur nyenyak, dan belanja sepuasnya. Namun
gara-gara aku dia harus kehilangan semuanya. Aku memandanginya dengan perasaan
terharu. Beberapa waktu kemudian dia telah selesai makan.
“Terima
kasih atas pengorbananmu untukku, aku benar-benar terharu atas ketulusanmu.”
“Aku
senang dapat berjuang untukmu. Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bahagia”
“Apa
kau yakin kita akan bahagia?”
“Aku
yakin. Meski hanya sebuah harapan, namun aku akan terus mencoba meraih waktu di
mana kita akan bersama.”
“Kau
tahu … aku adalah orang yang tidak percaya pada cinta abadi. Di saat seperti
ini, di mana orang hanya mementingkan diri sendiri, mustahil ada orang yang mau
berjuang demi orang lain. Kalaupun ada si cinta abadi itu, itu hanya cinta
ayahku pada ibuku meski beliau telah dikhianati. Namun begitu melihatmu, aku
baru sadar ternyata kau telah mematahkan seluruh anggapanku selama ini. Melihat
ketulusanmu, kurasa aku mulai mencintaimu.” ujarku,
“Apa
…? jadi kau selama ini belum mencintaiku? Wah … kau curang sekali, padahal
aku telah berjuang mati-matian untuk mengungkapkan cintaku. Tapi … tak apa, asal kau punya perasaan untukku, itu
sudah cukup.” Aku tertawa mendengarnya, sejenak kami terdiam. Udara malam
benar-benar dingin, kurasa sudah saatnya aku kembali ke rumah, aku segera
membereskan peralatan makan In Gook.
“Seo
In Gook In Gook …” panggilku, dia menoleh padaku
“Ya
…?” aku lalu mengecup bibirnya, lama … cukup lama.
“Itu
hadiah untukmu karena telah bekerja keras untukku.” ucapku, setelah itu aku
pergi. Dia masih bengong saat aku masuk ke rumah.
Beberapa
hari kemudian setelah pulang berbelanja untuk kebutuhan dapur, aku segera ke
gudang, tempatnya In Gook yang sudah kusihir jadi kamarnya. Entah mengapa ayah
mencoba meleraiku untuk menemui In Gook. Tapi setelah melihat ke kamarnya, aku baru paham mengapa ayah
melarangku menemuinya sekarang. Aku melihat ibunya membujuknya untuk pulan.
Tiba-tiba aku merasa sedih membayangkan dia akan pergi meninggalkakan aku. Ayah
membujukku untuk menyuruh In Gook pulang, tak baik katanya kalau membiarkan dia
terlalu lama berseteru dengan orang tuanya. Memang benar kata ayah, aku tak
boleh egois. In Gook bisa jatuh sakit kalau terus-terusan bekerja, aku harus
membujuknya untuk pulang.
“Kau
tak ingin lagi kalau aku menumpang di sini?” tanyanya
“Bukan
bagitu, kasihan ibumu. Ayahku tidak setuju kalau kau bersitegang dengan orang
tuamu. Kami merasa tidak enak pada orang tuamu, gara-gara kami kau lari dari
rumah.”
“Aku
melakukannya karena merasa mereka memang salah. Mereka sama sekali tidak
mengerti perasaanku, mereka memandang orang miskin terlalu rendah dan aku tidak
suka.”
“Kau
‘kan dapat memberikan mereka penjelasan. Jangan buat ibumu memohon padamu, itu
tidak pantas karena beliau orang tuamu. Tolong sisakan sedikit harga diri untuk
kami di hadapan orang tuamu, mereka pasti semakin membenci kami karena mengira
kami telah menghasutmu.” lama aku berdebat dengannya agar dia mau kembali.
Akhirnya dia mau pulang dengan syarat ke
pada orang tuanya agar merestui hubungannya denganku.
Akhir-akhir
ini keadaanku semakin memburuk. Kepalaku selalu sakit bahkan rambutku mulai
berguguran. Kantong mataku terlihat jelas, bahkan bibirku mulai pecah-pecah.
