Apa
hal yang paling berharga yang kau miliki saat ini? Jika kau seorang ibu dan
istri, apakah anak dan suami merupakan hal terpenting itu? Ini kisahku, suatu
tamparan kecil yang membuatku sadar bahwa keluarga adalah segala-galanya.
Aku dan suamiku tergolong pasangan
yang kompak, kami tidak hanya selalu sekata namun juga sepemikiran. Dalam hal
karir, dapat dikatakan kami orang yang berhasil. Suamiku, Achmad Adya Surya,
seorang CEO Beoryeong Mediance, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
obat-obatan. Sementara aku, Cantika Dariani Nadhifa ,
aku adalah marketing manager sebuah majalah fashion terkemuka di Jakarta. Kami
telah mengarungi bahtera rumah tangga selama delapan tahun dan telah dikaruniai
seorang putra yang kini usianya enam tahun, Azka Adhyastha Prasaja Surya. Aku
bahagia dengan kehidupanku yang sekarang, aku mendapatkan suami yang baik dan
pengertian, hidup mewah, karir yang cemerlang, dan yang tak kalah berharganya
adalah Azka.
Ady memarkirkan mobilnya dengan
mantap, aku keluar dari mobil sambil memijat leherku yang lumayan kaku. Kulirik
jam tanganku, huft… jam 1 pagi. Mbak Darmi segera membukakan pintu sesaat
setelah aku memencet bel.
“Azka sudah tidur Mbak?” sapaku saat
aku memasuki rumahku. Pertanyaan bodoh, untuk apa aku bertanya seperti itu,
mana ada anak usia 6 tahun masih terjaga di saat selarut ini.
“Iya Nyonya…” jawabnya.
“Bagaimana sekolahnya?” tanya Ady,
“Baik-baik saja, dia kelelahan
setelah latihan untuk drama musikalnya sabtu nanti,” jawab Mbak Darmi. Ady
berjalan ke arah kamar Azka, aku tidak begitu menghiraukannya sebab aku baru
ingat masih ada hal penting yang harus kukerjakan.
Buru-buru aku masuk ke kamar mandi,
kuambil sebuah alat yang sempat kubeli di apotik tadi. Kebetulan aku juga
sedang ingin buang air kecil, jadi sangat pas. Aku deg degan menanti hasil yang
akan ditunjukkan oleh alat tes kehamilan itu, setelah beberapa saat, alat itu
mulai menunjukkan hasilnya dan ternyata benar, aku sedang hamil. Cukup lama aku
merenung di toilet, apa yang harus kulakukan?
Aku keluar dengan wajah yang layu,
kulihat Ady telah berganti pakaian dengan piyamanya. Dia masih sibuk membuka
iPad-nya, namun beberapa saat setelah aku berbaring di sampingnya, dia
menghentikan kegiatannya.
“Ada apa?” tanyanya, “Kau seperti
sedang dalam masalah besar!” aku berpikir sejenak, apa aku harus
memberitahunya? Aduh… aku kenapa? Justru orang yang pertama harus tahu adalah
dia,
“Aku hamil…” jawabku lesu,
“Benarkah?” dia agak terkejut. “Ya
sudah, kita berikan saja adik untuk Azka!” lanjutnya.
“Sayang… kau tahu ‘kan bagaimana
kondisiku sekarang, aku sedang dalam masa promosi untuk posisi General Manager
di kantor. Aku tidak ingin melepas kesempatan ini hanya karena aku harus hamil,
belum tentu kesempatan ini akan datang lagi. Kehamilan tentu akan membatasi
ruang gerakku padahal kompetisi tidaklah mudah…” kucoba untuk berterus terang.
