“Omma… apa boleh aku meminta sesuatu
padamu?” tanyaku, di sela-sela sarapan
“Ne… apa?” ibu membolehkan
“Aku tak ingin tempat ayahku
digantikan oleh orang lain!” perkataanku ini membuat ibuku tertegun, matanya
menatap tajam ke arahku.
Hari ini pelajaran Sejarah, aku
menanti kesempatan ini setiap saat. Bae songsaenim masuk ke kelas dengan
melemparkan senyumnya yang sangat menawan, tentunya senyum yang sangat kusuka.
Kebanyak siswa akan mengantuk bila mengikuti pelajaran sejarah, katanya membosankan
lah, sulit lah, dan masih banyak lagi alasan yang mereka punya namun bagiku
sejarah itu indah apalagi yang mengajarkan adalah Bae songsaenim.
“Baiklah…,” songsaenim mengakhiri
penjelasannya. “Ada yang tahu mengapa terjadi insiden teh di pelabuhan Amerika
saat itu?” tanyanya. Kuberanikan diriku mengangkat tangan mencoba menjawab
pertanyaannya. “Ne… Kim Seohyun!”
“Terjadinya insiden pembuangan teh
hasil panen oleh petani di Amerika dikarenakan sebagai bentuk protes para
petani atas kesewenangan Inggris yang membeli teh mereka dengan harga murah dan
menyebabkan kerugian besar bagi para petani!” jawabku.
“Bagus!” songsaenim memberi pujian
padaku, aku senang sekali, pokoknya aku harus lebih giat belajar agar terus
mendapat pujian darinya.
Aku dan Jaejoong Oppa menghabiskan
waktu istirahat kami di perpustakaan. Bagi sebagian siswa, perpustakaan adalah
tempat yang paling membosankan begitupun bagiku, namun itu dulu, sebelum Bae
songsaenim menjadi guru sejarahku. Setelah dia berhasil membuatku menaruh
perhatian padanya, aku jadi keranjingan membaca buku-buku sejarah; sejarah
korea, maupun sejarah umum.
“Kau benar-benar berubah, memangnya
bagaimana cara mengajar Bae songsaenim sehingga kau seperti fans beratnya?!”
tegur Jaejoong Oppa keheranan.
“Seperti guru-guru yang lain kok!”
jawabku,
“Lalu…?” tanyanya bingung
“Soalnya dia ganteng makanya aku
tertarik!”
“Aku juga ganteng, apa kau juga suka
padaku?” tanyanya narsis,
“Jiah… Oppa jangan membuatku
tertawa!” aku kembali membuka lembaran buku yang menceritakan kisah runtuhnya
kebesaran kerajaan Shilla.
Malam ini ibu berdandan sangat rapi
dan cantik, katanya ada reuni teman-teman SMU. Aku yang sibuk mencari referensi
sejarah umum mengenai pecahnya perang Salib di internet jadi kurang
memperhatikan ibuku.
“Seohyun…” teriak ibuku dari luar,
“Ibu pergi dulu!” sambungnya
“Ne Omma! Hati-hati ya!” balasku.
Aku tak akan menghalangi ibu mencari kebahagiaan barunya, ibu sudah cukup
berkorban membesarkanku sendirian semenjak ayah meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Kadang aku bercanda meminta ibu mencarikanku ayah baru namun ditanggapi dingin
oleh wanita yang begitu kukagumi itu. Kini sepertinya ibu telah menemukan cinta
barunya, aku bisa melihat dari gerak geriknya akhir-akhir ini.
Huf…
kupandangi foto keluarga kecilku, ayah, ibu, dan aku, aku rindu kebersamaan
kami namun tak akan pernah kudapatkan lagi. Ayah… tak apa kan’ kalau ibu
mencari penggantimu? Ibu telah bersabar membesarkanku sendiri selama sepuluh
tahun ini. Doakan ibu agar cepat mendapatkan pengganti yang sebaikmu ayah!
Malam
ini ibu pulang agak larut, kulihat dari jendela kamarku yang mengarah ke jalan,
ibu diantar oleh seseorang. Apakah mungkin pria itulah yang membuat ibu berbeda
akhir-akhir ini? Pagi menjelang, aku jalan ke sekolah bersama Jaejoong Oppa, oh ya… dia adalah teman sepermainanku
sejak kecil. Kami tetangga, umurnya lebih tua dua tahun dariku, ya… dia senior
di sekolahku.
“Kenapa
senyum-senyum seperti itu?” tanyanya tiba-tiba, aku menggeleng enggan
memberitahukan alasannya. “Apa nanti jam pelajaran sejarah?” tebaknya.
“Oppa…
sepertinya ibuku sudah mendapat pengganti ayah!” jawabku.
“Mwo?
Apa kau tidak marah?”
“Kenapa
harus marah? Aku malah senang, sekarang ibuku tidak kesepian lagi!”
