“Hangeuk saramiyeyeo?” tanya
seseorang tiba-tiba padaku. Kuangkat kepalaku ke arahnya, seorang gadis dengan
senyum merekah menyapaku.
“Neo… hangeuk saramiyo?” tanyaku
balik.
“Ah bukan…” jawabnya dalam bahasa
Jepang. Tanpa izinku, dia langsung duduk di dekatku. “Kudengar dari teman-teman
katanya ada siswa pindahan dari Korea di tingkat dua. Kurasa kau orangnya!” dia
melirikku yang sedang membaca novel dengan tulisan Hangeul. Ponselku bergetar,
ada pesan yang masuk. Hm… aku mendesah, ayah mengabarkan tidak dapat
menjemputku hingga aku harus pulang sendiri. Aku segera pergi dan ternyata
gadis itu mengekoriku.
“Kenapa kau pergi?” tanyanya. Aku
diam,
“Siapa namamu? Kau di kelas berapa?
Di mana kau tinggal? Apa kau pulang sendiri? Apa…”
“Kenapa kau cerewet sekali? Jangan
menggangguku, pergilah!” ucapku dengan nada yang lumayan tinggi. Gadis itu
tertegun, kurasa dia kaget. Murakami Fuyumi, itu tertera di papan nama di
bajunya.
Aku tak tahu apa yang diinginkan
gadis ini, sedari tadi dia terus mengikutiku. Dia menumpangi bus yang sama
denganku, turun di halte yang sama pula, bahkan menulusuri jalanan yang sama.
Dia terus berjalan di belakangku seperti ekor.
“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau
tidak punya pekerjaan lain? Memangnya kenapa kalau aku orang Korea? Apa ada
masalahnya denganmu?” tanyaku dengan sikap yang kurang bersahabat.
“Uhm… itu…” gadis itu jadi kikuk,
“Pergilah, aku tidak tahu apa-apa
tentang Boyband Korea dan semacamnya. Aku sudah cukup pusing dengan siswi-siswi
di sekolah yang selalu bertanya tentang band Korea padaku. Aku bukan
siapa-siapa, aku mana tahu tentang mereka!”
“Aku… aku… bukannya mengikutimu, aku
juga mau pulang ke rumahku. Itu rumahku!” ucapnya sambil menunjuk rumah di
sebelah rumahku.
§§§
Ckkk… begitulah aku bertemu dengannya.
Dia seorang gadis yang sangat polos. Dia senior di sekolahku, berada di tingkat
tiga. Dia mendekatiku karena ingin belajar bahasa Korea dan tulisan Hangeul.
Dia berbeda dari siswi lain yang mendekatiku hanya ingin mengetahui lebih
banyak tentang boyband idola mereka. Meski aku orang Korea, bukan berarti aku
mengetahui tentang penyanyi-penyanyi idola mereka itu.
Aku termasuk anak yang sulit bergaul
makanya aku tidak punya banyak teman. Tapi untuk gadis satu ini, aku sungguh
sangat bersyukur dapat mengenalnya bahkan menjadi sahabatnya. Entah apa yang
terjadi andai waktu itu dia menyerah untuk mendekatiku, dia menyerah untuk
menjadikan aku sebagai temannya. Dengan personalitiku yang kurang
menguntungkan, tentu selama bersekolah di Jepang, aku pasti tidak punya
siapa-siapa.
Ayahnya adalah orang Jepang
sementara ibunya orang Korea. Orang tuanya berpisah saat dia masih kecil.
Ibunya kembali ke Korea membawa serta kakaknya sementara dia harus tinggal
bersama ayahnya di Jepang. Ayahnya kini telah berkeluarga lagi, dan setahunya
ibunya juga telah menikah lagi. Ayahnya melarangnya menghubungi ibunya dengan
alasan masih sakit hati, hingga selama terpisah, ia tak tahu lagi keadaan ibu
dan kakaknya.
“Jong Hyun!” aku sangat suka
mendengarnya memanggil namaku, dengan aksen Jepangnya yang kental, terdengar
begitu manja di telingaku. Setiap istirahat sekolah, dia datang menjemputku ke
kelas dan setelahnya kami ke taman untuk belajar Bahasa Korea.
