Pesta
berakhir sempurna dan perjamuan pun dimulai. Dari jauh kulihat aura Pak Lee
benar-benar beda, dia seperti ingin marah namun ada kesedihan yang ikut
terpancar dari matanya. Jadi… ini alasan mengapa mereka ingin bercerai?
Keterlaluan sekali wanita itu, sepertinya dia sengaja memperlihatkan
kemesraannya di depan Pak Lee.
“Oppa…
ini!” kuhampiri Pak Lee yang tidak berdaya, kusodorkan segelas anggur untuknya.
“Anda harus berpura-pura, balas dia Pak!” bisikku dan segera kurangkul
lengannya.
“Kau
kenapa?!” dia jadi heran dan mencoba menepis tanganku,
“Pak…
aku mengerti bagaimana perasaan anda, jangan mau kalah darinya, dia sengaja
memanas-manasi anda dan anda tidak boleh tinggal diam,” bisikku.
“Jadi
kau ingin bilang balas dia dengan kemesraan kita?” tanyanya, aku mengangguk
mantap. Dia tersenyum, “Lebih baik aku cari gadis lain!” dia melepas
rangkulanku. Dasar tidak tahu berterima kasih, memangnya di sini ada yang mau membantumu?
Beberapa saat kemudian Pak Lee kembali ke arahku,
“Ayo
kita pulang!” ajaknya, “Ibuku menelpon untuk mengantarmu pulang!”
“Tidak…
aku masih ingin di sini, aku masih ingin minum anggur!” aku ketagihan anggur di
pesta ini, rasanya enak sekali.
“Kalau
kebanyakan minum, kau bisa mabuk!” bujuknya.
“Tidak
akan, kalau bapak mau pulang, pulang saja duluan.” Kuseruput segelas dan minta
yang baru lagi.
“Jung
Hye Na… ayo!” dia menarikku namun segera kutepis pegangannya. Kami sukses
menarik perhatian beberapa orang karena perdebatan kami ini termasuk wanita
itu.
“Min
Ho~a!” wanita itu dan pasangannya menghampiri kami, “Kau datang juga?”
tanyanya. Cih… padahal dia sedari tadi bermesraan untuk membuat Pak Lee cemburu
dan dia malah bertanya ‘kau datang juga?’
“Nde,
bagaimana kabarmu?” balas Pak Lee,
“Seperti
yang kau lihat,” wanita itu memandangku dari atas sampai bawah, “Ini gandengan
barumu?” tanyanya.
“Wah…
ajumma, sopanlah kalau bicara..” tegurku.
“Ajumma?”
wanita itu kaget, “Kau buta ya, apa kau tidak bisa melihat wajahku? Justru kau
lah yang harus sopan, seenaknya saja memanggilku ajumma!” Pak Lee tertawa geli
di sampingku.
“Oh…
jadi aku salah ya? Maaf… soalnya wajah anda terlihat lebih tua dengan dandanan
seperti ini!”
“Kau…”
dia mencoba menyentuhku namun Pak Lee buru-buru melindungiku,
“Cukup!
Sepertinya dia sudah mabuk makanya bicaranya sembarangan begini!” bela dosenku
itu. “Ayo kita pergi!” kali ini aku tidak bisa melawan saat dia menarik
tanganku, kepalaku sudah terasa berat.
Duk…duk…duk…
suara heels-ku menggema di jalan beraspal, rasanya sakit sekali. Kulepas
pegangan Pak Lee dan melepas sendalku. Aku terduduk di aspal, menarik napas
dalam-dalam.
“Bapak
bodoh!” ucapku di luar kendali, langkah dosenku itu terhenti oleh perkataanku.
“Sudah tahu dipermainkan oleh wanita itu tapi masih diam saja!” hiiik, aku
cegukan.
“Ayo
pulang!” dia kembali dan menarik tanganku. Aku sempat berdiri namun tidak jalan
bersamanya, kutepis tangannya dan segera duduk di bangku taman.
“Tahu
tidak Pak, anda dosen popular di kampus, sekali tunjuk saja, banyak mahasiswi
yang mau jadi teman kencan bapak. Bapak ini masih muda, cerdas, berkarir
cemerlang, dan satu kelebihan lain yaitu bapak tampan. Tapi kenapa mesti
terpuruk oleh satu wanita yang jelas-jelas telah melukai perasaan bapak.”
