@ Namwon 2006
Sore
itu langit terlihat lebih gelap. Para siswa tingkat tiga masih tinggal di
sekolah untuk pelajaran tambahan.
“Huh...
apa malam ini akan hujan? Bagaimana kita pulangnya?” keluh Seung Yeon yang
duduk di depan Ah Ra.
“Ah...
aku jadi mengantuk memandang langit mendung. Tolong bangunkan aku bila Pak Guru
sudah datang,” pinta Ah Ra pada Jin Hee yang duduk di sebelahnya. Jin Hee pun
mengangguk mengiyakan. Ah Ra memasang headset untuk mendengarkan lagu dari
ponselnya kemudian menyandarkan kepalanya di meja tulisnya dan mulai memejamkan
mata.
“Ah
Ra~ya...” suara itu terdengar lembut, “Ah Ra... bangun!” suara itu berulang
sekali lagi dan kali ini disertai tepukan pelan di bahunya. Gadis itu bangun
dan mengucek matanya, beberapa detik kemudian kesadarannya kembali dan
kantuknya hilang. Dia melihat Seo Joon menatapanya. Pandangan gadis itu beralih
pada keadaan di sekelilingnya yang lengang, tidak ada siapa-siapa lagi selain
mereka berdua.
“Ke
mana teman-temanku?” tanya gadis itu kaget.
“Mereka
sudah pulang semua!”
“Apa?
Lalu bagaimana dengan pelajaran tambahannya?”
“Pelajaran
tambahan hari ini dibatalkan, ada berita katanya akan ada badai sehingga kita
dipulangkan lebih cepat. Apa kau tidak tahu? Apa teman-temanmu tidak
memberitahu?”
“Aku
tertidur tadi, mungkin mereka lupa membangunkanku atau mungkin aku yang tidak
mendengar karena memasang earphone, ” jawab gadis itu. “Kau sendiri kenapa
masih di sekolah?”
“Aku
kembali ke sekolah karena bukuku kelupaan. Aku hanya kebetulan lewat kelasmu
dan melihatmu,”
“Terima
kasih... andai kau tidak datang, aku tak tahu sampai jam berapa tertidur di
sini,”
“Seo Joon...” suara Ah Ra pelan terdengar
seperti bisikan.
“Uhm...”
“Pasti
menyenangkan punya banyak teman sepertimu!” lirihnya.
“Uhm...
sangat menyenangkan. Kenapa kau bertanya begitu? Apa kau tidak punya teman?”
“
. . . .” Ah Ra membalasnya dengan senyuman sedih. Dia tidak menjawab namun
tatapannya seakan berbicara bahwa sebenarnya dia kesepian.
“Ah...
mengenai sapu tanganmu, setelah membersihkannya, aku akan mengembalikannya,”
“Tidak
perlu, ambil saja. Aku punya banyak di rumah,” Seo Joon tahu jelas gadis itu
hanya mengalihkan pembicaraan mereka, dia pun menghormati keinginan Ah Ra
dengan tidak bertanya lebih lanjut.
Gadis
itu melangkah pelan, Seo Joon berjalan di belakangnya. Punggung gadis itu
bergetar seperti sedang menangis. Sayup-sayup Seo Joon mendengar isakan yang
dengan usaha keras disembunyikan oleh Ah Ra. Seo Joon melangkah cepat hingga
dapat melewatinya. Dia memegang kedua bahu gadis itu, Ah Ra menunduk
menyembunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata.
“Jangan
menangis... kau tidak cantik lagi saat menangis!” bujuknya.
“Aku
tak tahu kenapa mereka tidak menyukaiku. Andai mereka bicara... aku akan tahu
alasannya dan berusaha memperbaiki diriku, tapi nyatanya mereka diam. Lalu aku
bisa tahu apa?”, “Apa kau tahu rasanya tidak punya teman? Aku... aku
benar-benar kesepian, aku selalu sendiri. Mereka tersenyum di depanku namun di
belakangku mereka mencibir.”, “Aku ingin berteriak di hadapan mereka, apa
salahku? Katakanlah agar aku tahu dan tidak lagi mengulanginya... hiks, hiks,
hiks,” Ah Ra menangis sedih, Seo Joon entah mendapat keberanian dari mana,
tiba-tiba dia memeluk gadis itu. Menepuk bahunya pelan berharap Ah Ra dapat
tenang.
Mereka
terjebak dalam badai. Saat malam semakin larut badai belum juga surut. Sepasang
remaja itu berlindung di emperan toko. Jalan terlihat sepi mungkin karena
berita akan datangnya badai sehingga warga tidak berkeliaran malam ini. Belasan
menit berlalu sampai akhirnya sebuah mini bus menepi di dekat mereka.
