“Sial,
sial, sial, sial!” umpatku berulang kali, “Menyebalkan, sungguh sangat menyebalkan!” lanjutku. Kuhentikan langkahku
dan membalik badanku ke arah tembok, buk… kutendang tembok itu. Sakit memang
tapi saat ini hatiku lebih sakit.
“Apa maunya dosen itu? Apa coba?”
aku mulai bersungut-sungut. “Ini tidak fair! Dia memusuhiku hanya karena aku
mirip dengan orang yang tidak dia sukai! Oke lah kalau memang kau tidak suka
padaku, tapi jangan menekan nilai-nilaiku! Kau kan seorang pengajar, di mana keprofesionalanmu
bila mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan kerja?!” buk… kali ini
bukuku yang menghantam tembok soalnya kakiku sakit.
“Apa itu lulusan Universitas Oxford?
Begini hasilnya kau belajar di salah satu universitas terkemuka di dunia? Kasihan!
Percuma! Kau mungkin hebat dalam menganalisis dan menjawab soal tapi kau lemah
dalam moral, tidak, kau krisis moral!” kuremas kertas ujianku yang baru saja
dibagikannya.
“Seandainya
kau bukan dosenku…” aku menarik napas dalam-dalam, “Aku pasti akan meremas
wajahmu seperti kertas ini!” irgh…irgh…irgh… kertas itu kusobek-sobek hingga
beberapa bagian. Huft… aku menarik napas kuat-kuat, cukup, aku tidak perlu
marah lagi , toh… percuma marah kan’? nilaiku juga tidak akan berganti.
Kupungut bukuku yang tadi kugunakan menghantam
tembok. Kasihan… padahal buku ini tidak salah, kuambil tasku dan segera
kuperbaiki penampilanku. Setelah ini aku harus kuliah, ya… aku harus ikut
kuliahnya, kuliah dosen sinting itu. Aku berbalik dan … seorang pria dengan
tubuh tegap dan tinggi, sorot matanya tajam menikam ke arahku, wajahnya tanpa
ekspresi, marahkah, muakkah, atau apalah pokoknya dia hanya memandang tajam
padaku. Kutelan ludahku, kugigit bibir bawahku untuk sekedar mengurangi rasa
takutku.
Perlahan
dia melangkah ke arahku, aku semakin gemetar, aku akan dicincangnya, apa dia
mendengar semua makianku tadi? Sejak kapan dia berdiri di belakangku? Syut… dia
berlalu begitu saja di dekatku, dia tidak menoleh, tidak berpaling, atau
setidaknya memberi apresiasi atas semua makianku tadi yang kualamatkan padanya.
Argh… kenapa aku harus mengumpat di jalan sih? Coba di tengah hutan atau di
ujung jurang, pasti tidak akan ada yang dengar!
Kami
masuk ke ruangan yang ukurannya tidak begitu luas, meja dan kursi tersusun rapi
dan papan tulis pun sudah bersih. Aku mengambil tempat paling buntut, mana
berani aku duduk di depan sementara barusan aku membuat masalah dengan orang
yang akan memberi kuliah. Beberapa saat kemudian Pak Lee masuk dengan ekspresi
yang datar, dia selalu seperti itu, masih untung dia memasang wajah seperti itu
di kelas mengingat banyak murid lain, kalau aku sendirian pasti lebih parah
sebab setiap aku menemuinya secara personal, pasti wajahnya ditekuk sampai
tujuh tekukan.
“Anyeong
haseo…” sapanya
“Anyong
haseo gangsa…” balas kami serempak.
“Kalian
sudah melihat hasil Mid Semester kalian kan?” tanyanya,
“Ye…!”
jawab kami.
“Ada
yang mendapat nilai sempurna?” tanyanya, kami saling bertatapan, yah… nilai
sempurna maksudnya nilai A+ atau kalau diangkakan hasilnya 100. Lama kami
saling memandang dan ternyata tidak ada yang unjuk diri, itu berarti tidak ada,
sial… kalau saja aku tidak lalai, pasti aku sudah angkat tangan.
