Friday 25 April 2014

FF Hallo Gangsa! - Part 1



“Sial, sial, sial, sial!” umpatku berulang kali, “Menyebalkan, sungguh sangat  menyebalkan!” lanjutku. Kuhentikan langkahku dan membalik badanku ke arah tembok, buk… kutendang tembok itu. Sakit memang tapi saat ini hatiku lebih sakit.
            “Apa maunya dosen itu? Apa coba?” aku mulai bersungut-sungut. “Ini tidak fair! Dia memusuhiku hanya karena aku mirip dengan orang yang tidak dia sukai! Oke lah kalau memang kau tidak suka padaku, tapi jangan menekan nilai-nilaiku! Kau kan seorang pengajar, di mana keprofesionalanmu bila mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan kerja?!” buk… kali ini bukuku yang menghantam tembok soalnya kakiku sakit.
            “Apa itu lulusan Universitas Oxford? Begini hasilnya kau belajar di salah satu universitas terkemuka di dunia? Kasihan! Percuma! Kau mungkin hebat dalam menganalisis dan menjawab soal tapi kau lemah dalam moral, tidak, kau krisis moral!” kuremas kertas ujianku yang baru saja dibagikannya.
“Seandainya kau bukan dosenku…” aku menarik napas dalam-dalam, “Aku pasti akan meremas wajahmu seperti kertas ini!” irgh…irgh…irgh… kertas itu kusobek-sobek hingga beberapa bagian. Huft… aku menarik napas kuat-kuat, cukup, aku tidak perlu marah lagi , toh… percuma marah kan’? nilaiku juga tidak akan berganti.
 Kupungut bukuku yang tadi kugunakan menghantam tembok. Kasihan… padahal buku ini tidak salah, kuambil tasku dan segera kuperbaiki penampilanku. Setelah ini aku harus kuliah, ya… aku harus ikut kuliahnya, kuliah dosen sinting itu. Aku berbalik dan … seorang pria dengan tubuh tegap dan tinggi, sorot matanya tajam menikam ke arahku, wajahnya tanpa ekspresi, marahkah, muakkah, atau apalah pokoknya dia hanya memandang tajam padaku. Kutelan ludahku, kugigit bibir bawahku untuk sekedar mengurangi rasa takutku.
Perlahan dia melangkah ke arahku, aku semakin gemetar, aku akan dicincangnya, apa dia mendengar semua makianku tadi? Sejak kapan dia berdiri di belakangku? Syut… dia berlalu begitu saja di dekatku, dia tidak menoleh, tidak berpaling, atau setidaknya memberi apresiasi atas semua makianku tadi yang kualamatkan padanya. Argh… kenapa aku harus mengumpat di jalan sih? Coba di tengah hutan atau di ujung jurang, pasti tidak akan ada yang dengar! 
Kami masuk ke ruangan yang ukurannya tidak begitu luas, meja dan kursi tersusun rapi dan papan tulis pun sudah bersih. Aku mengambil tempat paling buntut, mana berani aku duduk di depan sementara barusan aku membuat masalah dengan orang yang akan memberi kuliah. Beberapa saat kemudian Pak Lee masuk dengan ekspresi yang datar, dia selalu seperti itu, masih untung dia memasang wajah seperti itu di kelas mengingat banyak murid lain, kalau aku sendirian pasti lebih parah sebab setiap aku menemuinya secara personal, pasti wajahnya ditekuk sampai tujuh tekukan.
“Anyeong haseo…” sapanya
“Anyong haseo gangsa…” balas kami serempak.
“Kalian sudah melihat hasil Mid Semester kalian kan?” tanyanya,
“Ye…!” jawab kami.
“Ada yang mendapat nilai sempurna?” tanyanya, kami saling bertatapan, yah… nilai sempurna maksudnya nilai A+ atau kalau diangkakan hasilnya 100. Lama kami saling memandang dan ternyata tidak ada yang unjuk diri, itu berarti tidak ada, sial… kalau saja aku tidak lalai, pasti aku sudah angkat tangan.