“Pak
Guru Kim...?” Seo Joon dan Ah Ra berucap bersamaan ketika kaca mobil
diturunkan.
“Kenapa
kalian masih berkeliaran di tengah badai? Ayo cepat naik, aku akan mengantar
kalian pulang!” perintah gurunya. Mereka cukup beruntung mendapat tumpangan
mengingat jalan begitu sepi dari kendaraan saat ini.
“Kenapa
terlambat pulang? Bukannya kalian sudah dibubarkan dua jam yang lalu?” tanya
Pak Kim, guru baru yang menjadi pujaan para siswi di sekolah. Selain masih muda
dia juga memiliki wajah yang rupawan. Beberapa teman kelas Seo Joon bahkan
mengatakan Pak Kim tidak cocok menjadi guru, dia lebih pantas menjadi seorang
aktor.
Seo
Joon menjawab sekenanya pada pertanyaan Pak Gurunya sebab Ah Ra memberikan kode
untuk tidak menceritakan kejadian hari ini pada siapapun.
Ah
Ra kembali ke sekolah, rasa kecewanya pada perbuatan teman-temannya kemarin
telah hilang bersama dengan berlalunya badai. Gadis itu memasukkan beberapa
barang di loker miliknya dan menemukan sebuah kertas memo berukuran kecil.
Sepertinya kertas itu dimasukkan melalui celah pintu lokernya.
“Jangan
khawatir, aku bersedia menjadi temanmu jadi kau tidak sendirian lagi!” bunyi
memo itu. Senyum gadis itu mengembang, “Terima
kasih Seo Joon...” bisik gadis itu dalam hati.
Ah
Ra memandang ke arah lapangan, kelasnya Seo Joon saat ini berolah raga. Para
siswa bermain bola dan siswinya bermain basket. Seo Joon adalah seorang atlet
sepak bola remaja di Namwon. Beberapa kali dia dan timnya mengharumkan nama
sekolah dengan memenangkan pertandingan bola baik tingkat daerah maupun
nasional. Sehingga tidak mengherankan bila dia memiliki banyak penggemar,
kebanyakan penggemarnya adalah adik kelas yang memang sengaja masuk ke Paran
High School hanya karena ingin satu sekolahan dengannya.
“Semangat!!!” Ah Ra memberi support pada teman
barunya itu tatkala Seo Joon memandang ke arah kelasnya.
♥♥♥
Ah
Ra berjalan cepat meninggalkan kelasnya sesaat setelah bel istirahat berbunyi.
Sesekali dia berhenti dan memegang perutnya sambil meringis pelan. Dia hanya
punya satu tujuan, kelas temannya, Seo Joon.
“Seo
Joon~i” teriaknya. Sekejap seluruh pandangan murid-murid di kelas mengarah pada
cucu kepala sekolah tersebut.
“Ada
apa?” tanya Seo Joon yang juga kaget, mungkin lebih cocok cemas sebab wajah Ah
Ra yang sedang memanggilnya tidak terlihat sehat.
“Bisakah
kau ikut denganku...” pinta gadis itu merasa tidak enak sebab menjadi pusat
perhatian. “Ehm.... bawa juga tasmu!” lanjut gadis itu dan buru-buru keluar.
Setelah gadis itu pergi, para siswa berhambur ke arah Seo Joon dan bertanya
penuh antusias.
“Kenapa
dia memanggilmu?”
“Kenapa
dia memintamu membawa tas?”
“Dia
kelihatan tidak sehat, apa sesuatu terjadi padanya?” begitulah mereka mengeroyok
Seo Joon dengan pertanyaan yang Seo joon sendiri belum tahu jawabannya.
Seo
Joon terperangah melihat gadis pujaan siswa di sekolah dengan lahapnya memakan
bekal miliknya. Saking cepatnya Ah Ra makan, dia sampai tersedak.
“Pelan-pelan
makannya! Kau seperti sedang dikejar pencuri!” ucap Seo Joon sambil menyodorkan
air minum.
“Maaf...
aku benar-benar kelaparan. Tadi aku tidak sarapan dan tidak makan siang. Hampir
saja aku pingsan saat sedang belajar,” jelas gadis itu yang mulutnya masih
dipenuhi sosis buatan Ibunya Seo Joon.
“Apa
kau sedang diet sampai tidak makan seperti itu?”
