Friday 25 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 2


Pesta berakhir sempurna dan perjamuan pun dimulai. Dari jauh kulihat aura Pak Lee benar-benar beda, dia seperti ingin marah namun ada kesedihan yang ikut terpancar dari matanya. Jadi… ini alasan mengapa mereka ingin bercerai? Keterlaluan sekali wanita itu, sepertinya dia sengaja memperlihatkan kemesraannya di depan Pak Lee.
“Oppa… ini!” kuhampiri Pak Lee yang tidak berdaya, kusodorkan segelas anggur untuknya. “Anda harus berpura-pura, balas dia Pak!” bisikku dan segera kurangkul lengannya.
“Kau kenapa?!” dia jadi heran dan mencoba menepis tanganku,
“Pak… aku mengerti bagaimana perasaan anda, jangan mau kalah darinya, dia sengaja memanas-manasi anda dan anda tidak boleh tinggal diam,” bisikku.
“Jadi kau ingin bilang balas dia dengan kemesraan kita?” tanyanya, aku mengangguk mantap. Dia tersenyum, “Lebih baik aku cari gadis lain!” dia melepas rangkulanku. Dasar tidak tahu berterima kasih, memangnya di sini ada yang mau membantumu? Beberapa saat kemudian Pak Lee kembali ke arahku,
“Ayo kita pulang!” ajaknya, “Ibuku menelpon untuk mengantarmu pulang!”
“Tidak… aku masih ingin di sini, aku masih ingin minum anggur!” aku ketagihan anggur di pesta ini, rasanya enak sekali.
“Kalau kebanyakan minum, kau bisa mabuk!” bujuknya.
“Tidak akan, kalau bapak mau pulang, pulang saja duluan.” Kuseruput segelas dan minta yang baru lagi.
“Jung Hye Na… ayo!” dia menarikku namun segera kutepis pegangannya. Kami sukses menarik perhatian beberapa orang karena perdebatan kami ini termasuk wanita itu.
“Min Ho~a!” wanita itu dan pasangannya menghampiri kami, “Kau datang juga?” tanyanya. Cih… padahal dia sedari tadi bermesraan untuk membuat Pak Lee cemburu dan dia malah bertanya ‘kau datang juga?’
“Nde, bagaimana kabarmu?” balas Pak Lee,
“Seperti yang kau lihat,” wanita itu memandangku dari atas sampai bawah, “Ini gandengan barumu?” tanyanya.
“Wah… ajumma, sopanlah kalau bicara..” tegurku.
“Ajumma?” wanita itu kaget, “Kau buta ya, apa kau tidak bisa melihat wajahku? Justru kau lah yang harus sopan, seenaknya saja memanggilku ajumma!” Pak Lee tertawa geli di sampingku.
“Oh… jadi aku salah ya? Maaf… soalnya wajah anda terlihat lebih tua dengan dandanan seperti ini!”
“Kau…” dia mencoba menyentuhku namun Pak Lee buru-buru melindungiku,
“Cukup! Sepertinya dia sudah mabuk makanya bicaranya sembarangan begini!” bela dosenku itu. “Ayo kita pergi!” kali ini aku tidak bisa melawan saat dia menarik tanganku, kepalaku sudah terasa berat.
Duk…duk…duk… suara heels-ku menggema di jalan beraspal, rasanya sakit sekali. Kulepas pegangan Pak Lee dan melepas sendalku. Aku terduduk di aspal, menarik napas dalam-dalam.
“Bapak bodoh!” ucapku di luar kendali, langkah dosenku itu terhenti oleh perkataanku. “Sudah tahu dipermainkan oleh wanita itu tapi masih diam saja!” hiiik, aku cegukan.
“Ayo pulang!” dia kembali dan menarik tanganku. Aku sempat berdiri namun tidak jalan bersamanya, kutepis tangannya dan segera duduk di bangku taman.
“Tahu tidak Pak, anda dosen popular di kampus, sekali tunjuk saja, banyak mahasiswi yang mau jadi teman kencan bapak. Bapak ini masih muda, cerdas, berkarir cemerlang, dan satu kelebihan lain yaitu bapak tampan. Tapi kenapa mesti terpuruk oleh satu wanita yang jelas-jelas telah melukai perasaan bapak.” Kepalaku terasa pusing.
