@ Namwon 2016
“Bagaimana keadaanmu? Apa kau
baik-baik saja?” tanya Seung Yeon. Gadis itu secara pribadi mengajak Ah Ra
bertemu di café langganan mereka dulu.
“Uhm...
aku baik-baik saja. Apa kau mengajakku bertemu hanya karena penasaran pada
kondisiku? Tak perlu khawatir, aku baik-baik saja.” Ah Ra meyakinkan temannya.
“Aku
sangat menyesal mengenai kejadian kemarin. Aku sungguh lupa kalau kau alergi
bulu binatang dan aku malah memaksamu menggendong Snowy,”
“Sudah
kukatakan, aku baik-baik saja. Jangan khawatir!”
“Ah
Ra~ya... maaf...”
“Ah...
kenapa kau malah minta maaf lagi? Apa yang
perlu dimaafkan untuk sesuatu yang tidak disengaja?”
“Aku
minta maaf karena sampai saat ini aku masih sulit menerimamu sebagai temanku,”
Seung Yeon menatap Ah Ra.
“.
. .” Ah Ra terhenyak.
“Kau
sendiri tahu betapa kami membencimu dulu. Aku sangat menyukai Jun Ho dan Jun Ho
sangat menyukaimu, itulah alasanku membencimu. Aku tak tahu kalau teman yang
lain membencimu karena alasan apa, yang kutahu... kami membencimu karena kau
memiliki semua yang kami mau.”
“Kau
cantik, kau pintar, kau kaya, kau baik, kau... kau memiliki segalanya dan kami
iri. Saat Jun Ho menolakku dan saat aku tahu dia menyukaimu, aku... sungguh
ingin melenyapkanmu dari sekolah, Namwon, bahkan dunia. Aku merasa tak kalah
cantik darimu, aku juga tak kalah pintar darimu, aku yakin aku sehebat dirimu
tapi kenyataannya bukan itu yang membuat Jun Ho menyukaimu.”
“Seo
Joon kala itu memberikan nasihat, daripada membencimu dengan alasan konyol itu,
lebih baik aku mencari alasan apa yang membuat Jun Ho lebih menyukaimu dan saat
aku tahu alasannya... aku benar-benar terluka.”
(Lee Jun Ho @
2003)
“Suatu
malam di pertengahan musim dingin, saat itu aku berada di halte bus menunggu
bus untuk pulang. Di sebelahku duduk seorang gelandangan yang memakai pakaian
seadanya bahkan dapat kukatakan hanya pakaian tipis yang tidak dapat
melindunginya dari sengatan dingin. Beberapa orang di halte itu berusaha
menghindar darinya karena bau yang menyengat dan jujur aku juga risih berada di
dekat gelandangan.”
“Tiba-tiba
saja ada seorang gadis remaja seumuranku menghampiri gelandangan itu dan
menyapanya. Dari percakapan mereka, kami jadi tahu kalau dia korban penipuan.
Gadis itu membuka mantel yang dikenakannya dan memberikannya pada Paman
Gelandangan itu. Dia juga memberikan kopi hangat yang baru dia beli dari café
dekat halte itu. Apa yang dilakukan gadis remaja itu seperti menampar kami
semua yang acuh tak acuh pada gelandangan itu. Dan pada saat penerimaan siswa
baru di SMU Namwon aku melihat gadis remaja itu, dia juga menjadi murid baru
sepertiku. Dan dialah cucu kepala sekolah kita.”
Ah Ra masih saja kepikiran perkataan
Seung Yeon barusan. Pria yang begitu disukai Seung Yeon malah menyukai dirinya.
Dia dapat mengerti mengapa dulu gadis itu sangat membencinya. Ah Ra tersadar
bila hari telah gelap dan dia hanya sendiri berjalan di jalan yang sepi. Dia
teringat pesan Seo Joon untuk tidak keluar sampai larut mengingat pencopet
waktu itu belum tertangkap.
