Friday 7 March 2014

FF One Shot - I Love U Girl



            “Hangeuk saramiyeyeo?” tanya seseorang tiba-tiba padaku. Kuangkat kepalaku ke arahnya, seorang gadis dengan senyum merekah menyapaku.
            “Neo… hangeuk saramiyo?” tanyaku balik.
            “Ah bukan…” jawabnya dalam bahasa Jepang. Tanpa izinku, dia langsung duduk di dekatku. “Kudengar dari teman-teman katanya ada siswa pindahan dari Korea di tingkat dua. Kurasa kau orangnya!” dia melirikku yang sedang membaca novel dengan tulisan Hangeul. Ponselku bergetar, ada pesan yang masuk. Hm… aku mendesah, ayah mengabarkan tidak dapat menjemputku hingga aku harus pulang sendiri. Aku segera pergi dan ternyata gadis itu mengekoriku.
            “Kenapa kau pergi?” tanyanya. Aku diam,
            “Siapa namamu? Kau di kelas berapa? Di mana kau tinggal? Apa kau pulang sendiri? Apa…”
            “Kenapa kau cerewet sekali? Jangan menggangguku, pergilah!” ucapku dengan nada yang lumayan tinggi. Gadis itu tertegun, kurasa dia kaget. Murakami Fuyumi, itu tertera di papan nama di bajunya.  
            Aku tak tahu apa yang diinginkan gadis ini, sedari tadi dia terus mengikutiku. Dia menumpangi bus yang sama denganku, turun di halte yang sama pula, bahkan menulusuri jalanan yang sama. Dia terus berjalan di belakangku seperti ekor.
            “Kenapa kau mengikutiku? Apa kau tidak punya pekerjaan lain? Memangnya kenapa kalau aku orang Korea? Apa ada masalahnya denganmu?” tanyaku dengan sikap yang kurang bersahabat.
            “Uhm… itu…” gadis itu jadi kikuk,
            “Pergilah, aku tidak tahu apa-apa tentang Boyband Korea dan semacamnya. Aku sudah cukup pusing dengan siswi-siswi di sekolah yang selalu bertanya tentang band Korea padaku. Aku bukan siapa-siapa, aku mana tahu tentang mereka!”
            “Aku… aku… bukannya mengikutimu, aku juga mau pulang ke rumahku. Itu rumahku!” ucapnya sambil menunjuk rumah di sebelah rumahku.
§§§
            Ckkk… begitulah aku bertemu dengannya. Dia seorang gadis yang sangat polos. Dia senior di sekolahku, berada di tingkat tiga. Dia mendekatiku karena ingin belajar bahasa Korea dan tulisan Hangeul. Dia berbeda dari siswi lain yang mendekatiku hanya ingin mengetahui lebih banyak tentang boyband idola mereka. Meski aku orang Korea, bukan berarti aku mengetahui tentang penyanyi-penyanyi idola mereka itu.
            Aku termasuk anak yang sulit bergaul makanya aku tidak punya banyak teman. Tapi untuk gadis satu ini, aku sungguh sangat bersyukur dapat mengenalnya bahkan menjadi sahabatnya. Entah apa yang terjadi andai waktu itu dia menyerah untuk mendekatiku, dia menyerah untuk menjadikan aku sebagai temannya. Dengan personalitiku yang kurang menguntungkan, tentu selama bersekolah di Jepang, aku pasti tidak punya siapa-siapa.
            Ayahnya adalah orang Jepang sementara ibunya orang Korea. Orang tuanya berpisah saat dia masih kecil. Ibunya kembali ke Korea membawa serta kakaknya sementara dia harus tinggal bersama ayahnya di Jepang. Ayahnya kini telah berkeluarga lagi, dan setahunya ibunya juga telah menikah lagi. Ayahnya melarangnya menghubungi ibunya dengan alasan masih sakit hati, hingga selama terpisah, ia tak tahu lagi keadaan ibu dan kakaknya.