“Jangan pernah bosan mengajariku ya,
aku memang payah dalam urusan sastra namun aku sangat ingin menguasai bahasa
Korea dan dapat menulis Hangeul…”
“Payah bagaimana? Noona sangat pintar, aku yakin dalam
beberapa bulan saja Noona pasti dapat
menulis Hangeul!” ucapku. Aku memanggilnya Noona
(kakak perempuan) sebagai rasa hormatku padanya, meski dia sahabatku, namun dia
tetap lebih tua setahun dariku.
Impiannya sederhana saja, dia ingin
menulis surat untuk ibu dan kakaknya. Dia ingin menulis dengan tulisan dan
kata-katanya sendiri. Dia berpikir mungkin ibunya masih akan mengerti bila dia
berkirim surat menggunakan tulisan Kanji, namun bagaimana dengan kakaknya?
Apakah dia bisa berbahasa Jepang dan membaca Kanji? Mengingat kakaknya pindah
ke Korea saat usianya masih kecil, tentu dia hanya akan tahu bahasa Korea.
Dia hanya dapat belajar Hangeul di
sekolah, dia tak berani belajar di rumah. Ayahnya termasuk orang yang sangat
keras, dia takut ayahnya akan marah dan kecewa padanya. Antusiasme belajar yang
tinggi dan semangatnya membuatnya mudah menerima semua penjelasanku. Meski
sesekali dia menelponku secara sembunyi-sembunyi saat menemukan kesulitan.
Tanpa
kusadari, aku telah jatuh hati padanya. Aku menyukai semua yang dia miliki,
semangatnya, keceriaannya, kepolosannya, semuanya. Aku suka melihat senyumnya,
caranya bicara, aku suka mendengar suaranya, semuanya. Aku jatuh cinta, aku
ingin memilikinya, tak ingin kubagi, dia seutuhnya milikku. Aku selalu cemburu
bila melihatnya terlalu akrab dengan siswa lain, aku marah bila ada siswa yang
mencoba menggodanya, aku tidak suka bila ada yang menatapnya terlalu dalam. Dia
seorang siswi yang cantik dan cukup popular, di saat itulah terkadang ada
cekcok di antara kami.
§§§
Hari
itu, saat festival musim panas, aku memberanikan diri mengajaknya ke Kyoto.
Untuk pertama kalinya kulihat dia mengenakan yukata, aku seperti melihat seorang putri Jepang jaman Edo hidup
dalam dirinya. Untung saja aku membawa kamera hingga kuabadikan gambarnya dalam
setiap kutipan kameraku meski dia merasa risih karena tak henti-hentinya aku
memotretnya.
Malam
di saat festival itu, tak akan terlupa seumur hidupku. Hari yang begitu
membahagiakan bersama dengannya. Kami mengunjungi kuil dan aku menyempatkan
diri membelikannya sebuah jimat. Jimat yang kata penjualnya akan mendatangkan
kebahagiaan bagi pemiliknya. Saat tengah malam menjelang, acara puncak festival
musim panas tiba, pelepasan kembang api. Dia duduk di sampingku, kembang api
yang menghiasi langit malam memang terlihat begitu indah, namun senyumannya
saat memandang langit lebih menawan hatiku.
“Apa
yang kau lakukan? Berhentilah memotretku. Lihatlah kembang apinya begitu
indah!” dia tersenyum dengan latar langit malam berhias kembang api dan itu
tertangkap kameraku! Tanpa kusadari aku langsung mengecup bibir mungilnya. Dia
kaget, aku sendiri pun kaget dan tidak percaya kenapa aku bisa melakukannya.
Malam
itu juga kami kembali ke Tokyo, kekakuan di antara kami jelas terasa. Aku pun
masih tak tahu harus bagaimana menjelaskan apa yang baru saja kulakukan. Aku
diam dan dia pun diam. Kami mungkin larut dalam pikiran dan terkaan
masing-masing. Aku hanya takut dia berpikiran buruk padaku, bagaimana pun mencium
seseorang tanpa izin itu bukanlah perbuatan terpuji. Tapi sungguh, saat itu aku
benar-benar tidak dapat menahan perasaanku untuk tidak menciumnya.