Ah
Ra mempercepat langkahnya, dari arah depan sebuah sepeda motor melintas. Gadis
itu agak merapat ke tembok jalan untuk menghindari sepeda motor itu tapi dia
tersadar kalau pengendara sepeda motor itu memang sedang mengincarnya. Benar
dugaannya, saat sepeda motor tepat berada di sampingnya, tas tangannya ditarik.
Ah Ra refleks mempertahankan tasnya sehingga terjadi tarik menarik antara dia
dan pengendara motor. Dia bahkan ikut terseret beberapa inci sehingga membuat
sepeda motor itu terjatuh.
Ah
Ra berhasil menyelamatkan tasnya, namun sayang pencopet yang marah itu segera
berlari ke arahnya dan mencoba merebut tas itu lagi. Pencopet itu bahkan
memukul wajah Ah Ra yang begitu melindungi tasnya. Untung saja ada patroli
polisi yang lewat sehingga kedua pencopet itu kabur dan Ah Ra pun
terselamatkan.
Seo
Joon baru tiba di kantor polisi dan dia langsung dikejutkan oleh keadaan Ah Ra
yang sedang diintrogasi oleh temannya.
“Ada
apa denganmu? Kenapa kau luka-luka begini?” Seo Joon panik melihat tangan,
kaki, dan wajah gadis itu terluka dan memar.
“Ah...
aku tidak apa-apa...” jawab Ah Ra mencoba menenangkan sahabatnya.
“Tidak
apa-apa bagaimana?! Kau terluka begini, apanya yang tidak apa-apa?!” bentak Seo
Joon.
“Yaak!
Kenapa kau membentak korban seperti itu?!” polisi yang menginterogasi Ah Ra
membentak Seo Joon balik. “Dia hampir saja mati karena pencopet sialan itu,
untung saja dia hanya terluka dan tidak ada barangnya yang hilang. Kau malah
membentaknya!”
“Kau...
bukannya sudah kubilang jangan jalan sendirian di malam hari! Kau memang keras
kepala...”
“Yaak!
Menyingkir darinya! Dia masih shock dan kau terus memarahinya!” bentak temannya
itu.
“Sunbae...
kenapa anda tidak menelponku? Bagaimana bila terjadi sesuatu padanya?!” protes
Seo Joon pada polisi yang ternyata seniornya.
“Kau
izin untuk menemui calon istrimu, katanya ada beberapa hal untuk pernikahanmu
yang harus diselesaikan. Kau pikir aku akan tega mengganggumu?!” Seo Joon
terdiam saat mendengar alasan seniornya.
“Seo
Joon~a... tak perlu khawatir, aku baik baik saja,” bujuk Ah Ra. Mata gadis itu
berkaca-kaca dan sukses membuat Seo Joon semakin panik.
“Kenapa
kau menangis? Apa lukamu perih? Apa ada yang sakit? Ayo kita ke rumah sakit!”
ajak Seo Joon. Andai Ah Ra dapat berbicara jujur padanya, luka di kaki, tangan,
dan wajahnya bukanlah apa-apa. Yang membuatnya menangis adalah hatinya yang
terluka seketika dia tahu Seo Joon menemui calon istrinya saat dia membutuhkan
pertolongannya.
“Aish...
kalau aku bertemu pencopet itu, aku pasti akan merontokkan semua giginya.
Berani-beraninya dia memukul perempuan seperti ini, sampai bibirnya berdarah!”
senior itu membanting topinya ke meja. “Yaak! Letnan Park bawa temanmu ke
klinik! Aku sudah selesai menginterogasinya!” perintah senior.
Seo
Joon mengantar Ah Ra pulang usai dia membawanya ke rumah sakit untuk berobat.
Tak perlu ditanya lagi bagaimana reaksi Bibi Han saat melihat Ah Ra pulang
dengan tangan digips dan kaki diperban. Beliau histeris dan tak henti-hentinya
mengumpat para pencopet itu. Seo Joon hanya dapat meminta maaf sedalm-dalamnya
karena gagal melindungi Ah Ra. Dia hanya dapat berjanji untuk segera menangkap
pencopet yang telah meresahkan warga itu.