Kepalaku terasa pusing.
“Kau
sudah mabuk, makanya kubilang jangan banyak minum!”
“Ayo
Pak duduklah di sampingku!” aku mengayunkan tanganku dan memanggilnya ke
dekatku, “Aku mau konsultasi skripsi!” heh… mana nyambung! Untuk beberapa saat
aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi begitu kubuka mata, dosen tampan itu
telah duduk di sampingku. Kupandangi wajahnya dari samping, garis-garis dan
lekukan di setiap wajahnya, dia betul-betul berkharisma.
“Hye
Sun…” dia mulai bicara, suaranya terdengar berat. “Dia teman kuliahku dulu,
sesaat setelah aku menikahinya, aku mendapat besiswa ke Oxford oleh pemerintah
Korea. Aku begitu bimbang mesti memutuskan apa dan berkat dorongannya juga
dorongan ibuku akhirnya aku mantap pindah ke Inggris untuk mengejar pendidikanku.
Sayang dia tak dapat kutinggal sendiri, dia bermain kesetiaan di belakangku.
Ibuku sendiri yang mendapatinya bermesraan dengan kawan lamaku. Ibu minta kami
berpisah, dia tak tahan punya menantu seperti Hye Sun.”
“Apa
bapak masih mencintainya?” tanyaku sedih mendengar ceritanya,
“…”
tak ada jawaban darinya, duggg… aku memukul bahunya,
“Lupakan
dia, wanita seperti itu tak layak dicintai! Aku bukannya sok pintar menggurui
bapak, tapi yang perlu anda tahu… ada wanita yang pantas mendapat kasih sayang
dan ada pula yang tidak. Dan… salah satunya adalah Hye Sun. Anda tidak perlu
khawatir, anda pasti dapat menemukan penggantinya. Anda anak yang penurut,
tentu Tuhan akan memberi yang terbaik untuk anda, dan Hye Sun bukanlah yang
terbaik itu.” Aku segera berdiri, kuangkat gaunku yang kepanjangan dan terasa
lebih panjang karena kubuka heels-ku.
“…”
dia terbengong memandangku, hikkk… aduh aku cegukan lagi, aku memutar tubuhku
dan tepat berdiri di depannya. Kubungkukkan sedikit badanku untuk mengimbangi
dirinya yang sedang duduk.
“Jangan
menyerah Pak, tetaplah semangat!!” seruku sambil memegang pundaknya. Dia
tersenyum, wah… aku jadi deg-degan. “Ayo kita pulang!” ajakku, baru saja akan
berbalik, gaunku terinjak olehku sehingga aku terdorong ke depan dan…
Buru-buru
kutarik tubuhku saat menyadari aku mencium bibirnya, aduh… bodohnya aku.
Kutarik tubuhku tanpa persiapan sehingga tubuhku oleng ke belakang, sigap dia
menahanku dan kini aku berada dalam pelukannya. Hiiikkk… aku cegukan lagi,
“Ampun
Pak! Ampun! Jangan marahi aku!” aku menjauh dari pelukannya, aku duduk di aspal
sambil menangis.
“Hei…
apa yang kau lakukan? Ayo berdiri, banyak orang yang melihatmu!” perintahnya.
“Ampun
Pak, jangan pukul aku lagi!” isakku.
“Kau
bicara apa? Memangnya kapan aku pernah memukulmu?!” dia jadi gelagapan sebab
beberapa orang yang lalu-lalang memperhatikan kami.
“Ih…
ganteng-ganteng kok kasar!” cibir mereka,
“Jung
Eun Hye!” dia marah dan langsung membopongku ke mobilnya, sejurus dengan itu,
aku kehilangan kesadaranku.
^hellogangsa^
Aku
dan Si Yoon sedang menuju perpustakaan mencari beberapa sumber untuk skripsi
kami, tiba-tiba dari arah yang berlawanan kulihat Pak Lee jalan dengan wajah
yang sungguh menakutkan.
“Wah…
sepertinya dia mengeluarkan asap!” ucap sahabatku itu saat menyadari kedatangan
dosen killer itu. “Yaa… apa kau buat
masalah lagi dengannya? Kelihatannya dia menuju arahmu!” pertanyaan Si Yoon itu
membuatku teringat peristiwa semalam, deg… pasti aku akan dipanggang kali ini.
