Sudah
berulang kali ku katakan pada Ibu, aku belum berani keluar rumah dan pergi ke
tempat umum, namun Ibu tetap saja memaksa untuk menemaninya ke swalayan. Aku
sadar Ibu hanya mengikuti saran dokter agar aku cepat sembuh dari depresi.
Aku
akui… aku mulai tertarik dengan dunia luar yang telah hampir empat tahun aku
tinggalkan sejak kejadian malam itu, kejadian yang merampas keceriaan,
kebahagiaan, dan masa depanku yang membentang luas penuh harapan.
Aku
berdiri di dekat pintu sambil membawa belanjaan Ibu, sementara Ibu sedang sibuk
membayar tagihannya di kasir. Tiba-tiba buah yang aku bawa terjatuh karena aku
kurang hati-hati memegangnya. Aku segera memungutnya, tanpa aku sadari
seseorang ikut membantu.
“Ha… Ibu… tolong, tolong Bu! Aku takut!” teriakku
sambil berlari menangis menuju arah Ibu. Ibu yang terkejut segera mendekapku.
Tubuhku gemetaran, tanganku dingin, dan tangisanku keras sekali membuat seisi
swalayan melemparkan perhatian kepadaku.
“Maaf Bibi… aku cuma mau membantu memungutkan
barang-barangnya yang jatuh,” ucap
pemuda itu agak takut, dia merasa tidak enak diberikan tatapan sinis oleh
orang-orang yang ada di dalam swalayan.
“Iya… tidak apa-apa, Bibi mengerti.” jawab
Ibuku sambil tersenyum pada pemuda yang sepertinya seumuran denganku. Ibu pun
mulai menenangkan aku.
“Sudah… tidak apa-apa, dia hanya ingin
membantumu Nak!” kata Ibu.
Sejak
empat tahun yang lalu aku mulai takut pada semua pria, setiap ada pria yang
mendekatiku atau mengajakku bicara aku pasti histeris ketakutan. Untung saja psikologku
seorang wanita. Ibu memamg temanku yang paling setia, beliau selalu menemaniku
dan dengan setia selalu membantuku, aku tak tahu bagaimana nasibku tanpa Ibu.
Ibu
lah orang yang pertama membantuku saat pemerkosaan malam itu, malam terkutuk
yang tidak akan kulupakan seumur hidupku. Saat itu aku baru saja merayakan
upacara kelulusan bersama teman-teman dan guru-guru di sekolah. Saat pulang,
taksi yang kutumpangi mogok, atas saran supirnya aku ke ujung jalan untuk
menahan taksi yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang membekap mulutku dari
arah belakang, dia membawaku ke tengah taman, di bawah pohon besar yang gelap
dan ...
Kejadian
itu selalu menghampiriku dalam mimpiku di setiap malam-malamku selama empat
tahun terakhir ini, seakan-akan pria itu belum puas menghancurakan aku dan masa
depanku dengan mengirimkan mimpi-mimpi menyeramkan itu di setiap malamku. Kejadian
yang membuatku selama empat tahun ini berdiam diri di rumah, tidak pernah
berbicara dengan orang lain, selain Ayah dan Ibuku. Kejadian ini jugalah
membuat aku harus dirawat di rumah sakit jiwa selama setahun, membuatku merasa
lebih kotor daripada sampah. Kalung matahari yang tergeletak bisu di dalam laci
lemariku menjadi saksi kejadian malam itu. Han Yoori matahari masa depanmu
telah terbenam dan berganti malam gelap yang tak akan berakhir
Hari
ini aku ke psikiaterku sendiri, Ibu tidak bisa menemaniku karena ada urusan
penting. Aku rasa aku juga harus membiasakan diri tanpa Ibu, karena tidak
selamanya Ibu akan menemaniku. Karena terus menunduk saat berjalan, tanpa
sengaja aku menabrak seseorang,
“Maaf…aku tidak sengaja!” kataku
“Ternyata kau…!” ucap orang itu. Ketika
mencoba mengangkat wajahku, aku menyadari dia seorang pria. Jantungku berdegup
kencang, tanganku mendingin, ketakutan itu kembali lagi, ya…Tuhan, bantulah aku
mengatasi perasaan ini. Ketika menengadah, ternyata dia pemuda yang sama dengan
pemuda yang di swalayan waktu itu. Aku melihat dia mengenakan jas putih, apa
dia seorang dokter? Perlahan-lahan aku mundur dan berlari ketakutan
meninggalkan orang itu.