“Yah…
dongsaengku telah dewasa, kupikir kau akan marah bila ibumu menjalin hubungan
dengan pria lain. Sukurlah kalau begitu, memang sudah saatnya Ajumma mencari
kebahagiaannya sendiri, dan lebih bagusnya lagi ternyata kau mendukungnya,”
“Uhm…tapi
sampai saat ini ibu belum menceritakan apa-apa padaku, mungkin dia masih malu…”
lirihku,
“Kalau
begitu mintalah ibumu memperkenalkan kau dan calon ayah barumu itu, cepat atau
lambat kalian harus saling mengenal kan’?” aku berusaha mencerna nasihat Oppa,
memang aku harus mendesak ibu sebab bila aku diam saja maka tak akan ada
perkembangan.
Aku
dan Jaejoong Oppa berpisah di lorong
sekolah, Oppa menuju kelasnya di lantai tiga dan aku terus saja sebab kelasku
di lantai satu. Di koridor aku bertemu Bae songsaenim, dia nampak kerepotan
membawa beberapa buku cetak. Segera aku menawarkan diri untuk membantunya, kami
pun beriringan ke ruang guru.
“Gomawoyo
Lee,” ucap Bae songsaenim dengan senyuman manisnya.
“Cheonmaneyo
songsaenim,” balasku. Aku membungkukkan badan dan setelahnya segera beranjak
dari ruangan itu,
“Mmmm…
Lee…!” panggil songsaenim, aku berbalik, “Apa sepulang sekolah kau ada waktu?
Aku ingin mentraktirmu!” ucap songsaenim malu-malu. Hah? Traktir? Maksudnya…
ini dapat dikatakan ajakan kencan?
“Mentraktir
karena apa songsaenim?” tanyaku tidak langsung menyetujui, aku tidak boleh
terlihat gampangan di depannya.
“A…a…
i..itu… mentraktir karena…” dia jadi gelagapan, “…karena kau telah membantuku
mengangkat buku-buku ini!” dia tersenyum renyah, kelihatan sekali kalau dia
gugup.
“Ne…
gomawoyo songsaenim!” balasku tidak kalah senang.
“Kutunggu
di gerbang sekolah saja ya!” ucapnya. Aku mengangguk dan segera pergi dari
ruangan itu. YESSSS!!!! Aku berjalan kegirangan, wajahku kini memerah seperti
tomat. Wah…jeongmal, ini seperti mimpi, aku diajak jalan oleh songsaenim idolaku,
aku tidak mau bangun! Jangan ada yang berani membangunkan aku bila ini memang
mimpi, bagaimanapun aku sangat, sangat, dan sangat bahagia.
Saat
pulang sekolah, kulihat di parkiran Bae songsaenim menunggu di samping
mobilnya, matanya membelalak seperti mencari sesuatu di antara murid-murid yang
bergumul pulang.
“Oppa…
aku duluan ya, itu songsaenim telah menungguku!” aku berpamitan pada Jaejoong Oppa. Dia mengangguk dan tersenyum padaku,
kenapa wajahnya terlihat sedih? Dia seperti sedih dalam senyumannya, ah…
sudahlah… mungkin Oppa sedang bermasalah dengan pelajarannya, nanti saja
kutanyakan, kalau-kalau dia butuh bantuanku. Aku menghampiri Bae songsaenim,
seyumannya membuatku semakin senang, dia membukakan pintu mobilnya dan setelah
aku masuk, kami segera meluncur ke tempat yang telah dijanjikannya.
Setelah
makan, songsaenim mengajakku berkeliling Dongdaemun
bahkan tak segan-segan dia menawarkan aku untuk membeli sesuatu, katanya dia
yang traktir. Aku masih punya cukup malu, makanya yang kupilih adalah
barang-barang yang tidak mahal, itupun sebenarnya aku tidak enak lagi padanya
yang tidak pernah berhenti menawarkan barang padaku. Hari telah gelap dan sudah
saatnya aku pulang, dia mengantarkan aku sampai di depan rumah. Kulihat rumah
masih gelap berarti ibu belum pulang, aku segera turun dari mobil dan sekedar
basa-basi meminta songsaenim untuk singgah. Dia menolak, katanya masih ada yang
harus dia kerjakan, akupun melambaikan tanganku selepas dia pergi.
Aku
tersenyum sendiri masuk ke pekarangan rumahku, kalau tidak kenal malu, aku
pasti sudah berteriak kencang ‘songsaenim… nomu choaeyo!!!!’ aku sungguh
menyukaimu.
“Ehm…!”
ada seseorang yang datang, aku segera berbalik mencari orang itu, tidak ada,
aku melihat ke samping kiri dan kanan, juga tidak ada. “Hei… di atas!” ucap
orang itu lagi, aku pun menengadah. Senyumanku mengembang melihat Jaejoong Oppa yang sedang mengamatiku di balkon
kamarnya.