Melihat dia semakin dekat, aku memutuskan kabur, ya… segera kubalik badanku dan
lari terbirit-birit mencari persembunyian.
Lama
aku bersembunyi di dalam semak-semak, setelah kupastikan singa itu tidak
mengejarku lagi, akupun keluar dari semak itu. Aduh… gatal sekali, di dalam ada
ulat bulu pasti kena kulitku tadi. Aku masih asyik menggaruk tanganku yang
gatal dan tiba-tiba sepasang kaki muncul di depanku. Perlahan kudongakkan
kepalaku dan mataku bertemu dengan sepasang mata yang akhir-akhir ini sering
muncul dalam mimpi burukku.
“Hallo
Pak!” sapaku dengan senyum ketakutan.
“Hallo!”
balasnya dengan senyum mengerikan. “Cepat berdiri!” perintahnya, suaranya
seperti halilintar. Dia menyodorkan ponselnya padaku, jadi ada yang menelponku
toh… astaga… mestinya bilang dari tadi, kan aku tidak perlu bersembunyi seperti
buronan.
“WHATTTTT?!!!!”
pekikku dengan suara yang melengking, kulihat gambar di ponsel itu, dia ingin
memperlihatkan foto saat ciuman kecelakaan kami semalam. “Pak… maksudnya apa?
Kenapa Bapak mengabadikannya? Bagaimana kalau ada yang lihat? Ah… atau Bapak
mau meyebarkannya sehingga menjadi skandal…” buru-buru dosen itu menyumpal
mulutku.
“Diam!”
bisiknya sambil mengamati keadaan sekitar, “Untuk apa aku mengabadikan kejadian
itu? Kau pikir aku bisa memotret dalam keadaan spontan seperti semalam? Justru aku
yang ingin protes padamu! Kupikir kau yang melakukan semua ini untuk memerasku
tapi rupanya kau sama shock-nya denganku.”
“Enak
saja! Apa untungnya aku melakukan semua itu, yang ada malah nama baikku yang
akan rusak!” balasku, “Mana mau aku terlibat skandal dengan seekor singa!”
bisikku.
“Lalu
siapa yang melakukannya?!” tanyanya,
“Molla!”
jawabku, tiba-tiba ponselnya bergetar, ada pesan yang masuk. ‘Ikuti perintahku kalau kau tidak ingin foto
ini menyebar ke situs kampus!’ aku dan Pak Lee saling memandang, kami…kami
dalam masalah sekarang.
Aku
terus memandangi Si Yoon yang sedang asik mengetik di perpustakaan. Aku curiga
dia yang melakukan ini padaku, ah… tidak pada kami. Dari mana pelaku itu tahu
kalau aku dan Pak Lee adalah warga kampus sehingga mengancam akan menyebarkan
foto itu di situs kampus.
“Kau
kenapa memandangiku seperti itu?” tanyanya risih, “Kau tidak diapa-apakan oleh
Pak Lee kan’?”
“Kau
yang melakukan semua ini!” tuduhku,
“Melakukan
apa?!” tanyanya tidak mengerti,
“Jangan
bohong! Apa yang kau inginkan sebenarnya?” aku menarik kerah bajunya,
“Yaa…
Jung Eun Hye, jangan buat keributan di sini!” tegur penjaga perpustakaan
padaku. Segera kulepas kerah baju sahabatku itu,
“Kau
kenapa sih? Ceritakan padaku, apa kau dapat masalah?” tanya Si Yoon sambil
memperbaiki posisi kemejanya. Aku masih belum percaya padanya, kutatap dia
dengan tatapan penuh kebencian. “Yaa… jangan menatapku begitu, aku tidak
mengerti sama sekali!” di depan pintu perpustakaan, kulihat Pak Lee memberi
aba-aba agar aku segera menghampirinya.
Pelaku
itu meminta kami untuk ke taman kota saat ini juga, apa boleh buat, kami pun
menurut. Kami ikuti saja apa maunya namun tetap berusaha mencari tahu siapa dia
sebenarnya. 10 menit, 20 menit, 30 menit, kami hanya bengong menunggu, tak ada
instruksi apapun dari si pelaku, apa tujuannya dia menyuruh kami ke taman? Baru
saja ingin mengeluh pada dosenku itu, eh… dia malah tidur! Bisa-bisanya dia
tidur di saat seperti ini! Dia roboh terkena angin, buru-buru kutahan tubuhnya
dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Aduh… berat juga, kepalanya isinya apa
sih, seperti batu saja!