Entah
mungkin hari itu Tuhan menakdirkan kami bertemu, akhirnya aku bertemu lagi
dengan pemuda itu di perempatan jalan saat taksi yang kutumpangi mogok. Malam
itu sepertinya akan turun hujan, tiba-tiba ada sebuah mobil yang menepi ke
arahku, ternyata pemuda itu, dia menawarkan tumpangan padaku. Aku teringat
kejadian empat tahun yang lalu, aku takut… kenapa malam ini seperti malam itu,
air mataku berjatuhan, aku akui, aku memang masih trauma, aku belum sembuh
total.
“Jangan menangis, aku tidak akan menyakitimu.
Aku hanya ingin menolongmu!” ucap pemuda itu mulai was-was. Supir taksi ikut
menyarankan mencari taksi yang lain karena taksi itu tidak mungkin berjalan
lagi. Aku mencoba menyingkirkan phobiaku pada pria, aku ingin sembuh, aku ingin
menjadi gadis normal lagi yang dapat berinteraksi dengan orang lain seperti
dulu, aku tidak boleh terpuruk ke dalam jurang yang begitu terjal ini. Aku
harus berusaha karena hanya aku yang dapat menyembuhkan diriku sendiri, demi
Ayah dan Ibu yang menyayangiku. Akhirnya aku terpaksa menerima tawaran pemuda
itu.
Dia
bernama Kim Junsu, sepanjang perjalanan dia selalu mengajakku ngobrol, namun
tak sekalipun aku membalas pertanyaannya. Maaf aku masih takut pada setiap
pria.
“Namamu Han Yoori kan? ehm… aku tahu dari
Ibumu. Kau masih ingat kita pernah ketemu di swalayan, waktu itu aku ingin
membantumu tapi tiba-tiba kau berteriak ketakutan” kata pemuda itu. Aku
menunduk.
“Kalau boleh tahu kenapa waktu itu kau
ketakutan melihatku apa aku menyeramkan ya…?” tanya pemuda itu lagi. Aku tak
menjawabnya.
“Kalau tak mau jawab, tidak apa-apa. Apa kau
masih sekolah atau sudah kuliah? Aku mahasiswa jurusan kedokteran, tadi aku
praktek di rumah sakit, dan kebetulan sekali bertemu denganmu,” ucapnya lagi.
Dia
tak henti-hentinya berceloteh sampai perjalanan kami berakhir dan dengan
sedihnya, tak satupun pertanyaannya yang aku jawab.
“Terima kasih…” ucapku pelan saat aku tiba di
rumah dengan selamat.
“Eh… apa boleh aku sering-sering main ke
rumahmu?” tanya pemuda itu sambil tersenyum. Tiba-tiba senyuman itu menghilang
ketika Ayahku menghampiri kami, dia nampak tegang sekali.
“Terima kasih telah mengantar putriku pulang” ucap
Ayah. Tiba-tiba pemuda itu tersenyum, rupanya dia hanya tegang karena mengira
Ayah akan memarahinya.
Namanya
Kim Junsu, seorang mahasiswa bagian kedokteran. Kulitnya putih bersih,
rambutnya kemerah-merahan, matanya sipit, tubuhnya tinggi, dan senyuman tidak
pernah lepas dari bibirnya yang merah, jelas sekali kalau dia menjauhi rokok.
Kenapa… kenapa aku selalu membayangkannya? Aku yakin dia pasti pemuda yang
baik, entah dari mana keyakinan itu datang.
Sekali
lagi aku memandangi kalung matahari di laci lemariku, satu-satunya saksi saat
orang laknat itu menghancurkan aku untuk selama-lamanya, selain kegelapan di
malam itu.
“Kau datang memeriksa kesehatan lagi ya?” tegur
pemuda itu saat kami bertemu untuk yang ketiga kalinya di rumah sakit itu. Kali
ini aku memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya.
“Iya…” ucapku
“Aku sedang tugas praktek di sini, apa kau
sudah selesai? Kalau aku sudah!” tambah pemuda itu lagi
“Sudah…” jawabku
“Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” tanya
pemuda itu. Sejujurnya aku datang ke rumah sakit ini dengan berharap secara
tidak sengaja dapat berjumpa denganmu. Saat kami menuju ke parkiran, dia
mengajakku ke suatu tempat. Tiba-tiba phobiaku datang lagi, aku teringat lagi
kejadian malam itu.