“Oppa…!”
sapaku,
“Duh…
yang baru pulang kencan, wajahnya merah seperti tomat!” ledeknya, aku tersenyum
malu. “Sepertinya belanja banyak, ada bagainku juga?!” aku buru-buru menggeleng
sehingga wajahnya berubah cemberut.
“Mianhe
Oppa, aku jadi lupa padamu!” ucapku,
“Jadi
begitu ya? Kalau kau senang, kau lupa padaku?”
“Bukan…
bukan begitu, aku…”
“Sudahlah…
aku hanya bercanda, cepatlah masuk udara sangat dingin nanti kau masuk angin!”
aku mengangguk dan segera masuk ke rumah, kunyalakan beberapa lampu dan menutup
rapat pintu kemudian menyalakan penghangat.
Pagi
ini saat sarapan, kuberanikan diriku bertanya mengenai hubungan ibu dengan
kekasihnya, kupikir tak ada salahnya bila kuikuti saran Jaejoong Oppa. Ibu awalnya enggan menceritakannya,
entah karena malu atau apa.
“Ibu
takutnya kau akan marah makanya ibu hanya diam…” ibuku memberi alasan,
“Omma,
aku mengerti apa yang telah terjadi. Tak selamanya Omma dapat hidup sendiri,
apa lagi Appa sudah lama meninggal, Omma pasti butuh pendamping yang dapat
memberi dukungan dan kasih sayang pada Omma. Aku tidak akan selamanya menemani
Omma kan’?” kupegang tangan ibuku dan kutatap ia dalam-dalam. “Suatu saat nanti
aku akan membentuk keluarga sendiri dan tentunya harus berpisah dari Omma, maka
dari itu… sekaranglah saatnya Omma mencari pendamping yang dapat menemani Omma
bila aku sudah harus pergi.” Ibuku tersenyum, dia menunduk, beberapa saat
kemudian dia mengangguk.
“Baiklah…
nanti malam Omma akan mengatur makan malam dengannya, kau bersiap-siaplah!”
janji Omma.
Sepanjang
jalan ke sekolah aku menceritakan semua pada Jaejoong Oppa, anehnya kenapa dia malah sedikit ragu
pada keputusanku untuk berkenalan dengan calon ayahku. Bukannya dia sendiri
yang menyarankan agar aku meminta ibu untuk memperkenalkan aku pada teman
prianya itu.
“Kapan
makan malamnya? Nanti ya?” tanya Oppa, aku mengangguk. “Apa kau yakin ingin
mengenalnya lebih dekat?” dia bertanya seperti orang tidak mengerti apa-apa.
“Kenapa
Oppa malah bertanya aneh seperti itu? Tentu saja aku ingin tahu pengganti
ayahku. Bagaimanapun aku harus tahu kan’? Namaku nantinya akan berpindah ke
namanya, kami akan tinggal bersama menjadi keluarga, dan… mungkin aku bahkan
punya adik darinya!”
“Mmmmm…
semoga semua berjalan lancar ya!” seru Oppa. Aku tidak mengerti akan perubahan
sikap Oppa, bukannya dia sendiri yang memintaku untuk terus mendukung ibu, nah…
di saat aku telah memberi dukungan sepenuhnya untuk ibu dia malah pesimis.
Malampun
tiba, aku menyusul ibu ke restaurant tempat kami janjian. Di sana kulihat ibu
hanya sendiri, belum ada pria itu. Ibu melambai ke arahku saat ia melihatku di
pintu masuk resto.
“Kenapa
ibu sendiri?” tanyaku sambil mendorong kursi untuk duduk.
“Teman
ibu ke toilet dulu, katanya dia lumayan gugup akan bertemu denganmu!” jawab
ibu, aku tersenyum geli mendengarnya, gugup karena akan bertemu denganku?
Beberapa saat kemudian seorang pria berjalan ke arah kami, dia nampak rapi
dengan stelan jas hitamnya. Dia mengenakan kacamata dan senyumnya sangat indah,
Bae Songsaenim?
“Maaf…
sudah lama menunggu ya?” sapanya padaku, aku heran, aku masih belum mengerti
apa yang terjadi. Kenapa songsaenim menyapa kami? Kenapa dia tahu kami sedang
menunggu?
“Tidak…
dia juga baru datang,” balas ibu, “Seohyun… perkenalkan, namanya Bae Young Jun,
dia teman sekolah ibu dulu!” perlahan aku mulai mengerti, tapi masih sulit percaya.
Tatapanku tajam mengarah pada songsaenimku dan tersenyum kecut melihat ibu.
“Maaf Seohyun… sudah lama aku ingin menceritakan semua padamu tapi aku tidak berani!” ucap songsaenim.
“Sebenarnya
ibu yang melarang, nilai sejarahmu bagus dan ibu takut bila orang sekolah tahu
Young Jun dan ibu punya hubungan maka akan disangkutpautkan dengan nilai-nilai
pelajaranmu!” aku diam seribu bahasa, aku benar-benar tak tahu harus bicara
apa, aku sungguh sulit untuk percaya kalau pria itu adalah songsaenimku, guru
yang kutaksir. Tidak… aku bukannya sulit percaya, tapi… tapi… tapi aku tidak
mau percaya.
