Friday 5 June 2015

FF One Shot - Only Love



Apa hal yang paling berharga yang kau miliki saat ini? Jika kau seorang ibu dan istri, apakah anak dan suami merupakan hal terpenting itu? Ini kisahku, suatu tamparan kecil yang membuatku sadar bahwa keluarga adalah segala-galanya.
            Aku dan suamiku tergolong pasangan yang kompak, kami tidak hanya selalu sekata namun juga sepemikiran. Dalam hal karir, dapat dikatakan kami orang yang berhasil. Suamiku, Achmad Adya Surya, seorang CEO Beoryeong Mediance, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang obat-obatan. Sementara aku, Cantika Dariani Nadhifa , aku adalah marketing manager sebuah majalah fashion terkemuka di Jakarta. Kami telah mengarungi bahtera rumah tangga selama delapan tahun dan telah dikaruniai seorang putra yang kini usianya enam tahun, Azka Adhyastha Prasaja Surya. Aku bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, aku mendapatkan suami yang baik dan pengertian, hidup mewah, karir yang cemerlang, dan yang tak kalah berharganya adalah Azka.

            Ady memarkirkan mobilnya dengan mantap, aku keluar dari mobil sambil memijat leherku yang lumayan kaku. Kulirik jam tanganku, huft… jam 1 pagi. Mbak Darmi segera membukakan pintu sesaat setelah aku memencet bel.
            “Azka sudah tidur Mbak?” sapaku saat aku memasuki rumahku. Pertanyaan bodoh, untuk apa aku bertanya seperti itu, mana ada anak usia 6 tahun masih terjaga di saat selarut ini.
            “Iya Nyonya…” jawabnya.
            “Bagaimana sekolahnya?” tanya Ady,
            “Baik-baik saja, dia kelelahan setelah latihan untuk drama musikalnya sabtu nanti,” jawab Mbak Darmi. Ady berjalan ke arah kamar Azka, aku tidak begitu menghiraukannya sebab aku baru ingat masih ada hal penting yang harus kukerjakan.
            Buru-buru aku masuk ke kamar mandi, kuambil sebuah alat yang sempat kubeli di apotik tadi. Kebetulan aku juga sedang ingin buang air kecil, jadi sangat pas. Aku deg degan menanti hasil yang akan ditunjukkan oleh alat tes kehamilan itu, setelah beberapa saat, alat itu mulai menunjukkan hasilnya dan ternyata benar, aku sedang hamil. Cukup lama aku merenung di toilet, apa yang harus kulakukan?
            Aku keluar dengan wajah yang layu, kulihat Ady telah berganti pakaian dengan piyamanya. Dia masih sibuk membuka iPad-nya, namun beberapa saat setelah aku berbaring di sampingnya, dia menghentikan kegiatannya.
            “Ada apa?” tanyanya, “Kau seperti sedang dalam masalah besar!” aku berpikir sejenak, apa aku harus memberitahunya? Aduh… aku kenapa? Justru orang yang pertama harus tahu adalah dia,
            “Aku hamil…” jawabku lesu,
            “Benarkah?” dia agak terkejut. “Ya sudah, kita berikan saja adik untuk Azka!” lanjutnya.
            “Sayang… kau tahu ‘kan bagaimana kondisiku sekarang, aku sedang dalam masa promosi untuk posisi General Manager di kantor. Aku tidak ingin melepas kesempatan ini hanya karena aku harus hamil, belum tentu kesempatan ini akan datang lagi. Kehamilan tentu akan membatasi ruang gerakku padahal kompetisi tidaklah mudah…” kucoba untuk berterus terang.
            “Lalu kau ingin apa?” pertanyaannya menjebakku, aku cukup takut untuk berterus terang. “Kau mau menggugurkannya?” aduh… tepat pada sasaran. “Ya sudah, lakukan saja!” putusnya. Aku cukup kaget, benarkah aku tidak salah dengar? “Aku juga belum siap memiliki bayi lagi, aku tidak mau tidurku terganggu oleh tangisan bayi sehingga istirahatku tidak cukup. Saat ini aku harus menjaga stamina termasuk istirahat, persaingan bisnis semakin keras dan aku tidak ingin tertinggal hanya karena jatuh sakit!” perlahan senyumku mengembang,
            “Sayang… love you!” kupeluk Mas Ady dengan perasaan lega, dia benar-benar suami yang pengertian.
            “Aku juga!” balasnya. “Buat saja janji dengan dokter, aku akan menemanimu!” lanjutnya. Aku mengangguk mantap diselingi senyuman bahagia.
***
            “Pagi sayang…!” seruku sambil mencium pipi putraku,
            “Pagi sayang…!” Ady pun begitu, Azka tersenyum manis sambil menikmati sarapannya.
            “Ayah…” Azka mencoba mengajak ayahnya bicara namun Ady terlihat sibuk dengan iPad-nya.
            “Hus… Azka, jangan ganggu Ayah. Ayah sedang sibuk!” tegurku.
            “Ibu…” Azka pun menggantikan panggilannya padaku,
            “Uhm…” balasku,
            “Minggu depan…” ucapan Azka terputus saat ponselku berdering. Kutinggal meja makan sejenak untuk menerima panggilan asistenku. Aku dan Ady sibuk dengan urusan masing-masing mengabaikan Azka yang berharap untuk sekedar bicara dengan Ibu dan Ayahnya.
            “Sayang… kapan kau buat janji dengan dokter?” tanya Ady setelah urusan kami selesai.
            “Aku akan menelpon ke klinik nanti,”
            “Memangnya Ibu sakit? Kenapa mau ke dokter?” pertanyaan Azka yang polos membuatku tersedak.
            “Ibu tidak sakit, hanya saja ingin memeriksakan kesehatannya ke dokter. Makanya Azka jangan nakal biar Ibu tidak pusing!” Ady mencoba membantuku menjelaskan.
            “Ehm… Ibu, Ayah ini tiket untuk drama musikalku…”
            “Sayang… peresmian anak cabang Beoryeong di Surabaya apa jadi?” tanyaku pada Ady.
            “Uhm… jadi, akhir minggu ini acaranya!”
            “Wah… itu berarti besok lusa, kalau begitu aku harus hunting pakaian, apa kau mau kubelikan?”
            “Boleh… pilihkan yang terbaik ya. Di acara itu, walikota Surabaya juga datang beserta mentri Perekonomian dan Perdagangan.”
            “Wah… mereka orang-orang penting. Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapku.
“Nah… Azka, kau lihat ‘kan, meski Ayah bukanlah mentri atau pejabat, tapi Ayah tetap bisa bertemu dan bercengkrama dengan walikota bahkan mentri!” terasa bangga menceritakan kehebatan Ady di hadapan putranya. Yah… inilah terapi motivasi yang kuberikan agar kelak putraku sehebat ayahnya.
“Kalau kau rajin belajar dan pantang menyerah, kau akan berhasil seperti Ayah!” Ady pun tak mau kalah. “Saat ini Ayah dibayar Rp. 350.000 untuk satu jam ceramah di depan kolega-kolega bisnis Ayah, ke depannya kau harus bisa lebih baik dari Ayah!” 
Kulirik jam tanganku, “Ayo, sudah jam delapan!” ajakku pada Ady. Buru-buru Ady menghabiskan espresso yang tersisa di gelasnya setelah terlebih dahulu melahap waffle kesukaannya.
            “Azka… Ayah berangkat kerja dulu ya!” Ady mencium pipi Azka, disusul olehku,
            “Jangan nakal di sekolah!” pesanku. Aku dan Ady buru-buru ke tempat parkir, seakan tak mau kalah oleh waktu, kami bergegas menyusuri jalan untuk tidak kehilangan waktu yang bagaikan emas untuk kami.

