Sunday 27 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 4




             Waktu berjalan cepat, tak terasa aku telah menyelesaikan praktek mengajarku di sekolah. Kini saatnya menyusun skripsiku. Huft… memang nasibku sangat sial, mau tidak mau aku harus kembali mengandalkan Pak Lee sebagai dosen konsultan. Huh… kenapa dosen pembimbingku harus dia?!!!!!
            “Oh ya teman-teman… kemarin ada pemberitahuan dari Pak Lee, bagi mahasiswa di bawah bimbingannya, diharap mengumpulkan laporannya besok untuk dikoreksi dan lagi, jadwal konsult adalah besok lusa!” teriak temanku, Sung Hee, di depan kelas. “Dan satu lagi, jangan terlambat! Aku tidak mau gara-gara satu orang pembuat onar, kita semua kena getahnya!” dia melirik ke arahku, heh… enak saja, maksudmu pembuat onar itu aku?
            Keesokan sorenya Sung Hee menegurku, katanya aku belum mengumpulkan laporanku. Anak ini menyebalkan juga, apa dia asisten Pak Lee atur sana atur sini?
            “Pak Lee menanyakan laporanmu, kau belum mengumpulkannya?!”
            “Sudah!” balasku cuek,
            “Lalu kenapa Pak Lee bilang dia belum pernah melihatmu masuk ke ruangannya mengumpul laporanmu!” 
            “Memangnya ada syarat harus si pemilik yang mengumpulkan laporannya? Aku sudah titip pada yang lain. Kalau tidak percaya, periksa saja!” gadis itu terlihat kesal padaku. Oh… jadi dia menungguku masuk ke ruangannya? Cih… sampai kapanpun aku tidak akan termakan oleh permainanmu.
            Akhirnya tiba juga jadwal konsultasi, aku duduk paling buntut seperti biasa. Dosenku itu masuk dan melemparkan pandangan ke arahku, segera kutekuk wajahku sampai begitu dekat dengan buku yang kubaca. Dia memulai penjelasannya, aku mencatat sekenanya, prosedur penulisan, apa yang perlu dijelaskan dalam skripsiku, apa yang perlu kutambah dan yang perlu dikurangi.
Waktu dua jam konsultasi terasa begitu panjang bagiku, tapi untung saja sekarang saatnya bubar. Nama kami disebut satu persatu untuk mengambil laporan yang telah dikoreksi olehnya dan saat ini giliranku. Aku melangkah ke arahnya, berjalan seperti biasa. Tanpa ekspresi dan tidak basa-basi seperti gayaku selama ini.
“Kau banyak kesalahan dalam penulisan kalimat,” dia membuka laporanku dan menunjukkan letak kesalahanku. Aku mengangguk menerima kritikannya, baru saja ingin mengambil laporanku, dia menariknya kembali. “Kau menghindar ya?” kali ini dia membahas hal yang tidak berhubungan dengan skripsi. Aku bungkam, dia menungguku merespon,
“Pak, teman-teman yang lain sedang menunggu!” aku mengingatkannya,
“Kau yang membuatnya menunggu! Kalau kau menjawab, kau akan kulepas!” what? Lepas? Memangnya aku tahananmu. “Baiklah, temui aku di ruanganku nanti!” dia menarik laporanku dan menyimpannya di tumpukan paling bawah.
“Laporanku?” tanyaku, maksudku anda tidak memberikannya padaku?
“Nanti kau ambil setelah menemuiku di ruanganku!” ucapnya cuek. Jiah… aku memutar badan dan kembali ke bangkuku, tanganku mengepal lembaran kertas buram sampai remas saking jengkelnya.
Apa yang akan dikatakan Pak Lee? Kemarin sore aku langsung meninggalkan kampus tanpa mampir ke ruangannya, alhasil aku tak memperoleh laporanku. Dua hari lagi akan ada jadwal konsultasi dan aku harus menyelesaikan perbaikan laporanku itu. Huft… aku bingung sendiri, untung aku masih ingat sedikit letak kesalahanku yang ditunjukkan dosenku itu. Lama-lama di perpustakaan, aku jadi bosan. Kusudahi aktivitasku memperbaiki laporanku dan segera keluar dari ruangan ini.