♥♥♥
Aku
terduduk lesu di taman, aku kehilangan selera pada segala sesuatu. Seharusnya
di jam istirahat seperti ini aku sudah ada di perpustakaan mencari bahan
pelajaran sejarah yang akan dibahas songsaenim pada pelajaran berikutnya.
Kusentakkan kakiku di tanah, meraung sendiri, dan… tanpa kusadari air mataku
jatuh. Hiks… kenapa harus dia? Kenapa
harus songsaenimku?
Tubuhku
terasa hangat seketika, kusadari ada seseorang yang memelukku. Ini aroma Jaejoong
Oppa, ya… aku yakin.
“Gwencanayo,
apa kau baik-baik saja?” tanyanya,
“Bagaimana
mungkin aku baik-baik saja? Orang yang kusukai ternyata calon ayah tiriku!” aku
sesenggukan di pelukannya. “Kau jahat Oppa… kau sangat jahat! Kau pasti sudah
tahu masalah ini, tapi kenapa kau tidak cerita padaku? Kau menyembunyikan apa
yang kau tahu dan membiarkan aku tahu sendiri.”
“Jeongmal
mianhe…” ucapnya pelan, dia mengelus kepalaku.
“Aku
seperti orang bodoh di hadapan Ibu dan
songsaenim semalam, benar-benar seperti katak dalam tempurung!”
“Aku
baru tahu kemarin, saat itu aku tidak sengaja melihat Ajumma diantar oleh
songsaenim. Aku ingin cerita padamu namun aku enggan, aku tahu kau pasti akan
sedih, jadi aku memilih biar kau tahu sendiri.”
“Aku
harus bagaimana Oppa? Aku menyukai songsaenim, aku sangat menyukainya. Aku tak
mau dia menjadi ayahku, aku tak mau namaku berubah menggunakan namanya, aku tak
mau tinggal serumah dengannya dan melihat kemesraannya bersama ibu, aku… juga
tak mau punya adik darinya, aku tak mau!” aku berontak.
“Lalu…
bagaimana dengan ibumu? Kau akan bilang apa padanya?”
“Aku
tak ingin ibu menikah dengan songsaenim, mereka harus memutuskan hubungan
mereka!” seketika Jaejoong Oppa melepas
pelukannya, dia menatap tak percaya padaku.
“Kau
bicara apa? Kenapa kau tega sekali?”
“Ibu
juga tega padaku, ibu tega menyakiti hatiku! Ibu mengambil songsaenim dan ingin
menjadikan dia ayahku!”
“Seohyun…
sadarlah, kau tak pantas bicara seperti ini! Bukannya kau sendiri yang meminta
ibumu untuk mencari pengganti ayahmu lalu setelah…?!”
“Tapi
bukan songsaenim orangnya! Aku tak mau dia jadi ayahku!” potongku sebelum dia
menyelesaikan kata-katanya.
“Ya…
kau tak ingin menjadi putrinya, kau berhak menolak, kau punya pilihan, lalu apa
yang akan kau katakan pada ibumu bila dia bertanya mengapa kau menolak? Apa kau
akan bilang kalau kau menyukai songsaenim?” aku terdiam, benar… aku harus
bilang apa kalau ibu bertanya? Apa yang akan kujadikan alasan?
Sepanjang
jam pelajaran aku tidak berkonsentrasi, masalah ini berkecamuk di kepalaku. Aku
harus bagaimana? Apa aku harus diam saja menerima kenyataan ini? Apa aku bisa
tahan tinggal serumah dengan orang yang kusayangi namun sebagai ayahku? Apa
bisa aku menyapanya dengan sebutan ayah? Sekali lagi aku menangis, menangis
tiba-tiba di tengah kelas, kali ini begitu kencang.
“Lee…
kau kenapa?” tanya Seo songsaenim, ibu guru Sastra Koreaku.
“Gwencanayo?”
tanya teman-temanku,
“Apa
kau sakit?” tanya songsaenim lagi
“Songsaenim…
sejak tadi pagi dia nampak murung!” ucap temanku
“Iya…
wajahnya juga pucat, dia pasti sakit!” sambung yang lain. Akhirnya songsaenim
memberitahukan wali kelasku dan kemudian menelpon ibu. Dengan wajah cemas ibu
datang menjemputku, Bae songsaenim juga mengantar kami sampai ke parkiran untuk
pulang. Sepanjang jalan aku lebih banyak diam, ibu hanya sesekali bertanya
sebab aku tidak pernah menggubris kata-katanya.
