Sunday 3 January 2016

FF - When We'll be Together (Part 4)



Dulu ayah sering bertanya kapan Jongsuk  akan membawa teman prianya dan memperkenalkannya pada ayah sebagai pacar, tapi jangankan pacar, teman biasa pun tak ada yang mau datang ke rumah karena ayah hanya seorang nelayan,” ayah menangis di pundakku,” Tapi syukurlah sekarang, aku tidak perlu merasa bersalah lagi karena putriku sudah punya pacar, hiks…semua orang tertawa melihat ayahku. Mereka dan aku tak menyangka ayah akan berlebuhan seperti ini. In Gook lalu menghampiri kami, ayah berdiri dan memeluknya. 
“Anak muda, jaga putriku baik-baik!serunya
Kami akhirnya memulai pesta yang sempat tertunda karena tangisan ayah. Aku benar-benar menikmati kebersamaan ini yang sebentar lagi aku tinggalkan, kami berpesta sampai menjelang pagi. Saat asyik bercanda bersama In Gook, tiba-tiba penglihatanku menjadi kabur, tubuhku tiba-tiba lemas dan aku mimisan lagi.
“Jongsuk… kau kenapa?In Gook lalu memelukku saat aku mulai tak sanggup berdiri, tetanggaku jadi panik.
“In Gook… cepat bawa Jongsuk  ke rumah sakit!” perintah mereka,
“Kyu Sik… anakmu sakit lagi!mereka berteriak memanggil ayahku yang masuk ke gudang mengambil minuman. In Gook berlari menggendongku dam memasukkan aku ke dalam mobilnya. Aku mulai tak sadarkan diri karena kepalaku terlalu sakit. Saat aku membuka mata, aku melihat ayah duduk dengan setia di sampingku.
“Jongsuk… bagaimana perasaanmu nak?” tanya ayah, aku mengangguk menandakan aku merasa baikan.
“In Gook sudah pulang?tanyaku lemah,
“Aku di sini!” dia tiba-tiba muncul dari balik tirai. Matanya merah, aku tak tahu apakah matanya merah karena menangis atau karena menahan kantuknya. Dia mendekat ke arahku, ayah lalu menjauh meninggalkan kami. Dia menggenggam tanganku, tanganya dingin sekali, mungkin kerena terlalu lama berada di luar
“Ayahmu sudah cerita, aku tak menyangka kau benar-benar sakit. Kupikir kau mengatakan hal itu karena ingin aku menjauhimu,” matanya berkaca-kaca di hadapanku.
“Makanya, sebelum terlalu jauh kau harus meninggalkan aku. Kau bisa mencari gadis yang lebih baik yang dapat membuatmu bahagia selamanya karena aku tidak bisa menemanimu bila waktuku telah tiba,” dia memelukku sambil terisak,
“Kali ini Tuhan telah menghukumku, selama ini aku selalu mempermainkan gadis-gadis yang tulus mencintaiku. Kini setelah aku mendapatkan gadis yang benar-benar aku sayangi, Tuhan malah ingin merebutnya dariku. Kau terlalu berharga sampai Tuhan pun tak rela melepasmu untukku.
“Sebelum menderita, pergilah dariku!”
“Tidak. Aku akan tetap berada di sisimu.tegasnya.
Tumor otak menggerogoti kesehatanku sejak beberapa tahun yang lalu. Dokter memprediksikan umurku tidak akan lama lagi. tumor otal yang menyerang jaringan otak kecilku akan menyebar ke jaringan lain bila tidak segera diangkat namun kami terbentur masalah biaya. Tidak hanya itu, golongan darahku sangat langka sehingga dokter tak dapat melakukan operasi bila tidak ada bantuan darah. Kini aku hanya tinggal menghitung waktu dengan bantuan obat yang hanya dapat mengurangi rasa sakitku.
Beberapa hari setelah aku dirawat di RS, aku mulai kembali ke sekolah. In Gook mengajakku ngobrol di taman belakang sekolah saat istirahat siang.
