Wednesday 23 August 2017

FF My First Love - Part 2



@ Namwon 2006
Sore itu langit terlihat lebih gelap. Para siswa tingkat tiga masih tinggal di sekolah untuk pelajaran tambahan.
“Huh... apa malam ini akan hujan? Bagaimana kita pulangnya?” keluh Seung Yeon yang duduk di depan Ah Ra.
“Ah... aku jadi mengantuk memandang langit mendung. Tolong bangunkan aku bila Pak Guru sudah datang,” pinta Ah Ra pada Jin Hee yang duduk di sebelahnya. Jin Hee pun mengangguk mengiyakan. Ah Ra memasang headset untuk mendengarkan lagu dari ponselnya kemudian menyandarkan kepalanya di meja tulisnya dan mulai memejamkan mata.

“Ah Ra~ya...” suara itu terdengar lembut, “Ah Ra... bangun!” suara itu berulang sekali lagi dan kali ini disertai tepukan pelan di bahunya. Gadis itu bangun dan mengucek matanya, beberapa detik kemudian kesadarannya kembali dan kantuknya hilang. Dia melihat Seo Joon menatapanya. Pandangan gadis itu beralih pada keadaan di sekelilingnya yang lengang, tidak ada siapa-siapa lagi selain mereka berdua.
“Ke mana teman-temanku?” tanya gadis itu kaget.
“Mereka sudah pulang semua!”
“Apa? Lalu bagaimana dengan pelajaran tambahannya?”
“Pelajaran tambahan hari ini dibatalkan, ada berita katanya akan ada badai sehingga kita dipulangkan lebih cepat. Apa kau tidak tahu? Apa teman-temanmu tidak memberitahu?”
“Aku tertidur tadi, mungkin mereka lupa membangunkanku atau mungkin aku yang tidak mendengar karena memasang earphone, ” jawab gadis itu. “Kau sendiri kenapa masih di sekolah?”
“Aku kembali ke sekolah karena bukuku kelupaan. Aku hanya kebetulan lewat kelasmu dan melihatmu,”
“Terima kasih... andai kau tidak datang, aku tak tahu sampai jam berapa tertidur di sini,”
 “Seo Joon...” suara Ah Ra pelan terdengar seperti bisikan.
“Uhm...”
“Pasti menyenangkan punya banyak teman sepertimu!” lirihnya.
“Uhm... sangat menyenangkan. Kenapa kau bertanya begitu? Apa kau tidak punya teman?”
“ . . . .” Ah Ra membalasnya dengan senyuman sedih. Dia tidak menjawab namun tatapannya seakan berbicara bahwa sebenarnya dia kesepian.
“Ah... mengenai sapu tanganmu, setelah membersihkannya, aku akan mengembalikannya,”
“Tidak perlu, ambil saja. Aku punya banyak di rumah,” Seo Joon tahu jelas gadis itu hanya mengalihkan pembicaraan mereka, dia pun menghormati keinginan Ah Ra dengan tidak bertanya lebih lanjut.

Gadis itu melangkah pelan, Seo Joon berjalan di belakangnya. Punggung gadis itu bergetar seperti sedang menangis. Sayup-sayup Seo Joon mendengar isakan yang dengan usaha keras disembunyikan oleh Ah Ra. Seo Joon melangkah cepat hingga dapat melewatinya. Dia memegang kedua bahu gadis itu, Ah Ra menunduk menyembunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata.
“Jangan menangis... kau tidak cantik lagi saat menangis!” bujuknya.
“Aku tak tahu kenapa mereka tidak menyukaiku. Andai mereka bicara... aku akan tahu alasannya dan berusaha memperbaiki diriku, tapi nyatanya mereka diam. Lalu aku bisa tahu apa?”, “Apa kau tahu rasanya tidak punya teman? Aku... aku benar-benar kesepian, aku selalu sendiri. Mereka tersenyum di depanku namun di belakangku mereka mencibir.”, “Aku ingin berteriak di hadapan mereka, apa salahku? Katakanlah agar aku tahu dan tidak lagi mengulanginya... hiks, hiks, hiks,” Ah Ra menangis sedih, Seo Joon entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba dia memeluk gadis itu. Menepuk bahunya pelan berharap Ah Ra dapat tenang.

