Monday 25 January 2016

FF - When We'll be Together (Part 5 / End)






Sebelumnya di When We'll be Together (Part 4) 


Golongan darah yang dipesan In Gook dari Busan telah sampai di RS yang menanganiku. Saat pergi membicarakan mengenai operasiku bersama In Gook, Dokter Lee berkata aku masih membutuhkan darah satu kantong lagi untuk operasi yang kemungkinan akan berlangsung sampai lima jam. Aku kembali terpuruk, awalnya aku sudah mendapat setidaknya sedikit sinar harapan namun semua itu sirna setelah mendengar keterangan Dokter Lee,
“Ayo … jangan patah semangat. Kita pasti menemukan sisa darah yang kau butuhkan. Ayo … berjuang! .” In Gook memberi semangat padaku yang tengah putus asa, dialah orang yang selalu optimis pada kesembuhanku. Setelah mengantarku ke RS dia kembali bekerja di tempat konstruksi bangunan. Dia pulang di saat larut malam. Dia terlihat sangat lelah dan kotor. Aku mengintipnya dari jendela kamarku, aku tiba-tiba merasa bersalah. Gara-gara aku dia seperti ini.  Aku lalu memasakkan makanan untuknya dan mengantarnya ke kamar In Gook. Tok … tok …, dia membuka pintu.
“Ini, aku bawakan makanan untukmu, kau pasti sangat lapar.”
“Sebenarnya aku sidah makan di tempat kerja, tapi … setelah melihat masakanmu aku jadi lapar lagi.”
“Eh … makan di teras saja, aku mau menemanimu makan tapi jangan di dalam, nanti orang berpikiran macam-macam.” diapun makan dengan lahap di teras depan kamarnya. Aku memandanginya lekat-lekat.
“Di tempat kerja kau makan apa?” tanyaku,
“Dua potong roti dan air mineral sebotol.”
“Hanya itu?” tanyaku kaget, dia hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan.” Kalau begitu habiskanlah makananmu, aku akan mengambilkan sepiring untukmu lagi.” tambahku.
“Ah … tidak perlu. Ini saja sudah banyak!” tolaknya. Aku benar-benar kasihan padanya. Dulu dia bisa makan enak, tidur nyenyak, dan belanja sepuasnya. Namun gara-gara aku dia harus kehilangan semuanya. Aku memandanginya dengan perasaan terharu. Beberapa waktu kemudian dia telah selesai makan.
“Terima kasih atas pengorbananmu untukku, aku benar-benar terharu atas ketulusanmu.”
“Aku senang dapat berjuang untukmu. Aku akan melakukan apapun agar kau bisa bahagia”
“Apa kau yakin kita akan bahagia?”
“Aku yakin. Meski hanya sebuah harapan, namun aku akan terus mencoba meraih waktu di mana kita akan bersama.”
“Kau tahu … aku adalah orang yang tidak percaya pada cinta abadi. Di saat seperti ini, di mana orang hanya mementingkan diri sendiri, mustahil ada orang yang mau berjuang demi orang lain. Kalaupun ada si cinta abadi itu, itu hanya cinta ayahku pada ibuku meski beliau telah dikhianati. Namun begitu melihatmu, aku baru sadar ternyata kau telah mematahkan seluruh anggapanku selama ini. Melihat ketulusanmu, kurasa aku mulai mencintaimu.” ujarku,
“Apa …? jadi kau selama ini belum mencintaiku? Wah … kau curang sekali, padahal aku telah berjuang mati-matian untuk mengungkapkan cintaku. Tapi … tak  apa, asal kau punya perasaan untukku, itu sudah cukup.” Aku tertawa mendengarnya, sejenak kami terdiam. Udara malam benar-benar dingin, kurasa sudah saatnya aku kembali ke rumah, aku segera membereskan peralatan makan In Gook.
“Seo In Gook In Gook …” panggilku, dia menoleh padaku
“Ya …?” aku lalu mengecup bibirnya, lama … cukup lama.
“Itu hadiah untukmu karena telah bekerja keras untukku.” ucapku, setelah itu aku pergi. Dia masih bengong saat aku masuk ke rumah.
