Sebelumnya di When We'll be Together (Part 3)
“Dulu ayah sering bertanya kapan Jongsuk akan membawa teman prianya dan
memperkenalkannya pada ayah sebagai pacar, tapi jangankan pacar, teman biasa
pun tak ada yang mau datang ke rumah karena ayah hanya seorang nelayan,” ayah menangis di pundakku,” Tapi syukurlah
sekarang, aku tidak perlu merasa bersalah lagi karena putriku sudah punya
pacar, hiks…” semua orang tertawa melihat ayahku. Mereka dan aku tak menyangka ayah
akan berlebuhan seperti ini. In Gook lalu menghampiri kami, ayah berdiri dan
memeluknya.
“Anak muda, jaga
putriku baik-baik!” serunya
Kami akhirnya memulai
pesta yang sempat tertunda karena tangisan ayah. Aku benar-benar menikmati
kebersamaan ini yang sebentar lagi aku tinggalkan, kami berpesta sampai
menjelang pagi. Saat asyik bercanda bersama In Gook, tiba-tiba penglihatanku
menjadi kabur, tubuhku tiba-tiba lemas dan aku mimisan lagi.
“Jongsuk… kau kenapa?” In Gook lalu memelukku saat aku mulai tak
sanggup berdiri, tetanggaku jadi panik.
“In Gook… cepat bawa Jongsuk ke rumah sakit!” perintah mereka,
“Kyu Sik… anakmu sakit
lagi!” mereka berteriak memanggil ayahku yang masuk ke gudang mengambil
minuman. In Gook berlari menggendongku dam memasukkan aku ke dalam mobilnya.
Aku mulai tak sadarkan diri karena kepalaku terlalu sakit. Saat aku membuka mata, aku melihat ayah duduk dengan
setia di sampingku.
“Jongsuk… bagaimana
perasaanmu nak?” tanya ayah, aku mengangguk menandakan aku merasa baikan.
“In Gook sudah pulang?” tanyaku lemah,
“Aku di sini!” dia
tiba-tiba muncul dari balik tirai. Matanya merah, aku tak tahu apakah matanya
merah karena menangis atau karena menahan kantuknya. Dia mendekat ke arahku,
ayah lalu menjauh meninggalkan kami. Dia menggenggam tanganku, tanganya dingin
sekali, mungkin kerena terlalu lama berada di luar
“Ayahmu sudah cerita,
aku tak menyangka kau benar-benar sakit. Kupikir kau mengatakan hal itu karena
ingin aku menjauhimu,” matanya berkaca-kaca di hadapanku.
“Makanya, sebelum
terlalu jauh kau harus meninggalkan aku. Kau bisa mencari gadis yang lebih baik
yang dapat membuatmu bahagia selamanya karena aku tidak bisa menemanimu bila
waktuku telah tiba,” dia memelukku sambil terisak,
“Kali ini Tuhan telah
menghukumku, selama ini aku selalu mempermainkan gadis-gadis yang tulus
mencintaiku. Kini setelah aku mendapatkan gadis yang benar-benar aku sayangi,
Tuhan malah ingin merebutnya dariku. Kau terlalu berharga sampai Tuhan pun tak
rela melepasmu untukku.”
“Sebelum menderita,
pergilah dariku!”
“Tidak. Aku akan tetap
berada di sisimu.” tegasnya.
Tumor otak menggerogoti
kesehatanku sejak beberapa tahun yang lalu. Dokter memprediksikan umurku tidak
akan lama lagi. tumor otal yang menyerang jaringan otak kecilku akan menyebar
ke jaringan lain bila tidak segera diangkat namun kami terbentur masalah biaya.
Tidak hanya itu, golongan darahku sangat langka sehingga dokter tak dapat
melakukan operasi bila tidak ada bantuan darah. Kini aku hanya tinggal
menghitung waktu dengan bantuan obat yang hanya dapat mengurangi rasa sakitku.
Beberapa hari setelah
aku dirawat di RS, aku mulai kembali ke sekolah. In Gook mengajakku ngobrol di
taman belakang sekolah saat istirahat siang.