“Kau sudah mabuk, makanya kubilang jangan banyak minum!”
“Ayo Pak duduklah di sampingku!” aku mengayunkan tanganku dan memanggilnya ke dekatku, “Aku mau konsultasi skripsi!” heh… mana nyambung! Untuk beberapa saat aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi begitu kubuka mata, dosen tampan itu telah duduk di sampingku. Kupandangi wajahnya dari samping, garis-garis dan lekukan di setiap wajahnya, dia betul-betul berkharisma.
“Hye Sun…” dia mulai bicara, suaranya terdengar berat. “Dia teman kuliahku dulu, sesaat setelah aku menikahinya, aku mendapat besiswa ke Oxford oleh pemerintah Korea. Aku begitu bimbang mesti memutuskan apa dan berkat dorongannya juga dorongan ibuku akhirnya aku mantap pindah ke Inggris untuk mengejar pendidikanku. Sayang dia tak dapat kutinggal sendiri, dia bermain kesetiaan di belakangku. Ibuku sendiri yang mendapatinya bermesraan dengan kawan lamaku. Ibu minta kami berpisah, dia tak tahan punya menantu seperti Hye Sun.”
“Apa bapak masih mencintainya?” tanyaku sedih mendengar ceritanya,
“…” tak ada jawaban darinya, duggg… aku memukul bahunya,
“Lupakan dia, wanita seperti itu tak layak dicintai! Aku bukannya sok pintar menggurui bapak, tapi yang perlu anda tahu… ada wanita yang pantas mendapat kasih sayang dan ada pula yang tidak. Dan… salah satunya adalah Hye Sun. Anda tidak perlu khawatir, anda pasti dapat menemukan penggantinya. Anda anak yang penurut, tentu Tuhan akan memberi yang terbaik untuk anda, dan Hye Sun bukanlah yang terbaik itu.” Aku segera berdiri, kuangkat gaunku yang kepanjangan dan terasa lebih panjang karena kubuka heels-ku.
“…” dia terbengong memandangku, hikkk… aduh aku cegukan lagi, aku memutar tubuhku dan tepat berdiri di depannya. Kubungkukkan sedikit badanku untuk mengimbangi dirinya yang sedang duduk.
“Jangan menyerah Pak, tetaplah semangat!!” seruku sambil memegang pundaknya. Dia tersenyum, wah… aku jadi deg-degan. “Ayo kita pulang!” ajakku, baru saja akan berbalik, gaunku terinjak olehku sehingga aku terdorong ke depan dan…
Buru-buru kutarik tubuhku saat menyadari aku mencium bibirnya, aduh… bodohnya aku. Kutarik tubuhku tanpa persiapan sehingga tubuhku oleng ke belakang, sigap dia menahanku dan kini aku berada dalam pelukannya. Hiiikkk… aku cegukan lagi,
“Ampun Pak! Ampun! Jangan marahi aku!” aku menjauh dari pelukannya, aku duduk di aspal sambil menangis.
“Hei… apa yang kau lakukan? Ayo berdiri, banyak orang yang melihatmu!” perintahnya.
“Ampun Pak, jangan pukul aku lagi!” isakku.
“Kau bicara apa? Memangnya kapan aku pernah memukulmu?!” dia jadi gelagapan sebab beberapa orang yang lalu-lalang memperhatikan kami.
“Ih… ganteng-ganteng kok kasar!” cibir mereka,
“Jung Eun Hye!” dia marah dan langsung membopongku ke mobilnya, sejurus dengan itu, aku kehilangan kesadaranku.
^hellogangsa^
Aku dan Si Yoon sedang menuju perpustakaan mencari beberapa sumber untuk skripsi kami, tiba-tiba dari arah yang berlawanan kulihat Pak Lee jalan dengan wajah yang sungguh menakutkan.
“Wah… sepertinya dia mengeluarkan asap!” ucap sahabatku itu saat menyadari kedatangan dosen killer itu. “Yaa… apa kau buat masalah lagi dengannya? Kelihatannya dia menuju arahmu!” pertanyaan Si Yoon itu membuatku teringat peristiwa semalam, deg… pasti aku akan dipanggang kali ini. Melihat dia semakin dekat, aku memutuskan kabur, ya… segera kubalik badanku dan lari terbirit-birit mencari persembunyian.
