Friday 29 January 2016

FF - Rising Sun (Part 1)




Sudah berulang kali ku katakan pada Ibu, aku belum berani keluar rumah dan pergi ke tempat umum, namun Ibu tetap saja memaksa untuk menemaninya ke swalayan. Aku sadar Ibu hanya mengikuti saran dokter agar aku cepat sembuh dari depresi.
Aku akui… aku mulai tertarik dengan dunia luar yang telah hampir empat tahun aku tinggalkan sejak kejadian malam itu, kejadian yang merampas keceriaan, kebahagiaan, dan masa depanku yang membentang luas penuh harapan.

Aku berdiri di dekat pintu sambil membawa belanjaan Ibu, sementara Ibu sedang sibuk membayar tagihannya di kasir. Tiba-tiba buah yang aku bawa terjatuh karena aku kurang hati-hati memegangnya. Aku segera memungutnya, tanpa aku sadari seseorang ikut membantu.
 “Ha… Ibu… tolong, tolong Bu! Aku takut!” teriakku sambil berlari menangis menuju arah Ibu. Ibu yang terkejut segera mendekapku. Tubuhku gemetaran, tanganku dingin, dan tangisanku keras sekali membuat seisi swalayan melemparkan perhatian kepadaku.
 “Maaf Bibi… aku cuma mau membantu memungutkan barang-barangnya yang jatuh,”  ucap pemuda itu agak takut, dia merasa tidak enak diberikan tatapan sinis oleh orang-orang yang ada di dalam swalayan.
 “Iya… tidak apa-apa, Bibi mengerti.” jawab Ibuku sambil tersenyum pada pemuda yang sepertinya seumuran denganku. Ibu pun mulai menenangkan aku.
 “Sudah… tidak apa-apa, dia hanya ingin membantumu Nak!” kata Ibu.

Sejak empat tahun yang lalu aku mulai takut pada semua pria, setiap ada pria yang mendekatiku atau mengajakku bicara aku pasti histeris ketakutan. Untung saja psikologku seorang wanita. Ibu memamg temanku yang paling setia, beliau selalu menemaniku dan dengan setia selalu membantuku, aku tak tahu bagaimana nasibku tanpa Ibu.
Ibu lah orang yang pertama membantuku saat pemerkosaan malam itu, malam terkutuk yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Saat itu aku baru saja merayakan upacara kelulusan bersama teman-teman dan guru-guru di sekolah. Saat pulang, taksi yang kutumpangi mogok, atas saran supirnya aku ke ujung jalan untuk menahan taksi yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulutku dari arah belakang, dia membawaku ke tengah taman, di bawah pohon besar yang gelap dan ...
Kejadian itu selalu menghampiriku dalam mimpiku di setiap malam-malamku selama empat tahun terakhir ini, seakan-akan pria itu belum puas menghancurakan aku dan masa depanku dengan mengirimkan mimpi-mimpi menyeramkan itu di setiap malamku. Kejadian yang membuatku selama empat tahun ini berdiam diri di rumah, tidak pernah berbicara dengan orang lain, selain Ayah dan Ibuku. Kejadian ini jugalah membuat aku harus dirawat di rumah sakit jiwa selama setahun, membuatku merasa lebih kotor daripada sampah. Kalung matahari yang tergeletak bisu di dalam laci lemariku menjadi saksi kejadian malam itu. Han Yoori matahari masa depanmu telah terbenam dan berganti malam gelap yang tak akan berakhir

Hari ini aku ke psikiaterku sendiri, Ibu tidak bisa menemaniku karena ada urusan penting. Aku rasa aku juga harus membiasakan diri tanpa Ibu, karena tidak selamanya Ibu akan menemaniku. Karena terus menunduk saat berjalan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang,
 “Maaf…aku tidak sengaja!” kataku
 “Ternyata kau…!” ucap orang itu. Ketika mencoba mengangkat wajahku, aku menyadari dia seorang pria. Jantungku berdegup kencang, tanganku mendingin, ketakutan itu kembali lagi, ya…Tuhan, bantulah aku mengatasi perasaan ini. Ketika menengadah, ternyata dia pemuda yang sama dengan pemuda yang di swalayan waktu itu. Aku melihat dia mengenakan jas putih, apa dia seorang dokter? Perlahan-lahan aku mundur dan berlari ketakutan meninggalkan orang itu.