“Aku tidak akan macam-macam, aku janji!” ucapnya
sambil membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya berbentuk V. Entah mengapa senyumannya
tidak membuatku takut lagi. Mobilnya melaju kencang diatas jalan berpasir,
tiba-tiba kami singgah di suatu rumah besar yang sepertinya tempat penampungan.
Dia
mengajakku masuk, alangkah terkejutnya aku saat melihat belasan bayi yang ada
di rumah itu. Mereka sangat lucu, aku bahkan tersenyum untuk pertama kalinya
sejak empat tahun tidak pernah melakukannya. Aku mencoba menggendongnya,
“Jangan…!” tegur Junsu, aku heran mengapa dia
meleraiku
“Pakai ini!” dia lalu memakaikan sarung
tangan, masker, dan baju khusus.
“Bayi-bayi di sini terinfeksi virus HIV/AIDS,
akan sangat berbahaya bagimu maupun bagi mereka bila kita tidak berhati-hati,” virus
HIV/AIDS? mengerikan sekali! bayi-bayi kecil yang tak berdaya ini terkena virus
seperti itu! aku menggendong salah seorang diantara mereka, bayi itu sangat
lucu dan menggemaskan, namun sangat disayangkan mereka…
“Kenapa mereka terkena virus?” tanyaku pelan
saat berada lagi di dalam mobil.
“Akibat kesalahan ibu mereka, sebagian besar
anak-anak disini adalah anak dari wanita panggilan. Virus HIV yang diidap oleh
ibu mereka ditularkan pada bayi yang dikandungnya maupun dari air susu ibu.”
Sungguh mengejutkan, aku menunduk memikirkan bayi-bayi itu.
“Meraka masih sangat kecil namun ibu mereka
sendiri yang merampas masa depan mereka, masa depan yang seharusnya indah, masa
anak-anak, remaja, dan dewasa tidak akan pernah mereka nikmati.” sambung Junsu.
Ternyata sangkaanku selama ini bahwa aku begitu sial, aku adalah orang yang
paling menyedihkan di dunia ini, salah. Ternyata nasib bayi-bayi itu lebih
menyedihkan. Masa depan mereka lebih suram dari pada diriku, setidaknya aku
masih dapat menyembuhkan diriku, sedangkan mereka tidak! Tapi untuk apa Junsu
membawaku ke tempat itu, apa maksudnya?
“Aku
kasihan melihat mereka, seandainya saja aku dapat melakukan sesuatu untuk
membantu mereka. Untuk itu aku ingin menjadi seorang dokter, agar aku bias
merawat mereka meski belum tentu dapat membantu mereka.” kata Junsu, dia memang
orang yang baik, aku ternyata tidak salah menebak. Setelah itu dia mengantarku
pulang,
“Apa
kita masih dapat bertemu lagi?” tanyanya, aku tak tahu harus bilang apa, tapi
aku berharap pertemuan kita tidak hanya sampai di sini saja. Aku menunduk dan
membelakanginya lalu membuka pagar, aku tidak menjawab pertanyaannya lagi. Saat
melihatnya, dia nampak kecewa, dia pasti menyangka aku tak ingin lagi bertemu
dengannya.
“Ku
harap kau mau main-main ke sini sesering mungkin!” ucapku. Sekali lagi aku
melihat dia tersenyum, senyuman yang setiap malam membantuku menepis mimpi
buruk yang selalu menghantuiku. Aku melangkah masuk,
“Han
Yoori …!” tegurnya, aku berbalik
“Apa
boleh aku meminta kau untuk tersenyum sekali lagi, seperti saat kau melihat
bayi-bayi itu, aku merasa senyumanmu tak kalah cantik dari matahari terbit!” ucapnya.
Tersenyum? apa aku bisa?
“Anggap
saja aku bayi-bayi itu agar kau tersenyum lagi!” . Aku tidak bisa. Sejak
kejadian itu, tersenyum adalah pekerjaan tersulit yang harus ku lakukan. Junsu
mengambil sebuah botol susu lalu mengisapnya seperti seorang bayi, aku teringat
cartoon kesukaanku Baby Huey , dia seperti Junsu, tanpa aku
sadari aku tertawa.
“Sampai
jumpa…!” ucapnya sambil mengerlingkan matanya, dia berhasil membuatku
tersenyum. Junsu… saat ini aku hanya berharap aku tidak akan jatuh cinta
padamu.