Deg… aku berpapasan dengan Pak Lee di pintu! Dia mencengkram lenganku dan segera membawaku ke tempat yang sepi.
“Kenapa kau tidak menemuiku kemarin?” tanyanya dengan suara yang menakutkan.
“Aku buru-buru Pak, kemarin harus cepat pulang!”
“Jung Eun Hye, jangan anggap enteng laporanmu yang telah kukoreksi. Kalau kau ikut ujian meja dengan laporan yang amburadul kau akan dalam masalah. Bahkan aku tidak akan menandatangani izin ujian mejamu kalau sikapmu sok begini.” Dia mengancamku,
“Kenapa aku diperlakukan beda? Teman-temanku mendapatkan laporannya kemarin sore sedangkan aku harus menghadap bapak dulu baru bisa mengambilnya!” aku melawan, inilah aku si pembangkang, julukan darinya.
“…” dia diam, ditariknya napasnya dalam-dalam. “Maaf…” lirihnya pelan. “Aku hanya ingin menjelaskan apa yang kau dengar saat reuni itu.” Akhirnya dia mengakui tujuan sebenarnya memanggilku ke ruangannya.
“Aku sudah dengar dan sangat mengerti Pak, anda tidak perlu repot-repot menjelaskannya padaku. Permisi!” ucapku dingin dan bergegas meninggalkannya.
“Aku belum selesai bicara!” dia mencegatku,
“Tapi aku tidak mau bicara dengan Anda!” nadaku meninggi, “Kenapa Bapak tidak mengerti sih? Seandainya Anda ada di posisiku, aku yakin Anda pasti melakukan hal yang sama. Sakit Pak… sakit sekali saat mengetahui  kalau aku hanya dimanfaatkan. Terlebih lagi ternyata selama ini Anda hanya menganggapku anak-anak!” perlahan mataku berkaca-kaca, dia jadi tak jelas dalam penglihatanku.
“…” dia bisu, tak ada lagi yang dapat dikatakannya karena dia memang salah.
“Kita hanya terpaut empat tahun, apakah hal itu yang membuatku terlihat seperti anak kecil di mata Bapak? Apa itu tidak berlebihan?! Memang benar aku mahasiswi anda, tapi mahasiswi bukan berarti anak kecil kan’? I’m care to you but you think this is childish doing only!” kuhempaskan pegangannya dan meninggalkannya.
“Eun Hye…” sekali lagi dia mencegatku,
“Berhenti menyakitiku Pak! Aku sungguh tidak biasa dengan sakit seperti ini. Ya… ada benarnya juga anda mengatakanku anak kecil karena aku tidak mau disakiti!” kuhempaskan lagi pegangannya. “Seandainya saja aku tidak memliki perasaan apa-apa pada  anda mungkin rasanya tidak akan sesakit ini!” lirihku lalu pergi dari hadapannya. Kuseka air mataku yang sedari tadi mengalir dan membuatku malu.
Bodoh! Kau memang bodoh Jung Eun Hye! Kenapa kau sampai mengakui perasaanmu padanya? Tidakkah itu telah menjatuhkan harga dirimu? Dasar gadis tidak punya otak. Aku mengumpat diriku sendiri, kurasa saat ini dia sedang menertawaiku. Kuhempaskan tubuhku di ranjang, kutatap langit-langit kamarku, tapi kenapa wajah Pak Lee yang kulihat? Kurasa aku memang sudah gila.
“Eun Hye… boleh ibu masuk?” tanya ibuku setelah mengetuk pintu. Aku mengiyakan dan ibu pun masuk. Ibu duduk di sampingku sementara aku masih dalam posisi berbaring. “Bagaimana skripsimu? Apa ada masalah?” tanya ibu, kurasa itu hanya basa-basi.