“Tidak...”
gadis itu menggeleng, “Aku sedang marah! Kakek membuang anak anjing yang
kupungut di jalan kemarin. Aku tidak mau sarapan dan membawa uang jajan sebagai
bentuk protes. Tapi itu malah jadi boomerang buatku, kepalaku sampai pusing
karena kelaparan!”
“Yaak!!!”
bentak Seo Joon membuat Ah Ra kaget dan menelan bulat-bulat potongan daging
yang dimakannya. “Kalau marah, bukan begitu caranya! Sama saja kau menyiksa
dirimu! Arg... kupikir kau kenapa, wajahmu pucat tadi, kukira kau sakit. Kau
bikin kaget saja!”
“Maaf...”
lirih gadis itu, “...tapi... kau, apa kau khawatir padaku?”
“Aku
‘kan temanmu, tentu saja aku khawatir kau kenapa-kenapa!”
“Waah...
Seo Joon...” Ah Ra memandangnya haru.
“Untung
aku punya kau, entah pada siapa aku meminta makan bila kau tidak ada...”
“Aish...
anak ini. Aku merasa kau memanfaatkanku!”
“Ayolah...
kita ‘kan teman dan bukannya teman harus saling membantu?!” Ah Ra menyelesaikan
makannya. Perutnya kini terisi dan kepalanya tidak pusing lagi. Seo Joon
mengusap sisa minyak di bibir Ah Ra, gadis itu cukup kaget, belum pernah ada
anak lelaki yang menyentuh wajahnya sebelum ini.
“Nah...
sudah bersih, ayo kembali ke kelas!” Seo Joon membereskan tempat bekalnya dan
jalan lebih dulu. Di belakangnya Ah Ra menyusul, gadis itu memegang dadanya,
tidak sakit, hanya saja jantungnya berdegup kencang. Dia belum pernah mengalami
hal ini sebelumnya. “Apa karena aku
kurang minum sampai jantungku berdebar begini?” tanyanya dalam hati.
“Cho
Ah Ra... kau dipanggil Pak Kim!” teriak seorang temannya. Ah Ra yang sedang
mengerjakan persamaan kimia terpaksa menunda pekerjaannya.
“Kenapa
Pak Guru memanggilku?” tanya gadis itu.
“Entahlah...”
jawab temannya singkat.
Pak
Kim menyodorkan sekotak bekal dan beberapa lembar uang jajan untuk Ah Ra, gadis
itu hanya memandang diam benda-benda yang sangat dibutuhkannya itu.
“Kenapa
diam? Ambilah! Bibi Han sengaja datang dan menitipkan bekal ini untukmu,”
perintah gurunya.
“Aku
sudah makan dan tidak butuh uang jajan!” tolaknya.
“Ini
makanan kesukaanmu, iga sapi asam manis dan pangsit kukus isi talas dengan
potongan daging ayam...” mata gadis itu membulat melihat isi kotak bekal yang
disodorkan gurunya.
“Ta..tapi
benar, aku sudah makan. Aku makan bekal milik Seo Joon tadi,” tolak gadis itu
sekali lagi meski jauh di dasar hatinya menginginkan makanan itu.
“Bekalnya
Seo Joon?”
“Uhm...
kami ‘kan berteman makanya dia mau memberikan bekalnya untukku!”
“Begitu
rupanya... lalu Seo Joon akan makan malam dengan apa bila kau sudah
menghabiskan bekalnya?”[1]
“Ah,
astaga! Aku tidak memikirkan itu!” ucap Ah Ra sambil menggigit bibir bawahnya.
Kebiasaan yang sering dia lakukan saat merasa melakukan kesalahan.
“Maka
dari itu ambillah bekal ini. Kau bisa berbagi dengan Seo Joon di saat makan
malam nanti,” bujuk gurunya. Ah Ra masih nampak berfikir, “Oh...ya, Bibi Han
bilang... anak anjing itu tidak dibuang, Kakek membawanya ke klinik hewan
karena kakinya patah. Bukankah kakinya memang patah?!”
“Uhm...
kakinya memang patah, benarkah kakek membawanya ke klinik hewan, bukannya
membuangnya?”
“Benar,
jadi kau tidak punya alasan untuk ngambek lagi ‘kan? Ambillah bekal dan uang
jajanmu kemudian berbagilah dengan Seo Joon!”
“Terima
kasih Pak Guru,”
Gadis
itu dengan wajah berseri-seri keluar dari ruang guru sambil membawa kotak
bekalnya. Hal pertama yang terlintas di benaknya adalah mendatangi Seo Joon dan
berbagi bekal dengannya.