            Bagai disambar petir, siang ini aku mendapat telepon dari kepala sekolah tempat Azka bersekolah bahwa putraku itu kedapatan mencuri uang di kantin sekolah. Ady pun berang saat aku mengadu padanya. Dia dan aku tak habis pikir bagaimana bisa putra seorang CEO mencuri uang! Apa dia kehabisan uang jajan? Apa dia menginginkan sesuatu yang sangat mahal? Kalau iya, dia tinggal bilang.
            “Aku yakin, putraku difitnah!” seruku saat menyusuri koridor sekolah bersama Ady,
            “……” Ady hanya diam, kurasa dia sangat shock, baru kali ini garis keturunannya ada yang mencuri.
            “Bagaimana mungkin anak umur enam tahun seperti Azka mencuri! Aku tidak pernah mengajarkan anakku mencuri sesulit apapun keadaannya! Akan kulaporkan ke polisi kalau saja anakku difitnah!” aku jadi sewot sendiri.
            “Tenangnlah…” bujuk Ady. Kuakui Ady benar-benar pria yang kuat, bahkan dalam marah pun dia masih dapat diam dan tenang seperti ini.
            Aku bungkam saat melihat rekaman CCTV yang dijadikan sebagai alat bukti oleh kepala sekolah untuk menuduh anakku mencuri. Dalam rekaman itu terlihat jelas Azka sedang mengendap-endap menuju meja kasir setelah kasir keluar sejenak dari kantin. Aku menangis, ya… aku menangis. Aku kecewa pada putra yang telah kubesarkan itu, umurnya masih terlalu muda namun dia sudah mencoreng nama baik keluarga dengan perbuatannya. Sementara Ady, kulihat rahangnya menguat, jelas sekali dia menahan amarah yang sangat besar. Apa lagi saat Azka terang-terangan mengakui perbuatannya, Ady bahkan mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam.
            Meski telah tertangkap basah mencuri, Azka enggan mengakui untuk apa dia mencuri. Dia tidak ingin mengutarakan alasannya. Berkali-kali gurunya mendesak untuk bicara namun dia bungkam dan hanya tertunduk. Ady kehabisan kesabaran, dia meminta izin untuk membawa Azka pulang. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan pada anaknya, yang jelas selama ini dia tidak pernah memukul bahkan mencubit anaknya sekalipun. Apa kali ini dia akan melakukannya?