“Lalu kau ingin apa?” pertanyaannya
menjebakku, aku cukup takut untuk berterus terang. “Kau mau menggugurkannya?”
aduh… tepat pada sasaran. “Ya sudah, lakukan saja!” putusnya. Aku cukup kaget,
benarkah aku tidak salah dengar? “Aku juga belum siap memiliki bayi lagi, aku
tidak mau tidurku terganggu oleh tangisan bayi sehingga istirahatku tidak
cukup. Saat ini aku harus menjaga stamina termasuk istirahat, persaingan bisnis
semakin keras dan aku tidak ingin tertinggal hanya karena jatuh sakit!”
perlahan senyumku mengembang,
“Sayang… love you!” kupeluk Mas Ady
dengan perasaan lega, dia benar-benar suami yang pengertian.
“Aku juga!” balasnya. “Buat saja
janji dengan dokter, aku akan menemanimu!” lanjutnya. Aku mengangguk mantap
diselingi senyuman bahagia.
***
“Pagi sayang…!” seruku sambil
mencium pipi putraku,
“Pagi sayang…!” Ady pun begitu, Azka
tersenyum manis sambil menikmati sarapannya.
“Ayah…” Azka mencoba mengajak ayahnya
bicara namun Ady terlihat sibuk dengan iPad-nya.
“Hus… Azka, jangan ganggu Ayah. Ayah
sedang sibuk!” tegurku.
“Ibu…” Azka pun menggantikan
panggilannya padaku,
“Uhm…” balasku,
“Minggu depan…” ucapan Azka terputus
saat ponselku berdering. Kutinggal meja makan sejenak untuk menerima panggilan
asistenku. Aku dan Ady sibuk dengan urusan masing-masing mengabaikan Azka yang
berharap untuk sekedar bicara dengan Ibu dan Ayahnya.
“Sayang… kapan kau buat janji dengan
dokter?” tanya Ady setelah urusan kami selesai.
“Aku akan menelpon ke klinik nanti,”
“Memangnya Ibu sakit? Kenapa mau ke
dokter?” pertanyaan Azka yang polos membuatku tersedak.
“Ibu tidak sakit, hanya saja ingin
memeriksakan kesehatannya ke dokter. Makanya Azka jangan nakal biar Ibu tidak
pusing!” Ady mencoba membantuku menjelaskan.
“Ehm… Ibu, Ayah ini tiket untuk
drama musikalku…”
“Sayang… peresmian anak cabang
Beoryeong di Surabaya apa jadi?” tanyaku pada Ady.
“Uhm… jadi, akhir minggu ini acaranya!”
“Wah… itu berarti besok lusa, kalau
begitu aku harus hunting pakaian, apa
kau mau kubelikan?”
“Boleh… pilihkan yang terbaik ya. Di
acara itu, walikota Surabaya juga datang beserta mentri Perekonomian dan
Perdagangan.”
“Wah… mereka orang-orang penting.
Baiklah, aku akan bersiap-siap!” ucapku.
“Nah…
Azka, kau lihat ‘kan, meski Ayah bukanlah mentri atau pejabat, tapi Ayah tetap
bisa bertemu dan bercengkrama dengan walikota bahkan mentri!” terasa bangga
menceritakan kehebatan Ady di hadapan putranya. Yah… inilah terapi motivasi
yang kuberikan agar kelak putraku sehebat ayahnya.
“Kalau
kau rajin belajar dan pantang menyerah, kau akan berhasil seperti Ayah!” Ady
pun tak mau kalah. “Saat ini Ayah dibayar Rp. 350.000 untuk satu jam ceramah di
depan kolega-kolega bisnis Ayah, ke depannya kau harus bisa lebih baik dari Ayah!”
Kulirik
jam tanganku, “Ayo, sudah jam delapan!” ajakku pada Ady. Buru-buru Ady
menghabiskan espresso yang tersisa di gelasnya setelah terlebih dahulu melahap
waffle kesukaannya.
“Azka… Ayah berangkat kerja dulu
ya!” Ady mencium pipi Azka, disusul olehku,
“Jangan nakal di sekolah!” pesanku. Aku
dan Ady buru-buru ke tempat parkir, seakan tak mau kalah oleh waktu, kami
bergegas menyusuri jalan untuk tidak kehilangan waktu yang bagaikan emas untuk
kami.