Kejadian
malam itu berlalu begitu saja, tanpa penjelasan sebab dia tak pernah bertanya
mengapa. Kalaupun dia bertanya mungkin aku juga tidak akan tahu harus menjawab
apa. Aku terlalu pengecut menyatakan perasaanku padanya. Aku takut dia kecewa
padaku, aku takut dia yang hanya menganggapku sebagai juniornya akan berbalik
membenciku. Aku tak ingin itu terjadi, aku sungguh tak mau hubungan kami jadi
renggang.
Selama
beberapa bulan mengajarinya berbahasa Korea, dia akhirnya mulai menulis. Aku
yang menjadi pemeriksanya, mengoreksi setiap kesalahan yang ada. Kata-katanya
terukir sederhana untuk Ibu dan Kakaknya yang sangat dia rindukan. Gadis yang
tidak menuntut banyak, dia hanya ingin Ibu dan Kakaknya dapat hidup bahagia.
“Semua
sudah cocok, jadi kapan Noona akan
mengirimnya?” tanyaku kala itu.
“Sebenarnya
aku juga tidak tahu alamat mereka. Tapi aku yakin ayah tahu, aku terpaksa
mencari sembunyi-sembunyi di ruang kerjanya.”
“Bagaimana
bila ketahuan?”
“Jangan
sampai ketahuan!” kala itu dia sedang merapikan setiap lembaran suratnya dan
memasukkannya ke dalam amplop yang berbeda. Kulihat masih ada satu amplop yang
luput dari pemeriksaannku.
“Masih
ada surat lagi Noona?” tanyaku hingga
membuatnya cukup kaget dan buru-buru memasukkan surat itu ke dalam tasnya.
“Ah…
bukan surat apa-apa, ini hanya surat biasa untuk seseorang!” ucapnya
terbata-bata.
“Surat
untuk seseorang? Pria?” tanyaku penuh selidik. Dia tidak menjawab, hanya
tersenyum malu namun jujur… itu menyakitiku. Apalagi di saat yang bersamaan,
seorang seniorku, teman sekelasnya, menjemputnya untuk belajar kelompok. Karena
saat itu dia akan mengikuti ujian akhir dan ujian masuk perguruan tinggi maka
dia harus belajar ekstra.
“Jong
Hyun… aku pamit dulu!” ucapnya sebelum meninggalkanku. Dia berjalan beriringan
dengan Senpai itu, dadaku terasa sesak. Pikiranku masih tertuju pada surat yang
dia sembunyikan. Seperti kebiasaan gadis Jepang, mereka akan menulis surat
cinta sebagai pengakuan pada orang yang mereka sukai, apa memang surat itu
adalah surat cinta Noona untuk orang
yang dia sukai? Tidak boleh, Noona
hanya milikku, Noona tidak boleh
menyukai orang lain selain aku.
§§§
Noona larut dalam pelajarannya, dia
terlihat begitu serius menghadapi ujian akhirnya. Aku merindukan setiap moment
kebersamaan kami, jalan ataupun belajar bersama namun semua itu jarang lagi
kami lakukan beberapa bulan terakhir ini karena kesibukannya belajar. Aku tak
dapat berbuat apa-apa, meski aku begitu berharap dia tetap menyisihkan waktunya
untukku, namun kurasa aku akan sangat egois bila berharap demikian.
Bagaimanapun dia harus memfokuskan pikirannya pada pelajarannya.
Malam
itu Valentine tiba. Aku sendiri menatap langit malam dari balkon kamarku.
Langit terlihat indah bertabur bintang, untung saja salju tidak turun lagi sebab
malam ini sudah sangat dingin meski salju tidak turun. Kutatap jendela kamar
dengan lampu padam di seberang sana, itu kamar Noona, hari ini dia ada bimbingan belajar hingga mungkin akan
pulang larut.
“Noona… neomu bogoshippo…” rajukku dalam
hati.
Ponselku
bergetar untuk kesekian kalinya, kulihat ada sms baru yang masuk. Paling itu
dari siswi-siswi di kelasku yang mengirim pesan selamat Hari Valentine. Tidak
sedikit dari mereka yang mengajakku merayakannya bersama namun kutolak.
