Friday 7 March 2014

FF One Shot - Our Love



Langit terlihat menyedihkan tanpa bintang…
Bintang tak berarti apa-apa tanpa langit…


            “Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau baik-baik saja di sana? Apa kau telah menemukan teman baru? Kau gadis yang ceria, aku yakin kau akan mendapat banyak teman…” kuletakkan seikat mawar putih kesukaanmu. Kau tersenyum dalam selembar foto yang melekat di batu nisan. Di sampingku, Siwon masih khusuk berdoa dengan mata yang terpejam dan bibir yang bergetar. Beberapa saat kemudian pemuda rupawan itu menyudahi doanya, dibukanya matanya yang tadi terpejam dan terlihat jelas ada jejak kristal-kristal bening yang berusaha ditutupinya.
            “Gomawo…” ucapnya saat kusodorkan selembar tisu padanya. Ini tahun ke dua kepergian gadis yang begitu dicintainya, namun rasa sedihnya itu belum juga pudar. Masih teringat jelas saat dia memelukmu untuk terakhir kalinya, seakan ia ingin melompat turun bersamamu dalam galian makammu. Kenapa kau harus pergi secepat itu? Tak kasihan kah kau melihatnya? Ha Neul… sahabatku.
***
            “Byeol… kapan kau akan kembali? Aku sangat merindukanmu…” ucapmu kala itu.
            “Aku masih sibuk di sini, sungguh aku tidak dapat meninggalkan semua kegiatanku,” dustaku. Maafkan aku…
            “Aku sakit, aku ingin kau ada di sini bersamaku…” lirihmu.
            “Bukankah sudah ada Siwon di dekatmu, dia bisa menjagamu dengan baik,”
            “Kau dan Siwon berbeda, meski ada dia di dekatku, aku masih membutuhkanmu!” kau berkeras memintaku datang. Maafkan aku, aku sungguh tak dapat kembali selama pria itu masih di sisimu. Hatiku masih belum sanggup melihat kalian berdua, aku pun tak dapat membenci kalian sebab luka ini adalah kesalahanku. Aku minta maaf karena telah mencintai pria yang juga kau cintai.
            “Ha Neul… aku ada tamu, nanti aku akan menghubungimu lagi!” tutupku. Kuseka air mataku, aku sayang kamu sahabatku, sungguh menyayangimu. Aku menjauh agar rasa sayang itu tidak berubah menjadi benci karena kecemburuanku padamu.
Kubuka pintu apartment yang sedari tadi diketuk seseorang. Darahku berdesir saat melihat kekasihmu berdiri di hadapanku. Choi Siwon berdiri dengan tatapan sendunya.
            “Pulanglah… Ha Neul sakit, dia sangat merindukanmu!” bujuknya.
            “Kau jauh-jauh datang ke Paris hanya untuk…” aku terperangah, kurasakan begitu besar rasa cinta Siwon terhadapmu.
            “Ha Neul terus menangis, berharap kau mau kembali. Aku sungguh tak dapat melihatnya bersedih sepanjang hari,”
            “Mianhe… saat ini aku benar-benar sibuk pada studiku. Aku janji akan menemuinya bila kampusku memberi libur,”
            “Tak ada waktu lagi, Ha Neul hanya dapat bertahan tidak lebih dari sebulan…”
            “Mwo? Mworaguyeo…?” pekikku.
            Aku menangis selama perjalanan ke Seoul, teganya kau menyembunyikan keadaanmu yang sedang sekarat. Kau mengidap leukemia dan tak pernah memberitahukannya padaku. Kupikir kau hanya sakit biasa hingga aku begitu keras pada pendirianku.