Lama aku bersembunyi di dalam semak-semak, setelah kupastikan singa itu tidak mengejarku lagi, akupun keluar dari semak itu. Aduh… gatal sekali, di dalam ada ulat bulu pasti kena kulitku tadi. Aku masih asyik menggaruk tanganku yang gatal dan tiba-tiba sepasang kaki muncul di depanku. Perlahan kudongakkan kepalaku dan mataku bertemu dengan sepasang mata yang akhir-akhir ini sering muncul dalam mimpi burukku.
“Hallo Pak!” sapaku dengan senyum ketakutan.
“Hallo!” balasnya dengan senyum mengerikan. “Cepat berdiri!” perintahnya, suaranya seperti halilintar. Dia menyodorkan ponselnya padaku, jadi ada yang menelponku toh… astaga… mestinya bilang dari tadi, kan aku tidak perlu bersembunyi seperti buronan.
“WHATTTTT?!!!!” pekikku dengan suara yang melengking, kulihat gambar di ponsel itu, dia ingin memperlihatkan foto saat ciuman kecelakaan kami semalam. “Pak… maksudnya apa? Kenapa Bapak mengabadikannya? Bagaimana kalau ada yang lihat? Ah… atau Bapak mau meyebarkannya sehingga menjadi skandal…” buru-buru dosen itu menyumpal mulutku.
“Diam!” bisiknya sambil mengamati keadaan sekitar, “Untuk apa aku mengabadikan kejadian itu? Kau pikir aku bisa memotret dalam keadaan spontan seperti semalam? Justru aku yang ingin protes padamu! Kupikir kau yang melakukan semua ini untuk memerasku tapi rupanya kau sama shock-nya denganku.”
“Enak saja! Apa untungnya aku melakukan semua itu, yang ada malah nama baikku yang akan rusak!” balasku, “Mana mau aku terlibat skandal dengan seekor singa!” bisikku.
“Lalu siapa yang melakukannya?!” tanyanya,
“Molla!” jawabku, tiba-tiba ponselnya bergetar, ada pesan yang masuk. ‘Ikuti perintahku kalau kau tidak ingin foto ini menyebar ke situs kampus!’ aku dan Pak Lee saling memandang, kami…kami dalam masalah sekarang.
Aku terus memandangi Si Yoon yang sedang asik mengetik di perpustakaan. Aku curiga dia yang melakukan ini padaku, ah… tidak pada kami. Dari mana pelaku itu tahu kalau aku dan Pak Lee adalah warga kampus sehingga mengancam akan menyebarkan foto itu di situs kampus.
“Kau kenapa memandangiku seperti itu?” tanyanya risih, “Kau tidak diapa-apakan oleh Pak Lee kan’?”
“Kau yang melakukan semua ini!” tuduhku,
“Melakukan apa?!” tanyanya tidak mengerti,
“Jangan bohong! Apa yang kau inginkan sebenarnya?” aku menarik kerah bajunya,
“Yaa… Jung Eun Hye, jangan buat keributan di sini!” tegur penjaga perpustakaan padaku. Segera kulepas kerah baju sahabatku itu,
“Kau kenapa sih? Ceritakan padaku, apa kau dapat masalah?” tanya Si Yoon sambil memperbaiki posisi kemejanya. Aku masih belum percaya padanya, kutatap dia dengan tatapan penuh kebencian. “Yaa… jangan menatapku begitu, aku tidak mengerti sama sekali!” di depan pintu perpustakaan, kulihat Pak Lee memberi aba-aba agar aku segera menghampirinya.
Pelaku itu meminta kami untuk ke taman kota saat ini juga, apa boleh buat, kami pun menurut. Kami ikuti saja apa maunya namun tetap berusaha mencari tahu siapa dia sebenarnya. 10 menit, 20 menit, 30 menit, kami hanya bengong menunggu, tak ada instruksi apapun dari si pelaku, apa tujuannya dia menyuruh kami ke taman? Baru saja ingin mengeluh pada dosenku itu, eh… dia malah tidur! Bisa-bisanya dia tidur di saat seperti ini! Dia roboh terkena angin, buru-buru kutahan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Aduh… berat juga, kepalanya isinya apa sih, seperti batu saja!