Mereka terjebak dalam badai. Saat malam semakin larut badai belum juga surut. Sepasang remaja itu berlindung di emperan toko. Jalan terlihat sepi mungkin karena berita akan datangnya badai sehingga warga tidak berkeliaran malam ini. Belasan menit berlalu sampai akhirnya sebuah mini bus menepi di dekat mereka.
“Pak Guru Kim...?” Seo Joon dan Ah Ra berucap bersamaan ketika kaca mobil diturunkan.
“Kenapa kalian masih berkeliaran di tengah badai? Ayo cepat naik, aku akan mengantar kalian pulang!” perintah gurunya. Mereka cukup beruntung mendapat tumpangan mengingat jalan begitu sepi dari kendaraan saat ini.
“Kenapa terlambat pulang? Bukannya kalian sudah dibubarkan dua jam yang lalu?” tanya Pak Kim, guru baru yang menjadi pujaan para siswi di sekolah. Selain masih muda dia juga memiliki wajah yang rupawan. Beberapa teman kelas Seo Joon bahkan mengatakan Pak Kim tidak cocok menjadi guru, dia lebih pantas menjadi seorang aktor.
Seo Joon menjawab sekenanya pada pertanyaan Pak Gurunya sebab Ah Ra memberikan kode untuk tidak menceritakan kejadian hari ini pada siapapun.

Ah Ra kembali ke sekolah, rasa kecewanya pada perbuatan teman-temannya kemarin telah hilang bersama dengan berlalunya badai. Gadis itu memasukkan beberapa barang di loker miliknya dan menemukan sebuah kertas memo berukuran kecil. Sepertinya kertas itu dimasukkan melalui celah pintu lokernya.
“Jangan khawatir, aku bersedia menjadi temanmu jadi kau tidak sendirian lagi!” bunyi memo itu. Senyum gadis itu mengembang, “Terima kasih Seo Joon...” bisik gadis itu dalam hati.
Ah Ra memandang ke arah lapangan, kelasnya Seo Joon saat ini berolah raga. Para siswa bermain bola dan siswinya bermain basket. Seo Joon adalah seorang atlet sepak bola remaja di Namwon. Beberapa kali dia dan timnya mengharumkan nama sekolah dengan memenangkan pertandingan bola baik tingkat daerah maupun nasional. Sehingga tidak mengherankan bila dia memiliki banyak penggemar, kebanyakan penggemarnya adalah adik kelas yang memang sengaja masuk ke Paran High School hanya karena ingin satu sekolahan dengannya.
“Semangat!!!” Ah Ra memberi support pada teman barunya itu tatkala Seo Joon memandang ke arah kelasnya.
♥♥♥
Ah Ra berjalan cepat meninggalkan kelasnya sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Sesekali dia berhenti dan memegang perutnya sambil meringis pelan. Dia hanya punya satu tujuan, kelas temannya, Seo Joon.
“Seo Joon~i” teriaknya. Sekejap seluruh pandangan murid-murid di kelas mengarah pada cucu kepala sekolah tersebut.
“Ada apa?” tanya Seo Joon yang juga kaget, mungkin lebih cocok cemas sebab wajah Ah Ra yang sedang memanggilnya tidak terlihat sehat.
“Bisakah kau ikut denganku...” pinta gadis itu merasa tidak enak sebab menjadi pusat perhatian. “Ehm.... bawa juga tasmu!” lanjut gadis itu dan buru-buru keluar. Setelah gadis itu pergi, para siswa berhambur ke arah Seo Joon dan bertanya penuh antusias.
“Kenapa dia memanggilmu?”
“Kenapa dia memintamu membawa tas?”
“Dia kelihatan tidak sehat, apa sesuatu terjadi padanya?” begitulah mereka mengeroyok Seo Joon dengan pertanyaan yang Seo joon sendiri belum tahu jawabannya.