“Apa yang terjadi? Kenapa tak ada satupun di antara kalian yang mendapat nilai sempurna? Apa aku yang terlalu kelewatan membuat soal atau mungkin ada sebab lain?”
“Kami banyak terkecoh Gangsa!” seru ketua tingkatku, maksudnya ketua kelas.
“Sekarang kalian bisa bertanya bila selama ujian kalian menemukan kesulitan, apa yang membuat kalian terkecoh. Jangan bisanya mengumpat di belakangku, mengeluarkan kata-kata kasar seperti mahasiswa yang tidak pernah belajar etika.” Wah… sepertinya dia menyinggungku, teman-temanku yang tidak tahu masalah saling berpandangan heran. “Kalian tahu dosen ibaratnya orang tua kalian di kampus, bila kalian menghina atau mengumpat maka sama saja kalian menghina orang tua kalian!” lanjutnya, huh… orang tua apanya? Kau saja hanya lebih senior 4 tahun dariku.
Yaa…” Si Yoon berbisik ke arahku, “Kau membuat masalah lagi?” tanyanya, aku memanyunkan bibirku, pemuda itu menggeleng takjub. “Hanya kau yang berani membuat masalah dengannya!” lanjutnya.
“Apa ada di antara kalian yang ingin meremas-remas wajahku saking kesalnya melihat hasil ujian kemarin?!” serempak teman-temanku tertawa kecil, ini bukan lelucon desisku dalam hati. “Aku merasa tidak pernah mendiskriminasikan kalian, aku bekerja tanpa mencampuradukkan masalah pribadi dengan urusan kerja. Nilai yang kalian peroleh murni hasil kerja kalian, jadi bila kalian gagal mendapat nilai A maka lihat apa kesalahan kalian!”
“Aku cuma salah menuliskan tanda Pak, tidak perlu kan’ sampai harus disalahkan!” ucapku, kini aku harus bicara, kalau diam terus, dia pasti terus-terusan menyinggungku.
“Kau pikir Bahasa Inggris apa? Stucture apa?” dia malah balik bertanya padaku.
“Bahasa Inggris kan bahasa asing, sementara structure menyangkut susunan kata hingga dapat menjadi frasa, kemudian dapat menjadi clausa dan akhirnya menjadi sebuah kalimat dengan formasi yang benar!” jawabku,
“Jadi setiap kata dalam kalimat tentu mempunyai tanda kan’?” tanyanya lagi.
“Tentu!” jawabku acuh
“Bila kau salah memberi tanda, apakah tidak akan mempengaruhi kalimat yang kau buat?” jreng… dia membuatku bungkam,
“Kau dalam masalah…” bisik Si Yoon lagi.
“Kalau tidak salah… nilaimu yang tertinggi kan’?” tanyanya “Kau memang hebat tapi kau ceroboh, tidak teliti, dan tidak sabaran!” bugggg aku seperti dilempar oleh selusin bola basket oleh dosen itu. “Beberapa kata kekurangan huruf dan kau salah menempatkan tanda, kau tidak perlu buru-buru mengerjakan soal hanya karena ingin menjadi yang pertama selesai, ingat terburu-buru mengakibatkaan kau tidak teliti dan sama saja kau ceroboh!” semua temanku berbisik, huh… selamat Pak kau berhasil mempermalukanku.

“Tadi itu cukup memalukan, bagaimana? Apa kau sudah ‘puas’?” tanya Si Yoon saat kami berjalan di koridor usai kuliah. Aku yakin puas maksudnya kapok,
“Puas apanya? Apa kau juga ingin mengejekku seperti yang lain?!” bentakku, pletakk, “Awww” pekikku sambil memegangi kepalaku yang sakit karena dijitak.
“Yaa… berani-beraninya kau membentak pacarku!”  Kim Yu Jin muncul dari belakang dan sekejap menggandeng lengan Si Yoon.