Huft… satu jam kami menunggu namun tak ada respon dari si pelaku. Kulirik Pak Lee yang tidur nyenyak di bahuku, hu… dasar, dia sih enak molor nah aku pegal gara-gara menopang kepalanya yang seberat anak gajah. Perlahan matahari senja menyinari arahku, kuambil bukuku dan menutupi wajah Pak Lee yang terkena cahaya. Aku tahu dia tidak tidur semalam, soalnya kudengar ibuku ngobrol dengan Bibi tadi pagi kalau dosenku ini sibuk menyediakan materi akreditasi.
“Hoaaaammmm…” Pak Lee terbangun dengan gaya anggunnya, tangan dan bahuku pegal gara-gara dia. “Eh… aku ketiduran ya?” tanyanya.
“Iya… nyenyak sekali malah! Sampai ada ilernya, tuh… ada pulau Jeju di pipi Bapak!” balasku sinis.
“Haaaa…??” dia segera memalingkan wajahnya, mengucek-ngucek pipinya seperti sedang membersihkan sesuatu.
“Ayo Pak kita pulang! Sepertinya si pelaku kelupaan mau melakukan apa pada kita!” aku melangkah pelan, sepertinya tidak ada respon dari dosen itu. Ya ampun… dia masih sibuk membersihkan wajahnya, “Pak!!! Aku cuma bercanda, tidak ada iler kok!” ucapku. Seketika dia kembali ke posisi normal. Dia memperbaiki stelan-nya dan berdiri.
“Kajja!” ucapnya penuh wibawa, aku mengekor di belakang.
“Nona… ayo beli es krim!” tiba-tiba seorang penjual es krim menyelonong dari belakang. Aku menggeleng, sebenarnya sih lapar tapi aku baru ingat kalau aku lupa bawa dompet. Penjual itupun mengayuh gerobaknya meninggalkan kami, dasar… orang di depanku ini tidak punya perasaan sedikitpun. Setidaknya tawari aku meski sekedar basa-basi.
“Pak… tolng es krimnya, 2 ya!” tiba-tiba dosenku itu menghentikan si penjual es krim! Wah… kutarik kembali kata-kataku, ternyata dia masih punya perasaan meski aku adalah mahasiswi yang sering membuatnya jengkel. Setelah membeli es krimnya, aku menunggu diberikan olehnya, tapi sedari tadi dia tidak pernah menoleh. Sebenarnya dia niat tidak sih memberikan es itu padaku?
“Pak, nanti es itu meleleh kalau tidak segera di makan!” tegurku.
“Nanti kalau sudah sampai rumah baru dimasukkan ke kulkas!” balasnya.
“Memangnya es itu untuk siapa?” tanyaku.
“Untukku dan ibuku!” jawabnya cuek. What? Aku yang di sini tidak kebagian? Huh… kutarik lagi kata-kataku, singa tetap singa, tidak akan pernah punya perasaan. Aku jalan lebih cepat darinya, huh… menyebalkan sekali harus berdekatan dengan orang seperti itu.
Yaa… Jung Eun Hye! Kau mau?” dia memanggilku. Aku terus melangkah tanpa meresponnya. “Yaa…” dia buru-buru menarik tanganku, “Ini untukmu!” dia menyodorkan es itu padaku. “Aku hanya bercanda tadi, ini sebagai ucapan terima kasihku karena kau mau meminjamkan bahumu saat aku tertidur!” dia tersenyum. Ya ampun… manis sekali. Aduh… sejak kapan aku jadi lost of control seperti ini? Buru-buru kuambil es yang dia sodorkan agar tidak terlalu lama melihat senyumnya.
“Pak…” panggilku saat dia berjalan mendahuluiku. “Sore ini cuacanya begitu bagus, bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu!” ajakku. Aku melihat sebuah bangku di bawah pohon dan merapat ke sana. Dosenku itu tak punya pilihan, dia mengikuti tawaranku. Setelah menikmati es itu bersamanya, perlahan kurasakan ada suatu keanehan di perutku. Aduh… lama-lama aku jadi mules. Tubuhku kini bergetar disertai keringat dingin yang mengucur.