“Bukan skripsiku yang bermasalah tapi dosen pembimbingnya!” jawabku jutek. “Beri tahu anak teman ibu itu supaya dia tidak mempersulitku dalam penyusunan skripsiku. Aku benci dia mendiskriminasikan aku dengan teman-teman yang lain. Mentang-mentang dia dosen jadi seenaknya menekanku!” ucapku kasar.
“Ibu tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Min Ho tapi apakah kalian tidak bisa menyelesaikan masalah kalian baik-baik?”
“Masalah apa Bu? Bukan aku yang bermasalah tapi dia yang bermasalah denganku, heran deh… kenapa dia sangat sentiment padaku!” posisiku berubah menjadi duduk.
“Mungkin kau hanya salah paham saja Nak!”
“Salah paham apanya? Menyita laporanku karena alasan tidak logis apakah dapat dikatakan salah paham? Ibu tentu tidak akan mengerti sebab bukan ibu yang merasakannya, aku takut ibu membencinya bila aku menceritakan semuanya.” Ops… aku keceplosan,
“Apa yang dilakukan Min Ho? Kenapa kau sampai bilang begitu?”
“Ah… sudahlah Bu, aku tidak ingin membahas ini!” kubaringkan kembali tubuhku dan membenamkan bantal ke wajahku. Perlahan kudengar langkah ibu menjauhi kamarku. Tak terasa ada sesuatu yang membasahi bantalku, aku menangis lagi.
Kurasa aku ingin berhenti saja berkuliah, aku sungguh tidak punya muka lagi bertemu Pak Lee. Berhenti di saat skripsiku hampir rampung? Ibuku bisa kena serangan jantung kalau aku melakukannya! Yah… tebal muka saja bila harus berhadapan dengan dosen itu. Hari ini aku meminta Si Yoon mengumpulkan laporan hasil revisiku, mana berani aku mengumpulkannya sendiri.
“Kenapa bukan kau sendiri yang mengumpulkannya?” tanpa kusadari Pak Lee berdiri di belakangku saat aku mengamati Si Yoon. Aku tersentak, apa yang harus kulakukan? Kuambil langkah seribu dan berlari secepat mungkin dari tempat itu. Sama saja bohong, meski hari ini aku menghindar tapi besok toh kami akan bertemu lagi karena jadwal konsultasi.
Malam ini ibu sibuk memasak sementara aku asyik memainkan game komputer, sebenarnya alasanku sedang mengetik skripsi tapi karena bosan makanya aku bermain game. Mataku tertuju pada sebuah folder bertuliskan ‘secret’ begitu aku kalah bermain dan menutup aplikasinya. Aku memang tidak dapat dibuat penasaran, segera kubuka folder itu tapi pakai password. Uh… aku menyesal mengajarkan ibu memasang password pada folder komputer.
Rasa penasaranku benar-benar membuatku tergelitik untuk membuka folder itu, apa yang dirahasiakan ibu sehingga folder ini dipasangi kunci. Kucoba menerka kira-kira apa yang biasa digunakan ibu sebagai kata kunci. ‘Fashion’ ketikku cepat karena ibu kan’ bekerja di kantor majalah fasion sebagai editor, ‘denied’ uh… itu kata yang muncul. Kucoba mengetik tanggal lahirku, tanggal lahir ibu, tanggal pernikahan ibu, nama ayah, nama kakek, nama nenek, argh… semua ditolak. Saat aku putus asa, kutekan tuts keyboard berentetan di bagian angkanya sehingga muncul 123456789 dan wow… begitu aku menekan ‘enter’ folder itu langsung terbuka. Ternyata ada untungnya juga kalau ibu pelupa, passwordnya gampang ditebak, ha…ha…ha…
Tawa kencangku langsung hilang begitu aku melihat isi folder itu, ini… ini… kan’ fotoku dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu. Tapi kenapa bisa ada pada ibu? Apa mungkin ibu pelakunya? Tidak mungkin, ibu mana berani mengerjaiku separah itu. Aku tidak ingin percaya kalau ibulah pelakunya, tapi ibu harus menjelaskan semua ini padaku. Aku beranjak ke dapur, kutatap ibuku dengan tatapan tidak bersahabat.