“Apa
yang terjadi? Kenapa tak ada satupun di antara kalian yang mendapat nilai
sempurna? Apa aku yang terlalu kelewatan membuat soal atau mungkin ada sebab
lain?”
“Kami
banyak terkecoh Gangsa!” seru ketua tingkatku, maksudnya ketua kelas.
“Sekarang
kalian bisa bertanya bila selama ujian kalian menemukan kesulitan, apa yang
membuat kalian terkecoh. Jangan bisanya mengumpat di belakangku, mengeluarkan
kata-kata kasar seperti mahasiswa yang tidak pernah belajar etika.” Wah…
sepertinya dia menyinggungku, teman-temanku yang tidak tahu masalah saling
berpandangan heran. “Kalian tahu dosen ibaratnya orang tua kalian di kampus,
bila kalian menghina atau mengumpat maka sama saja kalian menghina orang tua
kalian!” lanjutnya, huh… orang tua apanya? Kau saja hanya lebih senior 4 tahun
dariku.
“Yaa…” Si Yoon berbisik ke arahku, “Kau
membuat masalah lagi?” tanyanya, aku memanyunkan bibirku, pemuda itu menggeleng
takjub. “Hanya kau yang berani membuat masalah dengannya!” lanjutnya.
“Apa
ada di antara kalian yang ingin meremas-remas wajahku saking kesalnya melihat
hasil ujian kemarin?!” serempak teman-temanku tertawa kecil, ini bukan lelucon
desisku dalam hati. “Aku merasa tidak pernah mendiskriminasikan kalian, aku
bekerja tanpa mencampuradukkan masalah pribadi dengan urusan kerja. Nilai yang
kalian peroleh murni hasil kerja kalian, jadi bila kalian gagal mendapat nilai
A maka lihat apa kesalahan kalian!”
“Aku
cuma salah menuliskan tanda Pak, tidak perlu kan’ sampai harus disalahkan!”
ucapku, kini aku harus bicara, kalau diam terus, dia pasti terus-terusan
menyinggungku.
“Kau
pikir Bahasa Inggris apa? Stucture
apa?” dia malah balik bertanya padaku.
“Bahasa
Inggris kan bahasa asing, sementara structure menyangkut susunan kata hingga
dapat menjadi frasa, kemudian dapat menjadi clausa dan akhirnya menjadi sebuah
kalimat dengan formasi yang benar!” jawabku,
“Jadi
setiap kata dalam kalimat tentu mempunyai tanda kan’?” tanyanya lagi.
“Tentu!”
jawabku acuh
“Bila
kau salah memberi tanda, apakah tidak akan mempengaruhi kalimat yang kau buat?”
jreng… dia membuatku bungkam,
“Kau
dalam masalah…” bisik Si Yoon lagi.
“Kalau
tidak salah… nilaimu yang tertinggi kan’?” tanyanya “Kau memang hebat tapi kau
ceroboh, tidak teliti, dan tidak sabaran!” bugggg aku seperti dilempar oleh
selusin bola basket oleh dosen itu. “Beberapa kata kekurangan huruf dan kau
salah menempatkan tanda, kau tidak perlu buru-buru mengerjakan soal hanya
karena ingin menjadi yang pertama selesai, ingat terburu-buru mengakibatkaan
kau tidak teliti dan sama saja kau ceroboh!” semua temanku berbisik, huh…
selamat Pak kau berhasil mempermalukanku.
“Tadi
itu cukup memalukan, bagaimana? Apa kau sudah ‘puas’?” tanya Si Yoon saat kami
berjalan di koridor usai kuliah. Aku yakin puas maksudnya kapok,
“Puas
apanya? Apa kau juga ingin mengejekku seperti yang lain?!” bentakku, pletakk,
“Awww” pekikku sambil memegangi kepalaku yang sakit karena dijitak.
“Yaa…
berani-beraninya kau membentak pacarku!” Kim Yu Jin muncul dari belakang dan sekejap
menggandeng lengan Si Yoon.