Beberapa hari kemudian setelah pulang berbelanja untuk kebutuhan dapur, aku segera ke gudang, tempatnya In Gook yang sudah kusihir jadi kamarnya. Entah mengapa ayah mencoba meleraiku untuk menemui In Gook. Tapi setelah melihat ke kamarnya, aku baru paham mengapa ayah melarangku menemuinya sekarang. Aku melihat ibunya membujuknya untuk pulan. Tiba-tiba aku merasa sedih membayangkan dia akan pergi meninggalkakan aku. Ayah membujukku untuk menyuruh In Gook pulang, tak baik katanya kalau membiarkan dia terlalu lama berseteru dengan orang tuanya. Memang benar kata ayah, aku tak boleh egois. In Gook bisa jatuh sakit kalau terus-terusan bekerja, aku harus membujuknya untuk pulang.
“Kau tak ingin lagi kalau aku menumpang di sini?” tanyanya
“Bukan bagitu, kasihan ibumu. Ayahku tidak setuju kalau kau bersitegang dengan orang tuamu. Kami merasa tidak enak pada orang tuamu, gara-gara kami kau lari dari rumah.”
“Aku melakukannya karena merasa mereka memang salah. Mereka sama sekali tidak mengerti perasaanku, mereka memandang orang miskin terlalu rendah dan aku tidak suka.”
“Kau ‘kan dapat memberikan mereka penjelasan. Jangan buat ibumu memohon padamu, itu tidak pantas karena beliau orang tuamu. Tolong sisakan sedikit harga diri untuk kami di hadapan orang tuamu, mereka pasti semakin membenci kami karena mengira kami telah menghasutmu.” lama aku berdebat dengannya agar dia mau kembali. Akhirnya dia mau pulang  dengan syarat ke pada orang tuanya agar merestui hubungannya denganku.
Akhir-akhir ini keadaanku semakin memburuk. Kepalaku selalu sakit bahkan rambutku mulai berguguran. Kantong mataku terlihat jelas, bahkan bibirku mulai pecah-pecah. Aku memutuskan memotong rambut karena rambutku semakin menipis. Aku jadi semakin jarang ke sekolah karena keadaanku yangtidak memungkinkan.
Yah, In Gook, dan para tetanggaku masih berusaha menacari donor darah untuk menutupi kekurangan darahku yang akan digunakan pada saat operasi nanti. Suatu hari Dokter Lee memberitahukan aku mengenai perkembangan penyakitku. Katanya tumor itu telah menyerang otak tempat penyimpanan memoriku. Bila dia melakukan operasi pengangkatan tumor maka dikhawatirkan seluruh ingatanku akan terhapus. Meski masih ada kemungkinan hal itu tidak akan terjadi namun kemungkinan itu sangat tipis.
“Kemungkinan ingatanmu tidak akan terhapus hanya berkisar 5% dan selebihnya kau akan kehilangan seluruh ingatanmu.”
“Hu … takdir benar-benar mempermainkan aku dokter, di saat aku punya kesempatan untuk operasi karena darah yang tersedia hampir cukup kau malah menghancurkan kesempatan itu dengan mengatakan seluruh ingatanku juga akan terhapus. Baiklah … batalkan saja rencana operasi itu karena ingatanku jauh lebih berharga dibanding nyawaku.” Ucapku dengan nada yang benar-benar putus asa.
Aku tak mau melupakan In Gook, ayah, tetanggaku yang menyayangiku, dan orang-orang yang aku cintai. Percuma saja aku hidup bila aku harus melupakan mereka. Aku dapat bertahan hidup dan berjuang melawan penyakit ini karena ada cinta dari mereka, bila aku kehilangan kenangan dari mereka maka itu pasti lebih mengerikan dibandingkan kematian.
Mereka yang telah berjuang bersamaku, tertawa dan menangus bersama, semua orang yang menyayangiku tak mungkin boleh aku lupakan. Kenangan bersama mereka justru yang membuatku dapat bertahan sampai detik ini. Ayah yang selalumenyayangiku, In Gook yang tulus berjuang demi diriku, dan paman serta bibi yang selalu mendukungku tak boleh hilang dari ingatanku. Aku menyayangi mereka, aku tak mau melupakan mereka!.
Suatu ketika In Gook membawakan berita yang mengejutkan, tanpa disangka ibunya memiliki hubungan darah yang sama denganku. Benar-benar kebetulan, kini donor darah yang kurang dapat ditutupi oleh ibunya In Gook. Itu keinginan In Gook, belum tentu ibunya setuju apalagi ibunya sangat membenciku.