Seo Joon terperangah melihat gadis pujaan siswa di sekolah dengan lahapnya memakan bekal miliknya. Saking cepatnya Ah Ra makan, dia sampai tersedak.
“Pelan-pelan makannya! Kau seperti sedang dikejar pencuri!” ucap Seo Joon sambil menyodorkan air minum.
“Maaf... aku benar-benar kelaparan. Tadi aku tidak sarapan dan tidak makan siang. Hampir saja aku pingsan saat sedang belajar,” jelas gadis itu yang mulutnya masih dipenuhi sosis buatan Ibunya Seo Joon.
“Apa kau sedang diet sampai tidak makan seperti itu?”
“Tidak...” gadis itu menggeleng, “Aku sedang marah! Kakek membuang anak anjing yang kupungut di jalan kemarin. Aku tidak mau sarapan dan membawa uang jajan sebagai bentuk protes. Tapi itu malah jadi boomerang buatku, kepalaku sampai pusing karena kelaparan!”
“Yaak!!!” bentak Seo Joon membuat Ah Ra kaget dan menelan bulat-bulat potongan daging yang dimakannya. “Kalau marah, bukan begitu caranya! Sama saja kau menyiksa dirimu! Arg... kupikir kau kenapa, wajahmu pucat tadi, kukira kau sakit. Kau bikin kaget saja!”
“Maaf...” lirih gadis itu, “...tapi... kau, apa kau khawatir padaku?”
“Aku ‘kan temanmu, tentu saja aku khawatir kau kenapa-kenapa!”
“Waah... Seo Joon...” Ah Ra memandangnya haru.
“Untung aku punya kau, entah pada siapa aku meminta makan bila kau tidak ada...”
“Aish... anak ini. Aku merasa kau memanfaatkanku!”
“Ayolah... kita ‘kan teman dan bukannya teman harus saling membantu?!” Ah Ra menyelesaikan makannya. Perutnya kini terisi dan kepalanya tidak pusing lagi. Seo Joon mengusap sisa minyak di bibir Ah Ra, gadis itu cukup kaget, belum pernah ada anak lelaki yang menyentuh wajahnya sebelum ini.
“Nah... sudah bersih, ayo kembali ke kelas!” Seo Joon membereskan tempat bekalnya dan jalan lebih dulu. Di belakangnya Ah Ra menyusul, gadis itu memegang dadanya, tidak sakit, hanya saja jantungnya berdegup kencang. Dia belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. “Apa karena aku kurang minum sampai jantungku berdebar begini?” tanyanya dalam hati.

“Cho Ah Ra... kau dipanggil Pak Kim!” teriak seorang temannya. Ah Ra yang sedang mengerjakan persamaan kimia terpaksa menunda pekerjaannya.
“Kenapa Pak Guru memanggilku?” tanya gadis itu.
“Entahlah...” jawab temannya singkat.

Pak Kim menyodorkan sekotak bekal dan beberapa lembar uang jajan untuk Ah Ra, gadis itu hanya memandang diam benda-benda yang sangat dibutuhkannya itu.
“Kenapa diam? Ambilah! Bibi Han sengaja datang dan menitipkan bekal ini untukmu,” perintah gurunya.
“Aku sudah makan dan tidak butuh uang jajan!” tolaknya.
“Ini makanan kesukaanmu, iga sapi asam manis dan pangsit kukus isi talas dengan potongan daging ayam...” mata gadis itu membulat melihat isi kotak bekal yang disodorkan gurunya.
“Ta..tapi benar, aku sudah makan. Aku makan bekal milik Seo Joon tadi,” tolak gadis itu sekali lagi meski jauh di dasar hatinya menginginkan makanan itu.
“Bekalnya Seo Joon?”
“Uhm... kami ‘kan berteman makanya dia mau memberikan bekalnya untukku!”
“Begitu rupanya... lalu Seo Joon akan makan malam dengan apa bila kau sudah menghabiskan bekalnya?”[1] 
“Ah, astaga! Aku tidak memikirkan itu!” ucap Ah Ra sambil menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang sering dia lakukan saat merasa melakukan kesalahan.
“Maka dari itu ambillah bekal ini. Kau bisa berbagi dengan Seo Joon di saat makan malam nanti,” bujuk gurunya. Ah Ra masih nampak berfikir, “Oh...ya, Bibi Han bilang... anak anjing itu tidak dibuang, Kakek membawanya ke klinik hewan karena kakinya patah. Bukankah kakinya memang patah?!”
“Uhm... kakinya memang patah, benarkah kakek membawanya ke klinik hewan, bukannya membuangnya?”
“Benar, jadi kau tidak punya alasan untuk ngambek lagi ‘kan? Ambillah bekal dan uang jajanmu kemudian berbagilah dengan Seo Joon!”
“Terima kasih Pak Guru,”
Gadis itu dengan wajah berseri-seri keluar dari ruang guru sambil membawa kotak bekalnya. Hal pertama yang terlintas di benaknya adalah mendatangi Seo Joon dan berbagi bekal dengannya.
 ♥♥♥