“Kau kenapa?” tanyanya bingung
“Perutku sakit Pak!” jawabku dengan suara yang tertahan. “Di mana toilet? Aku butuh toilet sekarang!” nadaku meninggi karena menahan sesuatu yang sebentar lagi akan keluar. Dia jadi panik, segera dia menelusuri taman dengan penglihatannya,
“Ah… itu di sana!” kuikuti arah jari telunjuknya, lumayan jauh. Kalau tidak cepat aku bisa…

Fuih… akhirnya lega, semua telah keluar. Usai mencuci tangan sebersih mungkin, aku segera keluar. Di depan Pak Lee menungguku dengan sabar,
“Sudah?” tanyanya, heh… apa perlu kujawab?
“Kalau belum, bagaimana mungkin aku ada di depan bapak sekarang?!”
“Kau ini… jawab dengan sopan apa salahnya?!” dia menatapku dengan tajam. “Ya sudah, kita pulang sekarang. Aneh, untuk apa si pelaku menyuruh kita ke taman kalau tidak melakukan apa-apa!” ucapnya. Baru setengah jalan menuju tempat parkir mobilnya, perutku kembali sakit. Aduh… ada apa ini? Kenapa dengan perutku?
Aku menarik napas panjang di depan westafel, kucuci tanganku sebersih mungkin. Apa tadi aku salah makan? Ini sudah ketiga kalinya aku ke toilet, Pak Lee sampai jengkel melihatku.
“Memangnya kau makan apa tadi? kenapa jadi bolak-balik ke toilet?!” dosenku itu mendengus kesal saat berjalan di depanku.
“Ah… mungkin karena es krim itu!” tebakku.
“Aku juga makan tapi baik-baik saja!” balasnya, benar juga, tapi seingatku memang tidak ada yang salah dengan makananku hari ini kecuali es krim itu. Aduh… sakit lagi, kuremas perutku dan berbalik ke toilet. “Yaa… kau mules lagi?” Pak Lee meneriakiku namun aku tak membalas.
Setelah mencuci tangan, aku keluar toilet. Dia pasti meninggalkanku, siapa sih yang tahan menemani orang yang terkena diare? Wow… aku terkejut saat kulihat dia masih menunggu di depan toilet, di tangannya ada sebuah bungkusan,
“Ini obat! Minumlah!” perintahnya, oh… dia sudah beli obat? Setelah menelan sebutir pil, perasaanku jadi sedikit lebih baik. Kali ini kami jadi pulang, tidak lagi tersendat dengan aktivitasku ke toilet. Beberapa lama kemudian aku merasa aneh lagi, kali ini tidak mules tapi mual!
“Pak! Berhenti!” ucapku tiba-tiba. Setelah mobil berhenti aku turun dan hoekkk… aku muntah di tepi jalan. Hoooeeekkk… berulang kali aku meringis, aku kenapa?
“Kau baik-baik saja?” tanya Pak Lee khawatir, aku menggeleng, tentu saja aku tidak baik! Hoooeeekkk sekali lagi aku muntah namun yang keluar hanya air. Air mataku mengucur, aku ingat ibuku, ibu pasti menangis melihatku seperti ini. Ibu sangat takut kalau aku sakit, ibu trauma dengan orang sakit, ayahku meninggal karena sakit sebabnya.
“Jangan menangis!” bujuk Pak Lee, dia mengambil tissue dan membantuku membersihkan wajahku yang kotor. “Ayo kita ke rumah sakit!” Pak Lee memapahku ke mobil dan membawaku ke rumah sakit.

Aku sulit percaya pada hasil pemeriksaan dokter, dia bilang aku seperti ini karena makan obat pencuci perut, what? Kapan aku makan obat pencuci perut? Karena Pak Lee memberi obat diare maka obat-obat itu mengalami kontraksi sehingga aku muntah-muntah.
“Apa kau sembelit sampai makan obat pencuci perut segala?!” tegur dosenku itu.
“Tidak kok!” aku jadi kelimpungan, “Aku tidak pernah mengkonsumsi obat seperti itu meski dalam keadaan terpaksa!”
“Lalu kenapa dokter itu bilang…” perkataan Pak Lee terhenti saat melihat istrinya juga berada di RS. Sejenak kami saling bertatapan, seulas senyum sinis tersungging di bibir mungil wanita itu.