            Hari-hari terakhirmu bersamaku tak akan pernah terlupa, kujanjikan itu sebagai permintaan maafku yang tak pernah peka pada keadaanmu. Setiap malam kutemani kau memandang bintang, bersama Siwon kita terus bersenda gurau. Terkadang dalam senyuman aku menangis, aku masih belum siap ditinggal olehmu. Kau hanya dapat tersenyum menyeka air mataku dan menyemangatiku. Kau bahkan lebih tegar dariku, aku memang rapuh, sungguh aku ingin sepertimu namun itu sulit. Aku pun menyadari mengapa Siwon begitu mencintaimu.
***
            Aku dan Siwon melangkah pelan menelusuri jalan setapak di kaki bukit, kau meminta dimakamkan di antara indahnya taman bunga kaki bukit, tempat di mana kita sering menghabiskan waktu bersama sejak masih remaja.
            “Siwon~a…” ucapku memecah kebisuan di antara aku dan Siwon-mu.
            “Nde…” balasnya lemah.
            “Apa kau masih sangat mencintainya?” tanyaku.
            “Kenapa kau bertanya begitu?” Siwon malah balik bertanya.
            “Kumohon bukalah hatimu untuk gadis lain. Kau berhak bahagia meski tanpa dirinya.” Ucapanku membuat Siwon bungkam. “Temukanlah gadis yang mencintaimu dan dapat membuatmu bahagia. Kau perlu teman untuk menemanimu melalui hari-hari panjangmu nanti,”
            “Ha Neul terlalu berharga untuk kuganti dengan gadis yang lain…” lirih Siwon.
            “Hidupmu juga terlalu berharga untuk kau habiskan dalam keterpurukan,” balasku. “Aku takut Siwon… aku takut tak dapat menemanimu seperti dulu lagi. Bila nanti aku menikah, tentu aku tidak dapat menemanimu seperti saat ini lagi!” Siwon terkejut menatapku,
            “Menikah?” tanyanya. Aku mengangguk lemah,
            “Orang tuaku telah mengatur perjodohanku bersama anak dari sahabat dekat ayah. Aku tak dapat menolak, kurasa aku memang tak punya alasan untuk menolak,” cukup lama aku dan Siwon-mu diam. Tak ada bahasan yang mungkin dapat kami bicarakan.
Aku payah ‘kan? Sudah jelas aku mencintainya, bahkan sangat mencintainya namun aku malah menerima perjodohan itu. Aku terlalu pengecut untuk mengakui perasaanku padanya, apalagi kulihat dia masih sangat mencintaimu. Ha Neul… perasaanku pada Siwon semakin hari semakin dalam, dia tak mudah berpaling hati, itu tandanya dia pria yang setia. Namun kesetiaannya itu menjadi boomerang bagiku, sebab dia tak akan mudah berpaling untuk mencintaiku.
Aku tidak salah ‘kan Ha Neul? Aku memilih untuk menyerah saja, menyerah untuk kedua kalinya. Semakin dia setia, semakin aku tersentuh, semakin aku mencintainya, dan semakin jelas kalau aku tak dapat memilikinya. Rasanya terlalu sakit, aku tak mau kecewa untuk kedua kalinya. Kau setuju ‘kan Ha Neul? Kau mendukungku ‘kan? Hiks…

~Flash Back~
Sore itu terasa begitu lembab, langit begitu gelap dengan rintikan air hujannya. Aku masih terus menanti Ha Neul di bawah payung di seberang jalan. Tak terasa rintikan hujan itu berubah deras hingga semua pejalan kaki bergegas berlindung. Aku terkejut saat menyadari ada seorang siswa yang malah bernaung di payungku.
“Maaf… aku membuatmu kaget ya? Aku tak tahu harus berlindung ke mana, jadi aku berlari ke arahmu…” ucapnya. Senyumannya membuat rasa kesalku hilang, dia terlalu manis untuk kusuruh pergi dari payungku. Seragam yang dikenakannya sama dengan seragamku, itu tandanya kami murid SMU Neul Paran. “Ehm… kenapa kau menatapku seperti itu?” siswa itu merasa risih oleh tatapanku.
“Ah… tidak kok, tidak apa-apa. Aku hanya kaget saja makanya bengong seperti tadi,” kilahku yang sejujurnya langsung tertarik pada siswa itu. “Aku harus mengantarmu ke mana? Katakanlah, sebab aku juga harus menjemput temanku…”
“Siwon~a…” tiba-tiba seseorang berteriak dari sebuah mobil
“Oh… itu temanku,” tunjuknya pada sebuah Audy yang terparkir di tepi lorong. Aku pun mengantarnya sampai dia masuk ke mobil itu. “Jeongmal gomawo Eun Byeol-ssi” ucapnya padaku. Aku cukup kaget saat dia tahu namaku, ternyata dia membaca papan nama di seragamku. Aku tersenyum…
“Cheonmaneyeo Choi Siwon-ssi…” balasku. Aku pun tahu siapa namanya setelah ikut membaca papan namanya.
~Flash Back End~