“Memang kepalanya harus disodok biar otaknya berjalan normal!” ucap Si Yoon, “Dia masih belum kapok membuat masalah dengan Pak Lee, tahu sendiri kalau Pak Lee  marah seperti apa, eh… dia malah menantang!”
“Kalau tidak dilawan kita akan tertindas terus, heran deh… siapa sih yang mau jadi istrinya, aku salut plus kasihan pada wanita itu. Salut karena dia berani hidup bersama ‘seorang singa buas’ dan kasihan karena nasibnya begitu malang!”
“Yaa… kalau bicara pelankan suaramu, kau mau dia mendengarmu lagi?!” ucapan Si Yoon membuatku terkejut, aku segera berbalik kebelakang, menoleh ke samping kiri dan kanan, jangan-jangan orang itu muncul tiba-tiba seperti tadi.
“Hust… kudengar dari Oppaku, katanya Pak Lee dalam proses perceraian dengan istrinya itu!” bisik Yu Jin pelan,
“Jeongmal?!” Si Yoon terkejut,
“Kenapa mesti kaget? Wajar kan’? Siapa juga yang tahan hidup berdampingan dengan orang yang juteknya minta ampun, sudah wajahnya seperti induk singa yang lagi bertelur!”
“Yaa… singa itu hewan ovipar! Kau ini ada-ada saja!” ucap Yu Jin, jiah… anak biologi dilawan!
***
            Namaku Jung Eun Hye, mahasiswi semester akhir di Kyung Hee University. Aku dapat mengecap pendidikan di salah satu universitas swasta terbaik di Korea itu berkat prestasiku semenjak SMU sehingga aku mendapat beasiswa untuk belajar di sana. Yoon Si Yoon adalah sahabat kentalku sejak SMP, dia berpacaran dengan Kim Yu Jin teman baikku juga. Kami bertiga mengambil Collage Educational, hanya saja aku dan Si Yoon memilih English Department sementara Yu Jin lebih tertarik pada Biological Department.
Malam ini ibu mengajakku makan malam di restaurant, heh… tidak biasanya, aku jadi curiga kenapa ibu begitu baik. Tepat pukul tujuh malam kami tiba di restaurant, ibu sepertinya telah memesan tempat sebab begitu sampai ibu langsung nyelonong ke sudut ruangan.
            “Mianhe Jae Rim~a di jalan macet sekali makanya kami terlambat,” sapa ibu pada seorang ajumma yang sebaya dengannya. Di dekat wanita itu ada seorang pemuda, hanya saja dia membelakang makanya tidak terlihat oleh ibu dan aku.
            “Aniya, kami juga baru sampai!” balas ajumma itu, dia cantik sekali meski telah berada di usia yang tidak muda lagi. “Min Ho~a berikan salam pada teman ibu dan putrinya!” ajumma berbicara pada pemuda itu, kurasa pemuda itu putranya. Sesaat kemudian di berdiri dan berbalik ke arah kami setelah menutup ponselnya, sepertinya baru saja mengakses internet. Jeng-jreng-jeng… sorot mata itu…
            “Ommona… anakmu tampan sekali, jadi ini Min Ho?!” tanya ibu yang tersipu melihat Pak Lee. Aku bengong, sungguh bengong, napasku seperti terhenti, saat ini tak tahu mesti bicara apa. “Eun Hye…! Dia memang tampan tapi tidak perlu sampai menganga seperti itu!” bisik ibu dan buru-buru menutup mulutku yang hampir kemasukan nyamuk. Ajumma tersenyum geli padaku,
            “Anyeong haseyo ajumma, nde… joneun Lee Min Ho imnida!” sapa Pak Lee dengan lembutnya pada ibuku.
            “Benar-benar waktu berjalan cepat ya, ajumma masih ingat waktu mengantarmu ke TK bersama ibumu, sekarang kau sudah sebesar ini, tampan lagi!” seru ibuku.