“Tolong…!
tolong aku...!” aku berteriak sekencang mungkin, orang itu seperti tidak
peduli. Dia menghempaskan aku di dekat akar pohon yang besar, wajahnya tidak
jelas, aku tidak bisa melihatnya karena terlalu gelap. Aku mencoba berontak
dengan seluruh tenagaku, aku mencoba melarikan diri. Namun cengkraman orang itu
terlalu kuat dan berhasil membuatku terkulai lemah tak berdaya. Aku melihat
dari sedikit cahaya bulan, sebuah kalung matahari bergelantungan di leher pria
itu.
“Tidak
...” teriakku begitu kencangnya memenuhi seluruh isi ruangan di kamarku, tak
pelak Ayah dan Ibuku terbangun,
“Yoori
…” ucap Ibuku yang segera menghampiriku dan menyalakan lampu.
“Ibu…
orang itu, orang itu menodaiku Bu…! dia mencengkram bahuku Bu… dia sangat kuat”
“Iya…
nak, tenanglah kau hanya mimpi. Semua sudah berlalu, tenanglah…” bujuk Ibu.
“Yoori
semua sudah berlalu, kau hanya mimpi nak! Maaf ya… tadi Ayah tidak sengaja
mematikan lampu waktu kau tidur” kata Ayah
“Ayah
ini bagaimana, Ayah tahukan Yoori sangat takut pada gelap dan akan bermimpi
buruk bila tidur dengan lampu dimatikan” kata Ibu protes. Ya… kegelapan sangat
mengerikan bagiku, empat tahun terakhir ini aku selalu teriak bila lampu
dimatikan, kegelapan sungguh menakutkan.
Ayah
dan Ibu meninggalkan aku saat aku sudah tenang, tentu saja tanpa mematikan
lampu. Ya … Tuhan sampai kapan aku terus begini? Sejenak telepon di kamarku
berdering, aku melirik jam weker, sudah jam dua pagi! siapa yang menelponku di
pagi buta begini?
“Ha…
halo ...?” ucapku pelan di gagang telepon
“Yoori
… ini aku Junsu.” kata orang di seberang, kenapa dia menelponku di pagi-pagi
buta begini? dan dari mana dia tahu nomor telponku?
“Maaf
sudah mengganggu tidurmu ya! aku hanya ingin mendengar suaramu!” tambahnya.
“Tidak
apa-apa, aku juga tidak bisa tidur” balasku
“Apa
kita bisa bertemu? Aku ada di depan rumahmu sekarang” katanya. Aku terkejut,
lalu mencoba mengintip di balik jendela, dia memang ada tepat di depan pagar
rumahku.
Dia kembali tersenyum saat aku menghampirinya,
kami mengobrol di tepi jalan. Entah mengapa aku berani sekali menemani pria
asing berbicara berdua di tepi jalan, di saat semua orang terlelap tidur.
Dialah pemuda yang sama sekali tidak membuatku takut.
“Aku
tidak bisa tidur, jadi aku datang ke sini” kata Junsu, aku terus memandanginya
yang tidak berhenti berceloteh. Dia terus bercerita tiada hentinya, dia
benar-benar lucu, aku rasa aku mulai jatuh cinta padanya. Menjelang subuh Junsu
baru pulang, tidak ada gurat kelelahan sedikitpun yang nampak di wajahnya.
Entah
sejak kapan aku mulai bergantung pada Junsu, dia masuk kedalam kehidupanku
tanpa aku duga-duga. Namun aku tidak boleh banyak berharap, aku sadar itu. Dia
pemuda dengan masa depan yang cerah, sedangkan aku…, masa depanku hancur seusai
upacara kelulusan SMU. Dia tidak tahu kalau aku wanita kotor, hina, dan tidak
suci lagi, aku yakin dia pasti akan menjauhiku begitu dia tahu aku ini siapa.
Hari-hariku
semakin indah sejak Junsu masuk ke dalam kehidupanku, kini aku tak bisa lagi
tanpa dirinya. Aku benar-benar suka padanya, namun aku tahu diri, aku ini tidak
pantas untuk pria baik-baik seperti dia. Suatu malam, seusai berkunjung ke
psikiaterku, aku menunggu Junsu yang belum selesai praktek di rumah sakit, Aku
masuk ke ruangan obat, aku melihat obat berbagai jenis, pasti sangat berat bagi
Junsu harus menghapalkan setiap jenis obat dengan penyakitnya. Tiba-tiba lampu
mati, aku tersentak kaget,
“Tolong…tolong…”
aku berteriak seperti orang gila, aku sangat takut. Kejadian malam itu merambat
memenuhi seluruh ruang di kepalaku. Ya… Tuhan aku begitu takut dengan kegelapan
“Tolong…tolong
aku,” semua begitu gelap, tak satu pun sesuatu yang dapat aku lihat. Sama
seperti malam itu, begitu gelap dan menakutkan. Aku mendengar pintu terbuka,
siapa itu? pasti orang itu datang ingin menyiksaku lagi, pikirku.