“Wah… mawar-mawar ini sudah mekar kembali. Aku masih ingat saat Pak Kepala sekolah menghukumku karena mengira aku yang merusak mawar-mawarnya. Wajahnya sangat menakutkan bahkan matanya sampai memerah.” Ucapku
“Ini untukmu!” ucap In Gook menyodorkan sekeranjang buah, Dimakan semua ya!” lanjutnya
“Banyak sekali!” bantahku
“Kau butuh makanan bergizi untuk memulihkan kondisimu. Jadi … kau harus makan semuanya!.” aku mengambil sebuah pir segar dan memakannya.” Sejak kapan kau menderita penyakit itu?” tanya In Gook tiba-tiba
“Waktu aku kelas tiga SMP!”
“Jadi sejak saat itu kau kesakitan seperti itu bila sakitnya kambuh?” Aku akan membiayai operasimu!” sambungnya.
“Apa? kau serius?” tanyaku kaget
“Kau pikir aku bercanda?”
“Dapat uang dari mana?” tanyaku tertawa
“Ya… ayahku,”  balasnya.
“In Gook… biaya operasiku sangat mahal, keterlaluan sekali bila orang tuamu yang harus membiayainya padahal kita tidak punya hubungan apa-apa!”
“Siapa bilang…? kau ini pacarku!”
“Sudahlah… kalaupun aku mendapatkan biaya, aku masih butuh darah AB Rh -, kau tahu ‘kan darah itu sangat langka. Dari satu juta penduduk Korea, kemungkinan yang bergolongan darah itu hanya lima orang.”
“Lalu, bagaimana dengan ayahmu, bagaimana dengan golongan darahnya?” tanyanya.
“Seandainya darah kami sama, ayah pasti akan rela menghabiskan darahnya untukku. Tapi sayang …kata-kataku terhenti saat bel istirahat siang berbunyi.
   
Ayah terlihat sangat lelah usai bekerja. Setelah memasukkan uang hasil penjualannya ke sebuah celengan - yang katanya untuk biaya operasiku – ayah bergabung denganku di meja makan. Saat makan dia tersenyum pada foto Ibuku.
“Wah … buahnya banyak sekali!” tegur ayah
“Itu dari In Gook, untuk memulihkan kondisiku, katanya aku harus banyak makan buah yang bervitamin.”
“Anak itu memang baik, tapi … kau tidak boleh berharap terlalu banyak padanya. Dia anak orang kaya, suatu saat dia bisa saja pergi darimu. Meski cintanya tulus, bukan berarti orang tuanya juga tulus menerimamu!.”
“Aku mengerti, aku juga tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku hanya tidak ingin ditindas lagi di sekolah jadi aku menerimanya.”
“Jongsuk  … kenapa kau sejahat itu?”
“Meski alasan sebenarnya adalah … aku tak mau menyayanginya sehingga nanti sulit meninggalkannya.” ucapku lemah. Sejenak kami terdiam dan kemudian melanjutkan makan. Usai makan malam, aku membantu ayah menjahitkan pakaiannya yang sibek karena matanya sudah tidak dapat melihat lubang jarum lagi.
“Ayah … aku ingin bertanya sesuatu yang sudah lama aku ingin tanyakan.” kataku pelan.
“Apa?” tanya ayah yang sedang memperbaiki mata pancingnya.
“Kenapa ayah tidak sekalian membunuhku saat aku baru lahir?” ayah secepatnya menghentikan pekerjaannya dan menatapku.
“Eh … aku cuma penasaran saja, padahal ayah sendiri sudah tahu kalau aku bukan anak ayah. Aku adalah anak hasil perselingkuhan istri ayah dengan mantan pacarnya. Apa ayah tidak sakit hati dikhianati oleh wanita itu?” ayah tersenyum
“Sebenarnya ayah juga ingin membunuhmu saat itu. Ayah begitu terpukul saat mendengar pengakuan ibumu bahwa kau bukan putriku sesaat setelah kelahiranmu. Namun … kau begitu lucu dan polos, tertidur dalam dekapanku, bagaimana mungkin aku bisa membunuhmu!”
“Setelah itu ibuku meninggal karena pendarahan?” tanyaku.
“Iya, dan sebelum ibumu pergi, dia berpesan padaku untuk merawatmu. Meski kau bukan anakku namun kau anak dari wanita yang sangat aku cinta. Kau dan ibumu adalah sumber kehidupanku, jadi aku tidak mungkin membunuhmu. Kalaupun saat itu aku kalap dan membunuhmu, pasti setelahnya aku juga akan menyusul kalian.”