“Memang
kepalanya harus disodok biar otaknya berjalan normal!” ucap Si Yoon, “Dia masih
belum kapok membuat masalah dengan Pak Lee, tahu sendiri kalau Pak Lee marah seperti apa, eh… dia malah menantang!”
“Kalau
tidak dilawan kita akan tertindas terus, heran deh… siapa sih yang mau jadi
istrinya, aku salut plus kasihan pada wanita itu. Salut karena dia berani hidup
bersama ‘seorang singa buas’ dan kasihan karena nasibnya begitu malang!”
“Yaa…
kalau bicara pelankan suaramu, kau mau dia mendengarmu lagi?!” ucapan Si Yoon
membuatku terkejut, aku segera berbalik kebelakang, menoleh ke samping kiri dan
kanan, jangan-jangan orang itu muncul tiba-tiba seperti tadi.
“Hust…
kudengar dari Oppaku, katanya Pak Lee dalam proses perceraian dengan istrinya
itu!” bisik Yu Jin pelan,
“Jeongmal?!”
Si Yoon terkejut,
“Kenapa
mesti kaget? Wajar kan’? Siapa juga yang tahan hidup berdampingan dengan orang
yang juteknya minta ampun, sudah wajahnya seperti induk singa yang lagi
bertelur!”
“Yaa…
singa itu hewan ovipar! Kau ini ada-ada saja!” ucap Yu Jin, jiah… anak biologi
dilawan!
***
Namaku Jung Eun Hye, mahasiswi
semester akhir di Kyung Hee University. Aku dapat mengecap pendidikan di salah
satu universitas swasta terbaik di Korea itu berkat prestasiku semenjak SMU
sehingga aku mendapat beasiswa untuk belajar di sana. Yoon Si Yoon adalah
sahabat kentalku sejak SMP, dia berpacaran dengan Kim Yu Jin teman baikku juga.
Kami bertiga mengambil Collage Educational, hanya saja aku dan Si Yoon memilih
English Department sementara Yu Jin lebih tertarik pada Biological Department.
Malam
ini ibu mengajakku makan malam di restaurant, heh… tidak biasanya, aku jadi
curiga kenapa ibu begitu baik. Tepat pukul tujuh malam kami tiba di restaurant,
ibu sepertinya telah memesan tempat sebab begitu sampai ibu langsung nyelonong
ke sudut ruangan.
“Mianhe Jae Rim~a di jalan macet
sekali makanya kami terlambat,” sapa ibu pada seorang ajumma yang sebaya
dengannya. Di dekat wanita itu ada seorang pemuda, hanya saja dia membelakang
makanya tidak terlihat oleh ibu dan aku.
“Aniya, kami juga baru sampai!”
balas ajumma itu, dia cantik sekali meski telah berada di usia yang tidak muda
lagi. “Min Ho~a berikan salam pada teman ibu dan putrinya!” ajumma berbicara
pada pemuda itu, kurasa pemuda itu putranya. Sesaat kemudian di berdiri dan
berbalik ke arah kami setelah menutup ponselnya, sepertinya baru saja mengakses
internet. Jeng-jreng-jeng… sorot mata itu…
“Ommona… anakmu tampan sekali, jadi
ini Min Ho?!” tanya ibu yang tersipu melihat Pak Lee. Aku bengong, sungguh
bengong, napasku seperti terhenti, saat ini tak tahu mesti bicara apa. “Eun Hye…!
Dia memang tampan tapi tidak perlu sampai menganga seperti itu!” bisik ibu dan
buru-buru menutup mulutku yang hampir kemasukan nyamuk. Ajumma tersenyum geli
padaku,
“Anyeong haseyo ajumma, nde… joneun
Lee Min Ho imnida!” sapa Pak Lee dengan lembutnya pada ibuku.
“Benar-benar waktu berjalan cepat
ya, ajumma masih ingat waktu mengantarmu ke TK bersama ibumu, sekarang kau
sudah sebesar ini, tampan lagi!” seru ibuku.
“Gamsahamnida ajumma!” balas dosenku
itu.