Alasanku banyak, aku ingin belajar, aku harus menemani ibu, aku mau membantu
ayah… yang jelas aku tidak bilang aku malas atau aku tidak berminat, tentu itu
akan melukai perasaan mereka meski sebenarnya perasaan mereka telah kecewa
dengan alasan pertamaku.
Aku
benar-benar suntuk di kamar sendirian, kuputuskan untuk berjalan-jalan di
sekitar kompleks saja. Aku hanya tersenyum melihat Dongsaengku yang sedang
asyik menghabiskan coklat valentine yang diberikan siswi-siswi di kelasku.
“Hyung
mau ke mana?” tanyanya dalam bahasa Korea, untuk saat ini dia belum bisa
berbahasa Jepang.
“Hyung
mau jalan, kau di rumah menghabiskan coklat saja! Di luar sangat dingin, nanti
kau masuk angin,” pesanku. Kurapatkan mantel tebalku dan melingkarkan syal di
leherku sebagai perisai menghadapi cuaca dingin di luar sana. Hm… alangkah
senangnya bila di sampingku ada Noona.
Dia pasti akan berceloteh seperti anak kecil, bercerita panjang lebar tentang
apa saja.
Setelah
berbelanja beberapa snack, kuputuskan untuk pulang apalagi cuaca semakin
dingin. Kulirik jam tanganku, mungkin Noona
sudah pulang sebab sudah jam 9 malam. Aku sengaja lewat di depan rumahnya,
siapa tahu saja aku dan dia berpapasan. Ternyata benar, kebetulan sekali Noona baru turun dari mobil saat aku
berada di persimpangan.
“Fuyu-chan!”
kulihat seorang pemuda memanggilnya. Pemuda yang kukenali adalah teman
sekelasnya. Senpai itu mendekat dan menggenggam tangan Noona, “Aku serius pada perasaanku. Aishiteru…” lanjutnya. Noona hanya diam menunduk, untuk
beberapa lama hanya keheningan yang terjadi.
“Arigatou
gazaimas…” ucap Noona tersenyum.
Tulangku seperti dilucuti saat melihat senyum itu. Senyum yang sesungguhnya
begitu kusukai namun untuk kali ini tidak lagi. Tanganku mengepal, kupejamkan
mataku menahan sesak di dadaku. Tak kusadari beberapa tetes buliran hangat
mengalir. Segera kuhapus dan kukuatkan rahangku, dan ternyata kehadiranku
disadari oleh sepasang sejoli itu, ya… meski belum resmi namun tak akan
diragukan lagi.
“Jong
Hyun!” Noona terkejut, aku ingin
tersenyum, aku harus tersenyum, ya… aku harus mengucapkan selamat untuknya.
Tapi… tidak, aku tidak melakukannya. Aku malah berlalu begitu saja seakan
melalui jalan yang tidak ada orangnya. Kali ini hati dan kepalaku tidak sekata.
Hatiku sakit, aku terlanjur luka. Apa arti ciumanku baginya saat festival itu?
Kalau ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, setidaknya dia harus
protes. Aku kecewa, aku sungguh kecewa!
“Jong
Hyun!” Noona mengejarku, dia sempat
memegang tanganku namun segera kutepis. Kutatap dia dengan tatapan tidak
bersahabat, itu membuatnya ciut. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.
Sejak
malam itu aku tidak pernah lagi bertegur sapa dengan Noona, aku menghindar darinya itu lebih tepatnya. Seharusnya aku
tidak boleh seperti itu bukan? Dia juga punya kehidupan, dia gadis biasa yang
juga ingin mencintai orang yang dia cintai. Untuk apa aku marah saat dia
menemukan tambatan hatinya? Jawabannya… karena aku juga mencintainya. Aku ingin
memilikinya, hanya aku, tidak boleh orang lain. Egoiskah? Kurasa itu wajar,
bisakah seseorang berbagi orang yang dia cintai dengan orang lain, kalau memang
ada yang bisa maka aku tidak.
§§§
Akhir Maret, ternyata akhir dari segalanya.
Saat itu usai penamatan murid kelas tiga, aku bertolak ke Sendai. Aku menemani
ayah untuk sebuah urusan. Aku sengaja tidak menghadiri upacara pelepasan senior
kelas tiga, aku tidak ingin melihatnya bersama temannya itu. Dia menelponku,
terdengar jelas ada nada kekecewaan dari suaranya.