            “Jong Hyun!” aku sangat suka mendengarnya memanggil namaku, dengan aksen Jepangnya yang kental, terdengar begitu manja di telingaku. Setiap istirahat sekolah, dia datang menjemputku ke kelas dan setelahnya kami ke taman untuk belajar Bahasa Korea.
            “Jangan pernah bosan mengajariku ya, aku memang payah dalam urusan sastra namun aku sangat ingin menguasai bahasa Korea dan dapat menulis Hangeul…”
            “Payah bagaimana? Noona sangat pintar, aku yakin dalam beberapa bulan saja Noona pasti dapat menulis Hangeul!” ucapku. Aku memanggilnya Noona (kakak perempuan) sebagai rasa hormatku padanya, meski dia sahabatku, namun dia tetap lebih tua setahun dariku.
            Impiannya sederhana saja, dia ingin menulis surat untuk ibu dan kakaknya. Dia ingin menulis dengan tulisan dan kata-katanya sendiri. Dia berpikir mungkin ibunya masih akan mengerti bila dia berkirim surat menggunakan tulisan Kanji, namun bagaimana dengan kakaknya? Apakah dia bisa berbahasa Jepang dan membaca Kanji? Mengingat kakaknya pindah ke Korea saat usianya masih kecil, tentu dia hanya akan tahu bahasa Korea.
            Dia hanya dapat belajar Hangeul di sekolah, dia tak berani belajar di rumah. Ayahnya termasuk orang yang sangat keras, dia takut ayahnya akan marah dan kecewa padanya. Antusiasme belajar yang tinggi dan semangatnya membuatnya mudah menerima semua penjelasanku. Meski sesekali dia menelponku secara sembunyi-sembunyi saat menemukan kesulitan.
Tanpa kusadari, aku telah jatuh hati padanya. Aku menyukai semua yang dia miliki, semangatnya, keceriaannya, kepolosannya, semuanya. Aku suka melihat senyumnya, caranya bicara, aku suka mendengar suaranya, semuanya. Aku jatuh cinta, aku ingin memilikinya, tak ingin kubagi, dia seutuhnya milikku. Aku selalu cemburu bila melihatnya terlalu akrab dengan siswa lain, aku marah bila ada siswa yang mencoba menggodanya, aku tidak suka bila ada yang menatapnya terlalu dalam. Dia seorang siswi yang cantik dan cukup popular, di saat itulah terkadang ada cekcok di antara kami.
§§§
Hari itu, saat festival musim panas, aku memberanikan diri mengajaknya ke Kyoto. Untuk pertama kalinya kulihat dia mengenakan yukata, aku seperti melihat seorang putri Jepang jaman Edo hidup dalam dirinya. Untung saja aku membawa kamera hingga kuabadikan gambarnya dalam setiap kutipan kameraku meski dia merasa risih karena tak henti-hentinya aku memotretnya.
Malam di saat festival itu, tak akan terlupa seumur hidupku. Hari yang begitu membahagiakan bersama dengannya. Kami mengunjungi kuil dan aku menyempatkan diri membelikannya sebuah jimat. Jimat yang kata penjualnya akan mendatangkan kebahagiaan bagi pemiliknya. Saat tengah malam menjelang, acara puncak festival musim panas tiba, pelepasan kembang api. Dia duduk di sampingku, kembang api yang menghiasi langit malam memang terlihat begitu indah, namun senyumannya saat memandang langit lebih menawan hatiku.
“Apa yang kau lakukan? Berhentilah memotretku. Lihatlah kembang apinya begitu indah!” dia tersenyum dengan latar langit malam berhias kembang api dan itu tertangkap kameraku! Tanpa kusadari aku langsung mengecup bibir mungilnya. Dia kaget, aku sendiri pun kaget dan tidak percaya kenapa aku bisa melakukannya.
Malam itu juga kami kembali ke Tokyo, kekakuan di antara kami jelas terasa. Aku pun masih tak tahu harus bagaimana menjelaskan apa yang baru saja kulakukan. Aku diam dan dia pun diam. Kami mungkin larut dalam pikiran dan terkaan masing-masing. Aku hanya takut dia berpikiran buruk padaku, bagaimana pun mencium seseorang tanpa izin itu bukanlah perbuatan terpuji. Tapi sungguh, saat itu aku benar-benar tidak dapat menahan perasaanku untuk tidak menciumnya.