Suatu saat aku terbaring lemah di RS dan Nyonya Seo menemuiku untuk membicarakan hal yang penting menurutnya,
“Aku akan menyumbangkan berapapun darahku yang kau butuhkan asal kau berjanji tak akan lagi menemui putraku.” ucapnya, aku mencoba bicara dengan sisa tenagaku.
“Saat ini aku sudah siap untuk mati jadi bila anda tak mau menyumbangkan darah untukku, aku tidak peduli. Nyonya … terus terang saja, saat ini aku benar-benar jatuh cinta pada putra anda dan bila memang anda ingin aku pergi darinya maka itu tidak akan lama lagi. kenapa anda tidak mau bersabar sedikit saja? Tolong jangan pisahkan kami, kalau itu terjadi sama saja anda membunuhku perlahan-lahan.”          
“Dasar gadis miskin, tidak thau diri!. Kau mana pantas untuk putraku, selain miskin kau juga penyakitan … sampai kapanpun aku tak akan sudi mengizinkan kau bersama putraku meski hanya sesaat!.”
“Nyonya kasihanilah aku, aku tidak akan terlalu lama bersama putra anda, setelah semua usai anda tidak pusing lagi memikirkan masalah putra anda.” kata dokter emosiku harus harus stabil, aku akan langsung down bila aku tak dapat mengendalikan emosiku. Tiba-tiba saja penglihatanku kabur dan wajahku terasa panas terbakar. Sakit … sakit sekali! ibunya In Gook ngeri melihat keadaanku bahkan dia sangat jijik apalagi saat aku muntah-muntah dan mimisan.
“Aku tak habis pikir kenapa putraku menyukai wanita penyakitan seperti kamu. Dia sudah buta, kamu betul-betul membuatku mual.” bentaknya, Ayahku tiba-tiba masuk ke ruang inap.
“Nyonya … silahkan pergi!” bentaknya. Aku tahu, ayah pasti mendengarkan pembicaraanku dengan ibunya In Gook. Ayah lalu menekan tombol darurat untuk memanggil dokter supaya menanganiku.
         
Beberapa hari setelah keadaanku mulai membaik, dokter mengizinkan aku untuk pulang. Sekolahku benar-benar terbengkalai, aku terancam tidak dapat mengikuti ujian akhir karena keadaanku yang semakin memburuk. Untung ada In Gook yang membantuku menyalinkan semua pelajaran.
“In Gook, kau tak boleh meninggalkan aky ya?!” aku merengek padanya
“Kau melarangku untuk meninggalkanmu namun kamu sendiri yang malah ingin meninggalkan aku, apa itu tidak jahat?”
“In Gook …” aku merengek lagi.
“Aku akan membujuk ibu untuk menyumbangkan darahnya untukmu bagaimanapun caranya. Kau pasti akan sembuh.” ucapnya. Hiks … aku tak akan pernah sembuh, aku tak akan membiarkan Dokter Lee menghapus ingatanku.
Semakin lama keadaanku semakin parah. Rambutkupun semakin banyak berguguran. Wajahku bahkan sudah seperti mayat, penyakit ini benar-benar mengerikan. Dokter Lee mendesak untuk segera dilakukan opersai. Menurut hasil foto tengkorak kepalaku, tumor hampir menyerang otak besar. Hal itu ditandai dengan memuntahkan semua makanan dari perut karena otak tak dapat bekerja sebagaimana mestinya sebab pengaruh tumor ganas tersebut.
“Apa yang harus kulakukan …?” In Gook terisak di samping ranjang inapku. Dia mungkin mengira aku masih tertidur pulas.
“Dia akan lumpuh perlahan-lahan bila bila tumor itu merusak otak besarnya, jadi sebelum terlambat maka kita harus segera melakukan operasi.” ucap Dokter Lee yang berada di samping In Gook, dia … melanggar janjinya.
“Di mana kami harus mencari darah Dok? Jongsuk tak mungkin dioperasi tanpa transfuse darah ‘kan?” keluh ayah,
“Ada satu hal lagi, Jongsuk  sebenarnya menolak diopersi …” Dokter Lee tak dapat melanjutkan ucapannya.