Saat
Ah Ra telah beristirahat di kamarnya, dia teringat kembali kejadian pencopetan
itu. Tas yang berusaha diselamatkannya itu tidaklah berisi barang mewah yang
berharga mahal. Kalau pun ada barang mewah, hanya ponsel dan dompet, selebihnya
adalah benda-benda kenangan saat dia masih SMU. Benda kenangan yang baginya
lebih berharga dari barang mewah, benda yang tak akan dapat digantikan kalau
saja hilang, salah satunya adalah sapu tangan pemberian Seo Joon.
♥♥♥
@Namwon 2006
Malam
itu langit tak berbintang, mungkin karena awan mendung yang menutupinya.
Keheningan malam itu terusik oleh dering ponsel Ah Ra, gadis itu terbangun
sambil meraba-raba di mana dia meletakkan benda yang bercahaya itu.
“Halo...?”
suaranya begitu jelas menunjukkan bahwa dia masih terkantuk-kantuk,
“Ah
Ra...” suara Seo Joon di seberang sana yang serak terdengar seperti sedang
menahan tangis.
“Seo
Joon? Ada apa?”
“Ayahku...”
Seo Joon tak sanggup meneruskan perkataannya.
Ah
Ra berjalan setengah berlari di lorong rumah sakit, remaja itu ditemani oleh
Pak Guru Kim. Jam baru saja menunjukkan pukul dua pagi dan jelas kakeknya tidak
akan membiarkan dia keluar sendirian di jam seperti itu.
“Seo
Joon!” ucapnya saat melihat temannya itu terpekur sendiri di sebuah kursi
tunggu di depan UGD. Seo Joon yang disapa segera berdiri dengan sisa tenaganya,
wajahnya terlihat lelah, matanya bengkak dan terlihat jelas masih ada jejak air
mata yang membasahi pipinya. Dia mencoba melangkah namun kakinya lemah, hampir
saja dia terjatuh, untung saja Ah Ra segera memeluknya.
Ayahnya
Seo Joon kecelakaan, kondisinya kritis dan harus segera dioperasi. Kendalanya
adalah mereka tidak punya biaya, mereka memang tergolong keluarga sederhana
sehingga biaya operasi yang mencapai jutaan won akan terasa berat.
“Pakai
saja uang tabunganku, tunggu apa lagi Ibu?!” desak Seo Joon pada ibunya.
“Lalu
bagaimana dengan kuliahmu? Bukannya kau ingin menjadi dokter?”
“Persetan
dengan cita-citaku, apa artinya semua itu bila aku harus kehilangan ayahku?”
“Tidak...
bagaimanapun kau harus kuliah!”
“Lalu
bagaimana dengan ayah?”
“Seo
Joon... biarkan ibu berpikir!”
“Tak
ada waktu lagi! Kita akan kehilangan ayah kalau kita berpikir lagi!”
“Tabunganmu
pun belum cukup untuk menutupi biaya rumah sakit ini!”
“Lalu
apa yang akan kita lakukan Bu? Apa kita akan diam saja?”
Ibu
dan anak itu kaget saat melihat sang ayah dipindahkan ke ruang operasi sebab
mereka belum mengambil kata putus untuk biaya operasi itu.
“Biaya
operasi telah dilunasi oleh pria itu,” ucap suster yang membawa sang ayah
menuju kamar operasi. Seo Joon termangu memandang Pak Guru Kim yang bertanda
tangan di meja resepsionist.
“Apa
yang anda lakukan? Biayanya bukanlah seharga uang jajan anak sekolahan Pak
Guru. Bagaimana aku bisa menebusnya?”
“Ini
permintaan Ah Ra, aku hanya bertindak sebagai wali saja. Ah Ra masih di bawah
umur untuk menjadi penjamin biaya operasi.”
“Ah
Ra~ya...” Seo Joon mencoba untuk protes.
“Bukannya
kita teman? Apa salahnya aku membantu temanku? Ayahmu, ayahku juga ‘kan!”