            Azka disidang, dia duduk di hadapan Ayahnya. Ady menatapnya dengan mata yang memerah menahan marah. Mbak Darmi terlihat cemas dibalik tembok dapur sedangkan aku hanya diam menunggu apa yang akan dilakukan Ady pada putraku. Sejujurnya, sesalah apapun anakku, aku tidak ingin dia dihukum, dipukul, atau diapa-apakan.
            “Cepat katakan  kenapa kau mencuri!” perintah Ady. Azka tetap bungkam.
            “Ayo katakan!” bentak Ady. Mendengar suara Ayahnya yang meninggi, sedikit pun Azka tak bicara. “Ulurkan tanganmu!” perintah Ady. Azka menurut, syyuut… terdengar nyaring di telingaku suara ayunan bambu yang telah disediakan Ady menghantam kulit telapak tangan putraku. Azka tetap bungkam, sekali lagi Ady menghantamnya, sekali lagi Ady harus kecewa karena Azka tetap bungkam.
            “Apa susahnya bicara, Azka jujur saja!” desakku. Entah dari mana dia belajar untuk bungkam sampai seteguh ini.
            “Kau tahu, kau telah mempermalukan keluarga. Ayah tidak pernah mengajarimu mencuri, kakek – nenekmu sampai para leluhurmu tidak pernah mengenal apa itu mencuri, kenapa… kenapa malah anakku yang melakukannya!”
            “Maaf Ayah…” lirih Azka.
            “Ayah tidak butuh maafmu, Ayah hanya ingin tahu kenapa kau melakukannya!” bentak Ady.
            “Katakan saja Azka, apa kau kehabisan uang jajan?” tanyaku. Azka menggeleng,
            “Lalu kenapa?” bentak Ady lagi. Sekali lagi Azka diam. Syutttt… sekali lagi tangan Azka harus merasakan perihnya hantaman bambu tipis dari Ayahnya. Aku sendiri mulai kesal pada putraku itu, apa susahnya sih mengaku? Berkali kali Ady memukulnya sampai kulitnya melepuh namun anak itu tetap diam, hanya air matanya yang jatuh bercucuran memberitahukan kalau sebenarnya dia sudah kesakitan.
            “Ah… Ibu ingat, kau pernah meminta uang pada Ibu untuk membeli kartu pokemon seri terbaru ‘kan! Kau pasti mencuri untuk itu, ayo mengaku!” desakku.
            “Kartu pokemon? Kau mempermalukan keluarga hanya karena kartu pokemon?!” Ady berang dan sekali lagi menghantam telapak tangan putranya. Kali ini Azka menjerit, mungkin karena sudah tidak tahan lagi.
            “Ampun Ayah…” isaknya,
            “Kalau begitu kau harus mengaku!”
            “Aku mencuri karena uangku tidak cukup Ayah… aku ingin membeli waktu Ayah satu jam untuk menghadiri drama musikalku besok lusa!” aku Azka. Ady kaget begitupun aku, kami hanya bisa saling pandang dengan mulut yang bungkam. Kudengar isakan Mbak Darmi dari arah dapur, ia iba mendengar pengakuan Azka. “Ayah dan Ibu bilang akan ke Surabaya akhir minggu nanti, padahal hari itu adalah hari pementasanku. Kalau aku bisa mengumpulkan uang Rp 350.000 maka aku bisa membeli waktu Ayah satu jam untuk menonton pementasanku.”
            Badanku terasa lemas, pipiku terasa panas padahal tak seorang pun menamparku. Perlahan air mataku bergumul dan akhirnya menetes,
            “Aku sudah menjual semua kartu pokemonku, mobil-mobilan, juga kapal-kapalan yang Ibu belikan tapi uangnya tetap tidak cukup. Kalau menunggu sampai aku besar dan menghasilkan uang seperti Ayah, itu sudah terlambat. Kalau aku menyodorkan pinjaman, Ayah pasti tidak akan mau memberinya. Makanya aku… aku mencuri.” Aku terisak di belakang Azka, aku sungguh tidak tahu harus bicara apa lagi. Bambu yang dipegang Ady, terlepas begitu saja dari tangannya. Matanya yang tadi merah karena amarah, kini berubah sembab.
            “Aku tak mau mengaku karena aku takut ketahuan, Ayah pasti tidak mau menerima bayaran dari uang hasil curian…”
            “Cukup Azka… jangan bicara lagi…” tangisku. Aku terseok di sofa, tubuhku lemas dan aku sungguh kehabisan tenaga. Mataku kini terbuka, aku baru menyadari betapa aku ibu yang buruk.
            “Maafkan Ayah Nak,” lirih Ady sambil memeluk Azka, aku tak sanggup, aku tak mampu memeluk anakku. Aku tidak pantas memeluknya, selama ini aku tidak pernah menjadi ibu yang baik untuknya. Dia belajar apa besok, aku juga tidak tahu, jadi apakah aku masih pantas dipanggil Ibu olehnya?
***