“Apa …? Jongsuk  menolak dioperasi? memangnya kenapa Dok?” tanya In Gook,
“Ayo katakana Dok!” desak ayah,
“Bi … bila kami mengangkat tumor yang telah menyerang otak kecilnya maka besar kemungkinan seluruh ingatannya akan terhapus.”
“Apa …?” ayah dan In Gook terkejut. 

Aku memandangi foto ibu yang terpajang di ruang tamuku. Aku bergumam, aku akan segera menyusulmu dan akan membuat perhitungan denganmu. Kau tak akan kumaafkan karena telah menghianati ayahku. ketukan pintu membuatku tersadar dari lamunanku. Ternyata In Gook yang datang membawa berita bahagia, itu menurutnya.
“Ibuku telah setuju mendonorkan darahnya untukmu. Kita dapat melakukan operasi secepatnya bahkan besok pun bisa!!!.” ucapnya
“Kau bohong!”
“Aku mana mungkin bohong untuk hal sebesar ini!”
“Kau pasti sudah berjanji yang tidak-tidak pada ibumu, mana mungkin dia begitu saja setuju untuk menyumbangkan darahnya demi aku. Kau janji apa pada ibumu? ayo jawab!” In Gook hanya terdiam,
“Asal kau bisa sembuh itu saja sudah cukup ‘kan?”
“Tidak! kau dengar sendiri kata dokter ‘kan? bila aku melakukan operasi maka ingatanku juga akan terhapus seluruhnya. Aku tak mau …! kalian begitu berharga, aku tak mau melupakan kenangan bersama kalian.”
“Jong Suk, kenangan itu bisa kau ganti bila kau sembuh nanti, tapi nyawamu … tak akan bisa terganti!”
“Percuma saja aku sembuh bila harus kehilangan kamu. Aku yakin kau berjanji pada ibumu untuk meninggalkan aku makanya ibumu bersedia membantuku. Iya ‘kan?”
“Itu … kau salah. Aku tidak berjanji apa-apa!”
“Bohong! aku benci kamu. Kau ternyata tidak mencintaiku seperti perkataanmu selama ini.” Aku masuk ke kamarku dan menguncinya dari dalam. Aku menangis terisak sampai sulit untuk bernapas.
“Kau jangan egois seperti ini. Bila kau tidak peduli pada kesehatanmu, maka kasihanilah kami yang telah banyak berjuang untukmu. Apa kau tidak takut mati? ingatanmu yang terhapus itu dapat kita isi bersama-sama, kita akan menggantinya bersama-sama.” Dia berbicara padaku dari balik pintu.
“Bersama-sama katamu? kau akan pergi dariku setelah berjanji pada ibumu untuk meninggalkan aku, dan kau bilang mau mengembalikan ingatanku bersama-sama kamu.”
Aku … sebenarnya takut mati juga, masih banyak hal yang belum aku kerjakan. Aku masih ingin membantu ayah mencucikan bajunya, menjahitkan bajunya yang sobek, menyetrikakan bajunya, memasakkan makanan untuknya serta memijat bahunya sepulang ia melaut karena pasti ayah sangat kelelahan. Aku juga ingin melewati indahnya masa saling mencintai bersamamu. Aku ingin lulus dari SMU dan, aku ingin menjadi suster yang akan mendampingimu bila nanti kau menjadi seorang dokter. Aku ingin menikah denganmu dan membesarkan anak-anak kita bersama-sama. Masih banyak … bahkan terlalu banyak hal yang ingin aku kerjakan. Aku juga tidak ingin mati, tidak ingin!.
Aku membuka pinti dan segera memeluk In Gook. Aku menangis sejad-jadinya dalam pelukannya. Aku terkejut melihat darah di kemeja putih In Gook. Aku melepas pelukanku dan mundur menjauhinya, darah … banyak darah!.
“Jong Suk, darah!” tegurnya. Banyak darah yang keluar dari hidungku, aku mimisan parah. In Gook lalu menggendongku dan memberitahukan ayah bahwa aku sakit lagi. Dia lali membawaku ke rumah sakit.
Keesokan harinya, aku begitu terkejut melihat keadaanku. Rambutku sudah tidak ada lagi bahkan aku sudah berpakaian operasi lengkap. In Gook menghampiriku yang tengah kebingungan.