“Noe… Eun Hye raguyo?” tanya ajumma
padaku,
“Nde~” jawabku singkat,
“Neomu yeppuda!” pujinya,
“Gamsahamnida!” balasku malu.
Kami duduk berhadapan, hanya ibu-ibu
kami yang berceloteh dengan riang sementara aku dan dosen killer itu diam
seribu bahasa bahkan aku sangat gugup. Kenapa ibu malah membawaku ke pertemuan
ini? Apa maksudnya semua ini? Aku jadi tidak bisa menikmati hidanganku, hiks…
padahal jarang-jarang bisa makan di restaurant mewah seperti ini.
“Min Ho lulusan Oxford ya? Wah
hebatnya, kalau putri ajumma ini otaknya mandek makanya ajumma kuliahkan di Korea
saja takutnya dia bikin malu di Inggris!”
“Omma…!” ketusku, heran deh… sedari
tadi ibu terus memuji anak orang dan selalu memojokkan aku.
“Bukannya dia berada di Kyung Hee
karena beasiswa Min Sun~a?” bela ajumma padaku, duh… senangnya ada yang
memujiku.
“Dia tidak mandek ajumma, malah
salah satu mahasiswi terbaik di tingkatannya!” lanjut Pak Lee, ha? Kau
memujiku? Apa kau baik-baik saja? Kau tidak salah makan kan’?
“Benarkah?” ibuku tersipu, “Tunggu…
dari mana kau tahu kalau Eun Hye…”
“Min Ho dosen di sana!” jawab ibunya
sebelum ibuku selesai bertanya.
“Ommo… hebat! Kenapa kau tidak
cerita kalau putramu seorang dosen? Tunggu… jangan-jangan Min Ho adalah
dosennya Eun Hye!” kedua ibu kami berpandangan ke arah kami, aduh… ibuku
cerewet sekali, aku jadi benar-benar kikuk.
***
“Mwo? Jadi Pak Lee adalah anak dari
teman ibumu?” Si Yoon terkejut saat aku menceritakan kejadian semalam. Aku
mengangguk lemas,
“Aku
tidak mengerti kenapa ibuku mengajakku ikut makan malam bersama Pak Lee dan
ibunya, tahu tidak, semalam ibuku sukses mempermalukan aku di depannya!”
kuteguk sebotol jus karena kehausan.
“Mungkin
kalian akan dijodohkan!” tebak Si Yoon, uhhhukk…uhuhhk… aku terbatuk-batuk
mendengarnya, bahkan sebagian jus itu masuk ke hidungku. Pletakkkk…
“Jangan
bicara sembarangan!” aku kesal dan langsung menjitak kepalanya,
“Bisa
saja kan’? kenapa coba mereka mempertemukan kalian kalau tidak ada maksud?!”
“Yaa… kau pikun atau lupa sih? Kau tahu
sendiri Pak Lee sudah punya istri, untuk apa ibuku menjodohkan aku dengannya?!”
“Yaa… kau sendiri pikun atau lupa sih?
Kau dengar sendiri kemarin Yu Jin bilang apa? Pak Lee sementara dalam proses
perceraian!” aku terhenyak, benar juga,
“Ah…
tapi tak mungkin lah! Mana boleh orang yang belum resmi bercerai langsung
dijodohkan dengan orang lain?!” elakku, aku mencoba mengelak padahal aku
sendiri mulai khawatir. Semalam ibuku terlihat sangat antusias pada ‘singa’
itu, jangan sampai deh aku dijodohkan dengannya, aku tak mau jadi induk singa.
Aku
dan Si Yoon buru-buru ke layar pengumuman, hari ini pihak fakultas mengeluarkan
daftar judul skripsi dari masing-masing mahasiswa beserta nama dosen
pembimbingnya. Glekkk… aku menelan liurku saat membaca nama dosen pembimbingku,
Prof. Byun dan Lee Min Ho, M.A TESOL? Si Yoon sendiri masih sibuk mencari
namanya,
“Yes…
Dr. Kim dan Ibu Choi! Hore! Hore!” dia melompat kegirangan di sampingku, “Eun
Hye… bagaimana denganmu?” dia memandangku yang tengah berwajah kurang
bersahabat, sejurus dia mengikuti tatapanku di layar, “Ehm… aku turut berduka
cita!” ucapnya sambil menepuk bahuku.