            Siwon menepikan mobilnya tepat di depan pintu kediamanku, wajahnya masih tidak berubah sejak dari makam tadi. Sepanjang satu jam perjalanan tadi dia hanya diam, tatapannya nanar memandang jalan di depan.
            “Kau baik-baik saja? Apa kau tidak enak badan? Biar kuminta supirku mengantarmu pulang,” tawarku.
            “Ah… tidak perlu, aku baik-baik saja,” balasnya. Dia pun berlalu dan secepatnya menghilang dari pandanganku. Tetes demi tetes air mataku jatuh, Ha Neul… apakah langkah yang kuambil salah? Aku hanya tidak ingin menderita lagi.
***
            Gleduk…gleduk… suara sebuah benda menggelinding di meja tulisku. Saat kuangkat kepalaku, Siwon tersenyum manis. Dia memberi sekaleng jus lemon, aku tersenyum. Ya… setelah kejadian sore itu entah kenapa kami bisa dekat. Setelah kejadian sore itu, aku berharap setiap sore akan turun hujan hingga siswa yang ternyata setingkat denganku itu dapat berlindung di payungku lagi.
            Siwon tersenyum sambil melirik pada Ha Neul, botol jus yang kupegang ternyata untuk sahabatku. Aku tersenyum perih, ya… dia suka pada sahabatku. Kejadian saat dia berlindung di payungku ternyata rencananya. Ia ingin mendekati Ha Neul melaluiku. Aku benar-benar menyesal, andai sore itu tak pernah ada, andai hujan itu tak pernah turun, hidupku mungkin tak akan menyedihkan seperti ini.
            Seperti gayung bersambut, ternyata sahabatku itu memiliki perasaan yang sama pada Siwon. Setelah beberapa bulan saling penjajakan akhirnya mereka berpacaran. Jujur saja, aku sesak, dadaku seperti terbakar bila melihat mereka bersama. Di depan mereka aku berusaha menjadi sahabat yang turut bahagia melihat mereka bersatu. Namun di saat aku berpaling, sesungguhnya aku menangis, terisak sedih. Aku yang lebih dulu bertemu dengannya, tapi kenapa harus Ha Neul yang bersamanya.
            Aku benci pada diriku sendiri, ya… aku benci pada sikap lemahku ini. Aku tak akan pernah menyalahkan Ha Neul, ia tidak tahu apa-apa ‘kan? Aku pula tak akan menyalahkan Siwon, dia hanya siswa biasa yang tengah jatuh cinta. Lalu… siapa yang harus kusalahkan? Apakah saling mencintai adalah dosa? Apakah Siwon dan Ha Neul harus dihukum karena saling mencintai? Bodoh… tersangkanya adalah aku! Aku yang salah karena jatuh hati pada kekasih sahabatku, wajarlah bila aku dihukum.
***
            “Kau akan ke Prancis? Kenapa jauh sekali?” Ha Neul kaget mendengar keputusanku.
            “Kau tahu sendiri ‘kan aku sangat menyukai modeling dan fashion, aku ingin menjadi designer yang hebat. Kurasa Prancis adalah tempat yang paling cocok untuk menyalurkan cita-citaku,”
            “Tapi… kenapa jauh sekali?”
            “Jarak tak akan jadi masalah, ada telepon dan internet. Lagi pula aku bisa kembali setiap kali aku mendapat libur…” bujukku kala itu. Meski terlihat begitu berat, sahabatku itu melepasku. Maafkan aku yang memilih pergi, maaf bila aku harus meninggalkan kalian, aku hanya ingin bernapas dengan lega tanpa perlu ada sesak karena kalian. Aku tidak akan menyalahkan kalian, aku pergi untuk menghukum diriku yang telah keliru pada perasaanku.
            “Ha Neul tanpa Eun Byeol terlihat menyedihkan…”
            “Eun Byeol tanpa Ha Neul tak ada artinya…” itulah kalimat terakhir yang kurangkai bersamamu sebelum akhirnya aku pergi membawa luka yang kusembunyikan di balik perasaanku.