Aku memutuskan memotong rambut karena rambutku semakin menipis. Aku jadi
semakin jarang ke sekolah karena keadaanku yangtidak memungkinkan.
Yah,
In Gook, dan para tetanggaku masih berusaha menacari donor darah untuk menutupi
kekurangan darahku yang akan digunakan pada saat operasi nanti. Suatu hari
Dokter Lee memberitahukan aku mengenai perkembangan penyakitku. Katanya tumor
itu telah menyerang otak tempat penyimpanan memoriku. Bila dia melakukan
operasi pengangkatan tumor maka dikhawatirkan seluruh ingatanku akan terhapus.
Meski masih ada kemungkinan hal itu tidak akan terjadi namun kemungkinan itu
sangat tipis.
“Kemungkinan
ingatanmu tidak akan terhapus hanya berkisar 5% dan selebihnya kau akan
kehilangan seluruh ingatanmu.”
“Hu
… takdir benar-benar mempermainkan aku dokter, di saat aku punya kesempatan
untuk operasi karena darah yang tersedia hampir cukup kau malah menghancurkan
kesempatan itu dengan mengatakan seluruh ingatanku juga akan terhapus. Baiklah
… batalkan saja rencana operasi itu karena ingatanku jauh lebih berharga
dibanding nyawaku.” Ucapku dengan nada yang benar-benar putus asa.
Aku
tak mau melupakan In Gook, ayah, tetanggaku yang menyayangiku, dan orang-orang
yang aku cintai. Percuma saja aku hidup bila aku harus melupakan mereka. Aku
dapat bertahan hidup dan berjuang melawan penyakit ini karena ada cinta dari
mereka, bila aku kehilangan kenangan dari mereka maka itu pasti lebih
mengerikan dibandingkan kematian.
Mereka
yang telah berjuang bersamaku, tertawa dan menangus bersama, semua orang yang
menyayangiku tak mungkin boleh aku lupakan. Kenangan bersama mereka justru yang
membuatku dapat bertahan sampai detik ini. Ayah yang selalumenyayangiku, In
Gook yang tulus berjuang demi diriku, dan paman serta bibi yang selalu
mendukungku tak boleh hilang dari ingatanku. Aku menyayangi mereka, aku tak mau
melupakan mereka!.
Suatu
ketika In Gook membawakan berita yang mengejutkan, tanpa disangka ibunya
memiliki hubungan darah yang sama denganku. Benar-benar kebetulan, kini donor
darah yang kurang dapat ditutupi oleh ibunya In Gook. Itu keinginan In Gook,
belum tentu ibunya setuju apalagi ibunya sangat membenciku.
Suatu
saat aku terbaring lemah di RS dan Nyonya Seo menemuiku untuk membicarakan hal
yang penting menurutnya,
“Aku
akan menyumbangkan berapapun darahku yang kau butuhkan asal kau berjanji tak
akan lagi menemui putraku.” ucapnya, aku mencoba bicara dengan sisa tenagaku.
“Saat
ini aku sudah siap untuk mati jadi bila anda tak mau menyumbangkan darah untukku,
aku tidak peduli. Nyonya … terus terang saja, saat ini aku benar-benar jatuh
cinta pada putra anda dan bila memang anda ingin aku pergi darinya maka itu
tidak akan lama lagi. kenapa anda tidak mau bersabar sedikit saja? Tolong
jangan pisahkan kami, kalau itu terjadi sama saja anda membunuhku
perlahan-lahan.”
“Dasar
gadis miskin, tidak thau diri!. Kau mana pantas untuk putraku, selain miskin
kau juga penyakitan … sampai kapanpun aku tak akan sudi mengizinkan kau bersama
putraku meski hanya sesaat!.”
“Nyonya
kasihanilah aku, aku tidak akan terlalu lama bersama putra anda, setelah semua
usai anda tidak pusing lagi memikirkan masalah putra anda.” kata dokter emosiku
harus harus stabil, aku akan langsung down
bila aku tak dapat mengendalikan emosiku. Tiba-tiba saja penglihatanku
kabur dan wajahku terasa panas terbakar. Sakit … sakit sekali! ibunya In Gook
ngeri melihat keadaanku bahkan dia sangat jijik apalagi saat aku muntah-muntah
dan mimisan.