“Lalu yang memberikan aku nama Jongsuk  apa Ayah juga?”
“Iya …” jawab ayah,
“Kenapa ayah tidak menikah lagi?”
“Ayah terlalu menyayangi ibumu, dan tak ada wanita yang dapat menggantikan pososinya di hati ayah!”
“Ayah memang bodoh!, wanita seperti itu tidak pantas mendapatkan kesetiaan ayah. Tapi sudahlah … itu semua keputusan ayah, aku  tidak bisa ikut campur. Aku mau tidur!.” setelah menyerahkan baju yang sudah kujahit, aku segera membereskan peralatan jahitku. Aku tiba-tiba memeluk ayah yang masih mengerjakan mata pancingnya, aku memluknya erat sekali.
“Ayah, terima kasih telah memberiku kesempatan untuk hidup. Ayah sudah membantuku merasakan kasih sayang seorang ayah, para tetangga, dan ayah juga membantuku bertemu dengan In Gook. Seandainya ayah membunuhku saat aku bayi, mana mungkin aku akan mengenal kalian semua. Ibu sangat beruntung mendapatkan suami seperti ayah. aku juga sangat beruntung dapat menjadi sumber kehidupanmu.” Aku terisak di punggung ayahku, aku … sungguh menyayanginya.” Aku juga berterima kasih, ayah telah memberikan nama yang sangat indah untukku!.”
Terima kasih … aku benar-benar berterima kasih Ayah! kau memberiku kesempatan merasakan hangatnya cinta dan kasih sayangmu. Akhir-akhir ini kondisiku semakin memburuk. Kata dokter tumaor itu perlahan-lahan menrusak koordinasi otak kecilku sehingga aku kembali mimisan lagi. sekolahku menjadi tertanggu dan aku banyak ketinggalan pelajaran karena aku harus dirawat di rumah sakit. Sampai saat ini pihak RS belum mendapat donor darah yang cukup untukku sehingga mereka belum dapat melakukan operasi.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Dokter Lee yang menangani penyakitku.
“Apa menurut Dokter aku akan bilang aku baik-baik saja? itu mustahil kan? Aku seperti hari-hari kemarin, menahan sakit dan ketakutan menghadapi kematian!”
“Ada berita buruk yang harus kuberitahukan. Semakin lama tumor itu akan membesar dan merusak jaringan di kepalamu. Bila tumor itu telah menyerang sistem syaraf inti maka perlahan-lahan kau akan lumpuh sampai akhirnya …” dia tidak melanjutkan kata-katanya.
“Sampai akhirnya aku akan mati, iya ‘kan? Dokter, aku akan sangat berterima kasih atas informasinya, tapi aku lebih berharap kau tidak memberitahukan aku mengenai hal itu. Aku takut …, dan aku minta tolong, jangan beritahukan ini pada Ayah maupun orang-orang terdekatku.” Dokter Lee menyanggupi permintaanku untuk tidak menyampaikan hal ini pada ayah maupun yang lain. Sesaat setelah Dokter Lee keluar dari ruang inapku, In Gook tiba-tiba datang. Dia tersenyum melihatku, meski aku tahu dia sedikit memaksakan.
“Kau menguping ya …?” tanyaku,
“Menguping apa?”
“Ya sudah kalau tidak mau mengaku. Tapi … jangan beri tahu ayah ya?” bujukku, dia tertunduk sejenak.
“Aku sudah mengunjungi Palang Merah Seoul namun mereka belum menemukan golongan darahmu. Di Busan juga tidak ada, aku menelpon ke Jeju, Gwang Ju, Namwon, dan Jeong Ju namun mereka bilang belum menemukan darah AB Rh .”
“Sepertinya kau sangat berusaha keras. Sudahlah, kau tak perlu repot seperti itu, aku juga sudah tidak memperdulikan hal itu.”