“Wah… mawar-mawar ini
sudah mekar kembali. Aku masih ingat saat Pak Kepala sekolah menghukumku karena
mengira aku yang merusak mawar-mawarnya. Wajahnya sangat menakutkan bahkan
matanya sampai memerah.” Ucapku
“Ini untukmu!” ucap In
Gook menyodorkan sekeranjang buah, “Dimakan semua ya!” lanjutnya
“Banyak sekali!” bantahku
“Kau butuh makanan
bergizi untuk memulihkan kondisimu. Jadi … kau harus makan semuanya!.” aku
mengambil sebuah pir segar dan memakannya.” Sejak kapan kau menderita penyakit
itu?” tanya In Gook tiba-tiba
“Waktu aku kelas tiga
SMP!”
“Jadi sejak saat itu
kau kesakitan seperti itu bila sakitnya kambuh?” “Aku akan membiayai operasimu!”
sambungnya.
“Apa? kau serius?” tanyaku
kaget
“Kau pikir aku bercanda?”
“Dapat uang dari mana?”
tanyaku tertawa
“Ya… ayahku,” balasnya.
“In Gook… biaya
operasiku sangat mahal, keterlaluan sekali bila orang tuamu yang harus
membiayainya padahal kita tidak punya hubungan apa-apa!”
“Siapa bilang…? kau ini
pacarku!”
“Sudahlah… kalaupun aku
mendapatkan biaya, aku masih butuh darah AB Rh -, kau tahu ‘kan darah itu
sangat langka. Dari satu juta penduduk Korea, kemungkinan yang bergolongan
darah itu hanya lima orang.”
“Lalu, bagaimana dengan
ayahmu, bagaimana dengan golongan darahnya?” tanyanya.
“Seandainya darah kami
sama, ayah pasti akan rela menghabiskan darahnya untukku. Tapi sayang …” kata-kataku terhenti saat bel istirahat
siang berbunyi.
Ayah terlihat sangat
lelah usai bekerja. Setelah memasukkan uang hasil penjualannya ke sebuah
celengan - yang katanya untuk biaya operasiku – ayah bergabung denganku di meja
makan. Saat makan dia tersenyum pada foto Ibuku.
“Wah … buahnya banyak
sekali!” tegur ayah
“Itu dari In Gook,
untuk memulihkan kondisiku, katanya aku harus banyak makan buah yang
bervitamin.”
“Anak itu memang baik,
tapi … kau tidak boleh berharap terlalu banyak padanya. Dia anak orang kaya,
suatu saat dia bisa saja pergi darimu. Meski cintanya tulus, bukan berarti orang
tuanya juga tulus menerimamu!.”
“Aku mengerti, aku juga
tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku hanya tidak ingin ditindas lagi di
sekolah jadi aku menerimanya.”
“Jongsuk … kenapa kau sejahat itu?”
“Meski alasan
sebenarnya adalah … aku tak mau menyayanginya sehingga nanti sulit
meninggalkannya.” ucapku lemah. Sejenak kami terdiam dan kemudian melanjutkan
makan. Usai makan malam, aku membantu ayah menjahitkan pakaiannya yang sibek
karena matanya sudah tidak dapat melihat lubang jarum lagi.
“Ayah … aku ingin
bertanya sesuatu yang sudah lama aku ingin tanyakan.” kataku pelan.
“Apa?” tanya ayah yang
sedang memperbaiki mata pancingnya.
“Kenapa ayah tidak
sekalian membunuhku saat aku baru lahir?” ayah secepatnya menghentikan
pekerjaannya dan menatapku.
“Eh … aku cuma
penasaran saja, padahal ayah sendiri sudah tahu kalau aku bukan anak ayah. Aku
adalah anak hasil perselingkuhan istri ayah dengan mantan pacarnya. Apa ayah
tidak sakit hati dikhianati oleh wanita itu?” ayah tersenyum
“Sebenarnya ayah juga
ingin membunuhmu saat itu. Ayah begitu terpukul saat mendengar pengakuan ibumu
bahwa kau bukan putriku sesaat setelah kelahiranmu. Namun … kau begitu lucu dan
polos, tertidur dalam dekapanku, bagaimana mungkin aku bisa membunuhmu!”
“Setelah itu ibuku
meninggal karena pendarahan?” tanyaku.
“Iya, dan sebelum ibumu
pergi, dia berpesan padaku untuk merawatmu. Meski kau bukan anakku namun kau
anak dari wanita yang sangat aku cinta. Kau dan ibumu adalah sumber
kehidupanku, jadi aku tidak mungkin membunuhmu. Kalaupun saat itu aku kalap dan
membunuhmu, pasti setelahnya aku juga akan menyusul kalian.”