Bagai disambar petir, siang ini aku
mendapat telepon dari kepala sekolah tempat Azka bersekolah bahwa putraku itu
kedapatan mencuri uang di kantin sekolah. Ady pun berang saat aku mengadu
padanya. Dia dan aku tak habis pikir bagaimana bisa putra seorang CEO mencuri
uang! Apa dia kehabisan uang jajan? Apa dia menginginkan sesuatu yang sangat
mahal? Kalau iya, dia tinggal bilang.
“Aku yakin, putraku difitnah!”
seruku saat menyusuri koridor sekolah bersama Ady,
“……” Ady hanya diam, kurasa dia
sangat shock, baru kali ini garis keturunannya ada yang mencuri.
“Bagaimana mungkin anak umur enam
tahun seperti Azka mencuri! Aku tidak pernah mengajarkan anakku mencuri sesulit
apapun keadaannya! Akan kulaporkan ke polisi kalau saja anakku difitnah!” aku
jadi sewot sendiri.
“Tenangnlah…” bujuk Ady. Kuakui Ady
benar-benar pria yang kuat, bahkan dalam marah pun dia masih dapat diam dan
tenang seperti ini.
Aku bungkam saat melihat rekaman
CCTV yang dijadikan sebagai alat bukti oleh kepala sekolah untuk menuduh anakku
mencuri. Dalam rekaman itu terlihat jelas Azka sedang mengendap-endap menuju
meja kasir setelah kasir keluar sejenak dari kantin. Aku menangis, ya… aku
menangis. Aku kecewa pada putra yang telah kubesarkan itu, umurnya masih
terlalu muda namun dia sudah mencoreng nama baik keluarga dengan perbuatannya.
Sementara Ady, kulihat rahangnya menguat, jelas sekali dia menahan amarah yang
sangat besar. Apa lagi saat Azka terang-terangan mengakui perbuatannya, Ady
bahkan mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam.
Meski telah tertangkap basah
mencuri, Azka enggan mengakui untuk apa dia mencuri. Dia tidak ingin
mengutarakan alasannya. Berkali-kali gurunya mendesak untuk bicara namun dia
bungkam dan hanya tertunduk. Ady kehabisan kesabaran, dia meminta izin untuk
membawa Azka pulang. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan pada anaknya, yang
jelas selama ini dia tidak pernah memukul bahkan mencubit anaknya sekalipun.
Apa kali ini dia akan melakukannya?
Azka disidang, dia duduk di hadapan Ayahnya.
Ady menatapnya dengan mata yang memerah menahan marah. Mbak Darmi terlihat
cemas dibalik tembok dapur sedangkan aku hanya diam menunggu apa yang akan
dilakukan Ady pada putraku. Sejujurnya, sesalah apapun anakku, aku tidak ingin
dia dihukum, dipukul, atau diapa-apakan.
“Cepat katakan kenapa kau mencuri!” perintah Ady. Azka tetap
bungkam.
“Ayo katakan!” bentak Ady. Mendengar
suara Ayahnya yang meninggi, sedikit pun Azka tak bicara. “Ulurkan tanganmu!”
perintah Ady. Azka menurut, syyuut… terdengar nyaring di telingaku suara ayunan
bambu yang telah disediakan Ady menghantam kulit telapak tangan putraku. Azka
tetap bungkam, sekali lagi Ady menghantamnya, sekali lagi Ady harus kecewa
karena Azka tetap bungkam.
“Apa susahnya bicara, Azka jujur
saja!” desakku. Entah dari mana dia belajar untuk bungkam sampai seteguh ini.
“Kau tahu, kau telah mempermalukan
keluarga. Ayah tidak pernah mengajarimu mencuri, kakek – nenekmu sampai para
leluhurmu tidak pernah mengenal apa itu mencuri, kenapa… kenapa malah anakku
yang melakukannya!”