Kejadian malam itu berlalu begitu saja, tanpa penjelasan sebab dia tak pernah bertanya mengapa. Kalaupun dia bertanya mungkin aku juga tidak akan tahu harus menjawab apa. Aku terlalu pengecut menyatakan perasaanku padanya. Aku takut dia kecewa padaku, aku takut dia yang hanya menganggapku sebagai juniornya akan berbalik membenciku. Aku tak ingin itu terjadi, aku sungguh tak mau hubungan kami jadi renggang.
Selama beberapa bulan mengajarinya berbahasa Korea, dia akhirnya mulai menulis. Aku yang menjadi pemeriksanya, mengoreksi setiap kesalahan yang ada. Kata-katanya terukir sederhana untuk Ibu dan Kakaknya yang sangat dia rindukan. Gadis yang tidak menuntut banyak, dia hanya ingin Ibu dan Kakaknya dapat hidup bahagia.
“Semua sudah cocok, jadi kapan Noona akan mengirimnya?” tanyaku kala itu.
“Sebenarnya aku juga tidak tahu alamat mereka. Tapi aku yakin ayah tahu, aku terpaksa mencari sembunyi-sembunyi di ruang kerjanya.”
“Bagaimana bila ketahuan?”
“Jangan sampai ketahuan!” kala itu dia sedang merapikan setiap lembaran suratnya dan memasukkannya ke dalam amplop yang berbeda. Kulihat masih ada satu amplop yang luput dari pemeriksaannku.
“Masih ada surat lagi Noona?” tanyaku hingga membuatnya cukup kaget dan buru-buru memasukkan surat itu ke dalam tasnya.
“Ah… bukan surat apa-apa, ini hanya surat biasa untuk seseorang!” ucapnya terbata-bata.
“Surat untuk seseorang? Pria?” tanyaku penuh selidik. Dia tidak menjawab, hanya tersenyum malu namun jujur… itu menyakitiku. Apalagi di saat yang bersamaan, seorang seniorku, teman sekelasnya, menjemputnya untuk belajar kelompok. Karena saat itu dia akan mengikuti ujian akhir dan ujian masuk perguruan tinggi maka dia harus belajar ekstra.
“Jong Hyun… aku pamit dulu!” ucapnya sebelum meninggalkanku. Dia berjalan beriringan dengan Senpai itu, dadaku terasa sesak. Pikiranku masih tertuju pada surat yang dia sembunyikan. Seperti kebiasaan gadis Jepang, mereka akan menulis surat cinta sebagai pengakuan pada orang yang mereka sukai, apa memang surat itu adalah surat cinta Noona untuk orang yang dia sukai? Tidak boleh, Noona hanya milikku, Noona tidak boleh menyukai orang lain selain aku.
§§§
Noona larut dalam pelajarannya, dia terlihat begitu serius menghadapi ujian akhirnya. Aku merindukan setiap moment kebersamaan kami, jalan ataupun belajar bersama namun semua itu jarang lagi kami lakukan beberapa bulan terakhir ini karena kesibukannya belajar. Aku tak dapat berbuat apa-apa, meski aku begitu berharap dia tetap menyisihkan waktunya untukku, namun kurasa aku akan sangat egois bila berharap demikian. Bagaimanapun dia harus memfokuskan pikirannya pada pelajarannya.
Malam itu Valentine tiba. Aku sendiri menatap langit malam dari balkon kamarku. Langit terlihat indah bertabur bintang, untung saja salju tidak turun lagi sebab malam ini sudah sangat dingin meski salju tidak turun. Kutatap jendela kamar dengan lampu padam di seberang sana, itu kamar Noona, hari ini dia ada bimbingan belajar hingga mungkin akan pulang larut.
Noona… neomu bogoshippo…” rajukku dalam hati.
Ponselku bergetar untuk kesekian kalinya, kulihat ada sms baru yang masuk. Paling itu dari siswi-siswi di kelasku yang mengirim pesan selamat Hari Valentine. Tidak sedikit dari mereka yang mengajakku merayakannya bersama namun kutolak. Alasanku banyak, aku ingin belajar, aku harus menemani ibu, aku mau membantu ayah… yang jelas aku tidak bilang aku malas atau aku tidak berminat, tentu itu akan melukai perasaan mereka meski sebenarnya perasaan mereka telah kecewa dengan alasan pertamaku.
Aku benar-benar suntuk di kamar sendirian, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kompleks saja. Aku hanya tersenyum melihat Dongsaengku yang sedang asyik menghabiskan coklat valentine yang diberikan siswi-siswi di kelasku.
“Hyung mau ke mana?” tanyanya dalam bahasa Korea, untuk saat ini dia belum bisa berbahasa Jepang.
“Hyung mau jalan, kau di rumah menghabiskan coklat saja! Di luar sangat dingin, nanti kau masuk angin,” pesanku. Kurapatkan mantel tebalku dan melingkarkan syal di leherku sebagai perisai menghadapi cuaca dingin di luar sana. Hm… alangkah senangnya bila di sampingku ada Noona. Dia pasti akan berceloteh seperti anak kecil, bercerita panjang lebar tentang apa saja.
Setelah berbelanja beberapa snack, kuputuskan untuk pulang apalagi cuaca semakin dingin. Kulirik jam tanganku, mungkin Noona sudah pulang sebab sudah jam 9 malam. Aku sengaja lewat di depan rumahnya, siapa tahu saja aku dan dia berpapasan. Ternyata benar, kebetulan sekali Noona baru turun dari mobil saat aku berada di persimpangan.
“Fuyu-chan!” kulihat seorang pemuda memanggilnya. Pemuda yang kukenali adalah teman sekelasnya. Senpai itu mendekat dan menggenggam tangan Noona, “Aku serius pada perasaanku. Aishiteru…” lanjutnya. Noona hanya diam menunduk, untuk beberapa lama hanya keheningan yang terjadi.
“Arigatou gazaimas…” ucap Noona tersenyum. Tulangku seperti dilucuti saat melihat senyum itu. Senyum yang sesungguhnya begitu kusukai namun untuk kali ini tidak lagi. Tanganku mengepal, kupejamkan mataku menahan sesak di dadaku. Tak kusadari beberapa tetes buliran hangat mengalir. Segera kuhapus dan kukuatkan rahangku, dan ternyata kehadiranku disadari oleh sepasang sejoli itu, ya… meski belum resmi namun tak akan diragukan lagi.
“Jong Hyun!” Noona terkejut, aku ingin tersenyum, aku harus tersenyum, ya… aku harus mengucapkan selamat untuknya. Tapi… tidak, aku tidak melakukannya. Aku malah berlalu begitu saja seakan melalui jalan yang tidak ada orangnya. Kali ini hati dan kepalaku tidak sekata. Hatiku sakit, aku terlanjur luka. Apa arti ciumanku baginya saat festival itu? Kalau ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, setidaknya dia harus protes. Aku kecewa, aku sungguh kecewa! 
“Jong Hyun!” Noona mengejarku, dia sempat memegang tanganku namun segera kutepis. Kutatap dia dengan tatapan tidak bersahabat, itu membuatnya ciut. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.