            Azka tertidur di pangkuan Ady sementara aku mengolesi obat ke telapak tangannya. Kasihan Azka, kulit tangannya melepuh, pasti sangat perih bila dia harus cuci tangan. Kami telah menyiksa mentalnya dan juga menyiksa fisiknya, sungguh tak ada lagi orang tua yang paling buruk selain kami.
            “Sudah lama sekali rasanya aku tidak mengelus kepala Azka dan menidurkannya di pangkuanku…” lirih Ady.
            “Dan… sudah lama sekali aku tidak melihat wajah Azka yang tertidur pulas sedekat ini…” sambungku.
            “Memang kita harus ditampar dulu untuk disadarkan. Apa yang dilakukan Azka sungguh membuatku malu, sebagai seorang ayah, aku tidak pernah berbuat seperti seorang ayah padanya.”
            “Mungkin aku tidak akan berani menatap wajah anakku lagi di saat dia bangun. Aku sudah terlalu malu sampai menampakkan wajahku di hadapannya, aku sudah tidak bernyali…” sekali lagi air mataku menetes. Ady menghapusnya,
            “Kita berutang banyak pada Azka, Rp. 350.000 dikalikan berapa jam waktu yang kita buang dalam sehari untuk bersamanya kemudian dikalikan lagi ke bulan dan dikalikan lagi ke tahun… kita bisa jatuh miskin bila harus melunasinya, bahkan bila aku harus menjual Beoryeong Grup, itu masih kurang banyak.”
            “Kadang aku berpikir, kita bekerja untuk apa dan untuk siapa? Uang yang kita hasilkan sebenarnya untuk apa? Untuk membahagiakan anak! Lalu… kalau uang itu pada akhirnya harus memasung kebersamaan kita dengan anak-anak, apa gunanya? percuma ‘kan?”
            Azka digendong ke kamarnya, Ady membaringkannya dengan lembut sambil mengelus kepala putranya itu. Apa yang terjadi hari ini telah memberikan pelajaran besar kepada kami, sebagai orang tua kami telah gagal memberikan yang terbaik untuk putra kami. Harta dan limpahan materi bukanlah hal utama yang mereka butuhkan, kami lupa kalau cinta kasih sayang adalah harga mutlak untuk mereka dan tidak dapat ditawar lagi.
            Ponselku berdering, saat kuangkat ternyata dari rumah sakit,
            “Darin … kudengar dari asistenku, kau butuh bantuanku?” Tanya Alexa dari seberang.
            “Oh…” lirihku, aku teringat akan kehamilanku. “Uhm… tadi aku menelpon ke klinikmu dan katanya kau sedang keluar...”
            “Ada apa kau menelponku?”
            “Aku ingin membicarakan tentang kehamilanku…”
            “Kau hamil? Wah… selamat ya!”
            “Terima kasih … Alexa besok saja aku datang ke klinikmu dan menjelaskan semuanya. Aku sedang sibuk sekarang.”
            “Uhm… silakan kau datang kapan saja!” kumatikan panggilan temanku itu. Di depanku, Ady menatapku, “Aku sudah buat janji dengan Alexa besok…” ucapku.
***
            Hari ini hari pementasan putraku, untung saja luka di tangannya cepat kering sehingga tidak mengganggu kegiatannya. Aku dan Ady, Mbak Darmi juga kuikutkan, bersama orang tua siswa lainnya duduk tenang di bangku penonton menyaksikan sekelompok anak bernyanyi dan menari memerankan drama Pinokio. Azka… aku tak tahu dia telah sebesar ini, dia pandai berakting, dia dapat bernyanyi dan menari memerankan tokoh Pinokio dengan apik. Perkembangan bakatnya yang sebesar ini bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya.
Drama Pinokio itu berakhir tidak lebih dari 90 menit, sebuah waktu yang meski singkat namun sangat berharga bagi Azka dan tentu saja untuk aku dan Ady juga, tentu dia tak perlu membayarnya. 350.000 yang terlalu mahal untuk anak seumuran Azka.
“Ibu… Ayah… Mbak Darmi!” seru putraku saat kami menemuinya di back stage. “Bagaimana penampilanku?”
“Sangat bagus!” pujiku.
“Ayah bangga padamu!”
“Azka hebat!” tambah Mbak Darmi.