“Kami
benar-benar berterima kasih Nak!” Ibunya Seo Joon serta merta memeluk Ah Ra
sambil berurai air mata kelegaan.
Sayangnya
operasi itu tidak berhasil, ayahnya Seo Joon meninggal menjelang fajar. Hari
itu mereka berduka, seluruh warga sekolah datang melayat dan memberikan ucapan
belasungkawa pada sang atlet remaja. Ah Ra menemani Seo Joon yang terduduk
lemah di samping abu jenasah ayahnya. Air mata pemuda itu, Ah Ra baru menyadari
bahwa Seo Joon akhirnya menangis setelah sepanjang hari dia berusaha tegar
tanpa air mata menyambut para pelayat yang datang.
“Apa
yang harus kulakukan untuk menenangkanmu?” tangis Ah Ra juga pecah melihat Seo
Joon yang menangis. Seo Joon menggeleng tanda tak ada yang perlu dilakukan Ah
Ra untuknya. Ah Ra mendekapnya dan menepuk bahunya,
“Kau
harus kuat demi ibumu...” bisik gadis itu.
♥♥♥
“Kau
mau membawaku ke mana?” tanya Seo Joon yang penasaran karena Ah Ra mengajaknya
mendaki bukit.
“Rahasia!
Aku yakin kau pasti suka!” gadis itu tersenyum sambil membenarkan posisi
ranselnya.
“Aku
belum pamit pada Ibuku, bagaimana kalau Ibu khawatir?”
“Jangan
takut, aku sudah menelponnya dan beliau sudah memberi izin!”
“Sepertinya
kau sudah merencanakan ini!” tebak Seo Joon.
Seo
Joon terperangah melihat kelinci yang berlarian bebas di tengah hamparan
rumput, mereka bahkan memiliki sarang, sebuah gua berukuran kecil. Ah Ra dan
Seo Joon mengendap-endap bahkan mereka harus merayap perlahan untuk melihat
kelinci itu bermain.
“Hush...
kita tidak boleh berisik, mereka bisa lari dan masuk ke dalam gua bila
menyadari ada yang datang,” bisik Ah Ra.
“Dari
mana kau mengetahui tempat ini?”
“Pak
Guru Kim yang memberitahukan padaku! Mereka lucu bukan?” Seo Joon yang ditanya
hanya mengangguk dan sumringah.
Sinar
matahari sore membalut mereka yang berbaring di tengah hamparan rumput,
keindahan alam kala itu mampu membuat mereka betah untuk menghabiskan waktu
berlama-lama.
“Seo
Joon~a jangan biarkan dukamu merenggut tawamu! Ayahmu pasti tidak akan senang
melihatmu larut dalam kesedihan,” Ah Ra menoleh menatap pria yang berbaring di
sampingnya. “Sekalipun aku tidak dapat menjangkaunya, asal melihat
kelinci-kelinci itu bahagia, akupun turut bahagia. Sama seperti ayahmu, meski
kini kita tak dapat lagi bersamanya, asal kau dan ibumu bahagia, aku yakin
ayahmu juga akan bahagia di sana...”
“Ayah...”
bisik Seo Joon sambil memandang langit yang telah kemerahan, “Aku akan
membahagiakan Ibu, jangan khawatir!” Seo Joon kembali memandang Ah Ra di
sampingnya dan merekapun tersenyum bersama.
“Oh
iya... pertengahan bulan nanti katanya akan ada hujan meteor di langit kota
Namwon!” Ah Ra terduduk begitu saja.
“Mau
melihatnya? Akan lebih bagus bila kita melihat di tempat yang tinggi!” ajak Seo
Joon.
“Ini
seperti ajakan kencan!” ucap Ah Ra seraya menggoda Seo Joon.
“Kalau
aku mengajak Ibuku untuk ikut, apa masih bisa disebut kencan?” tanya Seo Joon.
“Hahaha...
kalau begitu aku juga akan mengajak Kepala Sekolah!” tambah Ah Ra.