“Aku
tak habis pikir kenapa putraku menyukai wanita penyakitan seperti kamu. Dia
sudah buta, kamu betul-betul membuatku mual.” bentaknya, Ayahku tiba-tiba masuk
ke ruang inap.
“Nyonya
… silahkan pergi!” bentaknya. Aku tahu, ayah pasti mendengarkan pembicaraanku
dengan ibunya In Gook. Ayah lalu menekan tombol darurat untuk memanggil dokter
supaya menanganiku.
Beberapa
hari setelah keadaanku mulai membaik, dokter mengizinkan aku untuk pulang.
Sekolahku benar-benar terbengkalai, aku terancam tidak dapat mengikuti ujian
akhir karena keadaanku yang semakin memburuk. Untung ada In Gook yang
membantuku menyalinkan semua pelajaran.
“In
Gook, kau tak boleh meninggalkan aky ya?!” aku merengek padanya
“Kau
melarangku untuk meninggalkanmu namun kamu sendiri yang malah ingin
meninggalkan aku, apa itu tidak jahat?”
“In
Gook …” aku merengek lagi.
“Aku
akan membujuk ibu untuk menyumbangkan darahnya untukmu bagaimanapun caranya.
Kau pasti akan sembuh.” ucapnya. Hiks … aku tak akan pernah sembuh, aku tak
akan membiarkan Dokter Lee menghapus ingatanku.
Semakin
lama keadaanku semakin parah. Rambutkupun semakin banyak berguguran. Wajahku
bahkan sudah seperti mayat, penyakit ini benar-benar mengerikan. Dokter Lee
mendesak untuk segera dilakukan opersai. Menurut hasil foto tengkorak kepalaku,
tumor hampir menyerang otak besar. Hal itu ditandai dengan memuntahkan semua
makanan dari perut karena otak tak dapat bekerja sebagaimana mestinya sebab
pengaruh tumor ganas tersebut.
“Apa
yang harus kulakukan …?” In Gook terisak di samping ranjang inapku. Dia mungkin
mengira aku masih tertidur pulas.
“Dia
akan lumpuh perlahan-lahan bila bila tumor itu merusak otak besarnya, jadi
sebelum terlambat maka kita harus segera melakukan operasi.” ucap Dokter Lee
yang berada di samping In Gook, dia … melanggar janjinya.
“Di
mana kami harus mencari darah Dok? Jongsuk tak mungkin dioperasi tanpa transfuse darah ‘kan?” keluh ayah,
“Ada
satu hal lagi, Jongsuk sebenarnya
menolak diopersi …” Dokter Lee tak dapat melanjutkan ucapannya.
“Apa
…? Jongsuk menolak dioperasi? memangnya
kenapa Dok?” tanya In Gook,
“Ayo
katakana Dok!” desak ayah,
“Bi
… bila kami mengangkat tumor yang telah menyerang otak kecilnya maka besar
kemungkinan seluruh ingatannya akan terhapus.”
“Apa
…?” ayah dan In Gook terkejut.
Aku
memandangi foto ibu yang terpajang di ruang tamuku. Aku bergumam, “aku akan
segera menyusulmu dan akan membuat perhitungan denganmu. Kau tak akan kumaafkan
karena telah menghianati ayahku.” ketukan pintu membuatku tersadar dari
lamunanku. Ternyata In Gook yang datang membawa berita bahagia, itu menurutnya.
“Ibuku
telah setuju mendonorkan darahnya untukmu. Kita dapat melakukan operasi
secepatnya bahkan besok pun bisa!!!.” ucapnya
“Kau
bohong!”
“Aku
mana mungkin bohong untuk hal sebesar ini!”