“Kau kenapa? Oh… sudah lapar? Ini makanannya juga sudah masak!” seru ibuku dengan senyuman polosnya seperti biasa.
“Kenapa foto itu bisa ada pada ibu?” tanyaku.
“Foto apa?!” kening ibu berkerut,
“Fotoku dengan Pak Lee saat ciuman kecelakaan itu!” jawabku lantang. Ibu terkejut, matanya membulat, “Jangan bilang ibulah yang memotret kami dan mengancam kami kalau foto itu akan disebarkan di situs kampus!” wajahku merapat ke wajah ibu, ibu sampai mundur saking dekatnya.
“Eun Hye… kau membuka folder milik ibu ya?” tanyanya gugup, aku mengangguk dengan ekspresi mengerikan. “Mianhe…” ibu nyengir sendiri, “Jangan marah ya… itu ibu lakukan cuma untuk lucu-lucuan!” kali ini aku yang tidak berkutik saking tidak menyangka ibuku akan memberi respon seperti ini, lucu-lucuan katanya!!!!
“Ibu!!!!” aku meronta kesal, “Kenapa ibu melakukannya?! Ibu tahu tidak aku begitu menderita mengikuti permainan ibu itu, aku harus menunggu di taman sampai kena diare segala. Belum lagi aku harus naik roller coaster dan kincir, ibu tahu aku sangat benci ketinggian apa lagi putaran, itu membuatku mual!!!”
“Iya… iya… maaf, ibu janji tidak akan mengulanginya!” bujuk ibu,
“Pak Lee… jadi dia tahu ibu pelakunya?”
“Iya… dia sendiri yang curiga pada ibunya dan akhirnya kami ketahuan!” jadi ibu dan bibi berkompot!
“Ibu… ini keterlaluan, apa ibu tidak berpikir masak-masak dulu sebelum melakukan hal gila ini? Aku sedang menyusun skripsi dan ibu malah menambah bebanku dengan permainan ini!”
“Iya… ibu tahu makanya ibu minta maaf!”
“Gampang sekali ibu bilang begitu…” suaraku hilang, aku menangis, ya… aku tidak tahan.
“Eun Hye…!” ibu panik, kuputar badanku dan beranjak ke kamarku. Kubanting pintu dan menangis keras. Kudengar ketukan pintu, ibu memintaku untuk keluar. Tidak… aku tidak bisa menerima semua ini, ibu ini sudah keterlaluan.

Pagi ini aku tidak menyapa ibu sama sekali, aku langsung berangkat ke kampus tanpa sarapan. Alhasil aku tidak konsentrasi mengikuti pelajaran dengan perut lapar. Aduh, kapan Pak Lee menyelesaikan cermahnya sih? Kepalaku sudah pusing saking laparnya.
“Baiklah… tanggal ujian skripsi telah dikeluarkan, kalian hanya punya waktu sekitar dua minggu untuk memperbaiki pekerjaan kalian dan tentunya untuk menguasai apa yang telah kalian tulis.” Pak Lee menyelesaikan konsultasi kami. “Beberapa telah kutandatangani artinya mereka bisa mengajukan laporan mereka pada pembimbing pertamanya. Kuharap kalian dapat melakukan yang terbaik.” Dia kembali ke mejanya dan mulai memanggil nama kami satu per satu untuk mengambil laporan kami yang telah dikoreksi.
Sekali lagi dia berlaku tidak adil, namaku tidak disebutnya. Kalaupun laporanku masih salah, seharusnya dia tetap mengembalikannya.
“Kau terlalu menjengkelkan makanya dia tidak mengembalikan laporanmu!” ledek Sung Hee saat kelas telah bubar. Errrr… apa sih maunya orang-orang di sekitarku?! Aku berjalan penuh kejengkelan ke ruangan dosenku itu, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk dan membormbardir Pak Lee dengan protes.