“Kenapa seperti ini? aku ‘kan sudah bilang tidak ingin dioperasi.”
“Dengar … dengarkan aku dulu.” Dia mencoba menenangkan aku, Jong Suk, dengarkan aku!” aku langsung terdiam saat nada bicaranya meninggi, dia memegang kedua pipiku.
“Aku mencintaimu … aku sungguh mencintaimu,” air matanya mengalir tetes demi tetes di hadapanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti bila kau tak berada di sisiku lagi. aku ingin kau sembuh, aku ingin kita tetap bersama. Bukankah kita telah berjanji untuk tetap bersama? maka kasihanilah aku … kumohon kasihanilah aku yang begitu takut kehilangan dirimu.” Dia lalu memelukku dan menangis terisak di bahuku.
“Tapi… aku tak mau kehilangan ingatan”
“Aku bisa membantumu memulihkan ingatanmu kembali.”
“Tidak … kau pasti akan pergi dariku, ibumu mendatangiku dan bilang dia akan membantuku asal aku bersedia meninggalkanmu. Kau tidak boleh pergi … aku tak mau hidup lagi kalau harus terpisah darimu. Biarkan sajaaku menghabiskan sisa waktuku dengan mencintai dan mengenang kalian, ayah, kamu, dan semuanya.!”
“Aku tak mau kau pergi selamanya. Aku janji sksn terus menemanimu … kau percayalah padaku. Apa kau tak kasihan pada ayahmu ? kasihanilah dia … dia hanya memilikimu di dunia ini. Dia pasti sendiri bila kau pergi meninggalkannya.” isak In Gook. Sesaat kemudian Dokter Lee datang dengan beberapa suster berkostum operasi lengkap.
“In Gook …” aku mulai ketakutan
“Kita harus memulainya sekarang, tim dokter yang akan membantuku telah menunggu di ruang operasi.” ucap Dokter Lee.
“In Gook …” aku menarik tangannya namun dia buru-buru menepis peganganku.
“Kau akan baik-baik saja, kau akan tersenyum melihatku begitu kau sadar usai operasi. Aku akan menunggu sampai kau sadar.”
“Beri tahukan ayah untuk memberikan aku buku bersampul biru begitu aku sadar dari operasiku, buku itu kuletakkan dalam lemari pakaianku di bawah lipatan bajuku.” Suster mencoba menenangkan aku. Saat aku memasuki ruangan operasi dan aku dipindahkan ke meja operasi, aku sudah memasrahkan semua pada Tuhan. 
Aku sudah rela kehilangan ingatanku. Suster itu menyuntikkan sebotol kecil cairan ke selang infusku, bersamaan dengan itu dia juga memasukkan sekantong darah ke tubuhku. Sekantong darah yang membuat In Gook dan keluargaku bekerja keras selama ini mencarinya, sekantong darah itu pula yang membuat In Gook berjanji entah apa pada ibunya. 
Aku yakin dia hanya ingin melakukan yang terbaik untukku. Kini aku harus merelakannya. Meskipun nanti dia pergi, aku yakin ayahku pasti akan selalu bercerita tentang kebaikannya pada kami. Aku tidak akan melupakannya meski ingatanku hilang nantinya, pasti banyak orang yang akan membantuku mengingatnya termasuk buku bersampul biruku.
“Tenanglah … kau masih memiliki kemungkinan 15% untuk tidak kehilangan ingatan, maka memohonlah pada Tuhan untuk membantumu, aku jauga akan berusaha dan berjuang keras melakukan yang terbaik untukmu. Ingatlah … bila kau tetap berpandangan yang positif, maka semua keputusasaan akan berubah menjadi harapan!” Dokter Lee memberiku semangat dan dorongan. Beberapa saat kemudian aku mulai mengantuk, kepalaku pusing dan akhirnya yang tersisa hanyalah kegelapan.
   
Aku membuka mata saat pagi menjelang. Aku tak tahu sudah berapa lama kau terbaring di ranjang ini, yang jelas pasti cukup lama karena seluru tubuhku terasa pagal. Aku melihat seorang pria paruh baya yang tenganterlelap kelelahan di sampingku. Gerakanku membuatnya terjaga, dia serta merta terbangun dan aku melihat ekspresi yang lain di wajahnya.