            Entah kebetulan atau memang telah menjadi takdir, namaku berarti bintang sedangkan Ha Neul berarti langit. Kami bagai dua sisi yang nyaris tak dapat dipisahkan. Ya… langit dan bintang sesuatu yang menyatu, namun akhirnya terpisah karena kehadiran seorang pria. Bukan… bukannya terpisah namun bintanglah yang memisahkan diri dari langitnya. Bintang lah yang memutuskan pergi karena tidak lagi dapat bertahan pada langitnya. Hingga akhirnya langit terlihat kelam dan begitu menyedihkan.
***
            Pagi ini langkahku begitu berat untuk pergi, aku masih duduk terpaku di depan cermin sambil tertunduk lemah. Sebuah bingkai kecil mempertontonkan wajah bahagiaku bersama Siwon dan Ha Neul saat masih berseragam sekolah. Pagi ini matahari bersinar hangat namun tak dapat menghangatkan hatiku. Warna cerah hanbok yang kugunakan pun tak dapat mencerahkan perasaanku.  
            “Kau sudah siap?” Tanya ibuku sambil memeriksa riasanku. Aku hanya mengangguk pelan, seakan memberi aba-aba bahwa sesungguhnya aku tidak pernah siap. “Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Tadi Paman dan Bibi Lee menelpon, katanya mereka telah tiba di restaurant.”
            Ha Neul… apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus berterus terang pada orang tuaku? Kalaupun itu kulakukan, bukankah ayah dan ibu akan meminta aku memperkenalkan pria yang kucintai itu. Aku tidak punya keberanian berterus-terang kepada Siwon. Aku sungguh tidak ingin mengubah perasaannya yang tadinya menganggapku sahabat menjadi orang yang membuatnya kecewa. Ha Neul… kumohon tanyakan kepada para malaikat yang bersamamu di surga, apa yang harus kulakukan?
***
            “Aku ingin melihat bintang…” kuantar kau ke balkon belakang. Saat itu hari-harimu semakin sulit. Keadaanmu pun semakin mengkhawatirkan. “Byeol… apakah teman-temanmu yang gemerlapan di atas sana akan menerimaku bergabung?”
            “Nde… mana mungkin mereka menolak,” lirihku. Kulihat Siwon yang bersandar di kusen pintu dengan wajah pilunya.
            “Kalau begitu aku akan punya banyak teman bila aku telah pergi…” ucapmu lemah. Siwon tak sanggup lagi, dia masuk begitu saja, kurasa untuk menangis sekedar mengurangi sesak di dadanya.
            “Jangan bicara seperti itu, kau tidak akan pergi secepat itu…” hiburku meski kau tahu itu tak mungkin lagi.
            “Siwon…” ucapmu terputus, matamu menatap sendu langit berbintang kala itu. “Jagalah dia untukku, kurasa hanya kau yang dapat melakukannya…”
            “Aku tak mau menjaganya… itu adalah tugasmu, lakukanlah sendiri!” tolakku menahan isakku.
            “Byeol~a… jangan jahat seperti itu padaku. Aku tidak punya waktu lagi, aku tak sanggup lagi bertahan lebih lama, sakit ini begitu membuatku tersiksa,” kupeluk sahabatku itu, aku tak boleh menangis, kutahan isakku sebisa mungkin.
            “Setidaknya bila tiba saatnya, kau tidak boleh pergi tanpa berpamitan, arro?” aku berusaha tegar. Kau mengangguk, kau melepas pelukanku. Kau menatapku dan membelai wajahku dengan tangan kecilmu… “Wajah ini… tak akan pernah kulupakan,” ucapmu. Kau mengambil sebuah cincin dan memasangkannya di jariku, “Jagalah amanahku…” pintamu.
            Air mataku menetes meski sekuat tenaga aku menahannya. Cincin ini bukannya pemberian Siwon, kenapa kau malah memberikannya padaku?
            “Siwon… pasti sedang sedih, masuklah dan hiburlah dia,” pintamu. Aku pun tak dapat menolak, aku masuk mencari kekasihmu yang sangat menyedihkan itu. Dia termenung di depan kaca jendela sambil menatap langit. Kutepuk bahunya, menggenggamnya erat untuk memberinya dukungan agar dapat bertahan. Namun justru hal itu membuatnya lemah, dia terisak memelukku,