“Kau
pasti sudah berjanji yang tidak-tidak pada ibumu, mana mungkin dia begitu saja
setuju untuk menyumbangkan darahnya demi aku. Kau janji apa pada ibumu? ayo
jawab!” In Gook hanya terdiam,
“Asal
kau bisa sembuh itu saja sudah cukup ‘kan?”
“Tidak! kau dengar sendiri kata dokter ‘kan? bila aku melakukan operasi maka ingatanku
juga akan terhapus seluruhnya. Aku tak mau …! kalian begitu berharga, aku tak
mau melupakan kenangan bersama kalian.”
“Jong
Suk, kenangan itu bisa kau ganti bila kau sembuh nanti, tapi nyawamu … tak akan
bisa terganti!”
“Percuma
saja aku sembuh bila harus kehilangan kamu. Aku yakin kau berjanji pada ibumu
untuk meninggalkan aku makanya ibumu bersedia membantuku. Iya ‘kan?”
“Itu
… kau salah. Aku tidak berjanji apa-apa!”
“Bohong! aku benci kamu. Kau ternyata tidak mencintaiku seperti perkataanmu selama ini.”
Aku masuk ke kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku menangis terisak sampai
sulit untuk bernapas.
“Kau
jangan egois seperti ini. Bila kau tidak peduli pada kesehatanmu, maka
kasihanilah kami yang telah banyak berjuang untukmu. Apa kau tidak takut mati? ingatanmu yang terhapus itu dapat kita isi bersama-sama, kita akan menggantinya
bersama-sama.” Dia berbicara padaku dari balik pintu.
“Bersama-sama
katamu? kau akan pergi dariku setelah berjanji pada ibumu untuk meninggalkan
aku, dan kau bilang mau mengembalikan ingatanku bersama-sama kamu.”
Aku
… sebenarnya takut mati juga, masih banyak hal yang belum aku kerjakan. Aku
masih ingin membantu ayah mencucikan bajunya, menjahitkan bajunya yang sobek,
menyetrikakan bajunya, memasakkan makanan untuknya serta memijat bahunya
sepulang ia melaut karena pasti ayah sangat kelelahan. Aku juga ingin melewati
indahnya masa saling mencintai bersamamu. Aku ingin lulus dari SMU dan, aku
ingin menjadi suster yang akan mendampingimu bila nanti kau menjadi seorang
dokter. Aku ingin menikah denganmu dan membesarkan anak-anak kita bersama-sama.
Masih banyak … bahkan terlalu banyak hal yang ingin aku kerjakan. Aku juga
tidak ingin mati, tidak ingin!.
Aku
membuka pinti dan segera memeluk In Gook. Aku menangis sejad-jadinya dalam
pelukannya. Aku terkejut melihat darah di kemeja putih In Gook. Aku melepas
pelukanku dan mundur menjauhinya, darah … banyak darah!.
“Jong
Suk, darah!” tegurnya. Banyak darah yang keluar dari hidungku, aku mimisan
parah. In Gook lalu menggendongku dan memberitahukan ayah bahwa aku sakit lagi.
Dia lali membawaku ke rumah sakit.
Keesokan
harinya, aku begitu terkejut melihat keadaanku. Rambutku sudah tidak ada lagi
bahkan aku sudah berpakaian operasi lengkap. In Gook menghampiriku yang tengah
kebingungan.
“Kenapa
seperti ini? aku ‘kan sudah bilang tidak ingin dioperasi.”
“Dengar
… dengarkan aku dulu.” Dia mencoba menenangkan aku, “Jong Suk, dengarkan aku!” aku
langsung terdiam saat nada bicaranya meninggi, dia memegang kedua pipiku.
“Aku mencintaimu … aku sungguh
mencintaimu,” air matanya mengalir tetes demi tetes di hadapanku. “Aku tak tahu
apa yang akan terjadi padaku nanti bila kau tak berada di sisiku lagi. aku
ingin kau sembuh, aku ingin kita tetap bersama. Bukankah kita telah berjanji
untuk tetap bersama? maka kasihanilah aku … kumohon kasihanilah aku yang
begitu takut kehilangan dirimu.” Dia lalu memelukku dan menangis terisak di
bahuku.