“Lalu yang memberikan
aku nama Jongsuk apa Ayah juga?”
“Iya …” jawab ayah,
“Kenapa ayah tidak
menikah lagi?”
“Ayah terlalu
menyayangi ibumu, dan tak ada wanita yang dapat menggantikan pososinya di hati
ayah!”
“Ayah memang bodoh!,
wanita seperti itu tidak pantas mendapatkan kesetiaan ayah. Tapi sudahlah … itu
semua keputusan ayah, aku tidak bisa
ikut campur. Aku mau tidur!.” setelah menyerahkan baju yang sudah kujahit, aku
segera membereskan peralatan jahitku. Aku tiba-tiba memeluk ayah yang masih
mengerjakan mata pancingnya, aku memluknya erat sekali.
“Ayah, terima kasih
telah memberiku kesempatan untuk hidup. Ayah sudah membantuku merasakan kasih
sayang seorang ayah, para tetangga, dan ayah juga membantuku bertemu dengan In
Gook. Seandainya ayah membunuhku saat aku bayi, mana mungkin aku akan mengenal
kalian semua. Ibu sangat beruntung mendapatkan suami seperti ayah. aku juga
sangat beruntung dapat menjadi sumber kehidupanmu.” Aku terisak di punggung
ayahku, aku … sungguh menyayanginya.” Aku juga berterima kasih, ayah telah
memberikan nama yang sangat indah untukku!.”
Terima kasih … aku
benar-benar berterima kasih Ayah! kau memberiku kesempatan merasakan hangatnya
cinta dan kasih sayangmu. Akhir-akhir ini kondisiku semakin memburuk. Kata
dokter tumaor itu perlahan-lahan menrusak koordinasi otak kecilku sehingga aku
kembali mimisan lagi. sekolahku menjadi tertanggu dan aku banyak ketinggalan
pelajaran karena aku harus dirawat di rumah sakit. Sampai saat ini pihak RS
belum mendapat donor darah yang cukup untukku sehingga mereka belum dapat
melakukan operasi.
“Bagaimana perasaanmu?”
tanya Dokter Lee yang menangani penyakitku.
“Apa menurut Dokter aku
akan bilang aku baik-baik saja? itu mustahil kan? Aku seperti hari-hari
kemarin, menahan sakit dan ketakutan menghadapi kematian!”
“Ada berita buruk yang
harus kuberitahukan. Semakin lama tumor itu akan membesar dan merusak jaringan
di kepalamu. Bila tumor itu telah menyerang sistem syaraf inti maka
perlahan-lahan kau akan lumpuh sampai akhirnya …” dia tidak melanjutkan
kata-katanya.
“Sampai akhirnya aku
akan mati, iya ‘kan? Dokter, aku akan sangat berterima kasih atas
informasinya, tapi aku lebih berharap kau tidak memberitahukan aku mengenai hal
itu. Aku takut …, dan aku minta tolong, jangan beritahukan ini pada Ayah maupun
orang-orang terdekatku.” Dokter Lee menyanggupi permintaanku untuk tidak
menyampaikan hal ini pada ayah maupun yang lain. Sesaat setelah Dokter Lee
keluar dari ruang inapku, In Gook tiba-tiba datang. Dia tersenyum melihatku,
meski aku tahu dia sedikit memaksakan.
“Kau menguping ya …?” tanyaku,
“Menguping apa?”
“Ya sudah kalau tidak
mau mengaku. Tapi … jangan beri tahu ayah ya?” bujukku, dia tertunduk sejenak.
“Aku sudah mengunjungi
Palang Merah Seoul namun mereka belum menemukan golongan darahmu. Di Busan juga
tidak ada, aku menelpon ke Jeju, Gwang Ju, Namwon, dan Jeong Ju namun mereka
bilang belum menemukan darah AB Rh– .”
“Sepertinya kau sangat
berusaha keras. Sudahlah, kau tak perlu repot seperti itu, aku juga sudah tidak
memperdulikan hal itu.”