Sejak malam itu aku tidak pernah lagi bertegur sapa dengan Noona, aku menghindar darinya itu lebih tepatnya. Seharusnya aku tidak boleh seperti itu bukan? Dia juga punya kehidupan, dia gadis biasa yang juga ingin mencintai orang yang dia cintai. Untuk apa aku marah saat dia menemukan tambatan hatinya? Jawabannya… karena aku juga mencintainya. Aku ingin memilikinya, hanya aku, tidak boleh orang lain. Egoiskah? Kurasa itu wajar, bisakah seseorang berbagi orang yang dia cintai dengan orang lain, kalau memang ada yang bisa maka aku tidak.
§§§
 Akhir Maret, ternyata akhir dari segalanya. Saat itu usai penamatan murid kelas tiga, aku bertolak ke Sendai. Aku menemani ayah untuk sebuah urusan. Aku sengaja tidak menghadiri upacara pelepasan senior kelas tiga, aku tidak ingin melihatnya bersama temannya itu. Dia menelponku, terdengar jelas ada nada kekecewaan dari suaranya.
“Kenapa kau tidak datang? Aku sungguh berharap kau ada di sini bersamaku. Sebetulnya ada yang ingin kuberikan padamu…”
“Aku di Sendai bersama ayah, mungkin akan pulang siang nanti. Tak masalah kan bila aku tidak menghadiri inagurasi Noona, masih banyak teman lain yang dapat berbagi kebahagiaan denganmu…” sindirku.
“Jong Hyun… kenapa kau dingin begitu? Kalau begitu aku akan menyusulmu ke Sendai. Aku ingin memberikanmu sesuatu…”
“Aku tidak ingin menerimanya!”
“Kau harus menerimanya, katakan kau di mana di Sendai?”
“Jangan menyusulku!”
“Aku harus menemuimu. Aku akan menyusulmu!”
“Tolong… untuk sementara waktu ini aku tidak ingin melihatmu, bisakah kau membantuku?”
“Jong Hyun…” lirihnya. Segera kuputus panggilannya. Kupukul dadaku yang terasa sesak, benar-benar perih.