“Kau memang tidak peduli, tapi aku, ayahmu, dan orang-orang yang menyayangimu peduli akan hal itu. Kami tidak akan menyerah, kami akan berusaha maka kamu harus berjuang dan jangan putus asa.” In Gook memberi semangat padaku. Dia terus mendukung dan mendorongku untuk optimis. Terkadang aku mulai sangsi bahwa dia hanya mempermainkan aku, namun aku tak boleh begitu saja luluh di hadapannya. Bisa saja dia hanya bersandiwara.
Beberapa hari kemudian aku mulai sekolah lagi, meski ayah melarang karena aku harus beristirahat namun aku tak mau menghabiskan sisa umurku tanpa harus berbuat apa-apa di rumah. Sekolah, teman-teman, guru, dan semuanya akan menjadi kenanganku kelak di akhirat. Aku pasri dengan bangga akan menceritakan tentang ayah, tetangga, teman-teman, dan In Gook pada teman-teman baruku di akhirat nanti.
Suatu malam yang telah larut, aku duduk di tepi pantai. Mataku sulit terpejam maka aku meninggalkan rumah dan berjalan-jalan di pantai. Aku sangat terkejut saat In Gook tiba-tiba datang dengan mengendarai mobilnya.
“Apa kau tidak bisa tidur juga?” tanyanya
“Kau juga sama?” tanyaku ulang,
“Wah … ternyata angin menyampaikan pesanku untukmu. Aku berbisik pada angin agar menyuruhmu menunggu di tepi pantai, ternyata kau benar-benar datang!” dia duduk di sampingku. Tubuhnya dingin, pasti lama terkena angin malam. Apa dia mengamatiku semalaman ini?
“Aku tak ingin menghabiskan sisa waktuku hanya dengan tidur, toh … tak lama lagi aku juga akan tidur panjang ‘kan?!”
“Itu tidak akan terjadi karena aku akan menjadi pangeran yang gagah berani yang akan membangunkanmu dari tidur panjangmu kelak, seperti dalam dongeng Sleefing Beauty,”
“Yang benar itu Sleeping Beauty, berapa nilai bahasa Inggrismu? pasti buruk sekali!”
“He … he …, sesekali keliru tidak apa-apa ’kan? Wajahmu pucat, tak boleh terlalu lama terkena angin malam.”
“Mau bagaiman lagi, penyakit ini bukan keinginanku.”
“Suatu saat nanti aku pasti akan menjadi dokter untuk menyembuhkan penyakit laknat itu agar tak ada lagi pasangan yang menderita seperti kita.”
“Kau inign menjadi dokter? Ayolah … kau bercanda ‘kan? dengan nilai jeblok seperti itu kau mau jadi dokter? Kau pasti akan mencemarkan nama baik kedokteran Korea!”
“Hei … siapa bilang nilaiku jeblok? nilaiku hanya kurang bagus sih … tapi aku akan berusaha agar dapat menjadi dokter dan menyembuhkanmu.” Dia memang orang yang gengsinya tinggi. Semakin lama aku semakin tertarik padanya, untung ada dia yang terus menemaniku.

Sepulang sekolah esoknya, aku begitu terkejut saat melihat ibunya In Gook mengunjungi rumahku, dia berbicara dengan ayah.
“Aku hanya ingin putrimu menjauhi anakku. Setiap malam In Gook kurang tidur, aku tak tahu entah apa yang dia kerjakan sampai pagi. Ini akan membantu putrimu untuk menjauhi anakku.” dia menyodorkan sekotak uang. Kudengar sedang sakit, pakailah uang ini untuk mengobatinya.” ucap ibunya In Gook.
“Tapi …” ayahku mencoba untuk menolak,
“Apa uangnya masih kurang? bilang saja berapa yang kau perlukan!”
“Tapi …”
“Bukankah putrimu mendekati anakku karena menginginkan uang ‘kan,  jadi apa lagi? kalian orang miskin hanya dapat mengandalkan cara seperti ini untuk memeras orang sekelas kami. Kini aku memberikan apa yang kalian inginkan!”
“Nyonya …!” ayahku membentaknya. Aku yang mendengarnya dari balik pintu tak dapat lagi menahan diri,
“Kalau anda menginginkan agar aku menjauhi putra anda, ada baiknya bila anda sendiri yang melarangnya untuk menemuiku. Meski kami orang miskin tapi kami tidak membutuhkan belas kasihan dari orang seperti anda.” ucapku pada wanita dingin itu.