            “Aku belum siap kehilangannya…” ucapnya. Lama aku mencoba menenangkannya, kubujuk dia agar dapat mengendalikan perasaannya. Saat itu Ha Neul begitu rapuh, jangan biarkan dia melihat air mata dari orang terkasihnya.
            Malam semakin larut, angin pun terasa tak bersahabat lagi. Aku dan Siwon menemuimu kembali di halaman belakang itu.
            “Ha Neul~a… ini sudah larut…” ucapku pelan, tiba-tiba saja tanganmu tersentak dari gagang kursi roda. Matamu terpejam dengan segaris senyum di bibirmu. Sungguh, malam itu kurasakan langit seakan runtuh.
            “Kau janji akan berpamitan sebelum pergi, tapi kenapa kau pergi begitu saja?” aku memeluk tubuhmu yang telah kaku. Siwon pun datang memelukmu, kami berdua memelukmu, menangis bersama karena kau pergi begitu saja.
***
            Mataku nanar memandangan jalan yang kulalui bersama kedua orang tuaku untuk ke restaurant. Sedari tadi ibuku hanya memperbaiki hanbok-ku agar tak ada yang kusut. Aku putri tunggal keluarga Shin, jelaslah kedua orang tuaku akan memberikan hal terbaik untukku. Ya… kuharap pria yang dipilihkan untukku juga adalah yang terbaik.
Orang tuaku bercengkarama dengan Paman dan Bibi Lee, sementara aku hanya tertunduk diam. Keriuhan di antara dua keluarga ini justru membuatku merasa sunyi. Donghae, pria yang akan dijodohkan denganku pun tak banyak bicara. Meski kusadari sesekali dia memandangku.
            “Byeol… kenapa kau diam saja? Ayo bicaralah…” ajak Paman Lee, aku mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kemurunganku.
            “Kau pemalu sekali!” tambah Bibi Lee.
***
“Kembalilah ke Seoul, lanjutkan saja studimu di sini. Selain kau, aku tak punya siapa-siapa lagi semenjak Ha Neul pergi…” Siwon memohon padaku. Ha Neul… dia begitu malang, kau meninggalkannya dan membuatnya kehilangan arah. Baiklah, seperti permintaanmu sebelum pergi, aku akan menjaganya untukmu.
Kubuka pintu kamar Siwon, di dalam kulihat dia tengah memandangi foto kalian saat masih bersama. Dia menyadari kedatanganku, namun tak dapat melepas pandangannya untukku. Kulihat makanan yang masih utuh di atas meja tulisnya, aku pun mengambil nampan makanan itu dan mendekat ke arahnya.
“Sampai kapan kau akan seperti ini? Aku tahu kau sedih, tapi Ha Neul berpesan agar jangan menyiksa dirimu…” kuambil sesendok nasi dan mencoba menyuapi Siwon-mu. “Apa kau ingin membuatnya sedih? Makanlah meski hanya sedikit, dia tak mau melihatmu sakit!” bujukku.
“Aku tidak lapar…” ucapnya.
“Kau tahu, apapun yang terjadi padamu mulai dari sekarang sampai seterusnya adalah tanggung jawabku. Aku telah berjanji padanya untuk menjagamu, bila terjadi sesuatu padamu, aku takut dia akan membuat perhitungan denganku kelak…”
“…” Siwon-mu hanya diam, dia masih membatu,
“Ha Neul tak ingin kita bersedih terlalu lama. Dia ingin beberapa hari setelah dia pergi, kita bisa kembali seperti dulu, ceria dan bahagia. Anggaplah dia masih ada, anggaplah kita tak pernah kehilangannya, maka dari itu kita tak akan sedih,” ucapku, “Menangis adalah hal yang wajar, kita memang perlu menangis agar kita sadar bahwa kita hanya manusia biasa. Namun dalam tangisan itu, kita juga perlu tawa agar kita tahu bahwa kita bukan manusia yang lemah…” tutupku. Siwon memakan habis makanan yang kusuapkan untuknya, aku janji tak akan meninggalkannya, dia sangatlah rapuh.
***
Saat ini entah apa yang terjadi pada mataku maupun kepalaku. Kenapa aku melihat ada seorang pria yang mirip Siwon berjalan ke arahku. Apakah aku berhalusinasi melihatnya datang? Mungkin karena aku begitu menantinya sampai aku tak dapat berpikir jernih.