@ Namwon 2016
Saat itu matahari belum tenggelam ke peraduannya, Ah Ra menatap hampa lapangan Paran High School. Sekilas dia melihat bayangan seorang remaja jangkung sedang memainkan si kulit bundar penuh semangat di tengah lapangan. Remaja itu menatap ke arahnya dan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ah Ra tersenyum perih,
“Kau bahagia? Aku juga akan bahagia asal kau juga bahagia sekalipun bukan aku yang membuatmu tersenyum lagi,” lirihnya.
Gadis itu baru saja melangkahkan kakinya keluar dari pekarangan sekolah bersamaan saat melihat seseorang terjatuh dari skuter yang dikendarainya. Gadis itu berlari dan menolong si pengendara yang sepertinya seorang pengantar makanan.
“Paman... apa anda tidak apa-apa?” tanya gadis itu sambil membantu memberesi mie kacang yang berserakan di jalan. Untung saja dikemas dalam plastik jadi mie-mie itu tidak tumpah.
“Ya... saya tidak apa-apa,” jawab paman itu, saat dia melihat Ah Ra dia tertegun. “Cantiknya...” bisiknya.
“Ah... Paman, anda berdarah!” Ah Ra kaget saat melihat paman itu mimisan.
“Ah tidak apa-apa...”
“Apanya yang tidak apa-apa... biar kuantar ke rumah sakit!”
“Tidak perlu, aku harus mengantarkan pesanan ini...” tatapan paman itu berubah kosong saat melihat keadaan mie kacang yang telah dijatuhkannya, pemesan pasti tidak akan menerima mie yang telah rusak ini. “Aku menghindari anak anjing yang tiba-tiba melintas tadi sampai akhirnya aku terjatuh, mie ini jadi rusak, bos pasti akan marah...” mata paman itu berkaca-kaca, belum lagi darah masih terus mengalir dari hidungnya.
Ah Ra menenteng sekantong penuh mie kacang yang tidak laku yang dijatuhkan paman tadi. Dia iba melihat pria paruh baya itu hingga memborong semua jualannya. Di sudut jalan dia melihat Seo Joon sedang memeriksa keadaan sebuah jalan.
“Kenapa kau jalan sendirian malam-malam begini?” tegur polisi jangkung itu pada Ah Ra.
“Aku hanya ingin menghirup udara segar,” Ah Ra terpaksa berbohong. “Apa yang terjadi? Kenapa kau memeriksa jalan ini?”
“Barusan ada laporan katanya ada pencopet, kau harus hati-hati. Jangan terlalu sering keluar malam,”
“Letnan Park ayo pulang. Aku sudah menyelesaikan laporannya!” panggil seorang polisi muda yang baru selesai bertanya pada beberapa orang di lokasi. Seo Joon memandang Ah Ra, ada kecemasan di matanya,
“Sunbae... aku akan pulang bersama temanku. Anda silahkan duluan!” tolaknya pada seniornya.
“Kau tak perlu repot mengantarku, aku benar-benar tidak takut pulang sendiri,” tolak gadis itu.
“Bagaimana bila penguntit itu kembali mencari korban? Sudahlah, tidak perlu cerewet. Kau seharusnya senang bisa berjalan dengan polisi tampan sepertiku.” Keduanya tertawa renyah mendengar candaan Seo Joon.
“Apa yang kau bawa itu?” tanya Seo Joon melihat bungkusan yang ditenteng Ah Ra.
“Ah... kau belum makan malam ‘kan? Ayo kita makan mie kacang! Mie-nya mungkin sedikit rusak tapi masih bisa dimakan,” ajak gadis itu. Seo Joon melihat mie yang dikeluarkan Ah Ra dari bungkusan plastik itu.
♥♥♥