Huft…
satu jam kami menunggu namun tak ada respon dari si pelaku. Kulirik Pak Lee
yang tidur nyenyak di bahuku, hu… dasar, dia sih enak molor nah aku pegal
gara-gara menopang kepalanya yang seberat anak gajah. Perlahan matahari senja
menyinari arahku, kuambil bukuku dan menutupi wajah Pak Lee yang terkena
cahaya. Aku tahu dia tidak tidur semalam, soalnya kudengar ibuku ngobrol dengan
Bibi tadi pagi kalau dosenku ini sibuk menyediakan materi akreditasi.
“Hoaaaammmm…”
Pak Lee terbangun dengan gaya anggunnya, tangan dan bahuku pegal gara-gara dia.
“Eh… aku ketiduran ya?” tanyanya.
“Iya…
nyenyak sekali malah! Sampai ada ilernya, tuh… ada pulau Jeju di pipi Bapak!”
balasku sinis.
“Haaaa…??”
dia segera memalingkan wajahnya, mengucek-ngucek pipinya seperti sedang
membersihkan sesuatu.
“Ayo
Pak kita pulang! Sepertinya si pelaku kelupaan mau melakukan apa pada kita!”
aku melangkah pelan, sepertinya tidak ada respon dari dosen itu. Ya ampun… dia
masih sibuk membersihkan wajahnya, “Pak!!! Aku cuma bercanda, tidak ada iler
kok!” ucapku. Seketika dia kembali ke posisi normal. Dia memperbaiki stelan-nya
dan berdiri.
“Kajja!”
ucapnya penuh wibawa, aku mengekor di belakang.
“Nona…
ayo beli es krim!” tiba-tiba seorang penjual es krim menyelonong dari belakang.
Aku menggeleng, sebenarnya sih lapar tapi aku baru ingat kalau aku lupa bawa
dompet. Penjual itupun mengayuh gerobaknya meninggalkan kami, dasar… orang di
depanku ini tidak punya perasaan sedikitpun. Setidaknya tawari aku meski
sekedar basa-basi.
“Pak…
tolng es krimnya, 2 ya!” tiba-tiba dosenku itu menghentikan si penjual es krim!
Wah… kutarik kembali kata-kataku, ternyata dia masih punya perasaan meski aku
adalah mahasiswi yang sering membuatnya jengkel. Setelah membeli es krimnya,
aku menunggu diberikan olehnya, tapi sedari tadi dia tidak pernah menoleh.
Sebenarnya dia niat tidak sih memberikan es itu padaku?
“Pak,
nanti es itu meleleh kalau tidak segera di makan!” tegurku.
“Nanti
kalau sudah sampai rumah baru dimasukkan ke kulkas!” balasnya.
“Memangnya
es itu untuk siapa?” tanyaku.
“Untukku
dan ibuku!” jawabnya cuek. What? Aku yang di sini tidak kebagian? Huh… kutarik
lagi kata-kataku, singa tetap singa, tidak akan pernah punya perasaan. Aku
jalan lebih cepat darinya, huh… menyebalkan sekali harus berdekatan dengan
orang seperti itu.
“Yaa… Jung Eun Hye! Kau mau?” dia
memanggilku. Aku terus melangkah tanpa meresponnya. “Yaa…” dia buru-buru menarik tanganku, “Ini untukmu!” dia menyodorkan
es itu padaku. “Aku hanya bercanda tadi, ini sebagai ucapan terima kasihku
karena kau mau meminjamkan bahumu saat aku tertidur!” dia tersenyum. Ya ampun…
manis sekali. Aduh… sejak kapan aku jadi lost
of control seperti ini? Buru-buru kuambil es yang dia sodorkan agar tidak
terlalu lama melihat senyumnya.
“Pak…”
panggilku saat dia berjalan mendahuluiku. “Sore ini cuacanya begitu bagus,
bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu!” ajakku. Aku melihat sebuah bangku di
bawah pohon dan merapat ke sana. Dosenku itu tak punya pilihan, dia mengikuti
tawaranku. Setelah menikmati es itu bersamanya, perlahan kurasakan ada suatu
keanehan di perutku. Aduh… lama-lama aku jadi mules. Tubuhku kini bergetar
disertai keringat dingin yang mengucur.