“Bukankah kau badut yang diundang In Gook di saat pesta ulang thaunnya? Hu … licu sekali, apa yang dipikirkan anak bodoh itu, kenapa dia bisa jatuh hati pada gadis seperti kamu.”
“Nyonya, sebelum aku menghusir anda dengan kasar, aku mempersilahkan anda untuk pergi dari rumah saya!”
“Jongsuk …” ayah mencoba menenangkan aku.
“Kalian orang yang tidak tahu diri, kalian orang miskin tapi sombong. Kalian menolak pemberianku padahal kalian juga butuh ‘kan?”
“Lebih baik aku mati daripada harus memakai uang anda untuk berobat!” ucapku. Aku lalu menarik nyonya itu pergi, aku benar-benar terhina. Meski aku miskin, aku tak terima bila ada orang yang melukai harga diriku. Setelah dia pergi, aku lalu mengambil foto ibuku dan membantingnya ke lantai,
“Semua gara-gara kau, kenapa kau tak menggugurkan aku saja saat aku masih dalam kandunganmu, daripada aku harus menderita begini!” teriakku.
“Jong Suk, apa yang kau lakukan?” tegur ayah,
“Gara-gara perbuatannya, Tuhan menghukumku dengan mengirimkan aku penyakit mematikan seperti ini. Semua salahnya …!” ayah mencoba menghentikan aku yang mencabuti foto wanita itu satu persatu dari dinding.
“Darahku langka gara-gara dia. Seandainya dia tidak selingkuh, maka darah kita tidak akan berbeda Yah. Aku akan balas dendam, aku akan buat perhitungan dengannya di neraka.” Aku sangat marah, kurasakan darahku mendidih sampai kepalaku terasa sakit.
“Jong Suk, kau mimisan lagi Nak!, jangan banyak bergerak!” ayah memohon padaku.
“Ayah … setelah aku pergi nanti, ayah tak boleh lemaah seperti tadi. Jangan biarkan orang kaya seperti mereka menginjak-injak harga diri ayah. Ayah harus bertahan …” tiba-tiba penglihatanku menjadi gelap dan akhirnya tak sadarkan diri.
Ayah dengan sabar menunggu aku di sampingku saat aku pingsan. Dia bahkan ketiduran karena udara dingin yang menyengat yang telah memasuki musim gugur. Aku membaringkannya di dekatku dan menyelimutinya agar dia merasa hangat. Aku sudah tak dapat memejamkan mata, kulirik jam yang sudah menunjukkan jam sati pagi. Aku memutuskan ke tepi pantai untuk menenangkan perasaanku. Setelah beberapa lama aku terhanyut oleh keindahan bintang di langit dan deburan ombak, tiba-tiba aku melihat In Gook datang. Begitu dia keluar dari mobil dia langsung memelukku.
“Aku baru saja dari Busan, di sana aku mendapatkan darah AB Rh-, kau bisa dioperasi sekarang. Kau bisa sembuh!.” dia memelukku sambil gemetaran karena terlalu bahagia.
“Benarkah …?” tanyaku lemah,
“Iya, kau akan sembuh dan kita tak akan terpisah.”
“Berhentilah membantuku!” ucapku, dia terkejut dan segera melepas pelukannya.
“Apa …?” tanyanya
“Beberapa mala mini kau tidak tidur karena berkeliling kota untuk mencari donor ‘kan? Aku tak mau kau mengorbankan waktu istirahatmu untuk karena aku. Lebih baik kau melakukan hal yang bermanfaat.”
“Kau bicara apa? aku tulus membantumu …”
“In Gook, terima kasih karena selama ini kau sudah begitu baik. Tapi aku juga kasihan pada ayahk, aku tak mau dia terus-terusan dihina.” lirihku.
“Apa maksudmu, aku tidak mengerti?”
“Tadi siang ibumu datang dengan sekotak uang, dia meminta kepada ayah agar aku tidak mengganggumu. Kami dihina, kami dikatai orang miskin yang memerasmu dengan caa mengiba padamu. Ayahku hanya diam tak tahu harus bilang apa, meski hatinya sangat sakit karena putrinya dihina.”