♥♥♥
@Namwon 2016
Ah
Ra berjalan cepat hampir setengah berlari, ketakutan menyelimutinya. Gadis itu
merogoh tasnya, mencari smartphone-nya untuk menghubungi seseorang.
“Halo...”
suara gadis itu bergetar menahan takut. “Aku sepertinya dibuntuti seseorang, tolong
aku, hiks...”, “Aku berada beberapa blok dari rumahku, di jalan sempit dekat
persimpangan Paran High School,” Ah Ra yang masih ketakutan segera mematikan
panggilannya. Langkahnya dipercepat mencoba segera ke tempat yang cukup ramai.
“Argh...”
Ah Ra histeris saat seseorang menghadang langkahnya setelah beberapa menit
berlalu,
“Na yaa[1]...”
bisik orang itu. Ah Ra memastikan penglihatannya, Seo Joon kini telah
bersamanya.
“Hiks....”
tangisan gadis itu pecah dan tanpa sadar dia memeluk pria jangkung di hadapannya.
“Aku takut... apa mungkin pencopet itu membuntutiku karena gagal merampokku
waktu itu?”
“Tenanglah,”
bujuk Seo Joon. Perlahan dia melangkah ke arah yang mencurigakan seperti yang
dikatakan Ah Ra. Dia menemukan penguntit itu namun buruannya segera kabur saat
menyadari keberadaannya telah diketahui. Seo Joon tidak tinggal diam, dia
segera mengejar orang yang mencurigakan itu dan untunglah dia berhasil
melumpuhkannya.
“Maaf,
maaf... kumohon jangan memukulku!” orang itu memelas.
“Siapa
kau? Kenapa kau menguntitnya?” bentak Seo Joon namun terlanjur sudah
melayangkan sebuah pukulan ke wajah orang itu.
“Aku
tidak berniat jahat padanya...”
“Tapi
kau sudah membuatnya ketakutan!” bentak Seo Joon sekali lagi. Ah Ra berlari dan
tersengal-sengal ketika tiba di tempat Seo Joon melumpuhkan orang itu.
“Aku
hanya ingin menjaganya, kudengar dia baru saja menjadi korban pencopetan
kemarin, karena terlalu berbahaya pulang sendiri sedangkan hari sudah gelap
maka kuputuskan untuk mengikutinya untuk memastikan dia pulang dengan selamat,”
“Bohong!”
Seo Joon menghajar pria itu sekali lagi.
“Ahjussi?!”
Ah Ra seperti mengenali pria itu.
“Kau
mengenalnya?” tanya Seo Joon pada Ah Ra.
“Nona...
apa anda masih mengingatku?”
“Bukannya
anda pengantar mie kecap waktu itu?”
“Ya
benar, ini saya,” pria penguntit itu tersenyum mengetahui Ah Ra masih
mengenalinya.
“Seo
Joon... tolong lepaskan dia, aku kenal paman ini,” pinta gadis itu pada Seo
Joon. “Apa yang anda lakukan? Kenapa anda membuntutiku seperti ini? Anda ‘kan
bisa mengajakku ngobrol tak perlu diam-diam seperti ini!”
“Hehehmm...”
Ahjussi itu tertawa malu,
“Yaak
apa yang kau tertawakan?! Apa ada yang lucu?!” bentak Seo Joon mencengkram
kerah baju pria itu.
“Aku...
aku malu, aku menyukai Nona ini. Dia sangat cantik dan baik, dia pernah
menolongku saat aku kecelakaan. Aku sangat menyukainya tapi aku malu
mengakuinya,”
“Mwo??” Seo Joon kehabisan kata-kata.
“Aku
tahu aku tidak boleh menganggu pacarmu Pak Polisi, aku tahu kalian pacaran
karena aku selalu melihat kalian bersama. Tapi apa tidak boleh aku tetap
menyukainya meski diam-diam. Aku janji tidak akan mengganggunya!”
“Bajingan!
Apa kau pikir aku percaya?” Seo Joon memukul pria itu sekali lagi.
“Seo
Joon kenapa kau memukulnya?!” Ah Ra protes,
“Dia
dia membuntutimu dan membuatmu takut!”