♥♥♥
@ Namwon 2016
Saat
itu matahari belum tenggelam ke peraduannya, Ah Ra menatap hampa lapangan Paran
High School. Sekilas dia melihat bayangan seorang remaja jangkung sedang
memainkan si kulit bundar penuh semangat di tengah lapangan. Remaja itu menatap
ke arahnya dan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Ah Ra tersenyum perih,
“Kau
bahagia? Aku juga akan bahagia asal kau juga bahagia sekalipun bukan aku yang
membuatmu tersenyum lagi,” lirihnya.
Gadis
itu baru saja melangkahkan kakinya keluar dari pekarangan sekolah bersamaan
saat melihat seseorang terjatuh dari skuter yang dikendarainya. Gadis itu
berlari dan menolong si pengendara yang sepertinya seorang pengantar makanan.
“Paman...
apa anda tidak apa-apa?” tanya gadis itu sambil membantu memberesi mie kacang
yang berserakan di jalan. Untung saja dikemas dalam plastik jadi mie-mie itu
tidak tumpah.
“Ya...
saya tidak apa-apa,” jawab paman itu, saat dia melihat Ah Ra dia tertegun.
“Cantiknya...” bisiknya.
“Ah...
Paman, anda berdarah!” Ah Ra kaget saat melihat paman itu mimisan.
“Ah
tidak apa-apa...”
“Apanya
yang tidak apa-apa... biar kuantar ke rumah sakit!”
“Tidak
perlu, aku harus mengantarkan pesanan ini...” tatapan paman itu berubah kosong
saat melihat keadaan mie kacang yang telah dijatuhkannya, pemesan pasti tidak
akan menerima mie yang telah rusak ini. “Aku menghindari anak anjing yang tiba-tiba
melintas tadi sampai akhirnya aku terjatuh, mie ini jadi rusak, bos pasti akan
marah...” mata paman itu berkaca-kaca, belum lagi darah masih terus mengalir
dari hidungnya.
Ah
Ra menenteng sekantong penuh mie kacang yang tidak laku yang dijatuhkan paman
tadi. Dia iba melihat pria paruh baya itu hingga memborong semua jualannya. Di
sudut jalan dia melihat Seo Joon sedang memeriksa keadaan sebuah jalan.
“Kenapa
kau jalan sendirian malam-malam begini?” tegur polisi jangkung itu pada Ah Ra.
“Aku
hanya ingin menghirup udara segar,” Ah Ra terpaksa berbohong. “Apa yang
terjadi? Kenapa kau memeriksa jalan ini?”
“Barusan
ada laporan katanya ada pencopet, kau harus hati-hati. Jangan terlalu sering
keluar malam,”
“Letnan
Park ayo pulang. Aku sudah menyelesaikan laporannya!” panggil seorang polisi
muda yang baru selesai bertanya pada beberapa orang di lokasi. Seo Joon
memandang Ah Ra, ada kecemasan di matanya,
“Sunbae...
aku akan pulang bersama temanku. Anda silahkan duluan!” tolaknya pada
seniornya.
“Kau
tak perlu repot mengantarku, aku benar-benar tidak takut pulang sendiri,” tolak
gadis itu.
“Bagaimana
bila penguntit itu kembali mencari korban? Sudahlah, tidak perlu cerewet. Kau
seharusnya senang bisa berjalan dengan polisi tampan sepertiku.” Keduanya
tertawa renyah mendengar candaan Seo Joon.
“Apa
yang kau bawa itu?” tanya Seo Joon melihat bungkusan yang ditenteng Ah Ra.
“Ah...
kau belum makan malam ‘kan? Ayo kita makan mie kacang! Mie-nya mungkin sedikit
rusak tapi masih bisa dimakan,” ajak gadis itu. Seo Joon melihat mie yang
dikeluarkan Ah Ra dari bungkusan plastik itu.
♥♥♥
@Namwon 2006
“Kurasa
kali ini dia mendekati Seo Joon, ya... targetnya Seo Joon lagi!”
“Kemarin
dia mendatangi kelasnya Seo Joon beberapa kali dan mengajaknya keluar!”
“Ada
yang lihat mereka berbagi bekal bersama!”
“Argh...
dia benar-benar ular!” beberapa siswi berkumpul di taman sekolah sedang
membahas kejelekan seorang temannya. Seo Joon yang tidak sengaja lewat jadi
tertarik untuk mencuri dengar.
“Ada
yang lebih menggelikan, kemarin aku lihat dia keluar dari ruangan Pak Kim
sambil membawa kotak bekal. Ada asalan apa coba Pak Kim sampai membuatkan bekal
untuknya?”