“Kau
kenapa?” tanyanya bingung
“Perutku
sakit Pak!” jawabku dengan suara yang tertahan. “Di mana toilet? Aku butuh
toilet sekarang!” nadaku meninggi karena menahan sesuatu yang sebentar lagi
akan keluar. Dia jadi panik, segera dia menelusuri taman dengan penglihatannya,
“Ah…
itu di sana!” kuikuti arah jari telunjuknya, lumayan jauh. Kalau tidak cepat
aku bisa…
Fuih…
akhirnya lega, semua telah keluar. Usai mencuci tangan sebersih mungkin, aku
segera keluar. Di depan Pak Lee menungguku dengan sabar,
“Sudah?”
tanyanya, heh… apa perlu kujawab?
“Kalau
belum, bagaimana mungkin aku ada di depan bapak sekarang?!”
“Kau
ini… jawab dengan sopan apa salahnya?!” dia menatapku dengan tajam. “Ya sudah,
kita pulang sekarang. Aneh, untuk apa si pelaku menyuruh kita ke taman kalau
tidak melakukan apa-apa!” ucapnya. Baru setengah jalan menuju tempat parkir
mobilnya, perutku kembali sakit. Aduh… ada apa ini? Kenapa dengan perutku?
Aku
menarik napas panjang di depan westafel, kucuci tanganku sebersih mungkin. Apa
tadi aku salah makan? Ini sudah ketiga kalinya aku ke toilet, Pak Lee sampai
jengkel melihatku.
“Memangnya
kau makan apa tadi? kenapa jadi bolak-balik ke toilet?!” dosenku itu mendengus
kesal saat berjalan di depanku.
“Ah…
mungkin karena es krim itu!” tebakku.
“Aku
juga makan tapi baik-baik saja!” balasnya, benar juga, tapi seingatku memang
tidak ada yang salah dengan makananku hari ini kecuali es krim itu. Aduh… sakit
lagi, kuremas perutku dan berbalik ke toilet. “Yaa… kau mules lagi?” Pak Lee meneriakiku namun aku tak membalas.
Setelah
mencuci tangan, aku keluar toilet. Dia pasti meninggalkanku, siapa sih yang
tahan menemani orang yang terkena diare? Wow… aku terkejut saat kulihat dia
masih menunggu di depan toilet, di tangannya ada sebuah bungkusan,
“Ini
obat! Minumlah!” perintahnya, oh… dia sudah beli obat? Setelah menelan sebutir
pil, perasaanku jadi sedikit lebih baik. Kali ini kami jadi pulang, tidak lagi
tersendat dengan aktivitasku ke toilet. Beberapa lama kemudian aku merasa aneh
lagi, kali ini tidak mules tapi mual!
“Pak!
Berhenti!” ucapku tiba-tiba. Setelah mobil berhenti aku turun dan hoekkk… aku
muntah di tepi jalan. Hoooeeekkk… berulang kali aku meringis, aku kenapa?
“Kau
baik-baik saja?” tanya Pak Lee khawatir, aku menggeleng, tentu saja aku tidak
baik! Hoooeeekkk sekali lagi aku muntah namun yang keluar hanya air. Air mataku
mengucur, aku ingat ibuku, ibu pasti menangis melihatku seperti ini. Ibu sangat
takut kalau aku sakit, ibu trauma dengan orang sakit, ayahku meninggal karena
sakit sebabnya.
“Jangan
menangis!” bujuk Pak Lee, dia mengambil tissue dan membantuku membersihkan
wajahku yang kotor. “Ayo kita ke rumah sakit!” Pak Lee memapahku ke mobil dan
membawaku ke rumah sakit.
Aku
sulit percaya pada hasil pemeriksaan dokter, dia bilang aku seperti ini karena
makan obat pencuci perut, what? Kapan aku makan obat pencuci perut? Karena Pak
Lee memberi obat diare maka obat-obat itu mengalami kontraksi sehingga aku
muntah-muntah.
“Apa
kau sembelit sampai makan obat pencuci perut segala?!” tegur dosenku itu.
“Tidak
kok!” aku jadi kelimpungan, “Aku tidak pernah mengkonsumsi obat seperti itu
meski dalam keadaan terpaksa!”
“Lalu
kenapa dokter itu bilang…” perkataan Pak Lee terhenti saat melihat istrinya
juga berada di RS. Sejenak kami saling bertatapan, seulas senyum sinis
tersungging di bibir mungil wanita itu.