“Tapi…
aku tak mau kehilangan ingatan”
“Aku
bisa membantumu memulihkan ingatanmu kembali.”
“Tidak
… kau pasti akan pergi dariku, ibumu mendatangiku dan bilang dia akan
membantuku asal aku bersedia meninggalkanmu. Kau tidak boleh pergi … aku tak
mau hidup lagi kalau harus terpisah darimu. Biarkan sajaaku menghabiskan sisa
waktuku dengan mencintai dan mengenang kalian, ayah, kamu, dan semuanya.!”
“Aku
tak mau kau pergi selamanya. Aku janji sksn terus menemanimu … kau percayalah
padaku. Apa kau tak kasihan pada ayahmu ? kasihanilah dia … dia hanya
memilikimu di dunia ini. Dia pasti sendiri bila kau pergi meninggalkannya.” isak
In Gook. Sesaat kemudian Dokter Lee datang dengan beberapa suster berkostum
operasi lengkap.
“In
Gook …” aku mulai ketakutan
“Kita
harus memulainya sekarang, tim dokter yang akan membantuku telah menunggu di
ruang operasi.” ucap Dokter Lee.
“In
Gook …” aku menarik tangannya namun dia buru-buru menepis peganganku.
“Kau
akan baik-baik saja, kau akan tersenyum melihatku begitu kau sadar usai
operasi. Aku akan menunggu sampai kau sadar.”
“Beri
tahukan ayah untuk memberikan aku buku bersampul biru begitu aku sadar dari
operasiku, buku itu kuletakkan dalam lemari pakaianku di bawah lipatan bajuku.”
Suster mencoba menenangkan aku. Saat aku memasuki ruangan operasi dan aku
dipindahkan ke meja operasi, aku sudah memasrahkan semua pada Tuhan.
Aku sudah
rela kehilangan ingatanku. Suster itu menyuntikkan sebotol kecil cairan ke
selang infusku, bersamaan dengan itu dia juga memasukkan sekantong darah ke
tubuhku. Sekantong darah yang membuat In Gook dan keluargaku bekerja keras
selama ini mencarinya, sekantong darah itu pula yang membuat In Gook berjanji
entah apa pada ibunya.
Aku yakin dia hanya ingin melakukan yang terbaik
untukku. Kini aku harus merelakannya. Meskipun nanti dia pergi, aku yakin
ayahku pasti akan selalu bercerita tentang kebaikannya pada kami. Aku tidak
akan melupakannya meski ingatanku hilang nantinya, pasti banyak orang yang akan
membantuku mengingatnya termasuk buku bersampul biruku.
“Tenanglah
… kau masih memiliki kemungkinan 15% untuk tidak kehilangan ingatan, maka
memohonlah pada Tuhan untuk membantumu, aku jauga akan berusaha dan berjuang
keras melakukan yang terbaik untukmu. Ingatlah … bila kau tetap berpandangan yang
positif, maka semua keputusasaan akan berubah menjadi harapan!” Dokter Lee
memberiku semangat dan dorongan. Beberapa saat kemudian aku mulai mengantuk,
kepalaku pusing dan akhirnya yang tersisa hanyalah kegelapan.
Aku membuka mata saat pagi menjelang. Aku tak
tahu sudah berapa lama kau terbaring di ranjang ini, yang jelas pasti cukup
lama karena seluru tubuhku terasa pagal. Aku melihat seorang pria paruh baya
yang tenganterlelap kelelahan di sampingku. Gerakanku membuatnya terjaga, dia
serta merta terbangun dan aku melihat ekspresi yang lain di wajahnya.
“Jongsuk
… kau sudah sadar Nak?!” serunya, aku
tersenyum.
“Ayah
…!” ucapku. Mata pria itu lalu berkaca-kaca.” Ehm … apakah anda ayahku?” kenapa
aku berada di sini? Aku siapa, kenapa aku tak bisa ingat apa-apa?” tanyaku,
kepalaku terasa kosong.