Malam ini keluarga kecilku makan bersama di restaurant kesayangan Azka. Putraku itu makan dengan lahap, bahkan sampai belepotan. Dengan penuh sayang, Ady membersihkan wajah putranya itu, dia mengambil alih tugas Mbak Darmi. Malam ini seharusnya kami sudah berada di Surabaya menghadiri peresmian anak cabang Beoryeong tapi kenyataannya kami di sini, memberikan sedikit waktu untuknya yang butuh perhatian.
“Ya…” Ady menjawab panggilannya sesaat setelah ponselnya bergetar. “Benarkah? Kalau begitu sampaikan salamku pada mereka!” tutup suamiku. Aku memandangnya penuh tanya, dia tersenyum, “Dari Sekretarisku , dia menyampaikan salam dari Wali Kota. Pembukaan cabang berjalan lancar dan aku sangat bersyukur!”
“Baguslah kalau begitu…” ucapku. “Oh ya Azka… Ibu punya hadiah untukmu, karena tadi kau telah berakting dengan baik!”
“Apa Ibu?!” Tanya putraku antusias. Segera kuberikan sebuah kotak kecil untuknya, buru-buru dia membukanya dan seperti prediksiku, keningnya berkerut. “Apa ini Ibu?” tanyanya sambil memperlihatkan selembar foto yang dia tidak mengerti.
“Biar Ayah jelaskan, ini foto adikmu di dalam perutnya Ibu!” Ady mencoba membantu,
“Benarkah? Benarkah ada adik di perutnya Ibu?!” Azka berteriak sampai pengunjung restaurant yang lain menoleh pada kami.
“Uhm… adiknya masih terlalu kecil makanya wajahnya tidak kelihatan. Tunggu tujuh bulan lagi agar kita dapat melihat wajahnya,” jawabku.
“Hore…hore…hore… aku akan punya adik!!! Ibu terima kasih!!!” dia bergegas memelukku, menciumi pipiku sampai aku juga belepotan pasta yang tadi dimakannya.
“Tapi kau harus janji untuk jadi anak yang baik. Kalau kau tidak nakal, adikmu akan cepat besar!” sambung Ady.
“Iya… aku janji!!!” Azka kembali melahap pastanya dengan wajah yang ceria.
“I love you…” Ady memegang tanganku. Aku tersenyum, ya… dia berterima kasih atas keputusan yang kuambil. Aku mengundurkan diri dari promosi jabatan General Manager itu untuk fokus pada calon adiknya Azka. Kurasa aku tidak akan kehilangan apa-apa bila harus melepas obsesiku. Selama ini aku terlalu sibuk dengan impianku sendiri sampai aku melupakan keluargaku, aku lupa kalau Azka sangat membutuhkanku. Aku ingin menjadi ibu yang disayangi oleh keluargaku juga menjadi ibu yang dapat dibanggakan.
Aku sadar, memang hanya cinta yang dapat menyatukan kita, membuat kita mengerti apa arti hidup yang sebenarnya. Mengharap bukanlah modal mutlak namun di saat kita dapat memberikan kebahagiaan pada orang-orang terlebih bagi mereka yang kita cintai, itulah tujuan kebahagiaan hidup yang hakiki. Uhm… hanya cinta yang dapat membuat kita sadar. (110916)



Notes : cerita ini penulis sadur dan remake dari sebuah film Singapura berjudul I AM NOT STUPID TOO

No comments:

Post a Comment