“Aniyooooooooooo………..”
teriakku kencang.
Aku
berlari kencang menuju sebuah ruangan di sudut kampus, kupegang beberapa lembar
proposal penelitianku. Tok…tok… kuketuk pintu perlahan, setelah mendengar
perintah untuk masuk dari dalam. Perlahan kugeser pintu dan memasukkan badanku.
Beberapa pasang mata menatap kesal padaku, yah… sekarang hari pertama
konsultasi proposalku bersama beberapa mahasiswa bimbingan Pak Lee.
“Kalian
adalah calon tenaga pendidik, kedisiplinan adalah harga mutlak yang tidak dapat
ditawar,” sindir Pak Lee. Kali ini aku hanya diam, memang aku yang salah. Uh…
semua gara-gara ibu yang minta ditemani belanja dulu. Sekitar dua jam aku dan
beberapa temanku mendengar pengarahan Pak Lee, ketikan proposalku juga banyak
mendapat revisi. Huf… aku menarik napas panjang begitu keluar dari ruangannya.
Hari ini cukup sampai di sini.
“Hya…
Jung Eun Hye!” seseorang menegurku dari belakang. Seo Sung Hee, teman sekelasku
sekarang berdiri menatap tidak ramah padaku. “Kau… jangan bersikap egois! Aku
tidak suka, hanya karena ulahmu aku dan teman-teman yang lain harus kena marah
Pak Lee. Lain kali kau usahakan datang tepat waktu, jangan libatkan kami dalam
masalah pribadimu dengan Pak Lee! Arro?” tegurnya sinis. Huh… sok tahu sekali
kau, memangnya kau pikir aku juga ingin datang terlambat? Siapa juga yang mau
mendapat marah dari singa itu?!
Aku
jalan serampangan menuju gerbang kampus, huh… sial sekali, tiba-tiba hujan. Aku
terpaksa berteduh di bawah pohon, kenapa hujannya tidak turun saat aku sudah di
halte saja sih? Sebuah mobil melaju pelan dari tempat parkir, beberapa meter
melaluiku kemudian berjalan mundur kembali ke arahku. Perlahan kaca jendelanya
terbuka, dari dalam kulihat Pak Lee.
“Naiklah!”
perintahnya, what? Are you serious? Pekikku dalam hati. “Palli!” desaknya,
akupun segera menuruti perintahnya, lumayan dapat tumpangan gratis dan
menghemat ongkos bus. “Rumahmu di mana?” tanyanya.
“Apgujeong!”
jawabku singkat dan dia pun berbelok ke kanan begitu menemukan pertigaan.
“Kenapa bapak mau memberi tumpangan padaku?” tanyaku polos.
“Kalau
kau tidak suka, kau bisa turun sekarang!” balasnya,
“Anio…anio…”
sergahku, “Menolong orang jangan setengah-setengah dong Pak!” bisikku pelan.
Sekilas dia tersenyum,
“Ibuku
tadi menelpon, katanya kau baru pulang belanja dengannya makanya aku diminta
untuk tidak memarahimu!” yah… memang aku, Ibu, dan Bibi Lee pergi berbelanja
tadi. Mereka menganiaya aku, sudah tahu aku ada jam konsultasi tapi malah
menahanku. Alasannya karena dosen pembimbingnya adalah Lee Min Ho, gampang diatasi,
terlambat sedikit tidak akan masalah kata Bibi Lee.
“Ibuku
kalau belanja pasti lupa waktu makanya aku jadi kasihan melihatmu apa lagi tadi
aku sempat mendengar teguran temanmu!”
“Kalau
sudah tahu begitu, kenapa masih menyinggungku Pak?!” protesku.