            “Gamsahamnida ajumma!” balas dosenku itu.
            “Noe… Eun Hye raguyo?” tanya ajumma padaku,
            “Nde~” jawabku singkat,
            “Neomu yeppuda!” pujinya,
            “Gamsahamnida!” balasku malu.
            Kami duduk berhadapan, hanya ibu-ibu kami yang berceloteh dengan riang sementara aku dan dosen killer itu diam seribu bahasa bahkan aku sangat gugup. Kenapa ibu malah membawaku ke pertemuan ini? Apa maksudnya semua ini? Aku jadi tidak bisa menikmati hidanganku, hiks… padahal jarang-jarang bisa makan di restaurant mewah seperti ini.
            “Min Ho lulusan Oxford ya? Wah hebatnya, kalau putri ajumma ini otaknya mandek makanya ajumma kuliahkan di Korea saja takutnya dia bikin malu di Inggris!”
            “Omma…!” ketusku, heran deh… sedari tadi ibu terus memuji anak orang dan selalu memojokkan aku.
            “Bukannya dia berada di Kyung Hee karena beasiswa Min Sun~a?” bela ajumma padaku, duh… senangnya ada yang memujiku.
            “Dia tidak mandek ajumma, malah salah satu mahasiswi terbaik di tingkatannya!” lanjut Pak Lee, ha? Kau memujiku? Apa kau baik-baik saja? Kau tidak salah makan kan’?
            “Benarkah?” ibuku tersipu, “Tunggu… dari mana kau tahu kalau Eun Hye…”
            “Min Ho dosen di sana!” jawab ibunya sebelum ibuku selesai bertanya.
            “Ommo… hebat! Kenapa kau tidak cerita kalau putramu seorang dosen? Tunggu… jangan-jangan Min Ho adalah dosennya Eun Hye!” kedua ibu kami berpandangan ke arah kami, aduh… ibuku cerewet sekali, aku jadi benar-benar kikuk.
***
            “Mwo? Jadi Pak Lee adalah anak dari teman ibumu?” Si Yoon terkejut saat aku menceritakan kejadian semalam. Aku mengangguk lemas,
“Aku tidak mengerti kenapa ibuku mengajakku ikut makan malam bersama Pak Lee dan ibunya, tahu tidak, semalam ibuku sukses mempermalukan aku di depannya!” kuteguk sebotol jus karena kehausan.
“Mungkin kalian akan dijodohkan!” tebak Si Yoon, uhhhukk…uhuhhk… aku terbatuk-batuk mendengarnya, bahkan sebagian jus itu masuk ke hidungku. Pletakkkk…
“Jangan bicara sembarangan!” aku kesal dan langsung menjitak kepalanya,
“Bisa saja kan’? kenapa coba mereka mempertemukan kalian kalau tidak ada maksud?!”
Yaa… kau pikun atau lupa sih? Kau tahu sendiri Pak Lee sudah punya istri, untuk apa ibuku menjodohkan aku dengannya?!”
Yaa… kau sendiri pikun atau lupa sih? Kau dengar sendiri kemarin Yu Jin bilang apa? Pak Lee sementara dalam proses perceraian!” aku terhenyak, benar juga,
“Ah… tapi tak mungkin lah! Mana boleh orang yang belum resmi bercerai langsung dijodohkan dengan orang lain?!” elakku, aku mencoba mengelak padahal aku sendiri mulai khawatir. Semalam ibuku terlihat sangat antusias pada ‘singa’ itu, jangan sampai deh aku dijodohkan dengannya, aku tak mau jadi induk singa.