@Namwon 2006
“Kurasa kali ini dia mendekati Seo Joon, ya... targetnya Seo Joon lagi!”
“Kemarin dia mendatangi kelasnya Seo Joon beberapa kali dan mengajaknya keluar!”
“Ada yang lihat mereka berbagi bekal bersama!”
“Argh... dia benar-benar ular!” beberapa siswi berkumpul di taman sekolah sedang membahas kejelekan seorang temannya. Seo Joon yang tidak sengaja lewat jadi tertarik untuk mencuri dengar.
“Ada yang lebih menggelikan, kemarin aku lihat dia keluar dari ruangan Pak Kim sambil membawa kotak bekal. Ada asalan apa coba Pak Kim sampai membuatkan bekal untuknya?”
“Benarkah? Kau yakin?”
“Aku tidak mungkin salah lihat! Mataku belum rabun!”
“Wah... ternyata dia lebih dari ular. Statusnya sebagai cucu kepala sekolah benar-benar dia manfaatkan menggoda siapa saja yang dia mau!”
“Seung Yeon menyatakan cinta pada Jun Ho tapi ditolak, katanya Jun Ho naksir ‘anak itu’!”
“Menyebalkan sekali bukan? Banyak diantara teman kita patah hati karena siswa yang disukainya malah suka pada ‘anak itu’!”
Seo Joon tertawa sinis, kini dia tahu alasannya kenapa Ah Ra tidak punya banyak teman. Gadis itu harus mendapat hukuman dari perbuatan yang diluar kuasanya.
“Waah... aku tidak tahu harus berkomentar apa...” tiba-tiba Seo Joon muncul dan mengagetkan mereka. “... aku jadi paham kenapa Ah Ra layak untuk dicintai dan kalian tidak! Seung Yeon~a... kusarankan bertanyalah pada Ah Ra apa kelebihannya sehingga Jun Ho lebih memilihnya dibanding kamu!”
“Ah... dan Jin Hee... kau bukannya ketua kelas? Aku cukup kecewa seharusnya kau menjadi penengah tapi yang kulihat kau malah jadi provokator!” Jin Hee terlonjak mendengar penuturan Seo Joon, wajahnya memerah entah karena malu atau marah. 
♥♥♥

@ Namwon 2016
Seo Joon menghampiri kawan-kawannya yang sedang berkumpul di taman kota. Kali ini mereka berkumpul untuk menikmati minggu pertama musim semi yang hangat. Sore itu langit cerah dengan angin yang bertiup lebih hangat dibanding hari-hari yang lalu. Seung Yeondatang dengan anjing mungil peliharaan barunya.
“Jun Ho yang membelikan, dia tau saja apa yang kusukai!” kelakar gadis berwajah manis itu.
“Itu karena kau memaksaku...” bisik Jun Ho yang sayang sekali didengar oleh teman yang lain.
“Yaak, kenapa kau tidak bisa sebentar saja membuatku senang?!” rungut Seung Yeon.
“Sudahlah, ayo kita makan cemilan yang dibawa Ah Ra,” ajak Nicole.
“Ah Ra yang membuat? Wah... pasti enak!” seru Jun Ho. Mereka menghabiskan sore mereka dengan canda dan tawa. Sayang keadaan itu tidak berlangsung lama sebab tiba-tiba saja Ah Ra yang sedang bermain bersama beberapa anak di rerumputan tiba-tiba saja jatuh tersungkur. Teman-temannya segera menghampiri dengan penuh kekhawatiran. Gadis itu tersungkur dengan keadaan sesak. Dia mengalami sulit bernapas bahkan keringat dinginnya mulai mengucur.
“Ah Ra~ya... kau kenapa?” Nicole terlihat panik.
“Ah Ra...” Taec Yeon mencoba menenangkan gadis itu.
“Di mana tasnya? Berikan tas Ah Ra padaku!” pinta Seo Joon, dia tiba-tiba teringat sesuatu, Chan Sung segera menyerahkan tas itu. “Kau membawa inhaler-mu ‘kan? Kau tak mungkin melupakan benda penting itu,” Seo Joon bergumam seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Akhirnya dia menemukan benda yang dicarinya, segera dia memberikannya pada Ah Ra dan bahkan membantunya untuk menggunakannya. Beberapa saat kemudian keadaan gadis itu mulai membaik.
Gwencana[2]?” tanya Seo Joon. Gadis itu mencoba mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab dia baik-baik saja.
“Dia kenapa?” tanya Chan Sung pada Seo Joon.
“Asmahku kambuh, maaf membuat kalian kaget,” Ah Ra yang menjawab mendahului Seo Joon.
“Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?” Jun Ho yang baru datang kebingungan melihat teman-temannya. “Ah Ra... kau kenapa?” lanjutnya saat melihat Ah Ra masih terbaring lemah.
“Di mana Snowy? Ah Ra~ya di mana anak anjingku?” tanya Seung Yeonyang belum menyadari keadaan Ah Ra.
“Kau memberikan anak anjingmu pada Ah Ra?” Seo Joon bertanya dengan nada ditekan, nampak sekali rahangnya dikuatkan.
“Iya, aku tadi mentipkannya sebentar karena harus ke taoilet,” jawab Seung Yeon .
“Apa kau tidak tahu kalau Ah Ra tidak boleh melakukan kontak dengan hewan berbulu?!” nada suara Seo Joon naik, jelas sekali saat ini dia marah pada Seung Yeon bahkan membentaknya.
“Seo Joon~a aku baik-baik saja, tak perlu marah padanya.” Ah Ra mencoba melerai kemarahan Seo Joon.
“Apanya yang tidak apa-apa kau kehabisan napas tadi! Terlambat sedikit saja aku menemukan inhaler-mu entah apa yang akan terjadi padamu!” Seo Joon malah membentak Ah Ra.
“Yaak Han Seung Yeon ! Bagaimana bisa kau tidak tahu Ah Ra alergi pada bulu binatang padahal kalian sekelas dulu!” Seo Joon nampak menakutkan saat itu, matanya memerah dan rahangnya dikuatkan jelas sekali dia sedang menahan amarah.
“Jun Ho~ya... bawa Seung Yeon pergi. Dia nampak ketakutan melihat Seo Joon,” pinta Ah Ra pada Jun Ho.
“Maafkan dia, dia pasti lupa,” Jun Ho mencoba menengahi.
“Aku benar-benar lupa dia menderita asmah, aku tidak ada niat untuk...”
“Sudahlah, ayo kita cari Snowy,” Jun Ho membawa pergi tunangannya untuk menjauh dari amarah Seo Joon.         
♥♥♥
@ Namwon 2006
Ah Ra sedang memandang anak anjing yang diselamatkannya beberapa hari yang lalu. Keadaannya sudah lebih baik dibanding saat pertama kali dia menemukannya. Bukannya senang, gadis itu malah terlihat murung.
“Kenapa wajahmu? Apa kau tidak senang dia baik-baik saja?” tanya Seo Joon yang menemani
“Aku bingung... kalau dia sudah membaik nanti, ke mana aku harus membawanya? Aku tidak tega membuangnya lagi...”
“Pelihara saja!”
“Aku menderita alergi pada bulu binatang, Kakek pasti tidak akan mengizinkan aku memeliharanya. Asmahku akan kambuh bila aku melakukan kontak langsung dengan binatang berbulu,”
“Kau alergi? Ah... pantas saja setelah menyelamatkan kucing dari atas pohon, kau jadi sesak napas dan berkeringat dingin,”
“Uhm... asmahku kambuh saat itu setelah kontak langsung dengan kucing,” jawab gadis itu. Terngiang di kepala Seo Joon bagaimana Ah Ra mengerang kesakitan karena kesulitan bernapas. Dengan aba-aba, dia meminta Seo Joon membuka tasnya dan mengambil inheler-nya. Itulah mengapa Seo Joon mengambil alih dan mengerjakan hukuman Ah Ra serta meminjamkan sapu tangannya.
Gadis itu melangkah lemah dengan sedikit merungut, “Akan aku apakan anak anjing itu...hiiks,” lirihnya. Seo Joon terdiam menatap gadis yang berjalan lemah di hadapannya itu. Dia memegang dadanya yang entah kenapa berdegup kencang begitu saja.