Entah mungkin hari itu Tuhan menakdirkan kami bertemu, akhirnya aku bertemu lagi dengan pemuda itu di perempatan jalan saat taksi yang kutumpangi mogok. Malam itu sepertinya akan turun hujan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang menepi ke arahku, ternyata pemuda itu, dia menawarkan tumpangan padaku. Aku teringat kejadian empat tahun yang lalu, aku takut… kenapa malam ini seperti malam itu, air mataku berjatuhan, aku akui, aku memang masih trauma, aku belum sembuh total.
 “Jangan menangis, aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin menolongmu!” ucap pemuda itu mulai was-was. Supir taksi ikut menyarankan mencari taksi yang lain karena taksi itu tidak mungkin berjalan lagi. Aku mencoba menyingkirkan phobiaku pada pria, aku ingin sembuh, aku ingin menjadi gadis normal lagi yang dapat berinteraksi dengan orang lain seperti dulu, aku tidak boleh terpuruk ke dalam jurang yang begitu terjal ini. Aku harus berusaha karena hanya aku yang dapat menyembuhkan diriku sendiri, demi Ayah dan Ibu yang menyayangiku. Akhirnya aku terpaksa menerima tawaran pemuda itu.
Dia bernama Kim Junsu, sepanjang perjalanan dia selalu mengajakku ngobrol, namun tak sekalipun aku membalas pertanyaannya. Maaf aku masih takut pada setiap pria.
 “Namamu Han Yoori kan? ehm… aku tahu dari Ibumu. Kau masih ingat kita pernah ketemu di swalayan, waktu itu aku ingin membantumu tapi tiba-tiba kau berteriak ketakutan” kata pemuda itu. Aku menunduk.
 “Kalau boleh tahu kenapa waktu itu kau ketakutan melihatku apa aku menyeramkan ya…?” tanya pemuda itu lagi. Aku tak menjawabnya.
 “Kalau tak mau jawab, tidak apa-apa. Apa kau masih sekolah atau sudah kuliah? Aku mahasiswa jurusan kedokteran, tadi aku praktek di rumah sakit, dan kebetulan sekali bertemu denganmu,” ucapnya lagi.
Dia tak henti-hentinya berceloteh sampai perjalanan kami berakhir dan dengan sedihnya, tak satupun pertanyaannya yang aku jawab.
 “Terima kasih…” ucapku pelan saat aku tiba di rumah dengan selamat.
 “Eh… apa boleh aku sering-sering main ke rumahmu?” tanya pemuda itu sambil tersenyum. Tiba-tiba senyuman itu menghilang ketika Ayahku menghampiri kami, dia nampak tegang sekali.
 “Terima kasih telah mengantar putriku pulang” ucap Ayah. Tiba-tiba pemuda itu tersenyum, rupanya dia hanya tegang karena mengira Ayah akan memarahinya.