“Kenapa aku tidak mendapat laporanku Pak? Kenapa anda terlalu menganaktirikan aku dengan teman-temanku yang lain? Kalaupun laporanku masih salah setidaknya kembalikan padaku agar aku dapat memperbaiku kesalahan itu. Pak… aku sedang banyak masalah sekarang, tolong jangan menambah bebanku lagi, aku bisa gila kalau terus-terusan seperti ini…” aku langsung bungkam saat dia menyodorkan laporan yang kuminta. Aku menarik napas dalam, aku kehabisan napas karena bicara terlalu cepat apalagi ditambah emosi. Baru saja ingin mengambilnya, dia menarik laporan itu ke arah lain. Kali ini aku tidak bicara, aku hanya menatapnya dengan protes.
“Ada masalah apa kau dengan ibumu?” tanyanya, oh… jadi ini alasannya?
“Bukan urusan anda!” aku mencoba mengambil laporanku itu namun sekali lagi dia menghindar.
“Ibumu menelponku dan terdengar begitu sedih kau perlakukan seperti ini!”
“Aku marah karena perbuatannya, aku merasa seperti orang bodoh dipermainkan seperti ini!”
“Aku juga merasa seperti orang bodoh diperlakukan seperti ini oleh ibuku tapi aku tidak sampai perang dingin dengan ibuku!”
“Kondisi Bapak dengan kondisiku berbeda!” balasku dengan kesal.
“Apanya yang berbeda? Kita sama-sama lelah dan seperti orang bodoh diperlakukan seperti ini. Oh… kita memang berbeda, kita berbeda pada respon yang kita berikan pada ibu kita. Respon yang kau berikan pada ibumu menunjukkan kalau kau memang masih anak-anak! Kau belum dapat berpikir dewasa.” Aku terlonjak mendengar perkataannya, aku tidak suka dikatakan seperti anak-anak.
“Terserah Bapak mau mengembalikan laporanku atau tidak, aku tidak peduli!” kualihkan pembicaraanku dan segera kutinggalkan ruangan itu. Kondisiku dan kondisimu berbeda, karena foto itu kita menjadi dekat, karena ulah ibuku kita jadi sering bersama. Kebersamaan itu membuatku merasakan sesuatu yang lain terhadapmu. Itulah mengapa aku begitu marah pada ibu, aku marah karena ibu yang menjerumuskanku sehingga aku jatuh cinta padamu.
***
Ujian skripsi pun tiba, hari ini aku begitu gugup. Kulihat di pojokan teman-temanku sedang menghapal karya ilmiahnya itu, aku pribadi tidak akan bisa belajar dalam keadaan kaget seperti ini. Aku berdiri dari bangkuku dan berjalan menjauh dari rombonganku,
“Eh… kau mau ke mana?” tanya Si Yoon,
“Ke toilet, kenapa? Apa kau mau ikut?” tanyaku balik, dia menggeleng sambil nyengir. Kubasuh wajahku begitu sampai di toilet, aku gugup sekali sampai-sampai tanganku berkeringat. Kubuka tasku untuk mengambil handuk kecil, kulihat ada boneka di dalam. Perasaan aku tidak pernah memasukkan boneka, kulihat tulisan di boneka itu ‘Eun Hye… hwaiting!’ aku tersenyum, ibu ada-ada saja. Ya… aku dan ibuku sudah berbaikan, bagaimanapun marahnya aku pada ibu, aku tidak akan tahan mendiaminya meski hanya setengah hari. Aku sayang ibu karena yang kupunya hanya ibu, yang tertinggal hanya ibu, aku tidak mau menyia-nyiakan titipan Tuhan itu.
Aku berpapasan dengan Pak Lee di koridor, jantungku yang tadinya sudah berdegub kencang, kini sudah kehilangan iramanya. Sebentar lagi Eun Hye, sebentar lagi kau akan berpisah dengannya, jangan khawatir. Usai ujian skripsi ini kau akan lulus dan tidak perlu lagi berurusan dengannya. Aku melangkah serileks mungkin, aku tidak boleh gugup.