“Tolong…”
teriakku makin keras,
“Yoori
ini aku, jangan menangis lagi, aku disini!” ucap orang itu,
“Tolong…,”
aku sepertinya tidak bisa diam
“Yoori
… ini aku Junsu, sudah! tenanglah!”
“Aku
takut, aku takut gelap…!” ucapku lagi
“Aku
di sini bersamamu” balas Junsu
“Aku
takut…” tiba-tiba suaraku tersekat, aku tak bisa lagi berteriak, bibirku seakan
terkunci. Ada apa? aku sama sekali tidak bisa berbicara, ada sesuatu yang
menutup bibirku. Selang beberapa menit lampu akhirnya hidup kembali. Saat
melihat apa yang telah terjadi saat lampu hidup, aku lebih terkejut lagi. Junsu
perlahan-lahan menjauhkan wajahnya dari wajahku, dia… baru saja mencuimku! Dia
menghapus air mataku yang tergenang, dia lalu memeluk erat tubuhku, erat
sekali… aku yang masih gemetaran, dengan jelas dapat mendengar degup
jantungnya, kencang sekali!
“Maaf,
semua salahku. Aku meninggalkan kamu sendirian di ruangan ini” ucapnya. Junsu
lalu mengantarku pulang, kali ini dia tidak banyak bicara, aku pun hanya
tertunduk. Dia menciumku pasti hanya ingin menenangkan aku, gumamku. Dia tidak
mungkin punya maksud lain. Dia tidak mungkin mencintaiku.. Aku sampai didepan
rumah, membuka pintu mobil dan turun. Kami hanya membisu, benar-benar tanpa
ekspresi.
“Han Yoori … aku cinta padamu!” ucap Junsu
saat aku sedang membuka pagar, Junsu… dia bilang apa? aku berbalik ke arahnya,
dia terus menatapku dari dalam mobil. Aku menunduk, aku memberi isyarat bahwa
aku menolaknya. Dengan kecewa dia mengendarai mobilnya melaju meninggalkan aku,
hiks… maafkan aku, aku tidak pantas untukmu. Aku juga sangat menyayangimu,
namun kau dan aku tidak mungkin bersatu. Aku bukannya orang yang tidak tahu
berterima kasih, namun aku tahu diri, aku ini wanita kotor.
Sudah
beberapa hari ini aku dan Junsu tidak bertemu, juga tidak saling telepon. Aku
yakin dia pasti kecewa. Ingin sekali aku memberitahukannya tentang kenyataan
yang sebenarnya, namun aku tidak berani. Suatu malam aku sama sekali tidak bisa
memejamkan mata. Bayangan Junsu selalu bermain-main di pelupuk mataku, terus
terang aku sangat merindukannya. Aku mendengar ada suara mesin mobil berhenti
di depan rumahku, aku melirik ke jendela, ternyata Junsu. Cukup lama dia hanya
berdiri memandang ke arah jendelaku, dia memandang dengan tatapan hampa. Dia
tidak menyadari aku mengintipnya dari balik jendela. Sampai akhirnya aku
melihat dia memencet sederet nomor di ponselnya dan beberapa detik kemudian
ponselku berdering.
Ponselku terus berdering, namun aku tidak
berani mengangkatnya. Ya… Tuhan apa yang harus kulakukan, air mataku dalam
sekejap membasahi pipiku. Aku begitu sayang padanya, namun aku tidak mau
kecewakan dia, tiba-tiba ada pesan yang masuk,
“Aku tidak bisa tidur, aku
ingin bertemu denganmu, apa boleh?” pesan ini dari Junsu. Aku sangat bingung,
sesuatu bergejolak di dadaku, pulanglah…, pulang saja Junsu, pulang…
Cukup
lama aku membuatnya menunggu, akhirnya dia membunyikan mobil, pasti mau pergi.
Aku tidak mungkin dapat menggapainya lagi, aku memutuskan…mengejarnya. Aku
berlari menuruni tangga hanya dalam beberapa langkah, membuka pintu rumah,
membuka pagar, dan… Junsu telah pergi. Aku mengejarnya, aku berlari di atas
aspal dingin dan keras tanpa menggunakan alas kaki, dengan menggunakan piyama
aku berlari mengejarnya.
To be continued…
No comments:
Post a Comment