Namanya Kim Junsu, seorang mahasiswa bagian kedokteran. Kulitnya putih bersih, rambutnya kemerah-merahan, matanya sipit, tubuhnya tinggi, dan senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya yang merah, jelas sekali kalau dia menjauhi rokok. Kenapa… kenapa aku selalu membayangkannya? Aku yakin dia pasti pemuda yang baik, entah dari mana keyakinan itu datang.
Sekali lagi aku memandangi kalung matahari di laci lemariku, satu-satunya saksi saat orang laknat itu menghancurkan aku untuk selama-lamanya, selain kegelapan di malam itu.
 “Kau datang memeriksa kesehatan lagi ya?” tegur pemuda itu saat kami bertemu untuk yang ketiga kalinya di rumah sakit itu. Kali ini aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya.
 “Iya…” ucapku
 “Aku sedang tugas praktek di sini, apa kau sudah selesai? Kalau aku sudah!” tambah pemuda itu lagi
 “Sudah…” jawabku
 “Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” tanya pemuda itu. Sejujurnya aku datang ke rumah sakit ini dengan berharap secara tidak sengaja dapat berjumpa denganmu. Saat kami menuju ke parkiran, dia mengajakku ke suatu tempat. Tiba-tiba phobiaku datang lagi, aku teringat lagi kejadian malam itu.
 “Aku tidak akan macam-macam, aku janji!” ucapnya sambil membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya berbentuk V. Entah mengapa senyumannya tidak membuatku takut lagi. Mobilnya melaju kencang diatas jalan berpasir, tiba-tiba kami singgah di suatu rumah besar yang sepertinya tempat penampungan.
Dia mengajakku masuk, alangkah terkejutnya aku saat melihat belasan bayi yang ada di rumah itu. Mereka sangat lucu, aku bahkan tersenyum untuk pertama kalinya sejak empat tahun tidak pernah melakukannya. Aku mencoba menggendongnya,
 “Jangan…!” tegur Junsu, aku heran mengapa dia meleraiku
 “Pakai ini!” dia lalu memakaikan sarung tangan, masker, dan baju khusus.
 “Bayi-bayi di sini terinfeksi virus HIV/AIDS, akan sangat berbahaya bagimu maupun bagi mereka bila kita tidak berhati-hati,” virus HIV/AIDS? mengerikan sekali! bayi-bayi kecil yang tak berdaya ini terkena virus seperti itu! aku menggendong salah seorang diantara mereka, bayi itu sangat lucu dan menggemaskan, namun sangat disayangkan mereka…
 “Kenapa mereka terkena virus?” tanyaku pelan saat berada lagi di dalam mobil.
 “Akibat kesalahan ibu mereka, sebagian besar anak-anak disini adalah anak dari wanita panggilan. Virus HIV yang diidap oleh ibu mereka ditularkan pada bayi yang dikandungnya maupun dari air susu ibu.” Sungguh mengejutkan, aku menunduk memikirkan bayi-bayi itu.
 “Meraka masih sangat kecil namun ibu mereka sendiri yang merampas masa depan mereka, masa depan yang seharusnya indah, masa anak-anak, remaja, dan dewasa tidak akan pernah mereka nikmati.” sambung Junsu. Ternyata sangkaanku selama ini bahwa aku begitu sial, aku adalah orang yang paling menyedihkan di dunia ini, salah. Ternyata nasib bayi-bayi itu lebih menyedihkan. Masa depan mereka lebih suram dari pada diriku, setidaknya aku masih dapat menyembuhkan diriku, sedangkan mereka tidak! Tapi untuk apa Junsu membawaku ke tempat itu, apa maksudnya?
“Aku kasihan melihat mereka, seandainya saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Untuk itu aku ingin menjadi seorang dokter, agar aku bias merawat mereka meski belum tentu dapat membantu mereka.” kata Junsu, dia memang orang yang baik, aku ternyata tidak salah menebak. Setelah itu dia mengantarku pulang,
“Apa kita masih dapat bertemu lagi?” tanyanya, aku tak tahu harus bilang apa, tapi aku berharap pertemuan kita tidak hanya sampai di sini saja. Aku menunduk dan membelakanginya lalu membuka pagar, aku tidak menjawab pertanyaannya lagi. Saat melihatnya, dia nampak kecewa, dia pasti menyangka aku tak ingin lagi bertemu dengannya.
“Ku harap kau mau main-main ke sini sesering mungkin!” ucapku. Sekali lagi aku melihat dia tersenyum, senyuman yang setiap malam membantuku menepis mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Aku melangkah masuk,
“Han Yoori …!” tegurnya, aku berbalik
“Apa boleh aku meminta kau untuk tersenyum sekali lagi, seperti saat kau melihat bayi-bayi itu, aku merasa senyumanmu tak kalah cantik dari matahari terbit!” ucapnya. Tersenyum? apa aku bisa?
“Anggap saja aku bayi-bayi itu agar kau tersenyum lagi!” . Aku tidak bisa. Sejak kejadian itu, tersenyum adalah pekerjaan tersulit yang harus ku lakukan. Junsu mengambil sebuah botol susu lalu mengisapnya seperti seorang bayi, aku teringat cartoon kesukaanku Baby Huey , dia seperti Junsu, tanpa aku sadari aku tertawa.
“Sampai jumpa…!” ucapnya sambil mengerlingkan matanya, dia berhasil membuatku tersenyum. Junsu… saat ini aku hanya berharap aku tidak akan jatuh cinta padamu.