“Apa kalian datang memeriksakan kehamilan sepertiku?!” pertanyaannya seperti petir yang menghantam, aku saja yang mendengar begitu sakit hati apa lagi Pak Lee. Dari arah belakangnya datang seorang pria yang kuingat jelas dialah pria yang menjadi pasangan wanita ini di pesta kemarin, teman baik Pak Lee, sesuai penuturannya.
“Aku sakit jadi Oppa mengantarku ke dokter. Kami belum punya ikatan sah jadi mana mungkin kami melakukan hal yang memalukan seperti yang kau lakukan!” balasku.
“Kau…” wanita itu marah dan mengayunkan tangannya ke arahku. Buru-buru Pak Lee menangkisnya sebelum telapak tangan wanita itu menyentuh pipiku.
“Dia berkata benar!” ucap dosenku.
                                                                   
Sepanjang perjalanan kami hanya diam, aku tidak tahu harus membahas hal apa di saat seperti ini. Memandangnya dengan tatapan iba, ya… hanya itu yang dapat kulakukan.
“Aku baik-baik saja, kau tak perlu memandangku dengan pandangan kasihan seperti itu!” dia menyadari kalau aku menatapnya,
“Iya… aku percaya, Bapak tidak apa-apa. Bapak pasti pasti terluka dan kurasa itu wajar, namun bapak tidak akan terpuruk. Pak Lee adalah orang yang kuat, untuk masalah seperti ini tidak akan menguras pikiran Bapak!” dia tersenyum meski pahit.
***
            Teeeeeeeeeeetttt, bel tanda kuliah usai berbunyi, beberapa mahasiswa berhamburan keluar kelas termasuk aku dan Si Yoon. Aku berjalan dengan langkah malas-malasan di sampingnya.
            “Yaa… apa kau baik-baik saja?!” Si Yoon menghancurkan lamunanku.
            “Kenapa bertanya seperti itu?!” aku malah balik bertanya,
            “Sepanjang perkuliahan tadi, Pak Lee sama sekali tidak menyindirmu, kau sudah tidak membuat masalah lagi dengannya?”
            “Yaa… jadi kau suka kalau aku bermasalah dengannya?” nadaku meninggi,
            “Aduh… bukan begitu, aku hanya heran, akhir-akhir ini kau telah berubah dan aku senang dengan kembalinya kau ke alam sadarmu itu!”
            “Yaa… jadi selama ini menurutmu aku mabuk?” Errr… anak ini benar-benar membuat tekanan darahku meningkat. Syut… tiba-tiba Yu Jin muncul di hadapan kami, gadis itu tersenyum begitu manis.
            “Aku punya sesuatu untukmu!” ucapnya padaku. Perlahan dia membuka lembaran bukunya dan memberiku selembar foto. Aku mengambilnya dan melihat isi gambar foto itu.
“Itu foto Oppaku bersama teman-temannya saat kuliah dulu, lihat gadis yang digandeng oleh Pak Lee, itulah istrinya!” jelasnya.
            “Lalu?!” tanyaku heran, sebenarnya aku sudah tidak mood membahas wanita itu tapi Yu Jin muncul dan melakukannya untukku.
            “Lalu apanya?” gadis itu bertanya balik, “Lihat baik-baik gadis yang di sampingnya, sangat mirip denganmu!” seloroh Yu Jin.
            “Ha…? Mana? Coba kulihat!” Si Yoon tidak mau kalah, dia segera mengambil lembaran foto itu dari tanganku.
            “Benar, hanya saja gadis ini lebih putih!” Si Yoon membenarkan perkataan pacarnya itu. Ah masa aku mirip dengan ajumma itu? Enak saja, aku kan lebih cantik dan lebih muda dari nenek sihir itu. “Wah… kemungkinan alasannya Pak Lee tidak suka padamu karena kau mirip istrinya ini!” sambung Si Yoon.
            “Jung Eun Hye!” tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang, aku menoleh, ternyata Pak Lee. Dia memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, sepertinya pelaku pemerasan itu menghubunginya lagi.