“Kau memang tidak
peduli, tapi aku, ayahmu, dan orang-orang yang menyayangimu peduli akan hal
itu. Kami tidak akan menyerah, kami akan berusaha maka kamu harus berjuang dan
jangan putus asa.” In Gook memberi semangat padaku. Dia terus mendukung dan
mendorongku untuk optimis. Terkadang aku mulai sangsi bahwa dia hanya
mempermainkan aku, namun aku tak boleh begitu saja luluh di hadapannya. Bisa
saja dia hanya bersandiwara.
Beberapa hari kemudian
aku mulai sekolah lagi, meski ayah melarang karena aku harus beristirahat namun
aku tak mau menghabiskan sisa umurku tanpa harus berbuat apa-apa di rumah.
Sekolah, teman-teman, guru, dan semuanya akan menjadi kenanganku kelak di
akhirat. Aku pasri dengan bangga akan menceritakan tentang ayah, tetangga,
teman-teman, dan In Gook pada teman-teman baruku di akhirat nanti.
Suatu malam yang telah
larut, aku duduk di tepi pantai. Mataku sulit terpejam maka aku meninggalkan
rumah dan berjalan-jalan di pantai. Aku sangat terkejut saat In Gook tiba-tiba
datang dengan mengendarai mobilnya.
“Apa kau tidak bisa
tidur juga?” tanyanya
“Kau juga sama?” tanyaku
ulang,
“Wah … ternyata angin
menyampaikan pesanku untukmu. Aku berbisik pada angin agar menyuruhmu menunggu
di tepi pantai, ternyata kau benar-benar datang!” dia duduk di sampingku.
Tubuhnya dingin, pasti lama terkena angin malam. Apa dia mengamatiku semalaman
ini?
“Aku tak ingin
menghabiskan sisa waktuku hanya dengan tidur, toh … tak lama lagi aku juga akan
tidur panjang ‘kan?!”
“Itu tidak akan terjadi
karena aku akan menjadi pangeran yang gagah berani yang akan membangunkanmu
dari tidur panjangmu kelak, seperti dalam dongeng Sleefing Beauty,”
“Yang benar itu
Sleeping Beauty, berapa nilai bahasa Inggrismu? pasti buruk sekali!”
“He … he …, sesekali
keliru tidak apa-apa ’kan? Wajahmu pucat, tak boleh terlalu lama terkena angin
malam.”
“Mau bagaiman lagi,
penyakit ini bukan keinginanku.”
“Suatu saat nanti aku
pasti akan menjadi dokter untuk menyembuhkan penyakit laknat itu agar tak ada
lagi pasangan yang menderita seperti kita.”
“Kau inign menjadi
dokter? Ayolah … kau bercanda ‘kan? dengan nilai jeblok seperti itu kau mau
jadi dokter? Kau pasti akan mencemarkan nama baik kedokteran Korea!”
“Hei … siapa bilang
nilaiku jeblok? nilaiku hanya kurang bagus sih … tapi aku akan berusaha agar
dapat menjadi dokter dan menyembuhkanmu.” Dia memang orang yang gengsinya
tinggi. Semakin lama aku semakin tertarik padanya, untung ada dia yang terus
menemaniku.
Sepulang sekolah
esoknya, aku begitu terkejut saat melihat ibunya In Gook mengunjungi rumahku,
dia berbicara dengan ayah.
“Aku hanya ingin
putrimu menjauhi anakku. Setiap malam In Gook kurang tidur, aku tak tahu entah
apa yang dia kerjakan sampai pagi. Ini akan membantu putrimu untuk menjauhi
anakku.” dia menyodorkan sekotak uang. “Kudengar sedang sakit, pakailah uang
ini untuk mengobatinya.” ucap ibunya In Gook.
“Tapi …” ayahku mencoba
untuk menolak,
“Apa uangnya masih
kurang? bilang saja berapa yang kau perlukan!”
“Tapi …”
“Bukankah putrimu
mendekati anakku karena menginginkan uang ‘kan,
jadi apa lagi? kalian orang miskin hanya dapat mengandalkan cara
seperti ini untuk memeras orang sekelas kami. Kini aku memberikan apa yang
kalian inginkan!”
“Nyonya …!” ayahku
membentaknya. Aku yang mendengarnya dari balik pintu tak dapat lagi menahan
diri,
“Kalau anda
menginginkan agar aku menjauhi putra anda, ada baiknya bila anda sendiri yang
melarangnya untuk menemuiku. Meski kami orang miskin tapi kami tidak
membutuhkan belas kasihan dari orang seperti anda.” ucapku pada wanita dingin
itu.