“Salahmu
juga kenapa mau diajak belanja? Seharusnya kamu tegas jangan lemah begitu!” eh…
dia malah menyalahkanku.
“Terus
yang mau disalahkan siapa coba? Aku atau ibu-ibu kita?” tanyaku kesal.
“Eh…
i…itu…” dia kehilangan jawaban. Keheningan mengambil alih keadaan. Aku dan dia
kehabisan topik pembicaraan. Mataku menyelosor ke setiap sudut mobil Pak Lee
karena tidak tahu harus melakukan apa. Kulihat sebuah liontin bergelantungan di
dekat cermin, di dalamnya tertempel foto pernikahannya, jadi penasaran melihat
wajah istrinya. Kurapatkan pandanganku ke bingkai seukuran stiker itu,
“Hya…
tidak sopan memandangi foto orang seperti itu!” tegurnya. Dia segera menutup
liontinnya, aku yang tidak bisa diajak penasaran ria malah mengambil liontin
itu dan membukanya.
“Wah…
istri bapak cantik juga!” celotehku, “Wajahnya bulat dan matanya besar, kenal
di mana Pak?” tanyaku enteng.
“Kau
tidak sopan sekali!” dia merebut liontin itu dari tanganku, tapi…aduh
tersangkut di gelangku, karena tak mau gelangku putus, aku mengikuti tarikan
liontin itu oleh tangan Pak Lee. Duk… aku jatuh di pangkuannya, reflex kuangkat
kepalaku dan kebetulan dia menunduk kaget. Kami bertemu pandang, cukup lama
memandang karena kaget. Tiiiit… suara klakson mobil dari depan membuyarkan
pandangan Pak Lee dan ciiittt… mobil direm mendadak, hadoh… kepalaku terbentur
kemudi.
“Kau
tidak apa-apa kan?!” tanyanya panik,
“Apanya
yang tidak apa-apa? Kepalaku sakit sekali Pak!” gerutuku sambil mengelus
belakang kepalaku.
“Kau
sendiri aneh kenapa malah tiba-tiba ada di pangkuanku?!” dia membela diri.
“Gelangku
tersangkut dengan liontin itu Pak!”
“Kan’
bisa kau tarik!”
“Kalau
putus bagaimana?”
“Sambung
lagi tidak masalah!”
“Ini
gelang pemberian mendiang ayahku, aku tidak akan membiarkannya putus!” dia
terdiam mendengar kalimatku barusan.
“Benarkah?
Kalau begitu maaf!” ucapnya menyesal. Dia kembali mengemudikan mobilnya,
berkali-kali kupandangi dia secara sembunyi-sembunyi. Kalau dipikir-pikir dia
tampan juga, pasti predikat duda keren akan melekat padanya kalau nanti dia
resmi bercerai. “Kenapa kau memandangiku?!” dia membuyarkan lamunanku, aduh
gawat… mesti cari alasan yang tepat biar dia tidak salah paham.
“Mmmm
kenapa bapak bercerai? Padahal bapak kan’ mapan, ganteng lagi!” ciiitt…
pertanyaanku untuk berkelit membuatnya kaget dan sekali lagi dia merem
mendadak. Seketika dia menatap protes padaku.
“Kau
sangat tidak sopan bertanya seperti itu apa lagi aku dosenmu!” tegurnya. Aku
mengerucutkan bibirku,
“Mianhe…
kalau tidak mau dijawab ya… tidak masalah. Aku kan hanya penasaran,” bisikku.
“Siapa
yang cerita padamu? Ibuku?” tebaknya.
“Bukan…
bukan ibu anda, anda kan salah satu dosen popular jadi segala sesuatu tentang
anda sering dijadikan topik pembicaraan mahasiswa.”
“Benarkah?
Sejauh mana kabar perceraianku bergulir?”
“Kurasa
baru sebagian yang tahu, tenang saja Pak, aku bisa jaga mulut kok!”
“Tidak
diragukan lagi, kau memang tukang gossip!” sindirnya.