Ah Ra berjalan cepat, matahari sudah tinggi, dia takut terlambat dan harus menyapu lapangan yang luas. Sebenarnya bukan karena hukuman yang membuatnya enggan terlambat namun lebih kepada menjaga nama baik kakeknya. Bukankah memalukan bila dia cucu kepala sekolah namun selalu mendapat hukuman karena sering melanggar.
“Seo Joon!!” wajahnya sumringah saat berpapasan dengan sahabatnya.
“Oh... kau baru berangkat juga?”
“Itu apa? Tugas kaligrafi dari Pak Kim ya?” Ah Ra tanpa aba-aba mengambil gulungan kertas putih yang dibawa Seo Joon.
“Uhm...” Seo Joon mengangguk dan membiarkan gadis itu mengambil gulungannya. Ah Ra membuka gulungan itu dan terkesima melihat aksara Cina yang dilukis Seo Joon.
“Wah... bagusnya!” seru Ah Ra.
“Bagaimana dengan tugasmu?”
“Sudah jadi...tapi...” dia menyerahkan tugasnya pada Seo Joon seakan mempersilahkan pemuda itu untuk menilai hasil karyanya sebelum mengumpulkannya pada Pak Kim.
“Bagus!”  gumam Seo Joon.
“Padahal itu biasa saja, kau tak perlu berbohong hanya untuk membuatku senang!” lirih gadis itu.
“Aku serius! Lukisanmu ini bagus! Selama kau mengerjakannya sendiri, apapun yang kau usahakan pasti akan bagus!”
“Aish... kenapa kau pandai sekali memberi semangat?” gurau gadis itu. Dari jauh terdengar guru piket berteriak dengan pengeras suara memberi peringatan pada siswa bahwa gerbang akan ditutup. Seo Joon langsung menarik tangan Ah Ra sehingga memaksa gadis itu berlari agar tidak terlambat lagi seperti dulu dan untung saja mereka sampai tepat waktu.