“Tidak perlu takut, pertanyaan yang muncul tidak akan lepas dari apa yang telah kau tulis di skripsimu!” dia menghampiriku dan sok memberikan wejangan padaku. Aku tidak menghiraukannya, kulanjutkan langkahku seakan dia tidak pernah muncul di hadapanku. “Hya…Jung Eun Hye!” dia menegurku, mungkin karena kesal. Masih seperti tadi, aku tetap melanjutkan langkahku dan tidak menganggapnya ada. Aku tak menyangka dia mengejarku bahkan mencengkram bahuku untuk menghentikan langkahku.
“Kau kenak-kanakan!” ledeknya,
“Aku tidak suka mendengar kata itu Pak!” balasku marah.
“Kalau bukan kekanak-kanakan lalu kau ingin dipanggil apa?” tanyanya sengit,
“Apa sih yang anda inginkan? Berhentilah menggangguku!”
“Mengganggu? Apa sikapku tadi mengganggumu?”
“Tentu!” ucapku tegas, “Terus terang setiap kali melihat anda yang kurasakan hanya sakit. Jadi ada baiknya anda tidak perlu sok menghiraukanku, anda pura-pura saja tidak melihatku bila kita berpapasan!”
“Jadi kau masih marah karena kata-kataku itu?”
“Pertanyaan bodoh!” aku berusaha melepas cengkraman dosenku itu namun dia sangat kuat.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba Si Yoon muncul dan memegang bahu Pak Lee, ditatapnya dosen kami itu dengan tatapan mengancam. Perlahan Pak Lee melepasku, aku tahu dia melakukan ini bukan karena takut pada Si Yoon melainkan dia tidak ingin terjadi keributan. Yu Jin menarik tanganku ke arahnya,
“Kau tidak apa-apa?” tanya sahabatku itu, aku mengangguk.
“Ayo kita pergi Eun Hye, sebentar lagi giliranmu!” ucap Si Yoon. Kami bertiga pun meninggalkan Pak Lee begitu saja.
Belum terlalu lama aku melangkah bersama kedua sahabatku itu, tiba-tiba kurasa ada yang menarik tubuhku dari belakang. Aku berbalik dan kulihat Pak Lee telah berada di hadapanku, bagitu dekat di depanku. Dengan gerakan cepat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan bibirnya seketika menyentuh bibirku. Mataku membesar karena terkejut, a…a…pa… apa yang dia lakukan? Setelah terkejutku hilang dan kesadaranku kembali, aku berusaha melepasnya namun dia malah mempererat pegangannya. Si Yoon, Yu Jin, apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian diam saja? Cepat tolong aku!
Perlahan ciumannya melemah dan akhirnya dia menjauhkan wajahnya dari wajahku. Dia menatapku, hanya menatap dan tidak bicara. Aku juga kehabisan kata, aku tidak tahu harus menggunakan kata apa di saat seperti ini.
“I love you!” ucapnya tiba-tiba. "Sudah lama ingin kukatakan tapi aku tidak berani..." Aku lebih kaget lagi, dia tidak mabuk kan?
“Ehmm….mm… Eun Hye, ayo!” Si Yoon membuyarkan keterkejutanku. Aku lemah saat ini, aku hanya mengikuti tarikan sahabatku dan melangkah menjauhi Pak Lee.
“Kau baik-baik saja kan?” tanya Yu Jin cemas melihatku yang termangu seperti orang yang kehilangan kesadaran.   
Pikiranku memang agak kacau memasuki ruang sidang namun syukurlah aku dapat melalui ujian skripsiku dengan baik. Aku keluar dengan senyuman yang mengembang membuat Si Yoon dan Yu Jin ikut tersenyum. Kini giliran Si Yoon, kuharap dia berhasil. Aku duduk bersandar, kubuka tasku mencari ponsel untuk memberi tahu ibu mengenai ujian skripsiku. Boneka yang dibuat ibu tersenyum manis kepadaku sehingga aku pun ikut tersenyum. Kuambil boneka itu dan membelainya lembut.