“Tolong…! tolong aku...!” aku berteriak sekencang mungkin, orang itu seperti tidak peduli. Dia menghempaskan aku di dekat akar pohon yang besar, wajahnya tidak jelas, aku tidak bisa melihatnya karena terlalu gelap. Aku mencoba berontak dengan seluruh tenagaku, aku mencoba melarikan diri. Namun cengkraman orang itu terlalu kuat dan berhasil membuatku terkulai lemah tak berdaya. Aku melihat dari sedikit cahaya bulan, sebuah kalung matahari bergelantungan di leher pria itu.
“Tidak ...” teriakku begitu kencangnya memenuhi seluruh isi ruangan di kamarku, tak pelak Ayah dan Ibuku terbangun,
“Yoori …” ucap Ibuku yang segera menghampiriku dan menyalakan lampu.
“Ibu… orang itu, orang itu menodaiku Bu…! dia mencengkram bahuku Bu… dia sangat kuat”
“Iya… nak, tenanglah kau hanya mimpi. Semua sudah berlalu, tenanglah…” bujuk Ibu.
“Yoori semua sudah berlalu, kau hanya mimpi nak! Maaf ya… tadi Ayah tidak sengaja mematikan lampu waktu kau tidur” kata Ayah
“Ayah ini bagaimana, Ayah tahukan Yoori sangat takut pada gelap dan akan bermimpi buruk bila tidur dengan lampu dimatikan” kata Ibu protes. Ya… kegelapan sangat mengerikan bagiku, empat tahun terakhir ini aku selalu teriak bila lampu dimatikan, kegelapan sungguh menakutkan.
Ayah dan Ibu meninggalkan aku saat aku sudah tenang, tentu saja tanpa mematikan lampu. Ya … Tuhan sampai kapan aku terus begini? Sejenak telepon di kamarku berdering, aku melirik jam weker, sudah jam dua pagi! siapa yang menelponku di pagi buta begini?
“Ha… halo ...?” ucapku pelan di gagang telepon
“Yoori … ini aku Junsu.” kata orang di seberang, kenapa dia menelponku di pagi-pagi buta begini? dan dari mana dia tahu nomor telponku?
“Maaf sudah mengganggu tidurmu ya! aku hanya ingin mendengar suaramu!” tambahnya.
“Tidak apa-apa, aku juga tidak bisa tidur” balasku
“Apa kita bisa bertemu? Aku ada di depan rumahmu sekarang” katanya. Aku terkejut, lalu mencoba mengintip di balik jendela, dia memang ada tepat di depan pagar rumahku.
 Dia kembali tersenyum saat aku menghampirinya, kami mengobrol di tepi jalan. Entah mengapa aku berani sekali menemani pria asing berbicara berdua di tepi jalan, di saat semua orang terlelap tidur. Dialah pemuda yang sama sekali tidak membuatku takut.
“Aku tidak bisa tidur, jadi aku datang ke sini” kata Junsu, aku terus memandanginya yang tidak berhenti berceloteh. Dia terus bercerita tiada hentinya, dia benar-benar lucu, aku rasa aku mulai jatuh cinta padanya. Menjelang subuh Junsu baru pulang, tidak ada gurat kelelahan sedikitpun yang nampak di wajahnya.