“Apa
kalian datang memeriksakan kehamilan sepertiku?!” pertanyaannya seperti petir yang
menghantam, aku saja yang mendengar begitu sakit hati apa lagi Pak Lee. Dari
arah belakangnya datang seorang pria yang kuingat jelas dialah pria yang
menjadi pasangan wanita ini di pesta kemarin, teman baik Pak Lee, sesuai
penuturannya.
“Aku
sakit jadi Oppa mengantarku ke dokter. Kami belum punya ikatan sah jadi mana
mungkin kami melakukan hal yang memalukan seperti yang kau lakukan!” balasku.
“Kau…”
wanita itu marah dan mengayunkan tangannya ke arahku. Buru-buru Pak Lee
menangkisnya sebelum telapak tangan wanita itu menyentuh pipiku.
“Dia berkata benar!” ucap dosenku.
Sepanjang
perjalanan kami hanya diam, aku tidak tahu harus membahas hal apa di saat
seperti ini. Memandangnya dengan tatapan iba, ya… hanya itu yang dapat
kulakukan.
“Aku
baik-baik saja, kau tak perlu memandangku dengan pandangan kasihan seperti
itu!” dia menyadari kalau aku menatapnya,
“Iya…
aku percaya, Bapak tidak apa-apa. Bapak pasti pasti terluka dan kurasa itu
wajar, namun bapak tidak akan terpuruk. Pak Lee adalah orang yang kuat, untuk
masalah seperti ini tidak akan menguras pikiran Bapak!” dia tersenyum meski
pahit.
***
Teeeeeeeeeeetttt, bel tanda kuliah
usai berbunyi, beberapa mahasiswa berhamburan keluar kelas termasuk aku dan Si
Yoon. Aku berjalan dengan langkah malas-malasan di sampingnya.
“Yaa… apa kau baik-baik saja?!” Si
Yoon menghancurkan lamunanku.
“Kenapa bertanya seperti itu?!” aku
malah balik bertanya,
“Sepanjang perkuliahan tadi, Pak Lee
sama sekali tidak menyindirmu, kau sudah tidak membuat masalah lagi dengannya?”
“Yaa… jadi kau suka kalau aku
bermasalah dengannya?” nadaku meninggi,
“Aduh… bukan begitu, aku hanya
heran, akhir-akhir ini kau telah berubah dan aku senang dengan kembalinya kau ke
alam sadarmu itu!”
“Yaa… jadi selama ini menurutmu aku
mabuk?” Errr… anak ini benar-benar membuat tekanan darahku meningkat. Syut…
tiba-tiba Yu Jin muncul di hadapan kami, gadis itu tersenyum begitu manis.
“Aku punya sesuatu untukmu!” ucapnya
padaku. Perlahan dia membuka lembaran bukunya dan memberiku selembar foto. Aku
mengambilnya dan melihat isi gambar foto itu.
“Itu foto
Oppaku bersama teman-temannya saat kuliah dulu, lihat gadis yang digandeng oleh
Pak Lee, itulah istrinya!” jelasnya.
“Lalu?!” tanyaku heran, sebenarnya
aku sudah tidak mood membahas wanita itu tapi Yu Jin muncul dan melakukannya
untukku.
“Lalu apanya?” gadis itu bertanya
balik, “Lihat baik-baik gadis yang di sampingnya, sangat mirip denganmu!”
seloroh Yu Jin.
“Ha…? Mana? Coba kulihat!” Si Yoon
tidak mau kalah, dia segera mengambil lembaran foto itu dari tanganku.
“Benar, hanya saja gadis ini lebih
putih!” Si Yoon membenarkan perkataan pacarnya itu. Ah masa aku mirip dengan
ajumma itu? Enak saja, aku kan lebih cantik dan lebih muda dari nenek sihir
itu. “Wah… kemungkinan alasannya Pak Lee tidak suka padamu karena kau mirip
istrinya ini!” sambung Si Yoon.
“Jung Eun Hye!” tiba-tiba ada
seseorang yang memanggilku dari belakang, aku menoleh, ternyata Pak Lee. Dia
memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, sepertinya pelaku pemerasan itu
menghubunginya lagi.