“Kau
dengar sendiri ‘kan apa alasannya dia melakukan itu?!”
“Apa
itu masuk akal? Dia membuntutimu karena dia menyukaimu?”
“Kau
mungkin tidak pernah menyukai seseorang secara diam-diam makanya kau tidak
mengerti bagaimana perasaannya!” Ah Ra jadi emosi. Seo Joon terdiam memandang
Ah Ra, gadis itupun terdiam menyadari apa yang baru saja dia katakan.
“Kau
benar... menyukai seseorang secara diam-diam itu menyakitkan. Aku lupa kalau
dulu aku juga pernah merasakannya!” Seo Joon sinis menyindir gadis itu. Dia pergi
meninggalkan Ah Ra dan Ahjussi itu begitu saja.
“Nona...
apa aku membuat kalian bertengkar?”
“Ahjussi...
kenapa anda melakukan ini?” Ah Ra menangis kencang.
♥♥♥
@Namwon 2006
Jin
Hee melihat Seo Joon memasukkan selembar memo ke dalam loker milik Ah Ra. Gadis
itu lantas membuka jepitan rambutnya dan mencoba membuka kunci loker itu.
Beberapa menit berlalu dan akhirnya dia berhasil. Memo yang dimasukkan Seo Joon
melalui celah pintu loker itu kini berada di tangannya. ‘Aku sudah menemukan tempat yang paling cocok untuk melihat hujan
meteor, di bukit kelinci. Aku akan menunggumu di sana, pastikan kau akan
datang!’
Seo
Joon sedang membawa beberapa peralatan praktek ke laboratorium saat Jin Hee
melintas. Gadis itu menawarkan bantuan untuk membawa sebagian bawaan Seo Joon.
Mulanya pemuda itu menolak namun Jin Hee berkeras untuk membantnuya,
“Apa
tidak boleh wanita membantu pria? Kalau Ah Ra yang meminta, pasti kau izinkan!”
seloroh Jin Hee. Seo Joon tidak dapat berkutik dan akhirnya membiarkan gadis
itu membantunya. Mereka melewati ruang guru, kebetulan sekali Ah Ra keluar dari
ruang guru saat mereka melintas.
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Seo Joon sekedar menyapa Ah Ra.
“Aku
baru saja bertemu Pak Guru Kim,” jawab Ah Ra. “Sepertinya bawaanmu berat, biar
aku membantumu!” tawar Ah Ra.
“Ah...
tidak perlu! Sudah ada Jin Hee yang membantu. Kembalilah ke kelasmu, sebentar
lagi bel masuk berbunyi.” Seo Joon menolak tawaran Ah Ra.
“Tapi...”
Ah Ra mencoba menolak,
“Kembalilah
ke kelas!” satu perintah Jin Hee sukses membuat Ah Ra mundur, Seo Joon memberi
senyum dan aba-aba agar Ah Ra kembali ke kelas. Akhirnya mereka pun berpisah
jalan.
“Sebaiknya jangan terlalu keras padanya...”
nasehat Seo Joon.
“Kurasa
dia punya hubungan khusus dengan Pak Guru Kim!” ucap Jin Hee mengalihkan
pembicaraan.
“Berhentilah
bergosip, itu tidak baik!”
“Bukan
hanya aku yang berpikir begitu, banyak murid yang juga merasa kalau Ah Ra dan
Pak Guru memang dekat! Kau mungkin tidak tahu, tapi aku pernah melihat mereka
bertemu secara sembunyi-sembunyi!” lanjut Jin Hee. Seo Joon menatap tidak suka
pada gadis itu, “Aku bahkan melihat Pak Guru mengunjungi rumahnya Ah Ra di
malam hari. Saat itu kupikir Pak Guru berkunjung karena berurusan dengan kepala
sekolah tapi nyatanya dia membawa Ah Ra berbelanja!”
“Hentikan!”
pinta Seo Joon.