Malam
ini Jaejoong Oppa datang menjengukku,
dia dengar dari teman-temanku aku dijemput pulang dari sekolah tadi siang. Oppa
menempelkan punggung tangannya di dahiku untuk memastikan aku tidak demam. Aku
hanya terbaring malas di ranjang, aku tidak mood
melakukan apa-apa, saat ini mungkin aku sedang marah, ya… mungkin marah pada
ibu.
“Hentikan
semua ini Seohyun, sampai kapan kau perlakukan ibumu seperti ini? Kau marah tanpa
alasan dan ibumu tidak tahu apa-apa!”
“Oppa…
kau yang hentikan ceramahmu, sampai kapan kau ingin menyalahkan aku? Di sini
aku lah yang menjadi korban, apa kau tidak mengeri?”
“Korban?
Kau yang menjadi korban? Di sini ibumu lah yang kau sakiti! Kenapa kau begitu
egois?” Oppa jadi emosi, “Baiklah… seandainya kau kukuh dengan keputusanmu
memisahkan ibumu dan songsaenim apa semua akan berakhir bahagia seperti
rencanamu? Apa kau akan menyatakan sukamu pada songsaenim dan dia akan
menerimamu? Lalu ibumu bagaimana? Apa kau akan menyuruhnya mencari pria lain
lagi? Menggelikan sekali bukan? Semua yang mendengar masalah ini pasti akan
terkikih!”
“Jadi
Oppa bermaksud memintaku untuk mengalah?!” tanyaku kaget
“Apa
kau tak ingin berkorban untuk ibumu?” balasnya kesal
“Lalu
bagaimana dengan perasaanku Oppa? Aku berkorban demi ibu untuk menjaga
perasaannya, lalu bagaimana dengan perasaanku sendiri?” aku sedih kenapa Oppa
malah menyalahkanku, “Siapa yang akan menjaga perasaanku?!” aku putus asa,
satu-satunya orang yang kupercaya dan dapat kuandalkan malah mengecewakanku.
“Aku!
Aku yang akan menjaga perasaanmu!” tegasnya. Tatapan Oppa yang tadinya penuh
kesal kini berubah lembut. Dia membelai rambutku dan sejenak terdiam,
“Saranghae Seohyun…” lanjutnya. Mwo? Apa aku tidak salah pendengaran? Oppa bilang
cinta padaku!
“Oppa!”
hanya itu yang dapat kukatakan di sela keterkejutanku.
“Ne… Seohyun, Oppa memang pengecut, tidak dapat berterus terang padamu. Oppa menyukaimu sejak kita masih SMP tapi tidak berani mengatakannnya!” dia
tertunduk entah malu, sedih, atau mungkin merasa bersalah. “Seandainya saja
sejak dulu Oppa jujur dan berani memintamu menjadi pacar, mungkin kau tidak
akan tertarik pada songsaenim dan keadaannya tidak akan seperti ini!”
“Oppa…”
lirihku,
“Jaljayo!
Beristirahatlah!” Oppa pamit dan keluar dengan langkah berat, aku sendiri masih
berusaha menenangkan perasaanku.
Pagi
ini aku memutuskan untuk melakukan sesuatu, aku harus menentukan jalan
bagaimana menyelesaikan permasalahanku.
“Omma…
apa boleh aku meminta sesuatu padamu?” tanyaku, di sela-sela sarapan
“Ne…
apa?” ibu membolehkan
“Aku
tak ingin tempat ayahku digantikan oleh orang lain!” perkataanku ini membuat
ibuku tertegun, matanya menatap tajam ke arahku.
“Begitu
ya?” ibu bertanya lirih dan melanjutkan sarapannya,
“Omma
tak mau mendengar alasannya?”
“Tidak
usah,” ibu menolak tawaranku, “Omma tahu pasti berat bagimu menerima orang lain
untuk menggantikan posisi ayahmu!” lanjut ibu. Apa aku egois? Apa yang
kulakukan salah? Aku hanya berusaha melindungi perasaanku dan kurasa itu wajar.
Tak seorangpun boleh menyalahkan keputusanku, mereka tidak mengerti, mereka
tidak dalam posisiku. Tenanglah Seohyun… kau mengambil langkah yang tepat.
Sekarang
jam pelajaran sejarah, aku memilih bolos. Untuk saat ini aku masih belum punya keberanian
untuk bertatap muka secara langsung dengan songsaenim. Aku menyendiri di bawah
pohon besar di belakang sekolah. Wajah ibu tadi pagi terus menghantui
pikiranku, ibu memang sedih namun tidak terlihat kaget. Lama aku merenung
sendiri sampai akhirnya bel tanda pelajaran usai berbunyi nyaring, aku masih
belum berniat beranjak dari tempatku, atau mungkin aku sekalian bolos seharian
saja?
Sekaleng
jus jeruk tiba-tiba muncul di hadapanku, aku menoleh pada orang yang
menyodorkannya, Bae songsaenim? Perlahan kuambil jus pemberiannya dan segera
dia duduk di sampingku.