            Kali ini kami diperintahkan ke Dunia Hiburan, memangnya mau melakukan apa di tempat seperti itu? Sepanjang jalan aku termenung mengingat perkataan Si Yoon dan Yu Jin barusan. Aku mulai mengetahui alasan Pak Lee tidak menyukaiku memang dari kakaknya Yu Jin, katanya aku mirip dengan orang yang tidak disukainya. Tapi aku tak pernah menyangka kalau orang itu adalah istrinya.
Kutatap wajahku di cermin dompetku dan kubayangkan wajah istri Pak Lee, memang ada kemiripan. Jadi ini alasannya mengapa dia sentiment padaku? Selama ini dia selalu berkata pedas padaku, wajahnya tidak pernah ramah bila berhadapan denganku, bahkan tidak segan dia menyindirku di depan teman-temanku, semua karena aku mirip dengan wanita yang telah menghancurkan perasaannya.
            “Kau kenapa?Apa tidak enak badan lagi?” dia bertanya mungkin karena heran mengapa aku yang notabene gadis cerewet menjadi diam dan tidak membuatnya kesal.
            “Tidak apa-apa, cuma kepikiran seminar minggu depan!” ucapku berbohong.
            “Jangan khawatir, seminar proposal itu bukan untuk menjatuhkan mahasiswa. Justru seminar ini untuk membantu kalian memperbaiki proposal yang kalian sodorkan bila masih ada kesalahan.” Aku senyum paksa mendengarnya, huft… apakah kau membenciku seperti besarnya rasa bencimu pada istrimu?
            Dalam waktu singkat, aku dan  Pak Lee tiba di tempat tujuan. Kadang aku berpikir, si pelaku yang memegang file foto kami apakah ingin memeras kami atau hanya ingin mempermainkan kami. Kali ini kami menunggu lagi, menunggu sampai hampir satu jam.
            “Apa Bapak tidak punya bayangan orang yang sedang mempermainkan kita? Kurasa kita hanya dipermainkan!” aku mendengus kesal. “Lebih baik kita acuhkan saja dia!” 
            “Lalu bagaimana bila foto itu disebarkan ke situs kampus?” tanya Pak Lee
            “Yah… siap tanggung malu saja!” jawabku cuek,
            “Kau gampang bicara seperti itu karena kau hanya mahasiswi, nah aku dosen di sana, bagaimana kalau aku dikeluarkan?!”
            “Cari pekerjaan lain saja!”
            “Kau pikir gampang cari pekerjaan di zaman sekarang ini?”
            “Aku tahu memang sulit tapi mau bagaimana lagi…” ucapanku terpotong saat melihat Pak Lee merogoh kantong celananya, sepertinya dia dapat pesan dari si pelaku.
            “Ayo ke tempat roller coaster,” serunya. Aku mengikut, buru-buru kami ke tempat itu. Aku melihat ada selembar foto di bangku roller coaster, itu… itu foto kami! Shit… pelakunya telah mencetaknya, baru saja ingin masuk mengambilnya, langkahku ditahan oleh penjaga.
            “Ini tiketnya Pak!” dari belakang Pak Lee menyodorkan dua lembar tiket, ya… betul juga, pantas aku ditahan untuk masuk. Akhirnya kami masuk dan mengambil foto itu,
            “Silahkan!” ucap penjaga sambil membukakan pintu kereta, ta…tapi… kami tidak ingin naik. Karena pengunjung di belakang sudah berdesakan, mau tidak mau kami akhirnya mengikuti permainan itu. Beberapa menit berputar-putar di atas kereta raksasa, naik dan turun dengan kecepatan gila-gilaan membuatku benar-benar ketakutan. Blazer yang dipakai Pak Lee jadi kusut akibat kuremas untuk sekedar mengurangi ketakutanku.
            “Kau baik-baik saja?” tanyanya saat melihatku berjalan sempoyongan, aku sedikit pusing.
            “Ya… aku baik-baik saja Pak!” jawabku lemah. Sekali lagi ponsel dosenku itu bergetar, aku memandangnya dengan tatapan minta ampun.
            “Kincir!” ucapnya. Aduh… jangan lagi! pekikku tidak berdaya. Kami membeli tiket masuk dan segera mencari jejak si pelaku, kulihat ada selembar foto tertempel di dinding sebuah kincir. Kami masuk dan segera mengambil foto itu, ha… ini kan foto saat di rumah sakit! 


to be continued...
       

No comments:

Post a Comment