“Maaf Ayah…” lirih Azka.
“Ayah tidak butuh maafmu, Ayah hanya
ingin tahu kenapa kau melakukannya!” bentak Ady.
“Katakan saja Azka, apa kau
kehabisan uang jajan?” tanyaku. Azka menggeleng,
“Lalu kenapa?” bentak Ady lagi.
Sekali lagi Azka diam. Syutttt… sekali lagi tangan Azka harus merasakan
perihnya hantaman bambu tipis dari Ayahnya. Aku sendiri mulai kesal pada
putraku itu, apa susahnya sih mengaku? Berkali kali Ady memukulnya sampai
kulitnya melepuh namun anak itu tetap diam, hanya air matanya yang jatuh
bercucuran memberitahukan kalau sebenarnya dia sudah kesakitan.
“Ah… Ibu ingat, kau pernah meminta
uang pada Ibu untuk membeli kartu pokemon seri terbaru ‘kan! Kau pasti mencuri
untuk itu, ayo mengaku!” desakku.
“Kartu pokemon? Kau mempermalukan
keluarga hanya karena kartu pokemon?!” Ady berang dan sekali lagi menghantam
telapak tangan putranya. Kali ini Azka menjerit, mungkin karena sudah tidak
tahan lagi.
“Ampun Ayah…” isaknya,
“Kalau begitu kau harus mengaku!”
“Aku mencuri karena uangku tidak
cukup Ayah… aku ingin membeli waktu Ayah satu jam untuk menghadiri drama
musikalku besok lusa!” aku Azka. Ady kaget begitupun aku, kami hanya bisa
saling pandang dengan mulut yang bungkam. Kudengar isakan Mbak Darmi dari arah
dapur, ia iba mendengar pengakuan Azka. “Ayah dan Ibu bilang akan ke Surabaya
akhir minggu nanti, padahal hari itu adalah hari pementasanku. Kalau aku bisa
mengumpulkan uang Rp 350.000 maka aku bisa membeli waktu Ayah satu jam untuk
menonton pementasanku.”
Badanku terasa lemas, pipiku terasa
panas padahal tak seorang pun menamparku. Perlahan air mataku bergumul dan
akhirnya menetes,
“Aku sudah menjual semua kartu
pokemonku, mobil-mobilan, juga kapal-kapalan yang Ibu belikan tapi uangnya
tetap tidak cukup. Kalau menunggu sampai aku besar dan menghasilkan uang
seperti Ayah, itu sudah terlambat. Kalau aku menyodorkan pinjaman, Ayah pasti
tidak akan mau memberinya. Makanya aku… aku mencuri.” Aku terisak di belakang Azka,
aku sungguh tidak tahu harus bicara apa lagi. Bambu yang dipegang Ady, terlepas
begitu saja dari tangannya. Matanya yang tadi merah karena amarah, kini berubah
sembab.
“Aku tak mau mengaku karena aku
takut ketahuan, Ayah pasti tidak mau menerima bayaran dari uang hasil curian…”
“Cukup Azka… jangan bicara lagi…”
tangisku. Aku terseok di sofa, tubuhku lemas dan aku sungguh kehabisan tenaga.
Mataku kini terbuka, aku baru menyadari betapa aku ibu yang buruk.
“Maafkan Ayah Nak,” lirih Ady sambil
memeluk Azka, aku tak sanggup, aku tak mampu memeluk anakku. Aku tidak pantas
memeluknya, selama ini aku tidak pernah menjadi ibu yang baik untuknya. Dia
belajar apa besok, aku juga tidak tahu, jadi apakah aku masih pantas dipanggil Ibu
olehnya?