“Kenapa
kau bolos pada jam pelajaranku?” tanyanya, aku membisu, “Permasalahan pribadi
tentu tidak boleh dikaitkan dengan pelajaran, bila kau merasa tidak enak
denganku karena masalah ibumu, jangan sampai kau mengorbankan pelajaranmu.”
Kali ini aku masih tetap bungkam. “Ibumu telah memberitahukanku, tadi pagi dia
menelponku. Sedih rasanya kau menolakku namun aku mengerti, pasti masih sulit
bagimu untuk menggeser posisi ayahmu pada orang lain,”
“Songsaenim…”
lirihku.
“Aku
dan ibumu telah berteman sejak masih SMP bahkan kami telah saling menyukai.
Sayang kami harus berpisah saat ibumu harus dijodohkan dengan pria pilihan
orang tuanya! Kami tidak dapat berbuat banyak… kami menganggap ini memang harus
kami jalani, perpisahan memang telah menjadi takdir.” Kakek dari ibuku memang
orang yang keras, wajar kalau ibu tidak bisa protes pada perjodohannya. Ibuku
menikah dengan ayah begitu ia lulus SMU, ya… memang pernikahan di usia muda
lagi marak saat itu.
“Setelah
pernikahan ibumu, aku pindak ke Jepang menyusul orang tuaku. Di Jepang aku
dengar kabar kalau suami ibumu meninggal karena kecelakaan, meski ingin sekali menetap
dan menghiburnya namun kusadari itu tidak rasional, apa kata orang nanti? Saat
itu usiamu baru 7 tahun dan kau belum mengerti apa-apa.”
“…”
aku diam
“Kucoba
melupakan semua kenangan yang pernah terjadi antara aku dan ibumu, aku menjalin
hubungan dengan seorang wanita di Jepang namun hubungan kami kandas saat aku
tahu kalau aku dikhianati. Kuputuskan untuk kembali ke Korea, aku pun menjadi
guru di sekolah ini, dan tanpa disengaja aku dan ibumu bertemu kembali saat
pertemuan orang tua murid dan guru.” Beberapa saat songsaenim diam kemudian
kembali bercerita, “Ibumu tidak berubah, dia masih seperti dulu, wanita yang
lembut dan sangat sopan. Meski telah berpisah selama 18 tahun namun ternyata
aku masih sangat mencintainya, aku ingin kami kembali seperti dulu, menjalin
hubungan yang indah. Aku tahu itu tidak akan mudah, ibumu tidak sendiri, ada
kau di sampingnya, dan bila kami ingin kembali seperti dulu tentunya kami harus
meminta izinmu!”
Aku
tertunduk, 18 tahun? Karena ayahku, ibuku mengalah dan melepas songsaenim, kini
setelah berpisah selama 18 tahun, ibu sekali lagi mengalah demi diriku. 18
tahun aku dan ayah memisahkan mereka dan sekarang berapa tahun lagi aku akan
menjadi penghalang di antara mereka?
“Jagalah
ibumu baik-baik! Jangan sungkan meminta bantuanku bila kau dan ibumu dalam
masalah!” songsaenim menepuk pundakku dan bergegas meninggalkanku. Tes… tes…
air mataku jatuh di rerumputan kering, benar kata Jaejoong Oppa, lebih baik aku mengalah, aku tidak boleh
egois. Bila aku bertahan dengan perasaanku, maka yang tersakiti bukan hanya
ibu, songsaenim juga, bahkan akupun tersakiti.
Hari
mulai gelap, dengan langkah berat aku memasuki rumahku. Ibu belum pulang,
suasana di rumah begitu sunyi. Kunyalakan lampu untuk menerangi ruangan di
rumahku, belum berapa lama aku duduk beristirahat, telpon berdering.
“Yeobuseo?”
ucapku begitu merapatkan telpon itu ke telingaku.
“Seohyun…”
terdengar suara Bae songsaenim, kenapa dia menelpon? “Kau di mana sekarang?”
tanyanya,
“Aku
di rumah,” jawabku singkat
“Segeralah
ke Rumah Sakit Incheon sekarang!” perintahnya,
“Kenapa
songsaenim? Siapa yang sakit?” tanyaku heran.
“Ibumu
mengalami kecelakaan barusan, sekarang kami ada di rumah sakit!”
“Mwo?!!!”
aku terperanjat, seketika tubuhku gemetar, ibu kecelakaan?! Aku terpontang-panting
keluar halaman dan segera membuka pagar rumah. Air mataku mulai meleleh,
kutunggu taksi namun tak ada yang lewat. Aku berlari ke ujung jalan dekat jalan
utama, mungkin di situ aku dapat menemukan taksi dengan cepat. Cccccctttt…
suara rem mobil menggema saat aku tiba-tiba potong jalan,
“Gwencanayo?”
sebuah suara yang sangat familiar di telingaku menghampiriku yang duduk di
aspal, sikuku lecet setelah menghantam aspal. “Seohyun?!” ucap orang itu kaget.
aku menengadah, Jaejoong Oppa? “Kau
baik-baik saja kan’? aduh lihat sikumu berdarah!” dia membantuku berdiri, “Ayo
kita ke rumahku untuk mengobati sikumu!” ajaknya.