Aku dan Si Yoon buru-buru ke layar pengumuman, hari ini pihak fakultas mengeluarkan daftar judul skripsi dari masing-masing mahasiswa beserta nama dosen pembimbingnya. Glekkk… aku menelan liurku saat membaca nama dosen pembimbingku, Prof. Byun dan Lee Min Ho, M.A TESOL? Si Yoon sendiri masih sibuk mencari namanya,
“Yes… Dr. Kim dan Ibu Choi! Hore! Hore!” dia melompat kegirangan di sampingku, “Eun Hye… bagaimana denganmu?” dia memandangku yang tengah berwajah kurang bersahabat, sejurus dia mengikuti tatapanku di layar, “Ehm… aku turut berduka cita!” ucapnya sambil menepuk bahuku.
“Aniyooooooooooo………..” teriakku kencang.

Aku berlari kencang menuju sebuah ruangan di sudut kampus, kupegang beberapa lembar proposal penelitianku. Tok…tok… kuketuk pintu perlahan, setelah mendengar perintah untuk masuk dari dalam. Perlahan kugeser pintu dan memasukkan badanku. Beberapa pasang mata menatap kesal padaku, yah… sekarang hari pertama konsultasi proposalku bersama beberapa mahasiswa bimbingan Pak Lee.
“Kalian adalah calon tenaga pendidik, kedisiplinan adalah harga mutlak yang tidak dapat ditawar,” sindir Pak Lee. Kali ini aku hanya diam, memang aku yang salah. Uh… semua gara-gara ibu yang minta ditemani belanja dulu. Sekitar dua jam aku dan beberapa temanku mendengar pengarahan Pak Lee, ketikan proposalku juga banyak mendapat revisi. Huf… aku menarik napas panjang begitu keluar dari ruangannya. Hari ini cukup sampai di sini.
“Hya… Jung Eun Hye!” seseorang menegurku dari belakang. Seo Sung Hee, teman sekelasku sekarang berdiri menatap tidak ramah padaku. “Kau… jangan bersikap egois! Aku tidak suka, hanya karena ulahmu aku dan teman-teman yang lain harus kena marah Pak Lee. Lain kali kau usahakan datang tepat waktu, jangan libatkan kami dalam masalah pribadimu dengan Pak Lee! Arro?” tegurnya sinis. Huh… sok tahu sekali kau, memangnya kau pikir aku juga ingin datang terlambat? Siapa juga yang mau mendapat marah dari singa itu?!
Aku jalan serampangan menuju gerbang kampus, huh… sial sekali, tiba-tiba hujan. Aku terpaksa berteduh di bawah pohon, kenapa hujannya tidak turun saat aku sudah di halte saja sih? Sebuah mobil melaju pelan dari tempat parkir, beberapa meter melaluiku kemudian berjalan mundur kembali ke arahku. Perlahan kaca jendelanya terbuka, dari dalam kulihat Pak Lee.
“Naiklah!” perintahnya, what? Are you serious? Pekikku dalam hati. “Palli!” desaknya, akupun segera menuruti perintahnya, lumayan dapat tumpangan gratis dan menghemat ongkos bus. “Rumahmu di mana?” tanyanya.
“Apgujeong!” jawabku singkat dan dia pun berbelok ke kanan begitu menemukan pertigaan. “Kenapa bapak mau memberi tumpangan padaku?” tanyaku polos.
“Kalau kau tidak suka, kau bisa turun sekarang!” balasnya,
“Anio…anio…” sergahku, “Menolong orang jangan setengah-setengah dong Pak!” bisikku pelan. Sekilas dia tersenyum,
“Ibuku tadi menelpon, katanya kau baru pulang belanja dengannya makanya aku diminta untuk tidak memarahimu!” yah… memang aku, Ibu, dan Bibi Lee pergi berbelanja tadi. Mereka menganiaya aku, sudah tahu aku ada jam konsultasi tapi malah menahanku. Alasannya karena dosen pembimbingnya adalah Lee Min Ho, gampang diatasi, terlambat sedikit tidak akan masalah kata Bibi Lee.
“Ibuku kalau belanja pasti lupa waktu makanya aku jadi kasihan melihatmu apa lagi tadi aku sempat mendengar teguran temanmu!”