Kali ini kami diperintahkan ke Dunia
Hiburan, memangnya mau melakukan apa di tempat seperti itu? Sepanjang jalan aku
termenung mengingat perkataan Si Yoon dan Yu Jin barusan. Aku mulai mengetahui
alasan Pak Lee tidak menyukaiku memang dari kakaknya Yu Jin, katanya aku mirip
dengan orang yang tidak disukainya. Tapi aku tak pernah menyangka kalau orang
itu adalah istrinya.
Kutatap
wajahku di cermin dompetku dan kubayangkan wajah istri Pak Lee, memang ada
kemiripan. Jadi ini alasannya mengapa dia sentiment padaku? Selama ini dia
selalu berkata pedas padaku, wajahnya tidak pernah ramah bila berhadapan denganku,
bahkan tidak segan dia menyindirku di depan teman-temanku, semua karena aku
mirip dengan wanita yang telah menghancurkan perasaannya.
“Kau kenapa?Apa tidak enak badan
lagi?” dia bertanya mungkin karena heran mengapa aku yang notabene gadis cerewet
menjadi diam dan tidak membuatnya kesal.
“Tidak apa-apa, cuma kepikiran
seminar minggu depan!” ucapku berbohong.
“Jangan khawatir, seminar proposal
itu bukan untuk menjatuhkan mahasiswa. Justru seminar ini untuk membantu kalian
memperbaiki proposal yang kalian sodorkan bila masih ada kesalahan.” Aku senyum
paksa mendengarnya, huft… apakah kau membenciku seperti besarnya rasa bencimu
pada istrimu?
Dalam waktu singkat, aku dan Pak Lee tiba di tempat tujuan. Kadang aku
berpikir, si pelaku yang memegang file foto kami apakah ingin memeras kami atau
hanya ingin mempermainkan kami. Kali ini kami menunggu lagi, menunggu sampai
hampir satu jam.
“Apa Bapak tidak punya bayangan
orang yang sedang mempermainkan kita? Kurasa kita hanya dipermainkan!” aku
mendengus kesal. “Lebih baik kita acuhkan saja dia!”
“Lalu bagaimana bila foto itu
disebarkan ke situs kampus?” tanya Pak Lee
“Yah…
siap tanggung malu saja!” jawabku cuek,
“Kau gampang bicara seperti itu
karena kau hanya mahasiswi, nah aku dosen di sana, bagaimana kalau aku
dikeluarkan?!”
“Cari pekerjaan lain saja!”
“Kau pikir gampang cari pekerjaan di
zaman sekarang ini?”
“Aku tahu memang sulit tapi mau
bagaimana lagi…” ucapanku terpotong saat melihat Pak Lee merogoh kantong
celananya, sepertinya dia dapat pesan dari si pelaku.
“Ayo ke tempat roller coaster,”
serunya. Aku mengikut, buru-buru kami ke tempat itu. Aku melihat ada selembar
foto di bangku roller coaster, itu… itu foto kami! Shit… pelakunya telah
mencetaknya, baru saja ingin masuk mengambilnya, langkahku ditahan oleh
penjaga.
“Ini tiketnya Pak!” dari belakang
Pak Lee menyodorkan dua lembar tiket, ya… betul juga, pantas aku ditahan untuk
masuk. Akhirnya kami masuk dan mengambil foto itu,
“Silahkan!” ucap penjaga sambil
membukakan pintu kereta, ta…tapi… kami tidak ingin naik. Karena pengunjung di
belakang sudah berdesakan, mau tidak mau kami akhirnya mengikuti permainan itu.
Beberapa menit berputar-putar di atas kereta raksasa, naik dan turun dengan
kecepatan gila-gilaan membuatku benar-benar ketakutan. Blazer yang dipakai Pak
Lee jadi kusut akibat kuremas untuk sekedar mengurangi ketakutanku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya saat
melihatku berjalan sempoyongan, aku sedikit pusing.
“Ya… aku baik-baik saja Pak!”
jawabku lemah. Sekali lagi ponsel dosenku itu bergetar, aku memandangnya dengan
tatapan minta ampun.
“Kincir!” ucapnya. Aduh… jangan
lagi! pekikku tidak berdaya. Kami membeli tiket masuk dan segera mencari jejak
si pelaku, kulihat ada selembar foto tertempel di dinding sebuah kincir. Kami
masuk dan segera mengambil foto itu, ha… ini kan foto saat di rumah sakit!
to be continued...
No comments:
Post a Comment