“Bukankah kau badut
yang diundang In Gook di saat pesta ulang thaunnya? Hu … licu sekali, apa yang
dipikirkan anak bodoh itu, kenapa dia bisa jatuh hati pada gadis seperti kamu.”
“Nyonya, sebelum aku
menghusir anda dengan kasar, aku mempersilahkan anda untuk pergi dari rumah
saya!”
“Jongsuk …” ayah mencoba menenangkan aku.
“Kalian orang yang
tidak tahu diri, kalian orang miskin tapi sombong. Kalian menolak pemberianku padahal
kalian juga butuh ‘kan?”
“Lebih baik aku mati
daripada harus memakai uang anda untuk berobat!” ucapku. Aku lalu menarik
nyonya itu pergi, aku benar-benar terhina. Meski aku miskin, aku tak terima
bila ada orang yang melukai harga diriku. Setelah dia pergi, aku lalu mengambil
foto ibuku dan membantingnya ke lantai,
“Semua gara-gara kau,
kenapa kau tak menggugurkan aku saja saat aku masih dalam kandunganmu, daripada
aku harus menderita begini!” teriakku.
“Jong Suk, apa yang kau
lakukan?” tegur ayah,
“Gara-gara
perbuatannya, Tuhan menghukumku dengan mengirimkan aku penyakit mematikan
seperti ini. Semua salahnya …!” ayah mencoba menghentikan aku yang mencabuti
foto wanita itu satu persatu dari dinding.
“Darahku langka
gara-gara dia. Seandainya dia tidak selingkuh, maka darah kita tidak akan
berbeda Yah. Aku akan balas dendam, aku akan buat perhitungan dengannya di
neraka.” Aku sangat marah, kurasakan darahku mendidih sampai kepalaku terasa
sakit.
“Jong Suk, kau mimisan
lagi Nak!, jangan banyak bergerak!” ayah memohon padaku.
“Ayah … setelah aku
pergi nanti, ayah tak boleh lemaah seperti tadi. Jangan biarkan orang kaya
seperti mereka menginjak-injak harga diri ayah. Ayah harus bertahan …” tiba-tiba
penglihatanku menjadi gelap dan akhirnya tak sadarkan diri.
Ayah dengan sabar
menunggu aku di sampingku saat aku pingsan. Dia bahkan ketiduran karena udara
dingin yang menyengat yang telah memasuki musim gugur. Aku membaringkannya di
dekatku dan menyelimutinya agar dia merasa hangat. Aku sudah tak dapat
memejamkan mata, kulirik jam yang sudah menunjukkan jam sati pagi. Aku
memutuskan ke tepi pantai untuk menenangkan perasaanku. Setelah beberapa lama
aku terhanyut oleh keindahan bintang di langit dan deburan ombak, tiba-tiba aku
melihat In Gook datang. Begitu dia keluar dari mobil dia langsung memelukku.
“Aku baru saja dari
Busan, di sana aku mendapatkan darah AB Rh-, kau bisa dioperasi sekarang. Kau
bisa sembuh!.” dia memelukku sambil gemetaran karena terlalu bahagia.
“Benarkah …?” tanyaku
lemah,
“Iya, kau akan sembuh
dan kita tak akan terpisah.”
“Berhentilah membantuku!”
ucapku, dia terkejut dan segera melepas pelukannya.
“Apa …?” tanyanya
“Beberapa mala mini kau
tidak tidur karena berkeliling kota untuk mencari donor ‘kan? Aku tak mau kau
mengorbankan waktu istirahatmu untuk karena aku. Lebih baik kau melakukan hal
yang bermanfaat.”
“Kau bicara apa? aku
tulus membantumu …”
“In Gook, terima kasih
karena selama ini kau sudah begitu baik. Tapi aku juga kasihan pada ayahk, aku
tak mau dia terus-terusan dihina.” lirihku.
“Apa maksudmu, aku
tidak mengerti?”
“Tadi siang ibumu
datang dengan sekotak uang, dia meminta kepada ayah agar aku tidak
mengganggumu. Kami dihina, kami dikatai orang miskin yang memerasmu dengan caa
mengiba padamu. Ayahku hanya diam tak tahu harus bilang apa, meski hatinya
sangat sakit karena putrinya dihina.”