“Maaf bila aku mengganggu acara kedua keluarga ini…” ucap Siwon begitu saja saat ia menghampiri meja keluargaku. Kali ini aku dapat melihat dia nyata, ternyata aku tidak sedang menghayal.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku padanya. Dia menoleh ke arahku sejenak kemudian menoleh lagi ke arah ayah dan ibuku.
“Aku harap paman dan bibi berkenan membatalkan perjodohan ini!” ucapnya tegas.
“Yaa… kau biacara apa?” aku kaget, wajah kedua orang tuaku juga sepertiku, begitupun Donghae dan orang tuanya.  
“Aku mencintai Byeol, kumohon jangan pisahkan aku darinya!” terang Siwon. Aku tertegun, apa aku salah dengar? Atau mungkin aku sedang bermimpi saat ini? Siwon menggenggam tanganku, “Aku benar-benar membutuhkanmu!” ucapnya,
“…” aku bungkam karena kaget.
“Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu!” ucapnya. “Selama ini kau selalu berada di sampingku, menuntunku, membantuku, dan menghiburku. Kau selalu ada untuk memperhatikanku, aku tak mau membayangkan apa yang akan terjadi bila kelak kau tak lagi ada untukku. Tentu rasanya akan lebih sakit dibanding kehilangan Ha Neul, aku tak mau menangis lagi, aku tak mau kehilangan lagi, untuk itu jangan pernah pergi dariku.”
“…”
“Kau berjanji akan menjagaku, kau berjanji akan terus bersamaku, kini aku menagih janjimu itu. Kau bilang aku berhak bahagia meski tanpa Ha Neul, kalau begitu aku ingin bahagia tapi kali ini harus bersamamu!”
“…” hiks, hiks, hiks, isakan ini bukan karena sedih ataupun gundah. Isakan ini karena aku terlalu terharu, aku bahagia, sungguh aku bahagia.
***
Semenjak kau pergi, Siwon telah menjadi tanggung jawabku. Seperti janjiku, aku harus membantunya kembali berdiri. Aku telah melakukannya, aku membantunya mendapatkan kembali senyumnya. Mengajaknya pergi ke manapun yang dia suka, menemaninya setiap saat dia membutuhkan aku, dan melakukan apapun yang dimintanya. Aku bahagia mengemban tugas ini namun semakin lama semakin aku menyadari, sampai kapanpun dia hanya akan menganggapku sebagai teman.
Bisakah kau membantuku mengubah perasaannya? Bisakah kau pergi dari pikirannya? Huh… itu hal yang tidak mungkin. Baginya kaulah segalanya, masa lalu yang tak akan mungkin pernah hilang dari pikirannya, lantas untuk apa lagi aku bertahan dengan semuanya? Aku benar ‘kan Ha Neul?
Tapi kedatangannya sore itu, tepat di saat kedua orang tuaku membicarakan perjodohan itu, telah mengubah semuanya. Sejak kapan dia mencintaiku? Sejak kapan dia membutuhkanku? Sejak kapan dia tak ingin kehilangan diriku? Aku tidak akan menanyakan hal-hal itu. Yang kutahu dia telah mencintaiku, dia membutuhkanku, dan dia tak ingin kehilangan diriku.

Ha Neul… terima kasih, karena dirimu aku dapat mengenalnya; karena dirimu aku dapat dekat dengannya; karena dirimu aku dapat mencintainya; dan karena dirimu pula aku dapat bersamanya. Kuharap kau bahagia di atas sana melihatku mengenakan gaun pengantin yang indah. Di sampingku, Siwon berjalan membawaku ke altar pernikahan. Kami tersenyum dan aku yakin kau pun tersenyum. Berilah restumu kepada kami, doakan kami agar bahagia.
Kini tugasku baru kumulai yaitu menjaganya, aku menjaganya untukmu dan untuk bagianku juga. Aku akan melakukan semua hal yang tidak dapat kau lakukan untuknya, menemaninya sampai kapan pun, membahagiakannya, dan selalu berdiri di sisinya tanpa lelah. Kini izinkan aku memanggilnya ‘Siwon-ku’ kuharap kau tidak akan keberatan sahabatku.

Siwon menggenggam tanganku menelusuri jalan setapak setelah menziarahi makam Ha Neul. Dari kaki bukit ini kupandangi langit biru dan awan yang berarak, kuyakin kau tersenyum. Ha Neul… gomawo.
  
End


No comments:

Post a Comment