“Benarkah?
Kau yakin?”
“Aku
tidak mungkin salah lihat! Mataku belum rabun!”
“Wah...
ternyata dia lebih dari ular. Statusnya sebagai cucu kepala sekolah benar-benar
dia manfaatkan menggoda siapa saja yang dia mau!”
“Seung
Yeon menyatakan cinta pada Jun Ho tapi ditolak, katanya Jun Ho naksir ‘anak
itu’!”
“Menyebalkan
sekali bukan? Banyak diantara teman kita patah hati karena siswa yang
disukainya malah suka pada ‘anak itu’!”
Seo
Joon tertawa sinis, kini dia tahu alasannya kenapa Ah Ra tidak punya banyak
teman. Gadis itu harus mendapat hukuman dari perbuatan yang diluar kuasanya.
“Waah...
aku tidak tahu harus berkomentar apa...” tiba-tiba Seo Joon muncul dan
mengagetkan mereka. “... aku jadi paham kenapa Ah Ra layak untuk dicintai dan
kalian tidak! Seung Yeon~a... kusarankan bertanyalah pada Ah Ra apa
kelebihannya sehingga Jun Ho lebih memilihnya dibanding kamu!”
“Ah...
dan Jin Hee... kau bukannya ketua kelas? Aku cukup kecewa seharusnya kau menjadi
penengah tapi yang kulihat kau malah jadi provokator!” Jin Hee terlonjak
mendengar penuturan Seo Joon, wajahnya memerah entah karena malu atau
marah.
♥♥♥
@ Namwon 2016
Seo
Joon menghampiri kawan-kawannya yang sedang berkumpul di taman kota. Kali ini
mereka berkumpul untuk menikmati minggu pertama musim semi yang hangat. Sore
itu langit cerah dengan angin yang bertiup lebih hangat dibanding hari-hari yang
lalu. Seung Yeondatang dengan anjing mungil peliharaan barunya.
“Jun
Ho yang membelikan, dia tau saja apa yang kusukai!” kelakar gadis berwajah
manis itu.
“Itu
karena kau memaksaku...” bisik Jun Ho yang sayang sekali didengar oleh teman
yang lain.
“Yaak,
kenapa kau tidak bisa sebentar saja membuatku senang?!” rungut Seung Yeon.
“Sudahlah,
ayo kita makan cemilan yang dibawa Ah Ra,” ajak Nicole.
“Ah
Ra yang membuat? Wah... pasti enak!” seru Jun Ho. Mereka menghabiskan sore
mereka dengan canda dan tawa. Sayang keadaan itu tidak berlangsung lama sebab
tiba-tiba saja Ah Ra yang sedang bermain bersama beberapa anak di rerumputan
tiba-tiba saja jatuh tersungkur. Teman-temannya segera menghampiri dengan penuh
kekhawatiran. Gadis itu tersungkur dengan keadaan sesak. Dia mengalami sulit
bernapas bahkan keringat dinginnya mulai mengucur.
“Ah
Ra~ya... kau kenapa?” Nicole terlihat panik.
“Ah
Ra...” Taec Yeon mencoba menenangkan gadis itu.
“Di
mana tasnya? Berikan tas Ah Ra padaku!” pinta Seo Joon, dia tiba-tiba teringat
sesuatu, Chan Sung segera menyerahkan tas itu. “Kau membawa inhaler-mu ‘kan? Kau tak mungkin melupakan benda penting
itu,” Seo Joon bergumam seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Akhirnya dia menemukan benda yang dicarinya, segera dia memberikannya pada Ah
Ra dan bahkan membantunya untuk menggunakannya. Beberapa saat kemudian keadaan
gadis itu mulai membaik.
“Gwencana[2]?”
tanya Seo Joon. Gadis itu mencoba mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum
akhirnya menjawab dia baik-baik saja.
“Dia
kenapa?” tanya Chan Sung pada Seo Joon.
“Asmahku
kambuh, maaf membuat kalian kaget,” Ah Ra yang menjawab mendahului Seo Joon.
“Ada
apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini?” Jun Ho yang baru datang kebingungan
melihat teman-temannya. “Ah Ra... kau kenapa?” lanjutnya saat melihat Ah Ra
masih terbaring lemah.
“Di
mana Snowy? Ah Ra~ya di mana anak anjingku?” tanya Seung Yeonyang belum
menyadari keadaan Ah Ra.
“Kau
memberikan anak anjingmu pada Ah Ra?” Seo Joon bertanya dengan nada ditekan,
nampak sekali rahangnya dikuatkan.