Mereka harus berpisah di lorong untuk masuk ke kelas masing-masing. Seo Joon mengulurkan tangannya meminta gulungan tugasnya yang dipegang Ah Ra, gadis itu mengerti dan segera mengambil ranselnya.
“Astaga...” wajah Ah Ra tegang. “Aku... menjatuhkannya!” ucap gadis itu. Dia merogoh ranselnya dan memang tidak menemukan gulungan itu. Saat apel pagi tadi, gadis itu memasukkan gulungan tugas mereka berdua ke dalam ranselnya dan memang dia tidak menutupnya dengan rapat karena gulungan itu terlalu panjang.
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Aku juga tidak tahu!” gadis itu mulai khawatir.
“Ayo kita cari!” Seo Joon kembali dan menulusuri jalan yang mereka lalui tadi sampai ke tempat apel pagi.
Lama mereka mencari, berulang-ulang kembali ke jalan yang mereka lalui, bahkan bertanya pada teman-teman yang lewat, namun mereka tidak berhasil menemukan gulungan itu.
“Apa kau yakin memasukkannya ke ranselmu tadi? Atau mungkin jatuh di jalan raya?” tanya Seo Joon mulai frustasi.
“Aku ingat betul masih memegang gulungan itu sampai masuk ke gerbang sekolah dan memasukkannya ke dalam ranselku saat apel pagi...”
“Yaak! Lalu kemana perginya gulungan itu, apa mereka bisa terbang?” Seo Joon membentak Ah Ra.
“Maaf... aku...”
“Argh... apa yang akan kukatakan pada Pak Kim? Hari ini kita harus mengumpulkannya kau malah menghilangkannya!”
“Maaf...”
“Apa yang kalian lakukan masih berkeliaran di luar kelas? Bukannya jam pelajaran sudah dimulai sedari tadi?” tegur Pak Kim yang tiba-tiba muncul. Kedua siswa itu buru-buru kembali ke kelas mereka masing-masing.

Ah Ra masih berusaha mencari gulungan tugas mereka saat jam istirahat tiba, dia kembali menyusuri jalan tempatnya kemungkinan menjatuhkan tugasnya itu. Masih ada waktu sampai jam terakhir tiba, batas waktu mereka harus mengumpulkan tugas kaligrafi dari Pak Kim. Sayangnya sampai batas waktu itu, gadis itu tidak menemukan apa-apa.