Aku tiba di Tokyo saat dikabarkan Sendai mengalami gempa dan tsunami dahsyat. Ibu bahkan sempat menangis saat menyaksikan liputan bencana itu secara langsung di TV. Ibu sangat bersyukur, kami kembali tepat pada waktunya. Entah apa yang akan terjadi kalau saja kami masih tetap berada di sana untuk beberapa lama. Aku keluar rumah saat kudengar ada suara bising. Kulihat ibunya Noona menangis dan ayahnya terlihat panik.
“Ada apa Bibi?” tanyaku menghampirinya.
“Fuyumi… usai upacara penamatan tadi dia berpamitan untuk ke Sendai. Sampai sekarang dia belum pulang, ayahnya telah meneleponnya namun nomornya tidak aktif,”
“A…a..p..a?” aku kaget. “Aku harus menemuimu. Aku akan menyusulmu!” terngiang kembali perkataan Noona pagi tadi. Aku terduduk lemas di atas aspal, aku… aku… telah mencelakainya.
Setelah tiga hari bencana, aku dan keluarga Noona baru mendapat berita bahwa ditemukan jasad seorang gadis yang ciri-cirinya mirip Noona. Tanganku bergetar saat aku harus menyingkap kafan yang menutupi jasad gadis itu. Di dalam hatiku aku berseru, meminta pada Tuhan.
“Kumohon Tuhan… untuk kali ini saja berilah aku keajaiban…” ucapku kala itu. sebuah jimat berwarna biru bergelantungan di tangan gadis itu, air mataku mengucur, tanpa membuka kain kafannya pun aku sudah dapat memastikan jasad siapakah di hadapanku ini.

Dia pergi untuk selamanya, Noona yang sangat kucintai. Dia menitipkan tiga pucuk surat di dalam loker sekolah. Tiga pucuk surat yang harus kuberikan kepada orang yang dia tujukan, ibu, kakaknya, dan ternyata aku sendiri. Jadi surat misterius yang ia sembunyikan dariku kala itu adalah surat untukku.
“Maaf bila tulisanku buruk, kau sendiri tahu aku baru saja belajar Bahasa dan tulisan Korea. Jong Hyun… aku sangat berterima kasih atas semua bantuanmu padaku, kau sahabat yang sangat berharga bagiku. Sebelumnya aku minta maaf, malam itu kenapa kau melakukannya? Kenapa kau menciumku? Apakah kau punya perasaan padaku? Sejujurnya aku menunggumu menjelaskan alasannya namun ternyata kau hanya diam.
Jong Hyun… aku sangat senang kau selalu ada untukku, berdiri di sampingku dan menjagaku. Kau terlalu baik hingga aku tak dapat menahan perasaan itu. Sesungguhnya aku begitu bahagia saat malam itu, aku berharap kau menjelaskan dan mengakui kalau kau juga menyukaiku. Tapi… kau diam, apakah itu tandanya kau hanya bercanda?
Sekali lagi aku minta maaf, aku minta maaf karena telah jatuh cinta padamu. Saranghae Jong Hyun~a…
                                                                                                            Cha Eun Ji…”
“Cha Eun Ji… dia tak pernah bilang kalau dia punya nama Korea”