“Jongsuk  … kau sudah sadar Nak?!” serunya, aku tersenyum.
“Ayah …!” ucapku. Mata pria itu lalu berkaca-kaca.” Ehm … apakah anda ayahku?” kenapa aku berada di sini? Aku siapa, kenapa aku tak bisa ingat apa-apa?” tanyaku, kepalaku terasa kosong.
“Namamu Jongsuk  … Han Jongsuk  yang artinya kesucian! Putriku satu-satunya.” Jawab pria itu. Dia lalu memelukku dengan tubuh yang bergetar, pria ini sepertinya begitu bahagia melihatku sadar. Dia terus mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan untuk hidup.
“Ayah … memangnya ada apa denganku? apa aku habis sakit keras?” pria itu tidak menjawab pertanyaanku, dia terus saja memelukku dan menangis haru.
Setelah beberapa minggu aku memulihkan kesehatanku di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan aku pulang. Aku bertemu dengan orang-orang yang benar-benar asing di mataku. Ayah bilang mereka adalah tetangga-tetangga yang sangat menyayangiku. Meski aku merasa asing di tengah-tengah mereka, namun entah mengapa aku merasa dekat dan akrab dengan.
Ayah memutarkan sebuah rekaman untukku. Sebuah sekolah yang besar dengan seluruh murid dan gurunya berkumpul di sebuah ruangan.
“Jongsuk  semangat! Kau pasti bisa melalui semua ini … berjuanglah!” ucap salah seorang siswanya.
“Kau pasti sembuh. Cepatlah sembuh karena di sini kami sangat merindukanmu. Kami ingin kamu masuk sekolah lagi!” seru yang lain.
“Hei anak ikan … kami tahu kamu bukan gadis yang lemah. Kamu pasti dapat melewati dan melawan penyakitmu. Kami yang selalu menindasmu di sekolah saja dapat kau hadapi tanpa rasa takut, masa’ sih hanya karena penyakit seperti itu kau malah kalah. Kau harus sembuh!” ucap seorang lagi. Aku tersenyum, mereka telah memberi semangat yang hebat untukku. Apa di sekolah aku dipanggil anak ikan ya?
“Ayah … apa mereka teman-temanku?” tanyaku.
“Ya … mereka teman-temanmu di sekolah.” Setelah itu beberapa orang guru juga memberi semangat yang sama untukku. Dan …
“Jongsuk  … kau pasti sembuh! aku akan menunggumu sampai kau sembuh dan menemanimu mengujungi tempat-tempat yang kau sukai. Aku akan menjadi seorang dokter yang hebat agar aku dapat mengobati pasien yang mengidap penyakit yang sama denganmu. Agar kelak mereka dapat berbahagia bersama pasangannya. Aku akan terus menunggu saat di mana kita akan bersama. Berjuanglah!” entah mengapa ucapan pemuda itu membuatku sangat tersentuh.
“Kau ingat dia?” tanya ayah, aku menggeleng.
“Siapa dia?” tanyaku
“Namanya Seo In Gook. Dialah teman terdekatmu. Dia yang mengusahakan darah untuk operasimu dan selalu menyemangati serta membantumu di saat kau putus asa.”
“Kenapa dia tidak menjengukku di saat aku masih dirawat di rumah sakit?”
“Karena dia harus berangkat ke Amerika, dia akan melanjutkan sekolahnya di sana. Dia berjanji pada ibunya, setelah menolongmu dia akan meninggalkanmu.”
“Seo In Gook …? Nama itu kenapa membuat aku bergetar dan jantungku bergetar? Apa dulu kami sangat dekat? apa pentingnya dia bagiku?”
“Dia sangat penting! Kau bahkan rela mati daripada harus melupakannya. Dia pun begitu, perasaan cintanya padamu melebihi keinginannya untuk melepasmu. Dia sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan perasaannya untuk melepasmu.”
“Aku tak ingat apa-apa tentangnya, sama sekali tidak ingat tapi setelah mendengar cerita ayah aku yakin dulu kami sangat dekat.”

Aku tersenyum melihat rekaman itu, kalau memang dulu aku hampir mati, kini aku bersyukur tidak jadi pergi. Karena … aku tak mau melepas mereka yang menyayangiku.

End …

No comments:

Post a Comment