“Kalau sudah tahu begitu, kenapa masih menyinggungku Pak?!” protesku.
“Salahmu juga kenapa mau diajak belanja? Seharusnya kamu tegas jangan lemah begitu!” eh… dia malah menyalahkanku.
“Terus yang mau disalahkan siapa coba? Aku atau ibu-ibu kita?” tanyaku kesal.
“Eh… i…itu…” dia kehilangan jawaban. Keheningan mengambil alih keadaan. Aku dan dia kehabisan topik pembicaraan. Mataku menyelosor ke setiap sudut mobil Pak Lee karena tidak tahu harus melakukan apa. Kulihat sebuah liontin bergelantungan di dekat cermin, di dalamnya tertempel foto pernikahannya, jadi penasaran melihat wajah istrinya. Kurapatkan pandanganku ke bingkai seukuran stiker itu,
“Hya… tidak sopan memandangi foto orang seperti itu!” tegurnya. Dia segera menutup liontinnya, aku yang tidak bisa diajak penasaran ria malah mengambil liontin itu dan membukanya.
“Wah… istri bapak cantik juga!” celotehku, “Wajahnya bulat dan matanya besar, kenal di mana Pak?” tanyaku enteng.
“Kau tidak sopan sekali!” dia merebut liontin itu dari tanganku, tapi…aduh tersangkut di gelangku, karena tak mau gelangku putus, aku mengikuti tarikan liontin itu oleh tangan Pak Lee. Duk… aku jatuh di pangkuannya, reflex kuangkat kepalaku dan kebetulan dia menunduk kaget. Kami bertemu pandang, cukup lama memandang karena kaget. Tiiiit… suara klakson mobil dari depan membuyarkan pandangan Pak Lee dan ciiittt… mobil direm mendadak, hadoh… kepalaku terbentur kemudi.
“Kau tidak apa-apa kan?!” tanyanya panik,
“Apanya yang tidak apa-apa? Kepalaku sakit sekali Pak!” gerutuku sambil mengelus belakang kepalaku.
“Kau sendiri aneh kenapa malah tiba-tiba ada di pangkuanku?!” dia membela diri.
“Gelangku tersangkut dengan liontin itu Pak!”
“Kan’ bisa kau tarik!”
“Kalau putus bagaimana?”
“Sambung lagi tidak masalah!”
“Ini gelang pemberian mendiang ayahku, aku tidak akan membiarkannya putus!” dia terdiam mendengar kalimatku barusan.
“Benarkah? Kalau begitu maaf!” ucapnya menyesal. Dia kembali mengemudikan mobilnya, berkali-kali kupandangi dia secara sembunyi-sembunyi. Kalau dipikir-pikir dia tampan juga, pasti predikat duda keren akan melekat padanya kalau nanti dia resmi bercerai. “Kenapa kau memandangiku?!” dia membuyarkan lamunanku, aduh gawat… mesti cari alasan yang tepat biar dia tidak salah paham.
“Mmmm kenapa bapak bercerai? Padahal bapak kan’ mapan, ganteng lagi!” ciiitt… pertanyaanku untuk berkelit membuatnya kaget dan sekali lagi dia merem mendadak. Seketika dia menatap protes padaku.
“Kau sangat tidak sopan bertanya seperti itu apa lagi aku dosenmu!” tegurnya. Aku mengerucutkan bibirku,
“Mianhe… kalau tidak mau dijawab ya… tidak masalah. Aku kan hanya penasaran,” bisikku.
“Siapa yang cerita padamu? Ibuku?” tebaknya.
“Bukan… bukan ibu anda, anda kan salah satu dosen popular jadi segala sesuatu tentang anda sering dijadikan topik pembicaraan mahasiswa.”
“Benarkah? Sejauh mana kabar perceraianku bergulir?”
“Kurasa baru sebagian yang tahu, tenang saja Pak, aku bisa jaga mulut kok!”
“Tidak diragukan lagi, kau memang tukang gossip!” sindirnya.