***
Azka tertidur di pangkuan Ady
sementara aku mengolesi obat ke telapak tangannya. Kasihan Azka, kulit
tangannya melepuh, pasti sangat perih bila dia harus cuci tangan. Kami telah
menyiksa mentalnya dan juga menyiksa fisiknya, sungguh tak ada lagi orang tua
yang paling buruk selain kami.
“Sudah lama sekali rasanya aku tidak
mengelus kepala Azka dan menidurkannya di pangkuanku…” lirih Ady.
“Dan… sudah lama sekali aku tidak
melihat wajah Azka yang tertidur pulas sedekat ini…” sambungku.
“Memang kita harus ditampar dulu
untuk disadarkan. Apa yang dilakukan Azka sungguh membuatku malu, sebagai
seorang ayah, aku tidak pernah berbuat seperti seorang ayah padanya.”
“Mungkin aku tidak akan berani menatap
wajah anakku lagi di saat dia bangun. Aku sudah terlalu malu sampai menampakkan
wajahku di hadapannya, aku sudah tidak bernyali…” sekali lagi air mataku
menetes. Ady menghapusnya,
“Kita berutang banyak pada Azka, Rp.
350.000 dikalikan berapa jam waktu yang kita buang dalam sehari untuk
bersamanya kemudian dikalikan lagi ke bulan dan dikalikan lagi ke tahun… kita
bisa jatuh miskin bila harus melunasinya, bahkan bila aku harus menjual
Beoryeong Grup, itu masih kurang banyak.”
“Kadang aku berpikir, kita bekerja
untuk apa dan untuk siapa? Uang yang kita hasilkan sebenarnya untuk apa? Untuk
membahagiakan anak! Lalu… kalau uang itu pada akhirnya harus memasung
kebersamaan kita dengan anak-anak, apa gunanya? percuma ‘kan?”
Azka digendong ke kamarnya, Ady
membaringkannya dengan lembut sambil mengelus kepala putranya itu. Apa yang
terjadi hari ini telah memberikan pelajaran besar kepada kami, sebagai orang
tua kami telah gagal memberikan yang terbaik untuk putra kami. Harta dan
limpahan materi bukanlah hal utama yang mereka butuhkan, kami lupa kalau cinta
kasih sayang adalah harga mutlak untuk mereka dan tidak dapat ditawar lagi.
Ponselku berdering, saat kuangkat
ternyata dari rumah sakit,
“Darin … kudengar dari asistenku,
kau butuh bantuanku?” Tanya Alexa dari seberang.
“Oh…” lirihku, aku teringat akan
kehamilanku. “Uhm… tadi aku menelpon ke klinikmu dan katanya kau sedang
keluar...”
“Ada apa kau menelponku?”
“Aku ingin membicarakan tentang
kehamilanku…”
“Kau hamil? Wah… selamat ya!”
“Terima kasih … Alexa besok saja aku
datang ke klinikmu dan menjelaskan semuanya. Aku sedang sibuk sekarang.”
“Uhm… silakan kau datang kapan
saja!” kumatikan panggilan temanku itu. Di depanku, Ady menatapku, “Aku sudah
buat janji dengan Alexa besok…” ucapku.
***
Hari ini hari pementasan putraku,
untung saja luka di tangannya cepat kering sehingga tidak mengganggu
kegiatannya. Aku dan Ady, Mbak Darmi juga kuikutkan, bersama orang tua siswa
lainnya duduk tenang di bangku penonton menyaksikan sekelompok anak bernyanyi
dan menari memerankan drama Pinokio. Azka… aku tak tahu dia telah sebesar ini,
dia pandai berakting, dia dapat bernyanyi dan menari memerankan tokoh Pinokio
dengan apik. Perkembangan bakatnya yang sebesar ini bagaimana mungkin aku tidak
menyadarinya.
Drama
Pinokio itu berakhir tidak lebih dari 90 menit, sebuah waktu yang meski singkat
namun sangat berharga bagi Azka dan tentu saja untuk aku dan Ady juga, tentu
dia tak perlu membayarnya. 350.000 yang terlalu mahal untuk anak seumuran Azka.