“Andwe
Oppa, aku ingin ke rumah sakit, tadi Bae songsaenim menelponku dan mengatakan Omma
kecelakaan.”
“Mwo?
Jeongmal?” Oppa kaget. Diapun mengantarku ke RS Incheon, sepanjang jalan
mulutku tak berhenti bergerak, berdoa dengan suara yang kecil, ya… Tuhan semoga
ibuku baik-baik saja. Begitu sampai di RS, aku buru-buru ke ruang gawat darurat
setelah bertanya pada suster tempat ibuku dirawat. Di koridor kulihat Bae
songsaenim menunggu, wajahnya lelah dan sedih.
“Songsaenim!”
teriakku, seketika guruku itu menoleh padaku. “Bagaimana keadaan ibu? Kenapa
bisa begini? Sebenarnya apa yang terjadi sampai kecelakaan itu ada?” aku
mencercanya dengan beberapa pertanyaan.
“Ommamu
masih diperiksa di dalam, semoga saja semua akan baik-baik saja!” ucapnya
“Omma…”
hiks, air mataku mengucur deras, aku takut, takut sekali. Aku hanya punya ibu
di dunia ini, kalau ibuku pergi maka aku benar-benar akan sendiri. Songsaenim
mendekapku, kudengar jelas denyut jantungnya, kencang. Dia pasti sedang
khawatir saat ini seperti aku yang takut kalau-kalau terjadi sesuatu pada ibu.
Klekk… pintu terbuka, beberapa perawat keluar mendorong ranjang ibu sementara
seorang dokter menyusul di belakannya.
“Bagaimana
keadaannya dokter?” Bae Songsaenim dan aku segera menghampiri dokter itu,
“Apa
kalian keluarganya?” dokter itu malah bertanya
“Nde~
saya putrinya!” jawabku,
“Dia
baik-baik saja, hanya sedikit retak di engkle kanannya, kalau rutin mengikuti
terapi, dia pasti bisa berjalan normal kembali.” aku dan Songsaenim menarik
napas lega, untung saja keadaan ibuku baik-baik saja. Saat aku berbalik,
kulihat Jaejoong Oppa berdiri dengan
senyumannya, dia juga ikut bahagia pada keadaan ibu yang tidak apa-apa. Dia
menyodorkan sebuah kantongan untukku, dengan penuh keingintahuan aku segera
membuka kantong itu, sandal? Kulirik kakiku, ah… ya ampun aku hanya memakai
kaos kaki itupun sobek karena lecet.
“Aku
mengerti keadaanmu, saat itu kau pasti panik sekali sampai lupa memakai alas
kaki, ini kubelikan di koperasi RS,”
“Gomawo
Oppa!” ucapku tertunduk malu.
♥♥♥
Dua
jam kami menunggu ibu sampai dia sadar dari pingsannya, tahukah kalian nama
pertama yang diucapkan ibu saat ia mulai membuka mata?
“Seohyun…”
suara ibu terdengar lemah, Bae Songsaenim yang duduk di sampingnya langsung
terjaga dan buru-buru memegang tangannya. Aku yang duduk di pojokan bersama Jaejoong
Oppa langsung merapat ke ranjang ibu.
“Nde~
Omma aku di sini!” ucapku pelan
“Seohyun…
mianhe…” ibu malah minta maaf padaku,
“Waeyo?
Kenapa Omma minta maaf? Omma tidak salah kan’?”
“Mianhe
karena telah membuatmu khawatir. Putri Omma…” ibu berusaha meraih tanganku,
“Wajahmu kelihatan sangat lelah dan matamu bengkak, Omma sangat jahat membuatmu
seperti ini!”
“Aniyo
Omma, gwencana!” aku baik-baik saja ibu, kau tak perlu khawatir.
“Young
Jun…” kali ini penglihatan ibu beralih pada Bae Songsaenim,
“Nde~”
“Mianhe…”
ucap ibu, Songsaenimku tertunduk sedih, “Kita tak dapat melanjutkan semua ini…”
“Gwencana…
tak masalah kalau harus berhenti sampai di sini, aku saat ini hanya memikirkan
keadaanmu, untunglah kalau kau tak apa-apa,” balas Songsaenim, suaranya
terdengar berat dan tidak rela.
“Omma…
Songsaenim… mianhehamnida…” ucapku, “Aku tak akan menjadi penghalang kalian
lagi, aku tidak akan melarang ibu menikah bersamamu songsaenim asal kau janji
akan menyayanginya seperti aku sayang pada ibu. Aku tidak mau keegoisanku
membuat kalian menderita, aku tak mau karena keras kepalaku semuanya tersiksa.