“Permisi..!” ucapku naik darah, “Aku juga kebetulan dengar dan sampai sekarang andalah orang pertama yang kuberitahu!” dia manyun, irgh… sungguh menyebalkan dia mengataiku tukang gossip.
***
Malam ini ibu tidak enak badan, padahal ada anak temannya yang menikah sehingga aku yang diminta untuk menggantikan ibu menghadiri acara itu. Huh… padahal aku ingin memperbaiki proposal skripsiku yang siang tadi sudah dicoret-coret Pak Lee. Setelah berdandan sedemikian rupa, akupun berangkat. Lokasinya di Hotel Seoul ya? Lumayan hotel berbintang, siapa tahu aku bisa dapat cowok kaya di sana, he..he..he..
Wuih… mewah sekali, Paman Song menyambutku di mulut aula, dia teman baik ayah dulu dan sekarang putrinya akan menikah, ayahku kalah selangkah.
“Selamat datang Nak! Ibumu tidak ikut?” sapanya
“Ibu tidak enak badan Paman makanya hanya aku yang datang,”
“Kalau begitu masuklah!” perintahnya. Aku tersenyum dan menurut. Kuedarkan pandanganku di seluruh ruang, apa ada yang kukenal di sini? Huh… aku tidak mau sendiri.
“Kau juga datang?!” tiba-tiba ada yang menegurku, suaranya familiar sekali. Pak Lee berdiri dengan tuxedo hitamnya yang menawan.
“Bapak juga datang!” balasku sedikit grogi, dia tampan sekali.
“Ibumu tidak ikut?”
“Tidak, ibu tidak enak badan makanya aku yang menggantikan, lalu apa anda datang dengan Bibi?” tanyaku.
“Ibuku juga tidak enak badan makanya aku yang menggantikan.” Wah kenapa ibu kami kompakan tidak enak badan? Lama aku berpikir dan mulai mengeri, huh… ibu mengerjaiku. Di sebelahku Pak Lee tertawa, “Sejak kapan ibuku jadi licik begini?!” ucapnya. Untuk meramaikan suasana, aku pun ikut tertawa menemaninya meski dalam hatiku ada api kejengkelan. Grebbb… Pak Lee melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarikku beberapa langkah,
“Maaf Tuan!” seorang pelayan segera meminta maaf setelah tadi hampir menabrakku.
“Lain kali hati-hatilah!” tegur dosenku itu pada si pelayan.
“Sekali lagi saya minta maaf!” ulang pelayan itu dan bergegas pergi. Buru-buru kulepas tangan Pak Lee, aduh… kenapa aku jadi deg-degan begini.
“Kau harus diet, untuk seorang gadis, ukuran pinggangmu cukup besar!” tegur Pak Lee, pranggg… ini sih lebih parah dibanding dapat tamparan di pipi.
“Ibuku bilang malah bagus kalau wanita pinggangnya besar, soalnya tidak akan kesulitan saat melahirkan nanti!” belaku. Bergegas kutinggalkan pria itu, kalau terus berada di dekatnya aku bisa jadi objek hinaannya.
Pesta dimulai, pasangan pengantin itu jalan bergandengan menuju altar pernikahan mereka. Aku duduk di sisi yang berbeda dengan Pak Lee, pokoknya aku harus jauh-jauh darinya. Sedari tadi kulihat wajahnya muram, beda sekali saat di awal. Ada apa lagi? penglihatanku terbentur pada seorang wanita bergaun merah beberapa blok dari tempat duduknya, sepertinya aku pernah melihat wanita itu. Kuputar ingatanku, aku memang bermasalah dengan ingatan tapi kalau sudah penasaran aku tidak akan berhenti berpikir. Ya… aku ingat, dia istri Pak Lee. Di sebelah wanita itu ada seorang pria, mereka nampak akrab sekali, ah… tidak, lebih tepatnya mesra.

To be continued... 

No comments:

Post a Comment