“Kau
mungkin tidak suka mendengar cerita ini karena dia sahabatmu, hanya saja kau
perlu tahu kalau dia tidak sepolos yang kau kira,”
“Yaak
Baek Jin Hee! Kau sadar siapa yang sedang kau bicarakan?!” nada suara Seo Joon
meninggi.
Seo
Joon yang telah termakan oleh perkataan Jin Hee mulai memperhatikan Ah Ra,
bagaimana gerak-gerik gadis itu di sekolah khususnya bila berhadapan dengan Pak
Guru Kim. Parahnya lagi cerita yang belum pasti kebenarannya ini telah merebak
seantero sekolah. Di mana-mana para siswa menggunjingkan Ah Ra dan Pak Kim.
Seo
Joon terdiam sendiri di halte, dia mengingat-ingat kembali bagaimana Pak Kim
secara tidak sengaja terlibat dalam setiap kegiatan Ah Ra. Saat mereka terjebak
badai, Pak Kim lah yang menolong mereka. Padahal saat itu tak ada kendaraan
yang melintas namun Pak Kim rela menerjang badai, apakah semua demi Ah Ra? Saat
tugas kaligrafi mereka hilang yang seharusnya mereka mendapat hukuman namun Pak
Kim dengan bijaknya memaafkan bahkan memberi satu kesempatan lagi untuk mereka.
Terakhir pada saat ayahnya kecelakaan, pagi-pagi buta Pak Kim mengantar Ah Ra
ke rumah sakit bahkan menandatangani berkas pembayaran biaya operasi demi Ah
Ra.
“Awww...”
Seo Joon meringis kesakitan saat Ah Ra mencubit perutnya.
“Kenapa
kau melamun? Ayo cepat habiskan bekalnya, jam istirahat sudah hampir habis!”
gerutu Ah Ra.
“Nde...”
Seo Joon menurut. “Ehm... Ah Ra~ya...” panggil Seo Joon ragu-ragu.
“Uhm?”
“Ah
tidak! Tidak apa-apa!” Seo Joon urung menanyakan mengenai hubungan gadis itu
dengan Pak Guru Kim.
“Dasar!
Ayo cepat habiskan makanannya!”
“Iya!
Cerewet!” balas Seo Joon.
“Ah
ya, hampir lupa! Apa kau sudah menemukan tempat untuk melihat hujan meteor?”
tanya Ah Ra.
“Apa
kau belum membacanya? Aku sudah menemukan tempat yang paling cocok untuk itu.
Aku sudah menulisnya di memo dan kumasukkan ke dalam lokermu!”
“Begitukah?
Aku memang jarang memeriksa loker belakangan ini. Baiklah nanti aku akan
membacanya!”
Ah
Ra berlarian kecil menuju ruang loker, senyum manis mengembang menghiasi wajah
cantiknya. Seperti remaja yang menerima surat cinta, begitulah hatinya berbunga
saat ini. Gadis itu buru-buru mengambil kunci loker namun dia cukup kaget saat
tahu lokernya sudah dalam keadaan tidak terkunci.
“Apa
Seo Joon membukanya? Ah... tidak, dia pasti akan izin dulu,” Ah Ra berbicara
pada dirinya sendiri. Gadis itu mencari memo yang dimaksud Seo Joon namun tidak
mendapatkannya di mana pun. Dia bahkan mencari di lantai pikirnya keras itu
bisa saja terjatuh, tapi sayang dia tidak menemukan apa-apa.
“Cho
Ah Ra, kau mencari ini?” Baek Jin Hee teman sekelasnya seketika berdiri di
hadapannya dan memperlihatkan sebuah memo berwarna kuning, mirip memo yang pernah
diselipkan Seo Joon ke dalam lokernya.
“Ah...
iya!” jawab gadis itu cepat namun langsung terdiam saat Jin Hee bukannya
menyerahkan memo itu tapi malah meremasnya.
“Aku
ingin bicara empat mata denganmu, mengenai rahasia besar yang sedang kau
sembunyikan!” Jin Hee menatapnya tajam.
♥♥♥
~To Be Continued~
No comments:
Post a Comment