Memang sudah sepantasnya kalian bersama setelah belasan tahun terpisah, aku
sama sekali tidak berhak membuat kalian menunggu lebih lama lagi,”
“Seohyun…”
ibuku lirih menatapku, “Kau tidak perlu melakukan itu Nak, Omma tidak mau
tersenyum sendiri sementara kau menangis,”
“Omma…
senyumanmu adalah senyumanku juga. Omma telah merawatku dan membahagiakan aku
selama 17 tahun hidupku dan sekarang sudah saatnya aku melakukan sesuatu untuk
membalas kasih sayangmu. Omma… chaega
jeongmal gwencanasso, ibu tak perlu khawatir, aku benar-benar ikhlas
melihat Omma bersama songsaenim!”
“Seohyun…”
songsaenim memandangku,
“Nde~
songsaenim, awalnya aku memang tertarik padamu, kupikir aku benar-benar
menyukaimu, tapi akhirnya aku sadar kalau ternyata aku hanya kagum padamu!
Alangkah bangganya aku bila orang yang sangat kukagumi menjadi ayahku, aku
benar-benar tidak sabar menanti pernikahan kalian. Jadilah orang tuaku, jadikan
aku seorang putri yang sangat beruntung memiliki orang tua seperti kalian,”
ibuku menangis memandangku, kupeluk ibuku dengan pelukan yang hangat, terima
kasih ibu… ini hanya sebagian kecil dari rasa terima kasihku karena kau mau dan
selalu ingin berkorban untukku. Kudengar suara pintu bergeser, Jaejoong Oppa keluar! Segera kulepas pelukan ibu dan
berpamitan untuk mengejar Oppa.
“Oppa…”
panggilku, seketika dia menghentikan langkahnya dan bebalik ke arahku,
“Chukkae…”
kenapa dia memberi selamat padaku? “Kau telah dewasa Seohyun, kau telah menjadi
kesatria yang mengagumkan dengan mengalah dan memberikan kesempatan pada ibumu
untuk bahagia, aku sunguh bangga padamu!” ucapnya.
“Gomawoyo…”
terima kasih ucapku, kami kemudian terdiam…
“Kalau
begitu… aku pergi dulu!” dia berbalik dan melangkah perlahan. Hiks… dadaku sesak
melihat punggungnya, aku benci melihat dia berpaling dariku.
“Oppa…”
panggilku lagi, “Aku telah melakukan apa yang seharusnya kulakukan, kini aku
ingin menagih janjimu, sekarang giliranmu untuk melakukan apa yang harus kau
lakukan!” cegatku. Dia berbalik dan memandang tidak mengerti padaku. “Bukannya
kau bilang kalau kau akan menjaga perasaanku? Aku telah merelakan perasaanku
pada songsaenim hanyut demi kebahagiaan ibu dan kini aku ingin menagih janjimu
waktu itu, apapun yang terjadi dan bagaimanapun itu kau tidak boleh
meninggalkanku. Janji adalah utang dan kau harus membayarnya!” Oppa tersenyum,
wajahnya merah, lucu sekali. Dia melangkah perlahan ke arahku,
“Boleh
aku memelukmu?!” tanyanya, aku mengangguk. Tak perlu menunggu lama dia langsung
melakukannya, “Saranghae Seohyun… jeongmal saranghae!” dia berteriak kencang. Aku
tertawa geli dalam pelukannya, beberapa saat kemudian dia melepasnya. Dia
menatapku dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku, dag…dig…dug… jantungku
bergemuruh.
“Yaa…
apa yang kalian lakukan?” pertanyaan itu membuat kami terkesiap, Songsaenim
muncul di antara kami, “Kalian masih terlalu muda untuk melakukan itu jadi
belum saatnya!” dia langsung menjauhkanku dari Jaejoong Oppa,
“Appa…
ini kan biasa di kalangan anak muda!” aku mendengus,
“Mwo?
Appa?” Songsaenim kaget aku memanggilnya ayah,
“Nde~
apakah songsaenim tidak suka kupanggil
appa?”
“Greom…
nomu choaye…” malah balik songsaenim yang memelukku,
“Songsaenim…
dia milikku!” Jaejoong Oppa buru-buru
menarikku dari dekapan songsaenim, kami tertawa geli melihat kekonyolan ini.
Akhirnya
aku bisa menyambut hari-hari indahku bersama orang-orang yang sangat kusayangi,
ibuku begitu bahagia dalam balutan gaun pengantin putihnya bersanding dengan
Songsaenim di altar pernikahan. Kutatap langit biru, segumpal awan seakan
tersenyum padaku, ayah… lihatlah ibu bahagia bersama songsaenim, dan aku juga
bahagia bersama Jaejoong Oppa di sini.
Terima kasih sudah mau melindungi kami, aku sayang padamu ayah. Blue tomorrow-ku akhirnya tiba!
~Blue Tomorrow
End~
No comments:
Post a Comment