“Ibuku mendatangi
kalian?” tanyanya tidak percaya,
“Pulanglah, ini sudah
terlalu malam bagi anak sekolah sepertimu untuk keluyuran.” Aku lalu kembali ke
rumah dan beristirahat di samping ayah yang tertidur pulas.
Beberapa hari ini aku
tidak melihat In Gook di sekolah, apa dia sedang sakit? Tidak ada mobilnya di
parkiran, tapi kenapa dia tidak menyampaikan pesan padaku kalau dia sakit. Saat
pulang sekolah aku sangat terkejut, aku melihat In Gook mengayuh sebuah sepeda
dan mengantarkan beberapa barang. Keesokan harinyaa, di waktu yang berbeda dari
yang kemari, aku melihatnya di tempat konstruksi bangunan. Apa dia bolos untuk
kerja? tapi kenapa? Bukankah orang tuanya kaya dan masih sangat mapan untuk
membiayainya.
Karena penasaran, aku
mengutitnya seharian ini. Sampai malam tiba, aku memergokinya sedang menaaduk
semen untuk bahan bangunan,
“In Gook …?” tegurku.
Dia begitu terperanjat. Seketika dia membuang skop yang dipegangnya.” Beberapa
hari ini kau tidak masuk sekola, aku membuntutimu seharian ini, kenapa kau
bekerja?” tanyaku, dia hanya diam.
“Aku ingin
mengumpulkan uang untuk biaya operasimu!”
“Apa …?”
“Aku bertengkar dengan
ibu karena masalah yang kau ceritakan kemarin. Ibu tak mau aku menghabiskan
uang untuk membantumu makanya aku memutuskan untuk bekerja agar dapat membiayai
operasimu.” ceritanya saat kami duduk di sebuah bangku kecil di bawah pohon.
“Ibumu tahu kau bekerja
seperti ini?”
“Aku tidak tahu, sudah
beberapa hari ini aku tidak pulang ke rumah .”
“Kenapa?”
“Aku pergi dari rumah,
aku kabur!. Orang tuaku tidak setuju aku bersamamu.”
“Kenapa kau nekat
begini? kehidupan tanpa bantuan orang tua sama saja hidup dalam neraka,
apalagi kau yang terbiasa hidup mewah pasti sangat menderita, pulanglah …!”
“Lalu kau pikir
kehidupanku tanpamu kelak tidak akan seperti hidup dalam neraka? Aku mohon
dukunglah aku, aku sudah mengambil keputusan terbesar dalam hidupku, aku butuh
dukungan untuk bertahan. Aku akan buktikan kepada kedua orang tuaku kalau aku
juga bisa berjauang.” dia memohon padaku. baru kali ini aku melihatnya seteguh
itu. Saat pertama kali mengenalnya di sekolah, aku berpikir anak manja seperti
dia tidak akan pernah dewasa. Kini … di depan mataku sendiri, aku melihatnya sebagai
seorang pria yang benar-benar gentleman .
“Lalu kau tidur di mana?”
tanyaku
“Aku membuat tempat
tidur dari kardus-kardus bekas di belakang bangunan yang belum jadi ini.”
“Apa …?” pekikku.
Akhirnya aku membawa In
Gook ke rumahku. Aku meminta izin kepada ayah untuk meminjamkan gudang tua di
belakang rumah untuk kamar In Gook sementara. Awalnya ayah sangat marah saat
mengetaui bahwa In Gook lari dari rumah apalagi gara-gara membelaku, namun aku
mencoba memberikan pengertian pada ayah. In Gook telah mengambil langkah besar
dalam hidupnya sehingga kita perlu mendukungnya agar dia tetap bertahan.
Aku mengosongkan gudang
itu, memasukkan kasur dan selimut, membersihkan jendelanya yang berdebu, dan
memasukkan penerangan di dalamnya.
“Nah … setidaknya
tempat ini masih lebih baik daripada kau tidur di emperan gedung dan
kedinginan,” ucapku. Akhirnya aku bisa tinggal dekat dengannya, apalagi kami
bisa ke sekolah bareng. Teman-teman sekolah kaget melihat In Gook tampil dengan
dandanan yang sederhana tanpa mobil, mereka berbisik dan aku yakin mereka pasti
bertanya “mengapa In Gook sangat berubah”
to
be continued …
No comments:
Post a Comment