“Iya,
aku tadi mentipkannya sebentar karena harus ke taoilet,” jawab Seung Yeon .
“Apa
kau tidak tahu kalau Ah Ra tidak boleh melakukan kontak dengan hewan berbulu?!”
nada suara Seo Joon naik, jelas sekali saat ini dia marah pada Seung Yeon bahkan
membentaknya.
“Seo
Joon~a aku baik-baik saja, tak perlu marah padanya.” Ah Ra mencoba melerai
kemarahan Seo Joon.
“Apanya
yang tidak apa-apa kau kehabisan napas tadi! Terlambat sedikit saja aku
menemukan inhaler-mu entah apa yang akan terjadi padamu!” Seo Joon malah
membentak Ah Ra.
“Yaak
Han Seung Yeon ! Bagaimana bisa kau tidak tahu Ah Ra alergi pada bulu binatang
padahal kalian sekelas dulu!” Seo Joon nampak menakutkan saat itu, matanya
memerah dan rahangnya dikuatkan jelas sekali dia sedang menahan amarah.
“Jun
Ho~ya... bawa Seung Yeon pergi. Dia nampak ketakutan melihat Seo Joon,” pinta
Ah Ra pada Jun Ho.
“Maafkan
dia, dia pasti lupa,” Jun Ho mencoba menengahi.
“Aku
benar-benar lupa dia menderita asmah, aku tidak ada niat untuk...”
“Sudahlah,
ayo kita cari Snowy,” Jun Ho membawa pergi tunangannya untuk menjauh dari
amarah Seo Joon.
♥♥♥
@ Namwon 2006
Ah
Ra sedang memandang anak anjing yang diselamatkannya beberapa hari yang lalu.
Keadaannya sudah lebih baik dibanding saat pertama kali dia menemukannya.
Bukannya senang, gadis itu malah terlihat murung.
“Kenapa
wajahmu? Apa kau tidak senang dia baik-baik saja?” tanya Seo Joon yang menemani
“Aku
bingung... kalau dia sudah membaik nanti, ke mana aku harus membawanya? Aku
tidak tega membuangnya lagi...”
“Pelihara
saja!”
“Aku
menderita alergi pada bulu binatang, Kakek pasti tidak akan mengizinkan aku
memeliharanya. Asmahku akan kambuh bila aku melakukan kontak langsung dengan
binatang berbulu,”
“Kau
alergi? Ah... pantas saja setelah menyelamatkan kucing dari atas pohon, kau
jadi sesak napas dan berkeringat dingin,”
“Uhm...
asmahku kambuh saat itu setelah kontak langsung dengan kucing,” jawab gadis
itu. Terngiang di kepala Seo Joon bagaimana Ah Ra mengerang kesakitan karena
kesulitan bernapas. Dengan aba-aba, dia meminta Seo Joon membuka tasnya dan
mengambil inheler-nya. Itulah mengapa
Seo Joon mengambil alih dan mengerjakan hukuman Ah Ra serta meminjamkan sapu
tangannya.
Gadis
itu melangkah lemah dengan sedikit merungut, “Akan aku apakan anak anjing
itu...hiiks,” lirihnya. Seo Joon terdiam menatap gadis yang berjalan lemah di
hadapannya itu. Dia memegang dadanya yang entah kenapa berdegup kencang begitu
saja.
Ah
Ra berjalan cepat, matahari sudah tinggi, dia takut terlambat dan harus menyapu
lapangan yang luas. Sebenarnya bukan karena hukuman yang membuatnya enggan
terlambat namun lebih kepada menjaga nama baik kakeknya. Bukankah memalukan
bila dia cucu kepala sekolah namun selalu mendapat hukuman karena sering
melanggar.
“Seo
Joon!!” wajahnya sumringah saat berpapasan dengan sahabatnya.
“Oh...
kau baru berangkat juga?”
“Itu
apa? Tugas kaligrafi dari Pak Kim ya?” Ah Ra tanpa aba-aba mengambil gulungan
kertas putih yang dibawa Seo Joon.
“Uhm...”
Seo Joon mengangguk dan membiarkan gadis itu mengambil gulungannya. Ah Ra
membuka gulungan itu dan terkesima melihat aksara Cina yang dilukis Seo Joon.
“Wah...
bagusnya!” seru Ah Ra.
“Bagaimana
dengan tugasmu?”
“Sudah
jadi...tapi...” dia menyerahkan tugasnya pada Seo Joon seakan mempersilahkan
pemuda itu untuk menilai hasil karyanya sebelum mengumpulkannya pada Pak Kim.