“Namamu
Jongsuk … Han Jongsuk yang artinya kesucian! Putriku satu-satunya.”
Jawab pria itu. Dia lalu memelukku dengan tubuh yang bergetar, pria ini
sepertinya begitu bahagia melihatku sadar. Dia terus mengucapkan terima kasih
kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan untuk hidup.
“Ayah
… memangnya ada apa denganku? apa aku habis sakit keras?” pria itu tidak
menjawab pertanyaanku, dia terus saja memelukku dan menangis haru.
Setelah
beberapa minggu aku memulihkan kesehatanku di rumah sakit, akhirnya dokter
mengizinkan aku pulang. Aku bertemu dengan orang-orang yang benar-benar asing
di mataku. Ayah bilang mereka adalah tetangga-tetangga yang sangat
menyayangiku. Meski aku merasa asing di tengah-tengah mereka, namun entah
mengapa aku merasa dekat dan akrab dengan.
Ayah
memutarkan sebuah rekaman untukku. Sebuah sekolah yang besar dengan seluruh
murid dan gurunya berkumpul di sebuah ruangan.
“Jongsuk semangat! Kau pasti bisa melalui semua ini …
berjuanglah!” ucap salah seorang siswanya.
“Kau
pasti sembuh. Cepatlah sembuh karena di sini kami sangat merindukanmu. Kami
ingin kamu masuk sekolah lagi!” seru yang lain.
“Hei
anak ikan … kami tahu kamu bukan gadis yang lemah. Kamu pasti dapat melewati
dan melawan penyakitmu. Kami yang selalu menindasmu di sekolah saja dapat kau hadapi
tanpa rasa takut, masa’ sih hanya karena penyakit seperti itu kau malah kalah.
Kau harus sembuh!” ucap seorang lagi. Aku tersenyum, mereka telah memberi
semangat yang hebat untukku. Apa di sekolah aku dipanggil anak ikan ya?
“Ayah
… apa mereka teman-temanku?” tanyaku.
“Ya
… mereka teman-temanmu di sekolah.” Setelah itu beberapa orang guru juga
memberi semangat yang sama untukku. Dan …
“Jongsuk … kau pasti sembuh! aku akan menunggumu
sampai kau sembuh dan menemanimu mengujungi tempat-tempat yang kau sukai. Aku
akan menjadi seorang dokter yang hebat agar aku dapat mengobati pasien yang
mengidap penyakit yang sama denganmu. Agar kelak mereka dapat berbahagia
bersama pasangannya. Aku akan terus menunggu saat di mana kita akan bersama.
Berjuanglah!” entah mengapa ucapan pemuda itu membuatku sangat tersentuh.
“Kau
ingat dia?” tanya ayah, aku menggeleng.
“Siapa
dia?” tanyaku
“Namanya Seo In Gook. Dialah teman terdekatmu. Dia yang mengusahakan darah untuk
operasimu dan selalu menyemangati serta membantumu di saat kau putus asa.”
“Kenapa
dia tidak menjengukku di saat aku masih dirawat di rumah sakit?”
“Karena
dia harus berangkat ke Amerika, dia akan melanjutkan sekolahnya di sana. Dia
berjanji pada ibunya, setelah menolongmu dia akan meninggalkanmu.”
“Seo
In Gook …? Nama itu kenapa membuat aku bergetar dan jantungku bergetar? Apa dulu kami sangat dekat? apa pentingnya dia bagiku?”
“Dia
sangat penting! Kau bahkan rela mati daripada harus melupakannya. Dia pun
begitu, perasaan cintanya padamu melebihi keinginannya untuk melepasmu. Dia
sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan perasaannya untuk melepasmu.”
“Aku
tak ingat apa-apa tentangnya, sama sekali tidak ingat tapi setelah mendengar
cerita ayah aku yakin dulu kami sangat dekat.”
Aku
tersenyum melihat rekaman itu, kalau memang dulu aku hampir mati, kini aku
bersyukur tidak jadi pergi. Karena … aku tak mau melepas mereka yang
menyayangiku.
End
…
No comments:
Post a Comment