“Ibuku mendatangi kalian?” tanyanya tidak percaya,
“Pulanglah, ini sudah terlalu malam bagi anak sekolah sepertimu untuk keluyuran.” Aku lalu kembali ke rumah dan beristirahat di samping ayah yang tertidur pulas.    
Beberapa hari ini aku tidak melihat In Gook di sekolah, apa dia sedang sakit? Tidak ada mobilnya di parkiran, tapi kenapa dia tidak menyampaikan pesan padaku kalau dia sakit. Saat pulang sekolah aku sangat terkejut, aku melihat In Gook mengayuh sebuah sepeda dan mengantarkan beberapa barang. Keesokan harinyaa, di waktu yang berbeda dari yang kemari, aku melihatnya di tempat konstruksi bangunan. Apa dia bolos untuk kerja? tapi kenapa? Bukankah orang tuanya kaya dan masih sangat mapan untuk membiayainya.
Karena penasaran, aku mengutitnya seharian ini. Sampai malam tiba, aku memergokinya sedang menaaduk semen untuk bahan bangunan,
“In Gook …?” tegurku. Dia begitu terperanjat. Seketika dia membuang skop yang dipegangnya.” Beberapa hari ini kau tidak masuk sekola, aku membuntutimu seharian ini, kenapa kau bekerja?” tanyaku, dia hanya diam.
“Aku ingin mengumpulkan uang untuk biaya operasimu!”
“Apa …?”
“Aku bertengkar dengan ibu karena masalah yang kau ceritakan kemarin. Ibu tak mau aku menghabiskan uang untuk membantumu makanya aku memutuskan untuk bekerja agar dapat membiayai operasimu.” ceritanya saat kami duduk di sebuah bangku kecil di bawah pohon.
“Ibumu tahu kau bekerja seperti ini?”
“Aku tidak tahu, sudah beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah .”
“Kenapa?”
“Aku pergi dari rumah, aku kabur!. Orang tuaku tidak setuju aku bersamamu.”
“Kenapa kau nekat begini? kehidupan tanpa bantuan orang tua sama saja hidup dalam neraka, apalagi kau yang terbiasa hidup mewah pasti sangat menderita, pulanglah …!”
“Lalu kau pikir kehidupanku tanpamu kelak tidak akan seperti hidup dalam neraka? Aku mohon dukunglah aku, aku sudah mengambil keputusan terbesar dalam hidupku, aku butuh dukungan untuk bertahan. Aku akan buktikan kepada kedua orang tuaku kalau aku juga bisa berjauang.” dia memohon padaku. baru kali ini aku melihatnya seteguh itu. Saat pertama kali mengenalnya di sekolah, aku berpikir anak manja seperti dia tidak akan pernah dewasa. Kini … di depan mataku sendiri, aku melihatnya sebagai seorang pria yang benar-benar gentleman .
“Lalu kau tidur di mana?” tanyaku
“Aku membuat tempat tidur dari kardus-kardus bekas di belakang bangunan yang belum jadi ini.”
“Apa …?” pekikku.
Akhirnya aku membawa In Gook ke rumahku. Aku meminta izin kepada ayah untuk meminjamkan gudang tua di belakang rumah untuk kamar In Gook sementara. Awalnya ayah sangat marah saat mengetaui bahwa In Gook lari dari rumah apalagi gara-gara membelaku, namun aku mencoba memberikan pengertian pada ayah. In Gook telah mengambil langkah besar dalam hidupnya sehingga kita perlu mendukungnya agar dia tetap bertahan.
Aku mengosongkan gudang itu, memasukkan kasur dan selimut, membersihkan jendelanya yang berdebu, dan memasukkan penerangan di dalamnya.
“Nah … setidaknya tempat ini masih lebih baik daripada kau tidur di emperan gedung dan kedinginan,” ucapku. Akhirnya aku bisa tinggal dekat dengannya, apalagi kami bisa ke sekolah bareng. Teman-teman sekolah kaget melihat In Gook tampil dengan dandanan yang sederhana tanpa mobil, mereka berbisik dan aku yakin mereka pasti bertanya “mengapa In Gook sangat berubah” 

to be continued … 


No comments:

Post a Comment