“Kenapa
kau tidak datang? Aku sungguh berharap kau ada di sini bersamaku. Sebetulnya
ada yang ingin kuberikan padamu…”
“Aku
di Sendai bersama ayah, mungkin akan pulang siang nanti. Tak masalah kan bila
aku tidak menghadiri inagurasi Noona,
masih banyak teman lain yang dapat berbagi kebahagiaan denganmu…” sindirku.
“Jong
Hyun… kenapa kau dingin begitu? Kalau begitu aku akan menyusulmu ke Sendai. Aku
ingin memberikanmu sesuatu…”
“Aku
tidak ingin menerimanya!”
“Kau
harus menerimanya, katakan kau di mana di Sendai?”
“Jangan
menyusulku!”
“Aku
harus menemuimu. Aku akan menyusulmu!”
“Tolong…
untuk sementara waktu ini aku tidak ingin melihatmu, bisakah kau membantuku?”
“Jong
Hyun…” lirihnya. Segera kuputus panggilannya. Kupukul dadaku yang terasa sesak,
benar-benar perih.
Aku
tiba di Tokyo saat dikabarkan Sendai mengalami gempa dan tsunami dahsyat. Ibu
bahkan sempat menangis saat menyaksikan liputan bencana itu secara langsung di
TV. Ibu sangat bersyukur, kami kembali tepat pada waktunya. Entah apa yang akan
terjadi kalau saja kami masih tetap berada di sana untuk beberapa lama. Aku
keluar rumah saat kudengar ada suara bising. Kulihat ibunya Noona menangis dan ayahnya terlihat
panik.
“Ada
apa Bibi?” tanyaku menghampirinya.
“Fuyumi…
usai upacara penamatan tadi dia berpamitan untuk ke Sendai. Sampai sekarang dia
belum pulang, ayahnya telah meneleponnya namun nomornya tidak aktif,”
“A…a..p..a?”
aku kaget. “Aku harus menemuimu. Aku akan
menyusulmu!” terngiang kembali perkataan Noona pagi tadi. Aku terduduk lemas di atas aspal, aku… aku… telah
mencelakainya.
Setelah
tiga hari bencana, aku dan keluarga Noona
baru mendapat berita bahwa ditemukan jasad seorang gadis yang ciri-cirinya
mirip Noona. Tanganku bergetar saat
aku harus menyingkap kafan yang menutupi jasad gadis itu. Di dalam hatiku aku
berseru, meminta pada Tuhan.
“Kumohon
Tuhan… untuk kali ini saja berilah aku keajaiban…” ucapku kala itu. sebuah
jimat berwarna biru bergelantungan di tangan gadis itu, air mataku mengucur,
tanpa membuka kain kafannya pun aku sudah dapat memastikan jasad siapakah di
hadapanku ini.
Dia
pergi untuk selamanya, Noona yang
sangat kucintai. Dia menitipkan tiga pucuk surat di dalam loker sekolah. Tiga
pucuk surat yang harus kuberikan kepada orang yang dia tujukan, ibu, kakaknya,
dan ternyata aku sendiri. Jadi surat misterius yang ia sembunyikan dariku kala
itu adalah surat untukku.
“Maaf bila tulisanku buruk, kau
sendiri tahu aku baru saja belajar Bahasa dan tulisan Korea. Jong Hyun… aku
sangat berterima kasih atas semua bantuanmu padaku, kau sahabat yang sangat
berharga bagiku. Sebelumnya aku minta maaf, malam itu kenapa kau melakukannya?
Kenapa kau menciumku? Apakah kau punya perasaan padaku? Sejujurnya aku
menunggumu menjelaskan alasannya namun ternyata kau hanya diam.
Jong Hyun… aku sangat senang kau
selalu ada untukku, berdiri di sampingku dan menjagaku. Kau terlalu baik hingga
aku tak dapat menahan perasaan itu. Sesungguhnya aku begitu bahagia saat malam
itu, aku berharap kau menjelaskan dan mengakui kalau kau juga menyukaiku. Tapi…
kau diam, apakah itu tandanya kau hanya bercanda?