Ah Ra berjalan pelan menelusuri jalan raya yang dilaluinya tadi pagi, kalau ia tidak mendapatkan gulungan itu di dalam sekolah maka ada kemungkinan dia memang menjatuhkannya di luar sekolah.
“Apa lagi yang kau cari?” tanya Seo Joon yang berjalan di belakangnya.
“Tugas kita, mungkin aku memang menjatuhkannya di luar sekolah!”
“Sudahlah... toh kita juga sudah diberi keringanan, Pak Kim memberi tambahan waktu sampai besok. Untuk apa lagi dicari, buat ulang saja.”
“Seharusnya hukuman itu hanya berlaku untukku, kau kan tidak salah apa-apa. Aku yang menghilangkan tugasmu!”
“Yang jelas kita berdua tidak mengumpulkan tugas, bagaimana bisa Pak Kim hanya menghukummu!” Sesekali Seo Joon menoleh ke belakang, di belakangnya ternyata sudah ada beberapa teman sekelasnya dengan Jun Ho sebagai leader-nya yang dengan wajah garangnya mengancam Seo Joon untuk segera memanta maaf pada Ah Ra. Mereka semua pengagum Ah Ra, jadi wajar saja ketika mereka tahu Seo Joon telah membentak Ah Ra mereka memarahinya habis-habisan dan memaksanya untuk minta maaf pada gadis itu.
“Ah Ra~ya... maaf...” ucap Seo Joon pelan.
“Kanapa kau minta maaf?”
“Aku.. aku sudah membentakmu tadi pagi,”
“Ah... itu, kurasa wajar bila kau marah. Siapapun pasti akan marah bila tugasnya dihilangkan di hari terakhir pengumpulannya...”
“Tapi... bagaimanapun... membentakmu...”
“Aku justru berterima kasih. Ketika kau marah padaku dan membentakku karena salah, aku merasa bahwa kau benar-benar temanku. Sebelum ini setiap aku membuat kesalahan orang-orang akan bilang ‘tidak apa-apa’ ‘jangan khawatir’ ‘tidak masalah’ sejujurnya itu membuatku merasa bersalah dua kali lipat. Mereka berkata seperti itu kerana segan kepadaku, sekalipun mereka ingin marah, mereka takut untuk meluapkannya. Aku ingin mereka menganggapku seperti orang biasa, mereka tidak perlu memperlakukan aku secara istimewa hanya karena aku cucu kepala sekolah atau putri anggota senat. Aku benar-benar ingin berteman dengan mereka tanpa adanya pembatas strata di antara kami. Dan kau telah melakukannya.”
“Kau aneh... biasanya orang-orang akan marah saat dia dibentak,”
“Bagaimana bisa aku marah saat aku sendiri bersalah. Suatu saat... bila aku memang salah, jangan takut untuk marah padaku,”
“Benarkah aku boleh marah padamu?”
“Tentu... kalau perlu kau boleh menghukumku!”
“Wah... dengan senang hati!” gurau Seo Joon. Ah Ra tertawa lepas dan beberapa saat kemudian matanya masih jelalatan mencari tugasnya yang mungkin dia jatuhkan.
“Aish... berhentilah mencari, toh kita akan membuatnya lagi!” Seo Joon buru-buru menarik Ah Ra menyeberang jalan.

“Seo Joon dan Ah Ra kuberi waktu sehari lagi untuk mengumpulkan tugasnya... itu tidak membuatmu kecewa bukan?” tanya Pak Kim pada Baek Jin Hee, ketua kelas Ah Ra. Dia memang sengaja memanggil gadis itu secara pribadi untuk menemuinya di ruang guru.
“Maaf?” Jin Hee tidak mengerti maksud pembicaraan pak gurunya.
“Sebenarnya apa tujuanmu melakukan ini? Apa kau berharap kedua anak itu mendapat hukuman?”
“Maaf... apa yang anda sedang bicarakan Pak Guru?”
“Aku melihat kau mengambil gulungan itu dari ranselnya Ah Ra yang terbuka. Awalnya kupikir kau hanya akan mengerjainya, membuat mereka panik dan pada akhrinya tetap mengembalikan gulungan itu pada mereka. Tapi sampai batas waktu pengumpulan, ternyata kau tidak juga bertindak seperti yang kuharapkan jadi kupikir kau mungkin punya maksud lain,”
“. . . .” Jin Hee tertunduk diam. Tangannya mengepal entah karena mungkin menahan malu.
“Aku tak tahu ada masalah apa antara kalian bertiga, tapi cara yang kau tempuh untuk menjatuhkan lawanmu bukanlah cara yang keren. Itu hanya akan membuatmu terlihat lebih menyedihkan. Kau terlihat seperti orang yang putus asa dan terpaksa menempuh cara curang untuk bisa menang. Kali ini kau kumaafkan, pulanglah dan renungkan kesalahanmu.”
“. . . .” Jin Hee masih terdiam saat dia pergi meninggalkan Pak Kim. Ia benar-benar malu untuk sekedar mengangkat kepalanya di hadapan Pak Kim tadi. Tanpa dia sadari air matanya menetes, sayangnya bukan air mata penyesalan namun air mata kebencian yang semakin membara.
Jin Hee hanya ingin membuat Seo Joon marah pada Ah Ra, dia hanya ingin membuat jarak di antara kedua anak itu. Perasaan sukanya pada Seo Joon sejak SMP membuatnya benar-benar marah dan cemburu ketika Ah Ra yang baru mengenal Seo Joon justru lebih dekat dengan pemuda itu dibanding dirinya.
♥♥♥


~To Be Continued~


[1] Anak tingkat tiga di korea mendapat pelajaran tambahan menjelang ujian kelulusan
   Dan ujian masuk universitas, biasanya mereka baru pulang menjelang tengah malam
   Sehingga banyak dari mereka yang membawa bekal dari rumah
[2] Kau baik-baik saja?

No comments:

Post a Comment