“Wah… bonekanya cantik!” tegur Yu Jin padaku, aku tersenyum,
“Ini jimat dari ibuku, sebelum berangkat tadi ibu bilang akan memasukkan jimat ke dalam tasku, tau-tau boneka ini yang dimaksud ibu.”
“Boleh kulihat?” tanya Yu Jin, tanpa basa-basi aku memberikan boneka itu. Kembali kucari ponselku untuk menghubungi ibu. Kutekan beberapa angka dan mulai menunggu panggilanku terhubung namun tidak diangkat. Mungkin ibu sedang sibuk, kuputuskan untuk mengirimkan pesan singkat saja. “Eun Hye… ada suratnya!” ucap Yu Jin.
“Oh… paling kata penyemangat dari ibuku agar aku tidak gugup!” balasku, aku sibuk mengetik pesan sehingga tidak begitu mempedulikan Yu Jin.
“Em… sepertinya bukan!” ucap Yu Jin agak aneh, aku berbalik ke arahnya, “Maaf, aku sudah membacanya, aku tidak tahu kalau…” perkataan Yu Jin terputus, dia memberiku kertas yang dimaksudkannya itu. Mengenai foto itu, Min Ho telah mengetahui bahwa pelakunya adalah kami usai kejadian di taman itu. Mengajakmu ke tempat hiburan adalah rencananya sendiri. Ibu tidak tahu apa maksudnya namun ibu menerka dia melakukan ini karena dia mengharapkanmu. Berhentilah marah padanya, tanpa kau sadari sebenarnya dia sangat memperhatikanmu.
Aku termangu, kenapa ibu menulis hal seperti ini. Kuingat kejadian saat di taman hiburan, naik roller coaster dan kincir, juga makan bersama jadi semua itu adalah scenario yang dibuat Pak Lee. Dia bisa saja terus berbohong atas nama si pelaku, membawaku ke manapun yang dia inginkan namun dia tidak melanjutkannya karena tahu aku sudah cukup pusing dengan skripsiku. Sontak aku berdiri, Yu Jin jadi terkejut saat melihatku.
“Kurasa Pak Lee ada di ruangannya sekarang!” ucap Yu Jin. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum simpul padaku seakan berkata ‘pergilah menemuinya sebelum terlambat’. Tak perlu dikomando lagi, aku segera mengikuti saran sahabatku itu. Aku berlari ke ruangan dosenku itu, kubuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tak ada siapa-siapa. Aku menelusuri koridor kampusku, kucari sudut demi sudut ruangan yang mungkin didatanginya. Aku lelah berputar-putar, aku kembali ke ruangannya namun dia tetap tidak ada. Apa dia sudah pulang, tidak… ini belum jam pulang. Aku kebingungan mencarinya, kutelpon saja? Ah… aku tidak punya nomornya, kuteruskan langkahku dengan wajah kebingunganku. Di persimpangan koridor tiba-tiba dia muncul, langkahku terhenti, untuk sejenak kami hanya saling memandang dalam diam.
“Kau mencariku? Kulihat kau masuk lalu keluar lagi dari ruanganku,” tanyanya. Ciuman di koridor tadi kurasa sudah cukup menjelaskan bagaimana perasaannya padaku, aku tidak perlu lagi bertanya apa-apa. Aku melangkah cepat ke arahnya dan segera memeluknya. Kurasakan ada keterkejutan dari responnya, namun tak lama kemudian dia membantuku mempererat pelukan kami.

Aku tidak peduli meski kau menganggapku anak-anak, tak apa, aku tak ingin marah lagi. Aku lebih peduli pada perasaanmu padaku, asal kau mencintaiku itu sudah lebih dari cukup. Aku akan berusaha menjadi wanita dewasa di depanmu, jadi kuharap kau bersedia untuk tetap membimbingku. 

~Hello Gangsa End~

No comments:

Post a Comment