Sekali lagi aku minta maaf, aku
minta maaf karena telah jatuh cinta padamu. Saranghae Jong Hyun~a…
Cha
Eun Ji…”
“Cha
Eun Ji… dia tak pernah bilang kalau dia punya nama Korea”
Aku
hanya dapat meratap di hadapan kertas putih yang berhiaskan tulisan Hangeul
yang tidak bagus. Dia telah berusaha menulisnya dengan sebaik-baiknya, pantas
dia tidak membiarkan aku mengoreksi surat yang ke tiga ini. Senpai yang
bersamanya malam itu bercerita, Noona
menolaknya.
“Arigato Gozaimas… tapi aku tidak
dapat membalas perasaanmu. Aku mencintai pemuda tadi, pemuda yang kurasa telah
salah paham pada apa yang baru saja dilihatnya…”
Bodohnya
aku yang tidak mau mendengarkan penjelasannya, aku terlanjur terbakar
kecemburuan hingga membuatku gelap mata. Saat itu dia menyusulku ke Sendai
untuk memberikan surat ke tiga itu namun kutolak mentah-mentah. Kini
menyesalpun percuma, dia tak akan kembali.
“Aku
memang bilang aku tidak ingin melihatmu tapi hanya untuk sementara waktu,
bukannya untuk selamanya. Lalu kenapa kau pergi? Kembalilah, kumohon. Aku janji
tidak akan pernah marah lagi padamu,” hiks…
***
“Jadi ini tempatnya?” tanya seorang gadis. Aku
mengangguk lemah, kutatap pohon sakura tempat aku pertama kali bertemu dengannya.
“Lalu kau pergi kemudian adikku menyusulmu dan kau pikir dia sengaja
membuntutimu?” tanya gadis itu lagi.
“Uhm…”
jawabku singkat.
“Antar
aku ke tempat lain lagi, tempat yang biasa kau kunjungi bersama adikku!”
pintanya. Gadis berambut panjang bergelombang itu berjalan mendahuluiku.
Matanya yang bulat menerawang, mengamati setiap sudut yang ada di sekitarnya.
Tak
terasa dua tahun telah berlalu, untung saja aku berhasil menemukan mereka.
Menemukan Ibu dan kakaknya. Setidaknya kini aku dapat bernapas lega, aku telah
menyampaikan surat yang diamanatkan Noona
padaku.
“Jong
Hyun~a… palli!” teriaknya. Aku tersenyum, segera kupercepat langkahku.
“Eun
Seo Noona… lihat kedai ramen itu.
Dulu aku dan Eun Ji Noona selalu
singgah makan sepulang sekolah…”
“Apa
ramennya enak?” tanyanya
“Tentu
saja! Mau coba?” tanpa mendengar jawabannya, kutarik tangannya menyeberangi
jalan dan masuk ke kedai itu.
“Ya…
Jong Hyun~a… jangan menatapku seperti itu!” tegurnya saat aku tersenyum
melihatnya menikmati ramen di hadapannya.
“Aku
seperti melihat Eun Ji Noona…”
ucapku. “Ternyata selain wajah yang sama, cara kalian makan pun sama!”
“Jeongmal?”
tanyanya tidak percaya. Aku mengangguk mantap, “Eomma bilang kami kembar
identik, aku hanya tua 10 menit darinya, wajarlah bila kami hampir sama dalam
segala hal!”
Nama
Jepangnya Murakami Mayumi, aku bertemu dengannya di Universitas Seoul. Saat
pertama kali melihatnya aku benar-benar shock. Kupikir Noona hidup kembali, Noona
tak pernah bilang kalau kakak yang dia maksud adalah kakak kembarnya. Noona ternyata tidak meninggalkanku
begitu saja, dia tak benar-benar meninggalkanku.
Ternyata
kakaknya juga mati-matian belajar bahasa Jepang dan huruf kanji bahkan dia kuliah di jurusan seni dan sastra Jepang, semua demi
adiknya yang telah terpisah sekian lama dengannya. Meski terpisah jauh dan
lama, ternyata mereka masih memiliki ikatan batin yang kuat.
No comments:
Post a Comment