“Permisi..!”
ucapku naik darah, “Aku juga kebetulan dengar dan sampai sekarang andalah orang
pertama yang kuberitahu!” dia manyun, irgh… sungguh menyebalkan dia mengataiku
tukang gossip.
***
Malam
ini ibu tidak enak badan, padahal ada anak temannya yang menikah sehingga aku
yang diminta untuk menggantikan ibu menghadiri acara itu. Huh… padahal aku
ingin memperbaiki proposal skripsiku yang siang tadi sudah dicoret-coret Pak
Lee. Setelah berdandan sedemikian rupa, akupun berangkat. Lokasinya di Hotel
Seoul ya? Lumayan hotel berbintang, siapa tahu aku bisa dapat cowok kaya di
sana, he..he..he..
Wuih…
mewah sekali, Paman Song menyambutku di mulut aula, dia teman baik ayah dulu
dan sekarang putrinya akan menikah, ayahku kalah selangkah.
“Selamat
datang Nak! Ibumu tidak ikut?” sapanya
“Ibu
tidak enak badan Paman makanya hanya aku yang datang,”
“Kalau
begitu masuklah!” perintahnya. Aku tersenyum dan menurut. Kuedarkan pandanganku
di seluruh ruang, apa ada yang kukenal di sini? Huh… aku tidak mau sendiri.
“Kau
juga datang?!” tiba-tiba ada yang menegurku, suaranya familiar sekali. Pak Lee
berdiri dengan tuxedo hitamnya yang menawan.
“Bapak
juga datang!” balasku sedikit grogi, dia tampan sekali.
“Ibumu
tidak ikut?”
“Tidak,
ibu tidak enak badan makanya aku yang menggantikan, lalu apa anda datang dengan
Bibi?” tanyaku.
“Ibuku
juga tidak enak badan makanya aku yang menggantikan.” Wah kenapa ibu kami
kompakan tidak enak badan? Lama aku berpikir dan mulai mengeri, huh… ibu
mengerjaiku. Di sebelahku Pak Lee tertawa, “Sejak kapan ibuku jadi licik
begini?!” ucapnya. Untuk meramaikan suasana, aku pun ikut tertawa menemaninya
meski dalam hatiku ada api kejengkelan. Grebbb… Pak Lee melingkarkan tangannya
di pinggangku dan menarikku beberapa langkah,
“Maaf
Tuan!” seorang pelayan segera meminta maaf setelah tadi hampir menabrakku.
“Lain
kali hati-hatilah!” tegur dosenku itu pada si pelayan.
“Sekali
lagi saya minta maaf!” ulang pelayan itu dan bergegas pergi. Buru-buru kulepas
tangan Pak Lee, aduh… kenapa aku jadi deg-degan begini.
“Kau
harus diet, untuk seorang gadis, ukuran pinggangmu cukup besar!” tegur Pak Lee,
pranggg… ini sih lebih parah dibanding dapat tamparan di pipi.
“Ibuku
bilang malah bagus kalau wanita pinggangnya besar, soalnya tidak akan kesulitan
saat melahirkan nanti!” belaku. Bergegas kutinggalkan pria itu, kalau terus
berada di dekatnya aku bisa jadi objek hinaannya.
Pesta
dimulai, pasangan pengantin itu jalan bergandengan menuju altar pernikahan
mereka. Aku duduk di sisi yang berbeda dengan Pak Lee, pokoknya aku harus
jauh-jauh darinya. Sedari tadi kulihat wajahnya muram, beda sekali saat di
awal. Ada apa lagi? penglihatanku terbentur pada seorang wanita bergaun merah
beberapa blok dari tempat duduknya, sepertinya aku pernah melihat wanita itu.
Kuputar ingatanku, aku memang bermasalah dengan ingatan tapi kalau sudah
penasaran aku tidak akan berhenti berpikir. Ya… aku ingat, dia istri Pak Lee.
Di sebelah wanita itu ada seorang pria, mereka nampak akrab sekali, ah… tidak,
lebih tepatnya mesra.
To be
continued...
No comments:
Post a Comment