“Bagus!” gumam Seo Joon.
“Padahal
itu biasa saja, kau tak perlu berbohong hanya untuk membuatku senang!” lirih
gadis itu.
“Aku
serius! Lukisanmu ini bagus! Selama kau mengerjakannya sendiri, apapun yang kau
usahakan pasti akan bagus!”
“Aish...
kenapa kau pandai sekali memberi semangat?” gurau gadis itu. Dari jauh
terdengar guru piket berteriak dengan pengeras suara memberi peringatan pada
siswa bahwa gerbang akan ditutup. Seo Joon langsung menarik tangan Ah Ra
sehingga memaksa gadis itu berlari agar tidak terlambat lagi seperti dulu dan
untung saja mereka sampai tepat waktu.
Mereka
harus berpisah di lorong untuk masuk ke kelas masing-masing. Seo Joon
mengulurkan tangannya meminta gulungan tugasnya yang dipegang Ah Ra, gadis itu
mengerti dan segera mengambil ranselnya.
“Astaga...”
wajah Ah Ra tegang. “Aku... menjatuhkannya!” ucap gadis itu. Dia merogoh
ranselnya dan memang tidak menemukan gulungan itu. Saat apel pagi tadi, gadis
itu memasukkan gulungan tugas mereka berdua ke dalam ranselnya dan memang dia
tidak menutupnya dengan rapat karena gulungan itu terlalu panjang.
“Apa?
Bagaimana bisa?”
“Aku
juga tidak tahu!” gadis itu mulai khawatir.
“Ayo
kita cari!” Seo Joon kembali dan menulusuri jalan yang mereka lalui tadi sampai
ke tempat apel pagi.
Lama
mereka mencari, berulang-ulang kembali ke jalan yang mereka lalui, bahkan
bertanya pada teman-teman yang lewat, namun mereka tidak berhasil menemukan
gulungan itu.
“Apa
kau yakin memasukkannya ke ranselmu tadi? Atau mungkin jatuh di jalan raya?”
tanya Seo Joon mulai frustasi.
“Aku
ingat betul masih memegang gulungan itu sampai masuk ke gerbang sekolah dan
memasukkannya ke dalam ranselku saat apel pagi...”
“Yaak!
Lalu kemana perginya gulungan itu, apa mereka bisa terbang?” Seo Joon membentak
Ah Ra.
“Maaf...
aku...”
“Argh...
apa yang akan kukatakan pada Pak Kim? Hari ini kita harus mengumpulkannya kau
malah menghilangkannya!”
“Maaf...”
“Apa
yang kalian lakukan masih berkeliaran di luar kelas? Bukannya jam pelajaran
sudah dimulai sedari tadi?” tegur Pak Kim yang tiba-tiba muncul. Kedua siswa
itu buru-buru kembali ke kelas mereka masing-masing.
Ah
Ra masih berusaha mencari gulungan tugas mereka saat jam istirahat tiba, dia
kembali menyusuri jalan tempatnya kemungkinan menjatuhkan tugasnya itu. Masih
ada waktu sampai jam terakhir tiba, batas waktu mereka harus mengumpulkan tugas
kaligrafi dari Pak Kim. Sayangnya sampai batas waktu itu, gadis itu tidak
menemukan apa-apa.
Ah
Ra berjalan pelan menelusuri jalan raya yang dilaluinya tadi pagi, kalau ia
tidak mendapatkan gulungan itu di dalam sekolah maka ada kemungkinan dia memang
menjatuhkannya di luar sekolah.
“Apa
lagi yang kau cari?” tanya Seo Joon yang berjalan di belakangnya.
“Tugas
kita, mungkin aku memang menjatuhkannya di luar sekolah!”
“Sudahlah...
toh kita juga sudah diberi keringanan, Pak Kim memberi tambahan waktu sampai
besok. Untuk apa lagi dicari, buat ulang saja.”
“Seharusnya
hukuman itu hanya berlaku untukku, kau kan tidak salah apa-apa. Aku yang
menghilangkan tugasmu!”
“Yang
jelas kita berdua tidak mengumpulkan tugas, bagaimana bisa Pak Kim hanya
menghukummu!” Sesekali Seo Joon menoleh ke belakang, di belakangnya ternyata
sudah ada beberapa teman sekelasnya dengan Jun Ho sebagai leader-nya yang
dengan wajah garangnya mengancam Seo Joon untuk segera memanta maaf pada Ah Ra.