Aku hanya dapat meratap di hadapan kertas putih yang berhiaskan tulisan Hangeul yang tidak bagus. Dia telah berusaha menulisnya dengan sebaik-baiknya, pantas dia tidak membiarkan aku mengoreksi surat yang ke tiga ini. Senpai yang bersamanya malam itu bercerita, Noona menolaknya.
“Arigato Gozaimas… tapi aku tidak dapat membalas perasaanmu. Aku mencintai pemuda tadi, pemuda yang kurasa telah salah paham pada apa yang baru saja dilihatnya…”
Bodohnya aku yang tidak mau mendengarkan penjelasannya, aku terlanjur terbakar kecemburuan hingga membuatku gelap mata. Saat itu dia menyusulku ke Sendai untuk memberikan surat ke tiga itu namun kutolak mentah-mentah. Kini menyesalpun percuma, dia tak akan kembali.
“Aku memang bilang aku tidak ingin melihatmu tapi hanya untuk sementara waktu, bukannya untuk selamanya. Lalu kenapa kau pergi? Kembalilah, kumohon. Aku janji tidak akan pernah marah lagi padamu,” hiks…

***

 “Jadi ini tempatnya?” tanya seorang gadis. Aku mengangguk lemah, kutatap pohon sakura tempat aku pertama kali bertemu dengannya. “Lalu kau pergi kemudian adikku menyusulmu dan kau pikir dia sengaja membuntutimu?” tanya  gadis itu lagi.
“Uhm…” jawabku singkat.
“Antar aku ke tempat lain lagi, tempat yang biasa kau kunjungi bersama adikku!” pintanya. Gadis berambut panjang bergelombang itu berjalan mendahuluiku. Matanya yang bulat menerawang, mengamati setiap sudut yang ada di sekitarnya.
Tak terasa dua tahun telah berlalu, untung saja aku berhasil menemukan mereka. Menemukan Ibu dan kakaknya. Setidaknya kini aku dapat bernapas lega, aku telah menyampaikan surat yang diamanatkan Noona padaku.
“Jong Hyun~a… palli!” teriaknya. Aku tersenyum, segera kupercepat langkahku.
“Eun Seo Noona… lihat kedai ramen itu. Dulu aku dan Eun Ji Noona selalu singgah makan sepulang sekolah…”
“Apa ramennya enak?” tanyanya
“Tentu saja! Mau coba?” tanpa mendengar jawabannya, kutarik tangannya menyeberangi jalan dan masuk ke kedai itu.
“Ya… Jong Hyun~a… jangan menatapku seperti itu!” tegurnya saat aku tersenyum melihatnya menikmati ramen di hadapannya.
“Aku seperti melihat Eun Ji Noona…” ucapku. “Ternyata selain wajah yang sama, cara kalian makan pun sama!”
“Jeongmal?” tanyanya tidak percaya. Aku mengangguk mantap, “Eomma bilang kami kembar identik, aku hanya tua 10 menit darinya, wajarlah bila kami hampir sama dalam segala hal!”
Nama Jepangnya Murakami Mayumi, aku bertemu dengannya di Universitas Seoul. Saat pertama kali melihatnya aku benar-benar shock. Kupikir Noona hidup kembali, Noona tak pernah bilang kalau kakak yang dia maksud adalah kakak kembarnya. Noona ternyata tidak meninggalkanku begitu saja, dia tak benar-benar meninggalkanku.
Ternyata kakaknya juga mati-matian belajar bahasa Jepang dan huruf kanji bahkan dia kuliah di jurusan seni dan sastra Jepang, semua demi adiknya yang telah terpisah sekian lama dengannya. Meski terpisah jauh dan lama, ternyata mereka masih memiliki ikatan batin yang kuat.

No comments:

Post a Comment