“Ibu…
Ayah… Mbak Darmi!” seru putraku saat kami menemuinya di back stage. “Bagaimana
penampilanku?”
“Sangat
bagus!” pujiku.
“Ayah
bangga padamu!”
“Azka
hebat!” tambah Mbak Darmi.
Malam
ini keluarga kecilku makan bersama di restaurant kesayangan Azka. Putraku itu
makan dengan lahap, bahkan sampai belepotan. Dengan penuh sayang, Ady
membersihkan wajah putranya itu, dia mengambil alih tugas Mbak Darmi. Malam ini
seharusnya kami sudah berada di Surabaya menghadiri peresmian anak cabang
Beoryeong tapi kenyataannya kami di sini, memberikan sedikit waktu untuknya
yang butuh perhatian.
“Ya…”
Ady menjawab panggilannya sesaat setelah ponselnya bergetar. “Benarkah? Kalau
begitu sampaikan salamku pada mereka!” tutup suamiku. Aku memandangnya penuh
tanya, dia tersenyum, “Dari Sekretarisku , dia menyampaikan salam dari Wali
Kota. Pembukaan cabang berjalan lancar dan aku sangat bersyukur!”
“Baguslah
kalau begitu…” ucapku. “Oh ya Azka… Ibu punya hadiah untukmu, karena tadi kau
telah berakting dengan baik!”
“Apa
Ibu?!” Tanya putraku antusias. Segera kuberikan sebuah kotak kecil untuknya,
buru-buru dia membukanya dan seperti prediksiku, keningnya berkerut. “Apa ini Ibu?”
tanyanya sambil memperlihatkan selembar foto yang dia tidak mengerti.
“Biar
Ayah jelaskan, ini foto adikmu di dalam perutnya Ibu!” Ady mencoba membantu,
“Benarkah?
Benarkah ada adik di perutnya Ibu?!” Azka berteriak sampai pengunjung
restaurant yang lain menoleh pada kami.
“Uhm…
adiknya masih terlalu kecil makanya wajahnya tidak kelihatan. Tunggu tujuh
bulan lagi agar kita dapat melihat wajahnya,” jawabku.
“Hore…hore…hore…
aku akan punya adik!!! Ibu terima kasih!!!” dia bergegas memelukku, menciumi
pipiku sampai aku juga belepotan pasta yang tadi dimakannya.
“Tapi
kau harus janji untuk jadi anak yang baik. Kalau kau tidak nakal, adikmu akan
cepat besar!” sambung Ady.
“Iya…
aku janji!!!” Azka kembali melahap pastanya dengan wajah yang ceria.
“I
love you…” Ady memegang tanganku. Aku tersenyum, ya… dia berterima kasih atas
keputusan yang kuambil. Aku mengundurkan diri dari promosi jabatan General
Manager itu untuk fokus pada calon adiknya Azka. Kurasa aku tidak akan
kehilangan apa-apa bila harus melepas obsesiku. Selama ini aku terlalu sibuk
dengan impianku sendiri sampai aku melupakan keluargaku, aku lupa kalau Azka sangat
membutuhkanku. Aku ingin menjadi ibu yang disayangi oleh keluargaku juga
menjadi ibu yang dapat dibanggakan.
Aku
sadar, memang hanya cinta yang dapat menyatukan kita, membuat kita mengerti apa
arti hidup yang sebenarnya. Mengharap bukanlah modal mutlak namun di saat kita
dapat memberikan kebahagiaan pada orang-orang terlebih bagi mereka yang kita
cintai, itulah tujuan kebahagiaan hidup yang hakiki. Uhm… hanya cinta yang
dapat membuat kita sadar. (110916)
Notes : cerita ini penulis
sadur dan remake dari sebuah film Singapura berjudul I AM NOT STUPID TOO
No comments:
Post a Comment