Mereka semua pengagum Ah Ra, jadi wajar saja ketika mereka tahu Seo Joon telah
membentak Ah Ra mereka memarahinya habis-habisan dan memaksanya untuk minta
maaf pada gadis itu.
“Ah
Ra~ya... maaf...” ucap Seo Joon pelan.
“Kanapa
kau minta maaf?”
“Aku..
aku sudah membentakmu tadi pagi,”
“Ah...
itu, kurasa wajar bila kau marah. Siapapun pasti akan marah bila tugasnya
dihilangkan di hari terakhir pengumpulannya...”
“Tapi...
bagaimanapun... membentakmu...”
“Aku
justru berterima kasih. Ketika kau marah padaku dan membentakku karena salah,
aku merasa bahwa kau benar-benar temanku. Sebelum ini setiap aku membuat
kesalahan orang-orang akan bilang ‘tidak apa-apa’ ‘jangan khawatir’ ‘tidak masalah’
sejujurnya itu membuatku merasa bersalah dua kali lipat. Mereka berkata seperti
itu kerana segan kepadaku, sekalipun mereka ingin marah, mereka takut untuk
meluapkannya. Aku ingin mereka menganggapku seperti orang biasa, mereka tidak
perlu memperlakukan aku secara istimewa hanya karena aku cucu kepala sekolah
atau putri anggota senat. Aku benar-benar ingin berteman dengan mereka tanpa
adanya pembatas strata di antara kami. Dan kau telah melakukannya.”
“Kau
aneh... biasanya orang-orang akan marah saat dia dibentak,”
“Bagaimana
bisa aku marah saat aku sendiri bersalah. Suatu saat... bila aku memang salah,
jangan takut untuk marah padaku,”
“Benarkah
aku boleh marah padamu?”
“Tentu...
kalau perlu kau boleh menghukumku!”
“Wah...
dengan senang hati!” gurau Seo Joon. Ah Ra tertawa lepas dan beberapa saat
kemudian matanya masih jelalatan mencari tugasnya yang mungkin dia jatuhkan.
“Aish...
berhentilah mencari, toh kita akan membuatnya lagi!” Seo Joon buru-buru menarik
Ah Ra menyeberang jalan.
“Seo
Joon dan Ah Ra kuberi waktu sehari lagi untuk mengumpulkan tugasnya... itu
tidak membuatmu kecewa bukan?” tanya Pak Kim pada Baek Jin Hee, ketua kelas Ah
Ra. Dia memang sengaja memanggil gadis itu secara pribadi untuk menemuinya di
ruang guru.
“Maaf?”
Jin Hee tidak mengerti maksud pembicaraan pak gurunya.
“Sebenarnya
apa tujuanmu melakukan ini? Apa kau berharap kedua anak itu mendapat hukuman?”
“Maaf...
apa yang anda sedang bicarakan Pak Guru?”
“Aku
melihat kau mengambil gulungan itu dari ranselnya Ah Ra yang terbuka. Awalnya
kupikir kau hanya akan mengerjainya, membuat mereka panik dan pada akhrinya
tetap mengembalikan gulungan itu pada mereka. Tapi sampai batas waktu
pengumpulan, ternyata kau tidak juga bertindak seperti yang kuharapkan jadi
kupikir kau mungkin punya maksud lain,”
“.
. . .” Jin Hee tertunduk diam. Tangannya mengepal entah karena mungkin menahan
malu.
“Aku
tak tahu ada masalah apa antara kalian bertiga, tapi cara yang kau tempuh untuk
menjatuhkan lawanmu bukanlah cara yang keren. Itu hanya akan membuatmu terlihat
lebih menyedihkan. Kau terlihat seperti orang yang putus asa dan terpaksa
menempuh cara curang untuk bisa menang. Kali ini kau kumaafkan, pulanglah dan
renungkan kesalahanmu.”
“.
. . .” Jin Hee masih terdiam saat dia pergi meninggalkan Pak Kim. Ia
benar-benar malu untuk sekedar mengangkat kepalanya di hadapan Pak Kim tadi.
Tanpa dia sadari air matanya menetes, sayangnya bukan air mata penyesalan namun
air mata kebencian yang semakin membara.
Jin
Hee hanya ingin membuat Seo Joon marah pada Ah Ra, dia hanya ingin membuat
jarak di antara kedua anak itu. Perasaan sukanya pada Seo Joon sejak SMP
membuatnya benar-benar marah dan cemburu ketika Ah Ra yang baru mengenal Seo
Joon justru lebih dekat dengan pemuda itu dibanding dirinya.
♥♥♥
No comments:
Post a Comment