Entah sejak kapan aku mulai bergantung pada Junsu, dia masuk kedalam kehidupanku tanpa aku duga-duga. Namun aku tidak boleh banyak berharap, aku sadar itu. Dia pemuda dengan masa depan yang cerah, sedangkan aku…, masa depanku hancur seusai upacara kelulusan SMU. Dia tidak tahu kalau aku wanita kotor, hina, dan tidak suci lagi, aku yakin dia pasti akan menjauhiku begitu dia tahu aku ini siapa.
Hari-hariku semakin indah sejak Junsu masuk ke dalam kehidupanku, kini aku tak bisa lagi tanpa dirinya. Aku benar-benar suka padanya, namun aku tahu diri, aku ini tidak pantas untuk pria baik-baik seperti dia. Suatu malam, seusai berkunjung ke psikiaterku, aku menunggu Junsu yang belum selesai praktek di rumah sakit, Aku masuk ke ruangan obat, aku melihat obat berbagai jenis, pasti sangat berat bagi Junsu harus menghapalkan setiap jenis obat dengan penyakitnya. Tiba-tiba lampu mati, aku tersentak kaget,
“Tolong…tolong…” aku berteriak seperti orang gila, aku sangat takut. Kejadian malam itu merambat memenuhi seluruh ruang di kepalaku. Ya… Tuhan aku begitu takut dengan kegelapan
“Tolong…tolong aku,” semua begitu gelap, tak satu pun sesuatu yang dapat aku lihat. Sama seperti malam itu, begitu gelap dan menakutkan. Aku mendengar pintu terbuka, siapa itu? pasti orang itu datang ingin menyiksaku lagi, pikirku.
“Tolong…” teriakku makin keras,
“Yoori ini aku, jangan menangis lagi, aku disini!” ucap orang itu,
“Tolong…,”  aku sepertinya tidak bisa diam
“Yoori … ini aku Junsu, sudah! tenanglah!”
“Aku takut, aku takut gelap…!” ucapku lagi
“Aku di sini bersamamu” balas Junsu
“Aku takut…” tiba-tiba suaraku tersekat, aku tak bisa lagi berteriak, bibirku seakan terkunci. Ada apa? aku sama sekali tidak bisa berbicara, ada sesuatu yang menutup bibirku. Selang beberapa menit lampu akhirnya hidup kembali. Saat melihat apa yang telah terjadi saat lampu hidup, aku lebih terkejut lagi. Junsu perlahan-lahan menjauhkan wajahnya dari wajahku, dia… baru saja mencuimku! Dia menghapus air mataku yang tergenang, dia lalu memeluk erat tubuhku, erat sekali… aku yang masih gemetaran, dengan jelas dapat mendengar degup jantungnya, kencang sekali!
“Maaf, semua salahku. Aku meninggalkan kamu sendirian di ruangan ini” ucapnya. Junsu lalu mengantarku pulang, kali ini dia tidak banyak bicara, aku pun hanya tertunduk. Dia menciumku pasti hanya ingin menenangkan aku, gumamku. Dia tidak mungkin punya maksud lain. Dia tidak mungkin mencintaiku.. Aku sampai didepan rumah, membuka pintu mobil dan turun. Kami hanya membisu, benar-benar tanpa ekspresi.
  “Han Yoori … aku cinta padamu!” ucap Junsu saat aku sedang membuka pagar, Junsu… dia bilang apa? aku berbalik ke arahnya, dia terus menatapku dari dalam mobil. Aku menunduk, aku memberi isyarat bahwa aku menolaknya. Dengan kecewa dia mengendarai mobilnya melaju meninggalkan aku, hiks… maafkan aku, aku tidak pantas untukmu. Aku juga sangat menyayangimu, namun kau dan aku tidak mungkin bersatu. Aku bukannya orang yang tidak tahu berterima kasih, namun aku tahu diri, aku ini wanita kotor.

   Sudah beberapa hari ini aku dan Junsu tidak bertemu, juga tidak saling telepon. Aku yakin dia pasti kecewa. Ingin sekali aku memberitahukannya tentang kenyataan yang sebenarnya, namun aku tidak berani. Suatu malam aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Bayangan Junsu selalu bermain-main di pelupuk mataku, terus terang aku sangat merindukannya. Aku mendengar ada suara mesin mobil berhenti di depan rumahku, aku melirik ke jendela, ternyata Junsu. Cukup lama dia hanya berdiri memandang ke arah jendelaku, dia memandang dengan tatapan hampa. Dia tidak menyadari aku mengintipnya dari balik jendela. Sampai akhirnya aku melihat dia memencet sederet nomor di ponselnya dan beberapa detik kemudian ponselku berdering.
  Ponselku terus berdering, namun aku tidak berani mengangkatnya. Ya… Tuhan apa yang harus kulakukan, air mataku dalam sekejap membasahi pipiku. Aku begitu sayang padanya, namun aku tidak mau kecewakan dia, tiba-tiba ada pesan yang masuk,
  “Aku tidak bisa tidur, aku ingin bertemu denganmu, apa boleh?pesan ini dari Junsu. Aku sangat bingung, sesuatu bergejolak di dadaku, pulanglah…, pulang saja Junsu, pulang…
Cukup lama aku membuatnya menunggu, akhirnya dia membunyikan mobil, pasti mau pergi. Aku tidak mungkin dapat menggapainya lagi, aku memutuskan…mengejarnya. Aku berlari menuruni tangga hanya dalam beberapa langkah, membuka pintu rumah, membuka pagar, dan… Junsu telah pergi. Aku mengejarnya, aku berlari di atas aspal dingin dan keras tanpa menggunakan alas kaki, dengan menggunakan piyama aku berlari mengejarnya.
         “Junsu… Junsu…” suaraku menggema dalam udara dingin malam ini, aku mengeluarkan seluruh tenagaku memanggilnya dan mengejarnya dan tentu saja masih dalam keadaan berlari.



To be continued…


No comments:

Post a Comment